Kehidupan Suku Anak Dalam Pasca Mengikuti Program Trans Sosial di Bukit Suban Kabupaten Merangin Provinsi Jambi

(1)

KEHIDUPAN SUKU ANAK DALAM PASCA MENGIKUTI

PROGRAM TRANS SOSIAL DI BUKIT SUBAN KABUPATEN

MERANGIN PROVINSI JAMBI

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sosial

Dalam Bidang Sosiologi

OLEH

LESTARI NOVA MARBUN

070901009

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(2)

(3)

ABSTRAKSI

Suku Terasing di Indonesia banyak tersebar di pedalaman hutan, salah satunya terdapat di pedalaman hutan Provinsi Jambi. Suku Terasing tersebut yaitu Suku Anak Dalam yang terdapat di Bukit Dua Belas Kabupaten Merangin Provinsi Jambi. Mereka hidup di dalam hutan dan memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan mereka seperti berburu dan meramu. Pada saat ini Suku Anak Dalam dibagi menurut tempat tinggal mereka yaitu Suku Anak Dalam yang tinggal di dalam hutan, Suku Anak Dalam yang tinggal di lokasi Trans Sosial dan Suku Anak Dalam yang hidup nomaden. Suku Anak Dalam yang tinggal di Lokasi Trans Sosial adalah mereka yang sudah banyak mengikuti perubahan dan perkembangan zaman dibandingkan dengan Suku Anak Dalam yang masih tinggal di dalam hutan. Pemerintah daerah memberikan suatu solusi untuk dapat merubah kehidupan Suku Anak Dalam agar lebih maju dan modern. Solusi tersebut adalah sebuah Program Transmigrasi Sosial yang dibuat khusus untuk Suku Anak Dalam. Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial tersebut mengalami perubahan menuju kearah yang lebih baik. Namun, perubahan yang mereka alami bukan hanya kearah yang positif saja melainkan perubahan kearah negatif juga mereka alami.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat, rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul

” Kehidupan Suku Anak Dalam Pasca Mengikuti Program Trans Sosial di Bukit Suban Kabupaten Merangin Provinsi Jambi”

Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan dari semua pihak, maka skripsi ini tidak terselesaikan dengan baik. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu, baik dari penulisan proposal saat penelitian dan sampai selesainya skripsi ini, yaitu :

1. Teristimewa kepada kedua orang tuaku tercinta, “Papa dan Mama” yang

selalu memberikan do’a, semangat, nasehat dan masukan yang tidak ternilai harganya dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih kepada Papa dan Mama yang telah membesarkan penulis dengan penuh cinta dan kasih sayang serta selalu memberikan didikan dan disiplin sejak penulis masih kecil. Tiada kata yang mewakili ucapan Terimakasih anakmu ini atas pengorbanan yang Papa dan Mama selama ini berikan.

2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara,

Bapak Prof. Dr .Badaruddin, M.Si

3. Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas


(5)

ujian komperhensif skripsi ini dan memberikan apresiasi dan dukungan dalam penyelesaian skripsi saya.

4. Sekretaris jurusan bapak Drs. T. Ilham Saladin, M. SP.

5. Teristimewa buat bapak Prof. Riza Buana,M,Phil selaku dosen pembimbing

yang telah banyak memberi masukan, meluangkan waktu, memberikan pengetahuan dan pengarahan dalam penyelesaian skripsi ini serta sabar membimbing saya. Beliau yang telah memberikan pengajaran yang sangat berarti bagi saya.

6. Kepada seluruh staf pengajar di departemen sosiologi dan tak lupa buat kak

Feny, kak Beti yang selalu sabar mendengarkan keluhan – keluhan dan sabar mendenganr cerita saya serta seluruh pegawai di FISIP USU terima kasih atas bantuannya dan pengetahuannya selama menjalani studi di FISIP USU

7. Kepada Temenggung Tarib dan Informan terima kasih atas kerjasamanya

memberikan masukan informasi yang menunjang penulisan ini.

8. Buat Adik – adikku. Terima kasih atas masukannya dan kritikannya selama

ini. Semoga tujuan mulia kita untuk membahagiakan kedua orang tua tercapai. Penulis sangat menyayangi kalian semua.

9. Buat temen-teman baikku di kampus untuk kebersamaannya selama ini,

khususnya setambuk 07 sosiologi FISIP USU, atas semangat dan pengorbanan kita selama ini. Semoga kita selalu dipertemukan di lain kesempatan dan jauh lebih baik dari saat ini.

10.Terima kasih kepada para abang, kakak, dan adek-adek selaku Mahasiswa di


(6)

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan belum sempurna. Oleh karena itu dengan rendah hati, penulis menerima segala saran, masukan dan kritikan yang membangun dari berbagai pihak. Untuk itu penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi setiap pihak yang memerlukannya, baik langsung maupaun tidak langsung

Medan, Januari 2013 Penulis

(Lestari Nova Marbun)


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... ...vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

1.5. Definisi Konsep ... 8

1.6. Jenis Penelitian ... 9

1.7. Lokasi Penelitian ... 9

1.8. Unit Analisis ... 10

1.9. Informan ... 10

1.10. Teknik Pengumpulan Data ... 11

1.11. Interpretasi Data ... 12


(8)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PROGRAM TRANS SOSIAL

2.1. Kearifan Suku Anak Dalam ... 15

2.2. Suku Anak Dalam Masih Melestarikan Budaya Leluhur ... 17

2.3. Kebudayaan Suku Anak Dalam ... 19

2.4. SAD Pertahankan Hutan Dengan Hompongan ... 22

2.5. Program Trans Sosial ... 23

BAB III MENGENAL SAD SEBELUM MENGIKUTI PROGRAM TRANS SOSIAL 3.1. Mengenal Suku Anak Dalam ... 30

3.1.1.Berbagai Versi Tentang Asal – usul SAD ... 34

3.1.2.Ciri – ciri Fisik dan Non Fisik ... 37

BAB IV KEHIDUPAN SAD DI LOKASI TRANS SOSIAL 4.1. Deskripsi Lokasi……….… 27

4.1.1.Sejarah Singkat Mengenai Kab. Merangin Prov. Jambi……. 29

4.1.2.Letak Lokasi dan Keadaan Alam……….. 39

4.1.3.Pola Pemukiman……… 41

4.1.4.Mata Pencaharian SAD di Lokasi Trans Sosial………. 42

4.1.5.Sarana dan Prasarana………. 52

4.1.6.Pendidikan Suku Anak Dalam yang Mengikuti Program Trans Sosial……… 52

4.1.6.1.Sarana Ibadah..………..………….. 62

4.1.6.2.Sarana Kesehatan……….…………. 66

4.1.6.3.Sarana Transportasi dan Isi Rumah SAD yang Bermukim di Lokasi Trans Sosial…………... 72

4.1.7.Latar Belakang Sosial Budaya………... 76


(9)

4.1.7.2. Seni……… 77

4.1.7.3. Religi……….. 83

4.1.7.4. Sistem Kekerabatan………... 85

4.1.8.Organisasi dan Kelompok Masyarakat Pada SAD……….. 86

4.2. Perubahan Kehidupan SAD Pasca Mengikuti Program Trans Sosial.……… 89

4.2.1.Lingkungan Daerah Tempat Tinggal SAD……… 94

4.2.2.Lingkungan Tempat Bekerja SAD……… 97

4.3. Masalah Yang Ditemui Oleh SAD…………...………... 99

BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan ... 104

5.2 . Saran ... 109 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jawaban Responden Berdasarkan Pernyataan “ Berapakah Pendapatan

Keluarga Anda Perbulan” ... 42

Tabel 2 Harga Jual Rotan ... 49

Tabel 3 Jumlah Sekolah di Lokasi Trans Sosial ... 53

Tabel 4 Jumlah Murid Berdasarkan Tingkat Pendidikan SAD di Sekitar Bukit

Suban ... 54

Tabel 5 Pandangan Orang Tua SAD yang Telah Bermukim di Lokasi Trans

Sosial Tentang Pendidikan Anak – anak Mereka ... 55

Tabel 6 Agama Yang Dianut Oleh Suku Anak Dalam ... 64

Tabel 7 Penggunaan Bahasa Suku Anak Dalam ... 76

Tabel 8 Jawaban Responden Berdasarkan Pernyataan ”Bagaimanakah Kehadiran

SAD Setelah Mengikuti Program Trans Sosial” ... 93

Tabel 9 Jawaban Responden Berdasarkan Pernyataan ”Bagaimanakah

Tanggapan Masyarakat Terang Ketika SAD Hidup Berdampingan Dengan Mereka” ... 96

Tabel 10 Jawaban Responden Berdasarkan Pernyataan ” Dengan Siapakah Anda


(11)

Tabel 11 Jawaban Responden Berdasarkan Pernyataan ” Jika Anda Kesulitan Keuangan, Kemanakah Anda Akan Meminjam”...100


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Sasudungan Gambar 2 Pondok di Ladang

Gambar 3 Suku Anak Dalam Memakai Cawat Gambar 4 Suku Anak Dalam Memakai Baju

Gambar 5 Perumahan Suku Anak Dalam Pasca Trans Sosial Gambar 6 Peta Kabupaten Merangin


(13)

ABSTRAKSI

Suku Terasing di Indonesia banyak tersebar di pedalaman hutan, salah satunya terdapat di pedalaman hutan Provinsi Jambi. Suku Terasing tersebut yaitu Suku Anak Dalam yang terdapat di Bukit Dua Belas Kabupaten Merangin Provinsi Jambi. Mereka hidup di dalam hutan dan memanfaatkan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan mereka seperti berburu dan meramu. Pada saat ini Suku Anak Dalam dibagi menurut tempat tinggal mereka yaitu Suku Anak Dalam yang tinggal di dalam hutan, Suku Anak Dalam yang tinggal di lokasi Trans Sosial dan Suku Anak Dalam yang hidup nomaden. Suku Anak Dalam yang tinggal di Lokasi Trans Sosial adalah mereka yang sudah banyak mengikuti perubahan dan perkembangan zaman dibandingkan dengan Suku Anak Dalam yang masih tinggal di dalam hutan. Pemerintah daerah memberikan suatu solusi untuk dapat merubah kehidupan Suku Anak Dalam agar lebih maju dan modern. Solusi tersebut adalah sebuah Program Transmigrasi Sosial yang dibuat khusus untuk Suku Anak Dalam. Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial tersebut mengalami perubahan menuju kearah yang lebih baik. Namun, perubahan yang mereka alami bukan hanya kearah yang positif saja melainkan perubahan kearah negatif juga mereka alami.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki lebih dari 300 suku bangsa. Dimana setiap suku bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Suku bangsa merupakan bagian dari suatu Negara. Badan Pusat Statistik (BPS) dalam sensus penduduk 2010 mendata ada 10.030 orang suku terasing di Indonesia. Diantaranya di Provinsi Sumatera Barat terdapat sebanyak 70 orang, di provinsi Jambi 3.198 orang, Kalimantan Timur 15 orang, Sulawesi Tengah 4.516 orang, Maluku 1.087 orang, Maluku Utara 27 orang, Papua 865 orang dan Papua Barat 252 orang.

Pada umumnya, mereka tersebar di pedalaman hutan Indonesia dengan hidup dari memanfaatkan hasil hutan, seperti berburu hewan dan tumbuh – tumbuhan yang dapat dimakan dan dapat dijadikan obat. Salah satu Suku Primitif atau terasing di Indonesia adalah Suku Anak Dalam (SAD) yang berada di provinsi Jambi dan bermukim di sekitar Bukit Dua Belas Jambi. Pada umumnya, orang – orang di luar Suku Anak Dalam menyebut mereka sebagai Orang Rimba atau Orang Kubu. Namun, Suku Anak Dalam tidak menyenangi sebutan diri mereka Orang Kubu atau Orang Rimba di mana sebutan itu dianggap merendahkan diri mereka. Hasil survei Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004 menyatakan, jumlah keseluruhan Orang Rimba ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian


(15)

dinyatakan sebagai kawasan Taman Nasional Bukit Barisan (TNBD). Kawasan ini terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu.

Selain di TNBD, kelompok- kelompok Orang Rimba juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi terbesar terdapat di Bayung Lencir, Provinsi Sumatera Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran anak-anak sungai keempat (lebih kecil dari sungai tersier), seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang. Kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, di mana sekitar 500 orang.

Kehidupan Suku Anak Dalam pada awalnya hanya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Subsitensi). Namun, dengan pengaruh perkembang ilmu pengetahuan teknologi dan adanya akulturasi budaya dengan masyarakat luar, kini mereka telah mengenal pengetahuan tentang pertanian dan perkebunan dengan mengolah ladang padi, perkebunan sawit dan karet sebagai mata pencahariannya. Walaupun demikian kegiatan berburu binatang seperti babi, kera, beruang, monyet, ular, labi – labi, rusa, kijang dan berbagai jenis unggas lainnya masih merupakan salah satu bentuk mata pencaharian mereka. Kegiatan berburu dilaksanakan secara bersama-sama dengan membawa anjing. Alat yang digunakan adalah Tombak dan


(16)

Parang. Di samping itu untuk mendapatkan binatang buruan juga menggunakan sistem perangkap dan jerat.

Jenis mata pencaharian lain yang dilakukan adalah meramu didalam hutan, yaitu mengambil buah-buahan, dedaunan, akar-akaran dan tumbuh -tumbuhan sebagai bahan makanan. Lokasi tempat meramu sangat menentukan jenis yang diperoleh. Jika meramu dihutan lebat, biasanya mendapatkan buah-buahan, seperti cempedak, durian, arang paro, dan buah-buahan lainnya. Di daerah semak belukar dipinggir sungai dan lembah mereka mengumpulkan pakis, rebung, gadung, enau, dan rumbia. Mencari rotan, mengambil madu, menangkap ikan adalah bentuk mata pencaharian lainnya.

Semua bentuk dan jenis peralatan yang digunakan dalam mendukung dalam proses pemenuhan kebutuhan hidupnya sangat sederhana. Bangunan tempat

tinggalnya berupa bangunan pondok yang dikenal dengan sebutan Sasudungan

terbuat dari kayu dengan atap jerami atau sejenisnya. Konstruksi bangunannya dengan sistem ikat dari bahan rotan dan sejenisnya. Bangunannya berbentuk panggung dengan tinggi 1,5 meter, dibagian bawahnya dijadikan sebagai lumbung (bilik) yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi. Ukuran bangunan sekitar 4 x 5 meter atau sesuai dengan kebutuhan keluarga. Disamping bangunan tempat tinggal, dalam satu lingkungan keluarga besar terdapat pondok tanpa atap sebagai tempat duduk-duduk dan menerima tamu.


(17)

Gambar 1. Sasudungan Gambar 2. Pondok di ladang

Kini terdapat tiga kategori kelompok pemukiman Suku Anak Dalam. Pertama yang bermukim di dalam hutan dan hidup berpindah-pindah. Kedua kelompok yang hidup didalam hutan dan menetap. Ketiga adalah kelompok yang pemukimnya bergandengan dengan pemukiman orang luar (orang kebiasaan atau masyarakat umum) atau disebut dengan Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial.

Cara mudah membedakan ketiga kategori kelompok pemukiman SAD ini adalah dengan melihat :

1. Bagi yang tinggal di hutan dan berpindah – pindah mereka dapat di tandai dengan, Pakaiannya yang sederhana sekali, yaitu cukup menutupi bagian tertentu saja dengan menggunakan cawat.

2. Sedangkan yang tinggal di hutan tetap menetap, di samping berpakaian sesuai dengan tradisinya, juga terkadang menggunakan pakaian seperti masyarakat umum lainnya yaitu menggunakan baju, sarung atau celana.

3. Bagi yang tinggal berdekatan dengan pemukimana masyarakat luar atau yang mengikuti Trans Sosial, berpakaian seperti masyarakat desa lainnya. Namun


(18)

kebiasaannya tidak menggunakan baju masih sering ditemukan dalam wilayah pemukimannya.

Gambar 3. SAD Memakai Cawat Gambar 4. SAD Memakai Baju

Suku Anak Dalam yang tinggal berdekatan dengan pemukiman masyarakat luar umumnya telah mengikuti program yang telah diperkenalkan oleh pemerintah yaitu Program Trans Sosial. Program tersebut bertujuan untuk mengubah kehidupan Suku Anak Dalam. Mereka yang tadinya hidup didalam hutan, terisolasi dari perkembangan zaman, dan sekarang tinggal di dekat daerah pemukiman masyarakat luar, telah diikutkan ke dalam Program Trans Sosial Sehingga Suku Anak Dalam tersebut berinteraksi secara langsung dengan masyarakat luar yang sebelumnya mereka takuti, untuk berhubungan dengan orang luar selain lingkungan mereka dan mau hidup berdampingan dengan masyarakat sekitarnya. Adapun yang menjadi faktor penyebab Suku Anak Dalam mengikuti Program Trans Sosial yaitu:

1. Kondisi Hutan yang semakin sempit dikarenakan penebangan hutan yang

kemudian dijadikan sebagai konservasi lahan tanaman perkebunan.

2. Semakin meningkatnya kebutuhan Suku Anak Dalam tetapi mata pencaharian


(19)

3. Salah satu anggota keluarga dari Suku Anak Dalam ada yang meninggal dunia, sehingga keluarga tersebut harus meninggalkan hutan untuk beberapa waktu lamanya.

4. Motif mencari dunia baru yang lebih baik dari sebelumnya.

Kehidupan Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial telah mengalami perubahan, dimana pada awalnya mereka tinggal di sasudungan berubah menempati rumah yang dibangunkan atau didirikan oleh pemerintah. Perubahan dapat dilihat juga dari pakaian yang digunakan oleh Suku Anak Dalam, pada awalnya Suku Anak Dalam menggunakan Cawat berubah menggunakan pakaian sebagaimana masyarakat biasanya.

Dari uraian diatas terlihat bahwa Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial mengalami perubahan yang sangat cepat. Suku Anak Dalam dipaksa untuk berubah walaupun Suku Anak Dalam tersebut tidak mampu, namun mereka harus mampu mengikuti segala perubahan yang ada di depannya. Perubahan yang dapat kita lihat dari tempat tinggal mereka yang sudah berubah yang tadinya berada di dalam hutan, kini keluar hutan dan hidup berdampingan dengan masyarakat sekitar. Cara hidup mereka juga ikut berubah terutama bagi Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah ingin melihat, mengkaji dan menganalisis kehidupan Suku Anak Dalam (SAD) di desa bukit suban kabupaten merangin provinsi jambi setelah mengikuti program trans sosial?


(20)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan arah pelaksanaan penelitian, yang menguraikan apa yang akan dicapai dan biasanya disesuaikan dengan kebutuhan peneliti dan pihak lain yang berhubungan dengan peneliti tersebut. Adapun yang menjadi tujuan penelitian adalah Memperoleh gambaran rinci mengenai kondisi Suku Anak Dalam yang mampu dan yang tidak mampu mengikuti perubahan pasca Program Trans Sosial di desa Bukit Suban Kabupaten Merangin.

1.4 Manfaat Penelitian

Setelah mengadakan penelitian ini, diharapkan manfaat penelitian ini berupa:

1.4.1 Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat melatih dan mengembangkan kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian di bidang ilmu sosial khususnya dalam ilmu sosiologi serta diharapkan dapat memberikan pengetahuan kepada pembaca mengenai Kehidupan Suku Anak Dalam di Desa Bukit Suban Pasca Mengikuti Program Trans Sosial, sehingga dapat memberikan sumbangan bagi pengembangan teori pembaca.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan membantu memberikan masukan, data dan informasi yang berguna bagi semua kalangan terutama mereka yang secara serius mengamati masyarakat Suku Anak Dalam serta dapat memberikan masukan bagi pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan yang terjadi dan dapat menjadi referensi untuk kajian atau penelitian selanjutnya.


(21)

1.5 Definisi Konsep

Konsep merupakan istilah dan definisi yang digunakan untuk menggambarkan secara abstrak kejadian, kelompok atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Melalui konsep, peneliti diharapkan akan dapat menyederhanakan pemikirannya dengan menggunakan satu istilah untuk beberapa kejadian yang berkaitan satu dengan lainnya.

1. Trans Sosial merupakan sebuah program pemerintah yang dikhususkan bagi Suku Anak Dalam. Trans Sosial ini bertujuan agar Suku Anak Dalam yang tadinya berada di dalam hutan dan terisolasi dari peradaban dunia kemudian dapat keluar dari hutan dan mencoba mengikuti perkembangan zaman serta dapat berbaur dengan masyarakat lainnya. Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial ini juga dapat mengikuti pendidikan bagi anak – anak mereka.

2. Suku Terasing, menurut Deputi Bidang Statistik Sosial adalah kelompok atau komunitas masyarakat yang sifat kehidupannya terisolasi dibandingkan masyarakat secara umum. Mereka teridentifikasi dalam satu kelompok berbeda – beda dan memiliki batas wilayah dengan sifat sendiri – sendiri.

3. Budaya Melangun adalah sebuah tradisi yang dilakukan oleh Suku Anak Dalam ketika salah satu anggota keluarga Suku Anak Dalam ada yang meninggal dunia, sehingga anggota keluarga tersebut diharuskan meninggalkan tempat tinggal mereka selama beberapa tahun.

4. Temenggung yaitu nama Kepala Suku Anak Dalam yang menangani, mengawasi serta mensosialisasikan Program Trans Sosial kepada Suku Anak Dalam yang melakukan budaya melangun.


(22)

5.Tengganas/Tengganai, Pemegang keputusan tertinggi sidang adat dan dapat membatalkan keputusan.

1.6 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan untuk memperoleh data dalam penelitian ini adalah jenis penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini merupakan metode yang berusaha menggambarkan, memahami, dan menafsirkan makna suatu peristiwa tingkah laku manusia dalam situasi tertentu serta menginterpretasikan objek sesuai apa yang ada.

Pendekatan kualitatif sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tingkah laku yang di dapat dari apa yang diamati oleh peneliti. Mengungkapkan sesuatu dibalik fenomena, mendapatkan wawasan dari penelitian. Alasan menggunakan penelitian kualitatif agar di dalam pencarian makna dibalik fenomena dapat dilakukan pengkajian secara komperensif, mendalam, mendetail. Dimana di dalam penelitian ini, penelitian kualiltatif dimaksudkan untuk mendiskripsikan persoalan Perubahan Kehidupan yang Dialami oleh Suku Anak Dalam yang Mengikuti Program Trans Sosial.

1.7 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan Di Provinsi Jambi Kabupaten Merangin Desa Bukit Suban. Lokasi penelitian ini berdekatan dengan Taman Nasional Bukit Dua Belas (TNBD) dimana di Taman Nasional Bukit Dua Belas terdapat Suku Anak Dalam yang tinggal di dalam hutan dan masih belum mengikuti Program Trans Sosial. Alasan penulis memilih lokasi penelitian karena di desa bukit suban terdapat Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial.


(23)

1.8 Unit Analisis

Salah satu cara atau karakteristik dari penelitian sosial adalah menggunakan apa yang disebut “unit of analysis”. Hal ini dimungkinkan, karena setiap objek penelitian memiliki ciri dalam jumlah yang cukup luas seperti karakteristik individu tentunya meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status sosial dan tingkat penghasilan. Ada sejumlah unit analisis yang lajim digunakan pada kebanyakan penelitian sosial yaitu individu, kelompok, organisasi, sosial. Unit analisis data adalah satuan tertentu yang di perhitungkan sebagai subjek penelitian.

Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah kelompok masyarakat Suku Anak Dalam yang berada di daerah Trans Sosial Desa Bukit Suban, Kabupaten Merangin, provinsi Jambi.

1.9 Informan

Informan adalah orang yang menjadi sumber informasi dalam penelitian. Adapun yang menjadi informan yang menjadi subjek penelitian ini adalah Suku Anak Dalam yang terlibat atau yang menjadi pelaku langsung dalam masalah penelitian. Masyarakat yang memiliki pengalaman dan yang lahir dan berada di daerah tersebut dan orang-orang yang memahami Program Trans Sosial.

Adapun yang menjadi informan adalah:

1. Suku Anak Dalam yang Mengikuti Program Trans Sosial 2. Temenggung atau Pemimpin Adat Suku Anak Dalam 3. Pemerintah yang menjadi Panitia Program Trans Sosial 4.Masyarakat yang tinggal di daerah Trans Sosial


(24)

1.10 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut :

1.10.1 Data Primer

Data primer dikumpulkan melalui kegiatan penelitian langsung ke lokasi untuk mencari data-data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang diteliti. Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan cara:

a. Observasi

Observasi, yaitu pengamatan yang dilakukan secara langsung untuk memperoleh dan mengumpulkan data yang diperlukan. Dalam penelitian ini peneliti hanya berperan sebagai pengamat. Observasi dilakukan untuk mengamati objek di lapangan. Seperti mengamati kehidupan Suku Anak Dalam yang tadinya mereka hidup di dalam hutan dan tinggal di sasudungan berubah menjadi tinggal di luar hutan dan menempati rumah yang diberikan oleh Pemerintah. Serta mmengamati perubahan tingkah laku Suku Anak Dalam ketika berbaur dengan masyarakat terang.

b. Wawancara Mendalam

Wawancara mendalam, bertujuan untuk memperoleh keterangan, pendapat secara lisan dari seseorang dengan berbicara langsung ataupun tanya jawab dengan informan. Wawancara ini dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara. Wawancara ini dilakukan untuk memperoleh data secara mendetail tentang Suku Anak Dalam yang Mengikuti Program Trans Sosial. Seperti memperoleh data mengenai penyebab Suku Anak Dalam mengikuti Program Trans Sosial, data


(25)

mengenai Jumlah Suku Anak Dalam yang ada di Provinsi Jambi, dampak yang didapatkan ketika Suku Anak Dalam mengikuti Progran Trans Sosial.

1.10.2 Data Sekunder

Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber kedua atau sumber skunder yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari beberapa literatur diantaranya adalah buku – buku referensi, dokumen, majalah, jurnal ataupun internet yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti . Oleh karena itu, sumber data sekunder diharapkan dapat berperan membantu, mengungkapkan data yang diharapkan, membantu memberi keterangan sebagai pelengkap dan bahan pembanding (Bungin, 2001 : 129).

2.1 Interpretasi Data

Merupakan metode penganalisaan data dengan cara menyusun data, mengelompokkannya dan menginterpretasikannya, sehingga diperoleh gambaran bagaimana keadaan Suku Anak Dalam Setelah Mengikuti Trans Sosial tersebut. Selain itu interpretasi data adalah sebuah tahap dalam upaya menyederhanakan data yang sudah diperoleh dari hasil penelitian di lapangan maupun hasil studi kepustakaan. Data-data yang diperoleh, ditelaah, dikelompokkan sesuai dengan permasalahan dari peneliti yang dilakukan. Observasi akan diuraikan untuk memperkaya hasil wawancara sekaligus melengkapi data. Berdasarkan data yang diperoleh diinterpretasikan untuk menghasilkan data secara terperinci dan sistematis yang disajikan secara studi kasus.


(26)

2.2 Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian mencakup uraian tentang keterbatasan dan hambatan yang ditemui dalam penelitian, baik yang berkaitan dengan metode dan teknik penulisan yang digunakan, maupun keterbatasan peneliti sendiri.

1. keterbatasan penelitian yang ditemukan oleh peneliti adalah tempat penelitian yang sangat jauh dari kampus tempat peneliti mengikuti kuliah. Daerah yang menjadi tempat penelitian yaitu di Desa Bukit Suban Kabupaten Merangin Provinsi Jambi

2. Kendala yang dihadapai oleh peneliti yaitu sulitnya menjumpai temenggung Suku Anak Dalam. Untuk mendapatkan informasi yang akurat mengenai kehidupan Suku Anak Dalam yang masih berada di dalam hutan dan Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial.

3. Kendala yang dihadapi oleh peneliti selanjutnya adalah ketika menemui Suku Anak Dalam yang menjadi informan. Karena kebanyakan dari Suku Anak Dalam banyak yang tidak bisa ditemui.

4. Keterbatasan selanjutnya yaitu ketika peneliti melakukan wawancara kepada Suku Anak Dalam. Karena keterbatasan bahasa dan kurangnya pengetahuan Suku Anak Dalam tersebut, maka Suku Anak Dalam yang menjadi informan harus didampingi oleh temenggung Tarib.

5. Kendala yang ditemukan oleh peneliti ketika di lapangan adalah disaat peneliti menyebarkan Kuesioner kepada Suku Anak Dalam. Kesulitan Suku Anak Dalam ketika membaca serangkaian pertanyaan yang ada


(27)

dikuesioner membuat peneliti harus mendampingi Suku Anak Dalam untuk menjawab pertanyaan – pertanyaan.


(28)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN PROGRAM TRANS SOSIAL 2.1 Kearifan Suku Anak Dalam

Dwi Fitri (2011) menyebutkan dalam jurnal yang berjudul Kearifan Suku Anak Dalam mengatakan bahwa manusia modern seperti kita sekarang ini merupakan keturunan dari manusia pemburu dan peramu (cro magnon) yang sehari-harinya mengumpulkan buah-buahan, akar-akaran, serta berburu hewan liar. Di Indonesia, manusia pemburu dan peramu masih dapat ditemui di sepanjang aliran sungai Provinsi Jambi. Mereka adalah Suku Anak Dalam yang merupakan salah satu komunitas masyarakat asli yang hidup di Jambi. Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah masyarakat yang tinggal di pedalaman hutan terutama di pulau Sumatera. Pada umumnya, mereka menempati areal hutan atau daerah sepanjang bantaran sungai yang terdapat di Provinsi Jambi. Di Provinsi Jambi Suku Anak Dalam dapat ditemui di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas atau areal bantaran Sungai Beruang di kabupaten Muarajambi dan Batanghari.

Kehidupan Suku Anak Dalam ketika berada di hutan sehari – hari bergantung dengan alam. Kegiatan berburu menjadi aspek penting dilakukan karena dengan itulah masyarakat Suku Anak Dalam mampu bertahan hidup.Pada umumnya mereka mencari rotan, damar, buah jerenang (sejenis buah untuk pewarna pakaian), getah jelutung untuk karet pohon, getah balam merah untuk karet sampai berburu binatang. Hasil pencarian dan perburuan tersebut sebagian besar akan dijual oleh masyarakat Suku Anak Dalam untuk memenuhi kebutuhan harian mereka dan sisanya dikonsumsi keluarga. Biasanya kegiatan berburu ini dilakukan di hutan sekitar tempat


(29)

tinggal mereka. Suku Anak Dalam memenuhi kebutuhan mereka tidak hanya berburu saja, sebagian dari Suku Anak Dalam biasanya melakukan cocok tanam seperti ubi-ubian. Mereka juga menjual rotan, karet, serta jerenang kepada masyarakat luar rimba. Dari hasil penjualan itu, mereka membeli bahan kebutuhan pokok seperti gula, kopi, atau garam.

Adanya pertukaran barang antara masyarakat luar rimba dengan Suku Anak Dalam membuktikan adanya keterbukaan dari Suku Anak Dalam terhadap dunia luar. Beberapa Suku Anak Dalam bahkan menetap di luar rimba dan menyesuaikan diri dengan kehidupan Masyarakat Melayu atau Transmigran di sana. Sebagian Suku Anak Dalam juga telah mengenal teknologi (telepon genggam), pendidikan (sekolah), dan alat transportasi (motor) yang memberikan jalan bagi mereka untuk belajar banyak hal baru. Meski demikian, Suku Anak Dalam mengalami Culture Shock yang disebabkan oleh ketidakterbatasan mereka berhadapan dengan hal – hal yang baru.

Mengenai pendidikan, warga Suku Anak Dalam yang enggan menyekolahkan anaknya, biasanya bermuara karena persoalan jauhnya sekolah. Hal itu menyebabkan sang orangtua tidak bisa mengajarkan tentang pengetahuan lokal mereka yang berupa adat istiadat serta kemampuan bertahan hidup dengan berladang dan berburu di hutan secara maksimal, karena pengaruh budaya yang ada di sekitar mereka sudah berubah. Sekarang, para guru memiliki cara dengan metode jemput bola, yakni pengajar datang langsung ke lokasi dan mendidik anak Suku Dalam untuk bisa menjadi pengajar bagi masyarakatnya. Pengetahuan lokal Suku Anak Dalam sangat spesial, yang paling menarik adalah pendidikan tentang seks serta pembelajaran tentang proses persalinan mereka.


(30)

Meski sering dianggap primitif serta terbelakang bagi masyarakat luar rimba atau Masyarakat Terang, warga Suku Anak Dalam justru sangat terbuka dalam membicarakan persoalan pendidikan seksualitas. Seks menjadi sesuatu hal yang biasa untuk dibicarakan di sana, bukan hal yang tabu. Misalnya saja, ketika seorang pengantin lelaki bercerita tentang pengalaman malam pertamanya, ia melakukan tanpa malu-malu. Sementara di sampingnya, ada beberapa anak kecil yang juga mendengarkan. Hal ini menjadi unik ketika mengetahui fakta tidak ada kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh warga Suku Anak Dalam di luar keterbukaan mereka terhadap seksualitas.

Menurut Suku Anak Dalam semua persoalan seksualitas itu berasal dari pikiran. Kalau Suku Anak Dalam memiliki pikiran jahat maka, ketika seorang perempuan berpakaian tertutup pemerkosaan bisa saja terjadi. Namun, ketika Suku Anak Dalam memiliki pikiran yang baik maka, ketika perempuan Suku Anak Dalam bertelanjang dada akan biasa – biasa saja. Sementara itu, mengenai proses persalinan, warga Suku Anak Dalam, biasanya menyuruh anak-anak mereka untuk melihat langsung proses persalinan dan perjuangan sang ibu dalam menyampaikan sang bayi selamat sampai ke dunia. Dengan metode seperti itu, anak-anak Suku Anak Dalam itu bisa lebih berempati terhadap perempuan serta menghormati kaum ibu melalui proses persalinan secara alamiah.

2.2 Suku Anak Dalam Masih Melestarikan Budaya Leluhur

Dalam jurnal Humaniora Sosial Kemasyarakatan dituliskan bahwa Suku Anak Dalam pria dan wanita nyaris bertelanjang tampak santai berjalan tanpa alas kaki menyusuri hutan. Mereka hanya mengenakan selembar kain untuk menutup bagian


(31)

vital. Sebagian perempuan juga hanya memakai selembar kain penutup bagian bawah tubuh saja dan membiarkan dada mereka kelihatan. Kulit mereka gelap dan tampak kasar akibat terkena sinar matahari dan hawa dingin secara bergantian setiap hari. Itulah gambaran orang rimba atau Suku Anak Dalam. Warga Suku Kubu yang dikenal dengan Suku Anak Dalam sebagai Komunitas Adat Terpencil di Provinsi Jambi dan salah satu Suku Terasing di Provinsi Jambi.

Sekitar 1.300 orang rimba atau Suku Anak Dalam masih hidup di tepi-tepi aliran sungai Taman Nasional Bukit Dua Belas. Di hutan tropis seluas 60.500 hektar itu mereka tinggal terpisah-pisah di tiga kabupaten, Batanghari, Sarolangun, dan Tebo. Orang asing tidak bisa sembarangan masuk ke hutan tempat tinggal orang rimba. Di depan gerbang ada tulisan pada papan, dilarang Memotret dan Syuting. Aturan itu sangat ketat dan kaku. Terutama mengambil gambar perempuan dan rumah godong (rumah terbuat dari kayu beratap rumbiyak). Pelanggar aturan itu akan dikenai denda kain, mulai 10 lembar hingga 50 lembar, bergantung keputusan depati (pejabat adat yang bertugas menyelesaikan sengketa).

Banyak aturan lain yang ketat yang diterapkan oleh Suku Anak Dalam. Pria asing boleh masuk hutan kalau ditemani pria rimba atau pria Suku Anak Dalam.

Setiap masuk harus berteriak terlebih dahulu. “Ado jentan kiuna” (Ada laki-laki di

sana?). Setelah mendapat jawaban, baru bisa masuk. Peraturan lainnya adalah Pria yang harus tetap mengenakan penutup bawah. Jika melanggar, si pria juga akan didenda membayar sejumlah kain. Ada juga peraturan yang mengatakan bahwa Pria dan perempuan Suku Anak Dalam dilarang berduaan. Jika ketahuan, mereka akan


(32)

dikawinkan paksa. Tapi, sebelumnya tubuh mereka akan dihujani pukulan rotan sebagai hukuman karena telah mempermalukan orang tua.

Suku Anak Dalam tinggal di sebuah rumah godong. Luasnya sekitar 6 x 4 meter. Rumah itu biasanya didirikan kalau mereka membuka lahan, atau untuk menunggu panen. Dulu mereka hanya menanam ubi-ubian. Kini mereka sudah bisa menanam kelapa sawit. Rumah godong itu hanya digunakan untuk menyimpan makanan atau peralatan mereka. Untuk tidur, mereka biasa merebahkan badan di atas tanah. Sebagian membuat tenda dari terpal. Untuk mandi, mereka cukup mencelupkan tubuh ke kolam atau sungai. Tentunya tanpa sabun.

Orang rimba atau Suku Anak Dalam memang sudah terbiasa dengan kehidupan di dalam hutan. Mereka menolak tinggal di rumah. Rencananya Menteri PDT yaitu Saifullah Yusuf memberikan bantuan rumah untuk Suku Anak Dalam, namun ditolak oleh Suku Anak Dalam karena menurut mereka rumah tidak begitu penting bagi mereka, hutan rimba adalah hal terpenting bagi Suku Anak Dalam. Menurut Tarib, pernah mereka mendapat rumah beratap seng. Tapi, mereka meninggalkan rumah itu. Karena Suku Anak Dalam meyakini bahwa ketika mereka tinggal di dalam rumah yang beratapkan seng maka leluhur Suku Anak Dalam tidak bisa masuk.

2.3 Kebudayaan Suku Anak Dalam

Dalam jurnal Kebudayaan mengatakan bahwa Indonesia adalah salah satu Negara yang memiliki ribuan suku bangsa ya ng beraneka ragam. Masing-masing daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebudayaan daerah lain atau kebudayaan yang berasal dari luar. Salah satu kebudayaan tersebut adalah Suku Anak Dalam. Suku Anak Dalam terdapat di daerah Jambi dan Sumatera Selatan. Suku


(33)

Anak Dalam belum terlalu dikenal oleh masyarakat Indonesia karena Suku Anak Dalam sudah sangat langka dan mereka tinggal di tempat-tempat terpencil yang jauh dari jangkauan orang-orang.

Suku Anak Dalam disebut juga Suku Kubu atau Orang Rimba. Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Melayu sesat yang lari ke hutan rimba disekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duapuluh. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Sistem kemasyarakatan mereka adalah hidup secara nomaden atau tidak menetap dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun diantara mereka sudah banyak yang telah memiliki lahan karet ataupun pertanian lainnya. Sistem kepercayaan mereka adalah Polytheisme yaitu mereka mempercayai banyak dewa.

Suku Anak Dalam memiliki dewa dengan sebutan Dewo dan Dewa. Ada dewa yang baik adapula dewa yang jahat. Selain kepercayaan terhadap dewa mereka juga percaya adanya roh nenek moyang yang selalu ada disekitar mereka. Suku Anak Dalam juga Sangat antusias terhadap pendidikan. Mereka sangat bersemangat mengikuti belajar di sekolah. Tak hanya anak-anak saja yang bersekolah akan tetapi juga orang dewasa pun mengikutinya. Mereka berpikir bahwa dengan bersekolah mereka akan pintar dan tak mudah untuk dibodohi oleh orang luar atau masyarakat biasa.

Kebudayaan Suku Anak Dalam merupakan salah satu Komunitas Adat Terpencil ( KAT ) yang ada di Propinsi Jambi yang mempunyai permasalahan spesifik. Jika kita melihat pola kehidupan dan penghidupan mereka, hal ini disebabkan oleh keterikatan adat istiadat yang begitu kuat. Hidup berkelompok


(34)

dengan pakaian hanya sebagian menutupi badan dengan kata lain mereka sangat tergantung dengan hasil hutan / alam dan binatang buruan.

Penyebutan terhadap Orang Rimba perlu untuk diketahui terlebih dahulu, karena ada tiga sebutan terhadap dirinya yang mengandung makna yang berbeda, yaitu Pertama KUBU, merupakan sebutan yang paling populer digunakan oleh terutama orang Melayu dan masyarakat Internasional. Kubu dalam bahasa Melayu memiliki makna peyorasi seperti primitif, bodoh, kafir, kotor dan menjijikan. Sebutan Kubu telah terlanjur populer terutama oleh berbagai tulisan pegawai kolonial dan etnografer pada awal abad ini. Kedua SUKU ANAK DALAM, sebutan ini digunakan oleh pemerintah melalui Departemen Sosial. Anak Dalam memiliki makna orang terbelakang yang tinggal di pedalaman. Karena itulah dalam perspektif pemerintah mereka harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari hutan dan dimukimkan melalui program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT).

Ketiga ORANG RIMBA, adalah sebutan yang digunakan oleh etnik ini untuk menyebut dirinya. Makna sebutan ini adalah menunjukkan jati diri mereka sebagai etnis yang mengembangkan kebudayaannya yang tidak bisa lepas dari hutan. Sebutan ini adalah yang paling proposional dan obyektif karena didasarkan kepada konsep Orang Rimba itu sendiri dalam menyebut dirinya. Suku Anak Dalam masih berpaham animisme. Mereka percaya bahwa alam semesta memiliki banyak jenis roh yang melindungi manusia. Jika ingin selamat, manusia harus menghormati roh dan tidak merusak unsur-unsur alam, seperti hutan, sungai, dan bumi. Kekayaan alam bisa dijadikan sumber mata pencarian untuk sekadar menyambung hidup dan tidak


(35)

berlebihan.Hingga kini suku Anak Dalam masih mempertahankan beberapa etika khusus

2.4 Suku Anak Dalam Pertahankan Hutan Dengan Hompongan

Jurnal Kebudayaan mengatakan bahwa Kelompok Orang rimba dari Suku Anak Dalam (SAD) yang menempati kawasan Air Hitam kabupaten Sarolangun, Jambi mempunyai cara khas untuk menjaga kelestarian Taman Nasional Bukit Dua Delas yang menjadi tempat hidup mereka dengan pola ’Hompongan’. Semenjak 1998 kita orang rimba SAD yang mendiami TNB12 di Air Hitam ini sudah merintis terbentuknya ‘Hompongan’, yakni dengan menetapkan satu kawasan terluar hutan TNBD untuk jadi kawasan mencari nafkah dan kehidupan bagi para orang rimba.

Hompongan yang dirintis oleh Suku Anak Dalam dan diperlihatkan oleh Temenggung Tarib kepada Presiden pada tahun 2006 lalu membawa dia sebagai salah seorang penerima Kalpataru kategori penyelamat lingkungan dari presiden, sebenarnya selain sebagai lahan bagi SAD atau yang lebih populer disebut Suku Kubu juga sekaligus jadi pagar atau penyangga bagi keberadaan TNBD. Hompongan berasal dari kata Hempangan atau penghalang dalam bahasa melayu, jadi dengan Hompongan kita kelompok SAD taat pada adat dan hukum jadi penjaga TNB12 dari orang-orang yang berniat jahat seperti merambah hutan atau mencuri kayu karena, Suku Anak Dalam Akan mencegah pencuri digerbang pembatas. Pola Hompongan tersebut terbukti sangat efektif menjaga kelestarian TNB12 yang hingga kini semakin lestari dan berkembang menjadi salah satu objek wisata andalan provinsi Jambi.

Pola Hompongan itu sendiri, awalnya hanyalah salah satu cara bagi kelompok SAD yang dipimpinnya untuk membatasi aktivitas ’Melangun’ atau nomaden


(36)

berladang berpindah-pindah yang bisa merusak banyak kawasan hutan. Dengan Hompongan mereka membatasi sendiri ruang geraknya untuk melakukan nomaden, kini Suku Anak Dalam mencari hidup hanya dari kawasan Hompongan ini, Suku Anak Dalam bermukim di sini, jadi ketika ada orang dari luar yang masuk tanpa izin sudah pasti akan tertahan di Hompongan yang selanjutnya mereka harus menjalani proses interogasi sesuai peraturan adat SAD.

Karena dinilai berhasil dan efektif membantu melestarikan serta menjaga alam, maka pola tersebut telah pula ditetapkan dan diujicobakan penerapannya kepada kelompok-kelompok SAD lainnya di disisi lain hutan TNB12 tersebut yang masih terus dilakukan hingga kini. Namun sayangnya upaya pemerinah mencoba menerapkan pola ini di kelompok lain banyak mengalami kegagalan, semua itu dikarenakan pola pikir dan penerimaan kelompok SAD tersebut tidak sama diantara semua kelompok yang ada. Maka diantara mereka ada pula yang justru menjual Hompongannya ke masyarakat dari luar bahkan kepada para toke atau tengkulak.

2.5 Program Trans Sosial (Transmigrasi Sosial)

Transmigrasi terdiri dari dua kata yaitu Trans yang artinya Seberang, dan Migrace yang artinya Pindah. Transmigrasi adalah suatu program yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia untuk memindahkan penduduk dari suatu daerah yang padat penduduk (kota) ke daerah lain (desa) di dalam wilayah Indonesia. Tujuan resmi Program ini adalah untuk mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk. Tujuan lainnya yaitu Memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengolah sumber daya di pulau atau daerah lain.


(37)

Seiring dengan perubahan lingkungan strategis di Indonesia, transmigrasi dilaksanakan dengan paradigma baru sebagai berikut :

1. Mendukung ketahanan pangan dan penyediaan papan

3. Mendukung Pemerintah investasi ke seluruh wilayah Indonesia 4. Mendukung ketahanan nasional pulau terluar dan wilayah perbatasan

5. Menyumbang bagi penyelesaian masalah pengangguran dan kemiskinan, transmigrasi tidak lagi merupakan program pemindahan penduduk melainkan upaya untuk pengembangan wilayah.

Metodenya tidak lagi bersifat Sentralistik dan top down dari Jakarta, melainkan berdasarkan kerja sama antar daerah pengirim transmigran dan dengan daerah tujuan transmigrasi. Transmigrasi di Indonesia biasanya diatur dan didanai oleh Pemerintah kepada warga yang umumnya golongan menengah kebawah. Sesampainya ditempat transmigrasi para transmigran akan diberikan sebidang tanah, rumah sederhana dan perangkat lain untuk penunjang hidup dilokasi tempat tinggal yang baru.

Dasar Undang – undang yang digunakan untuk program ini adalah Undang – undang Republik Indonesia Nomor 15 tahun 1997 tentang Ketransmigrasian, sebelumnya Undang – undang Nomor 3 Tahun 1972 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Transmigrasi, sebelumnya PP Nomor 42 Tahun 1973 ditambah beberapa KEPPRES dan INPRES pendukung.

Jenis – jenis atau Macam – macam Transmigrasi : 1. Transmigrasi Umum


(38)

Adalah transmigrasi yang disponsori dan dibiayai secara keseluruhan oleh pihak Pemerintah melalui DEPNAKERTRANS (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi).

2. Transmigrasi Spontan atau Swakarsa

Adalah perpindahan penduduk dari daerah padat kepulau barusepi penduduk yang didorong oleh keinginan diri sendiri namunmasih mendapatkan bimbingan serta fasilitas penunjang dari Pemerintah.

3. Transmigrasi Bedol Desa

Adalah transmigrasi yang dilakukan secara masal dan kolektif terhadap satu atau beberapa desa beserta aparatur desanya pindah kepulau yang jarang penduduk, biasanya transmigrasi Bedol Desa terjadi karena bencanan alam yang merusak desa tempat asalnya.

Kehidupan Suku Anak Dalam pada awalnya tinggal di dalam hutan terisolasi dari perkembangan zaman dan tidak mengenal hukum. Suku Anak Dalam hanya mengenal dan taat akan hukum adat mereka saja, dan buta akan hukum Negara Indonesia. Kehidupan Suku Anak Dalam yang demikian maka Pemerintah menerapkan Program Trans Sosial bagi Suku Anak Dalam yang bertujuan agar kehidupan Suku Anak Dalam lebih baik daripada yang dulu.

Suku Anak Dalam hidup di dalam hutan, jadi pemerintah meminta bantuan kepada Temenggung Tarib untuk melakukan pendekatan kepada Suku Anak Dalam yang ada di dalam hutan agar mengikuti Program Trans Sosial. Tetapi, Suku Anak Dalam yang berada di dalam hutan sangat susah untuk dibujuk agar mau mengikuti Program Trans Sosial. Karena, mereka hidup dalam hutan yang menyediakan segala


(39)

kebutuhan mereka. Belum lagi Suku Anak Dalam takut untuk bertemu dengan Masyarakat Terang (julukan yang di berikan Suku Anak Dalam bagi masyarakat umum). Mereka berangggapan bahwa Masyarakat Terang itu pemakan manusia, sehingga mereka tidak mau bertemu dengan Masyarakat Terang.

Temenggung Tarib melakukan pendekatan kepada Suku Anak Dalam di saat mereka meninggalkan hutan (budaya melangun). Saat Suku Anak Dalam keluar dari hutan, mereka membuka hutan dan menjadikan lahan untuk mereka. Tetapi, lahan tersebut ditanami jagung dan singkong. Suku Anak Dalam tinggal di sekitar lahan mereka tersebut dengan mendirikan sudung (sebutan untuk rumah panggung yang didirikan oleh Suku Anak Dalam) untuk menjadi rumah mereka. Disaat Suku Anak Dalam keluar dari hutan dan membuka lahan Tumenggung Tarib melakukan pendekatan dan mengajak Suku Anak Dalam untuk mengikuti program Trans Sosial. Pemerintah memberikan fasilitas bagi Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial yaitu membuatkan perumahan dan memberikan bibit sawit bagi mereka yang mengikuti Program Trans Sosial. Segala kegiatan dan fasilitas yang telah diberikan oleh Pemerintah berupa :

1. Tahun I, 2008 telah dilakukan proses pemberdayaan dengan beberapa rangkaian kegiatan antara lain :

a. Bimbingan sosial

b. Pemberian jaminan hidup

c. Bantuan peraltan kerja dan usaha

d. Bantuan peralatan rumah tangga

e. Bantuan bibit tanaman

2. Tahun II, 2009 telah dilakukan proses pemberdayaan dengan kegiatan antara lain :


(40)

b. Pemberian jaminan hidup

c. Bantuan pembangunan rumah sederhan ukuran 6 x 6

3. Tahun III, 2010 ini dilaksanakan beberapa kegiatan, antara lain :

a. Bimbingan sosial

b. Pemberian jaminan hidup

c. Bantuan pembangunan Balai Sosial

d. Bantuan pembangunan Sarana Ibadah

e. Bantuan jalan lingkungan sepanjang 5 km

f. Sertifikasi rumah dan lahan usaha

g. Pembangunan tugu / monumen pemberdayaan KAT (Komunitas Adat

Terpencil)

Gambar 5 Perumahan SAD Pasca Trans Sosial

Perumahan yang didirikan oleh pemerintah di atas lahan Suku Anak Dalam sendiri. Bibit yang diberikan oleh pemerintah tersebut mereka tanam dan rawat. Pemerintah dengan sabar menuntun Suku Anak Dalam untuk merawat tanaman sawit tersebut agar menghasilkan buah yang baik. Perawatan yang diberikan seperti mengikir rumput dan ilalang yang ada disekitar batang sawit, memberikan pupuk dengan teratur dan tidak lupa menjaga tanaman sawit agar tidak dimakan oleh hama seperti babi hutan. Penantian atas perkembangan perkebunan sawit Suku Anak Dalam


(41)

akhirnya menghasilkan buah yang baik. Suku Anak Dalam dengan semangat memanen hasil perkebunan sawit mereka. Menjual buah sawit mereka kepada tengkulak sawit. Suku Anak Dalam dengan didampingi oleh Temenggung Tarib merawawat dan menjaga agar kebun sawit mereka menghasilkan buah yang baik lagi.

Belum sampai mereka menikmati hasil panen yang ketiga kalinya, Suku Anak Dalam menjual kebun sawit mereka kepada orang dusun. Karena Suku Anak Dalam yang tadinya hidup di dalam hutan dengan segala hasil hutan yang bisa mereka makan, sedangkan ketika mereka hidup di luar hutan mereka harus menunggu kebun sawit mereka berbuah dan panen. Serta harus merawat dan menjaga agar kebun sawit mereka menghasilkan buah yang baik. Hal ini yang membuat Suku Anak Dalam tersebut malas dan tidak mau berkebun lagi dan menjual kebun sawit mereka dengan harga relatif murah.

Hasil penjualan kebun tersebut di gunakan mereka untuk senang – senang yaitu membeli rokok, minuman keras dan buat makan sehari – hari. Setelah uang mereka habis Suku Anak Dalam tidak memiliki mata pencharian lagi sehingga lahan perkebunan yang tadi sudah dijual kembali dijual lagi kepada orang lain tanpa sepengetahuan pembeli pertama dan pembeli yang kedua ini juga tidak mengetahui kalau lahan perkebunan sawit yang dibeli sudah pernah dijual. Hal ini mengakibatkan konflik bagi para pembeli lahan tersebut, pembeli tersebut bersikeras bahwa mereka yang memiliki lahan perkebunan tersebut tanpa ada yang mengalah.

Hal ini tidak membuat Suku Anak Dalam jera, tetapi mereka tetap saja menjual lahan perkebunan tersebut kepada pembeli yang tidak mengetahui bahwa lahan yang ingin dijual oleh Suku Anak Dalam tersebut sedang bermasalah. Ketika


(42)

kasus lahan ini di bawa ke jalur hukum, Suku Anak Dalam tidak mau mengikuti hukum yang berlaku, tetapi mereka tetap bersikeras menggunakan hukum adat mereka. Mereka tidak mengerti akan hukum negara yang berlaku. Keadaan ini tentu saja membuat masyarakat bingung. Dalam hal apapun Suku Anak Dalam memiliki sifat yang memikirkan keuntungan. Seperti kejadian ini jika hukum negara dapat menguntungkan mereka maka, mereka akan memakai jalur hukum negara. Namun, jika hukum adat yang menguntungkan mereka maka hukum adatlah yang mereka gunakan.

Di daerah Kabupaten Merangin tepatnya di Desa Muara Delang terdapat sebuah PT. Sari Aditya Loka I yang kosentrasinya pada buah sawit. PT tersebut mengadakan program bantuan bagi Suku Anak Dalam yang ada di Bukit Dua Belas, yaitu memberikan mereka bantuan lahan perkebunan. Dengan tujuan agar Suku Dalam memiliki mata pencaharian yang tetap. Namun, tetap saja lahan tersebut mereka jual kepada Masyarakat Terang. Sehingga, Suku Anak Dalam tidak memiliki lahan perkebunan lagi. Suku Anak Dalam yang tidak memiliki lahan tidak bisa bekerja karena mereka tidak memiliki izajah. Sehingga, Suku Anak Dalam banyak yang mencuri sawit warga dan membuat warga resah, karena Suku Anak Dalam tidak bisa di nasehati. Mereka beranggapan bahwa segala pohon dan tumbuhan maupun hewan adalah milik nenek moyang mereka, sehingga mereka dapat memakan dan mengambil buah sawit sesuka hati mereka.


(43)

BAB III

MENGENAL SUKU ANAK DALAM SEBELUM MENGIKUTI PROGRAM TRANS SOSIAL

3.1 Mengenal Suku Anak Dalam

Sejarah Suku Anak Dalam atau SAD masih penuh misteri, bahkan hingga kini tak ada yang bisa memastikan asal usul mereka. Hanya beberapa teori, dan cerita dari mulut ke mulut para keturunan yang bisa menguak sedikit sejarah mereka. Sejarah lisan Orang Rimba selalu diturunkan oleh para leluhur. Tengganai Ngembar (80 tahun), pemangku adat sekaligus warga tertua SAD yang tinggal di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi, mendapat dua versi cerita mengenai sejarah Orang Rimba dari para terdahulu. Ia memperkirakan dua versi ini punya keterkaitan.

Pertama, leluhur mereka adalah orang Maalau Sesat, yang meninggalkan keluarga dan lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, TNBD. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo.

Sedangkan versi kedua, penghuni rimba adalah masyarakat Pagaruyung, Sumatera Barat, yang bermigrasi mencari sumber-sumber penghidupan yang lebih baik. Diperkirakan karena kondisi keamanan tidak kondusif atau pasokan pangan tidak memadai di Pagaruyung, mereka pun menetap di hutan itu. Versi kedua ini lebih banyak dikuatkan dari segi bahasa, karena terdapat sejumlah kesamaan antara bahasa rimba dan Minang. Orang Rimba atau Suku Anak Dalam juga menganut sistem matrilineal, sama dengan budaya Minang. Dan yang lebih mengejutkan, Orang Rimba mengenal Pucuk Undang Nang Delapan, terdiri atas hukum empat ke atas dan


(44)

empat ke bawah, yang juga dikenal di ranah Minang. Empat hukum yang di buat untuk manusia dengan Penciptanya dan Empat hukum yang ditujukan kepada manusia dan sesamanya.

Di Kabupaten Tanah Datar sebagai pusat Kerajaan Pagaruyung sendiri, terdapat sebuah daerah, yaitu Kubu Kandang. Merekalah yang diperkirakan bermigrasi ke beberapa wilayah di Jambi bagian barat. Sedangkan perilaku Orang Rimba terbelakang, disebabkan beratus tahun yang lalu moyang mereka hidup di tengah hutan, tidak mengenal peradaban. Kehidupan mereka sangat dekat dan bergantung pada alam.

“…Kami beranak pinak dalam rimba, makan sirih, berburu, dan meramu obat alam, sehingga lupa dengan peradaban orang desa. Kami terbentuk jadi Orang Rimba..” 1

Mereka hidup semi nomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Tujuannya, bisa jadi karena “melangun” atau berpindah lokasi perkampungan ketika ada warga meninggal, menghindari musuh, dan membuka ladang baru.

Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Suku Anak Dalam. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu.

1.Wawancara dengan BapakTenggani. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012, di Lokasi


(45)

Suku Anak Dalam memiliki hukum sendiri di dalam rimba. Mereka menyebutnya seloka adat.

Ada satu seloka yang bisa menjelaskan tentang Orang Rimba:

Bertubuh onggok berpisang cangko beratap tikai berdinding baner melemak buah betatal

minum air dari bonggol kayu.

Ada lagi:

berkambing kijang berkerbau tenu bersapi ruso

Mereka sehari-harinya tanpa baju, kecuali cawat penutup kemaluan. Rumahnya hanyalah beratap rumbia dan dinding dari kayu. Cara hidup dengan makan buah-buahan di hutan, berburu, dan mengonsumsi air dari sungai yang diambil dengan bonggol kayu. Makanan mereka bukan hewan ternak, tetapi kijang, ayam hutan, dan rusa yang diperoleh dari berburu di hutan. Identitas Orang Rimba yang tertuang lewat seloka, membedakannya dari orang terang sebutan untuk masyarakat di desa.

Mereka membuat seloka tentang orang terang:

berpinang gayur berumah tanggo berdusun beralaman beternak angso

Seloka yang muncul lewat mimpi juga memberi panduan mengenai hidup sosial di rimba. Aturan-aturan Suku Anak Dalam memang tidak jauh dari Pucuk Undang Nang Delapan, yang dibawa dari Minang. Aturan rimba sendiri melarang


(46)

adanya pembunuhan, pencurian, dan pemerkosaan. Inilah larangan terberat, yang jika dilanggar akan dikenai hukuman 500 lembar kain. Jumlah kain sebanyak itu dinilai sangat berat, dan sangat sulit disanggupi. Namun demikian Orang Rimba berusaha untuk mematuhi. Kisah yang dituturkan Ngembar tak berbeda jauh dengan warga Suku Anak Dalam (SAD) di kawasan lain di sekitar TNBD. Tumenggung Tarib, pimpinan di salah satu rombongan SAD, mengemukakan bahwa mereka adalah keturunan Kerajaan Pagaruyung (dharmacraya) yang merantau ke Jambi. Untuk sejarah lisan ini, menurut Tarib, diturunkan sampai enam generasi ke bawah.

Johan Weintre, salah seorang peneliti antropologi asal Australia, yang juga pernah menetap di hutan rimba Taman Nasional Bukit Dua belas (TNBD), menuliskan, Kerajaan Sriwijaya menguasai Selat Malaka serta melakukan perniagaan dan memiliki hubungan sosial dengan mancanegara, termasuk Tiongkok dan Chola, sebuah kerajaan di India Selatan. Sekitar tahun 1025, Kerajaan Chola menyerang Kerajaan Sriwijaya dan menguasai daerahnya. Lalu sebagian penduduk yang tidak ingin dikuasai penjajah, mengungsi ke hutan. Mereka kemudian disebut kubu, membangun komunitas baru di daerah terpencil. Sebenarnya, masyarakat SAD tidak jauh berbeda dengan masyarakat lain di sekitarnya. Pengaruh Minang tidak hanya lekat di sana, namun juga pada daerah sekitarnya, wilayah Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, dan Muaro Tebo, yang mengitari kawasan TNBD. Salah satu buktinya, masyarakat adat melayu kuno di Kuto Rayo, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, juga memegang hukum adat Pucuk Undang Nang Delapan dari Minang, dan menganut sistem matrilineal. Sejarah mereka juga kaum pelarian pada Perang Sriwijaya.


(47)

3.1.1 Berbagai Versi Tentang Asal – usul SAD

Tentang asal usul Suku Anak Dalam beberapa sumber menyebutkan adanya berbagai hikayat dari penuturan lisan yang dapat ditelusuri seperi Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita Seri Sumatra Tengah, Cerita Perang Bagindo Ali, Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar dan Bayat, Cerita tentang Orang Kubu. Dari hakikat tersebut menarik kesimpulan bahwa Anak Dalam berasal dari tiga turunan yaitu:

1.Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.

2.Keturunan dari Minangkabau, umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersam (Batanghari).

3.Keturunan dari Jambi Asli yaitu Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko Versi Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan asal usul Suku Anak Dalam dimulai sejak tahun 1624 ketika Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi, yang sebenarnya masih satu rumpun, terus menerus bersitegang sampai pecahnya pertempuran di Air Hitam pada tahun 1929. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada 2 kelompok Masyarakat Anak Dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan) Berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan berpostur tubuh ras Mongoloid seperti orang palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan Palembang. Kelompok lainnya tinggal dikawasan hutan Jambi berkulit sawo matang, rambut ikal, mata menjorok ke


(48)

dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda dan negrito ). Konon mereka tentara bayaran Kerajaan Jambi dari Negara lain.

Versi lain adalah cerita tentang Perang Jambi dengan Belanda yang berakhir pada tahun 1904, Pihak pasukan Jambi yang dibela oleh Anak Dalam yang di pimpin oleh Raden Perang. Raden Perang adalah seorang cucu dari Raden Nagasari. Dalam perang gerilya Anak Dalam terkenal dengan sebutan orang Kubu artinya orang yang tak mau menyerah pada penjajahan Belanda. Orang belanda disebutnya orang Kayo Putih sebagai lawan Raja Jambi (Orang Kayo Hitam).

Lebih lanjut tentang asal usul Suku Anak Dalam ini juga dimuat pada seri Profil masyarakat Terasing (BMT, Depsos, 1988 ) dengan kisah sebagai berikut:

Pada zaman dahulu kala terjadi peperangan antara kerajaan Jambi yang di pimpin oleh Puti Selara Pinang Masak dan Kerajaan Tanjung Jabung yang dipimpim oleh Rangkayo Hitam. Peperangan ini semakin berkobar, hingga akhirnya di dengar oleh Raja Pagar Ruyung, yaitu ayah dari Putri Selaras Pinang Masak. Untuk menyelesaikan peperangan tersebut Raja Pagar Ruyung mengirimkan prajurit prajurit yang gagah berani untuk membantu kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Putri Selaras Pinang Masak. Raja Pagar Ruyung memerintah agar dapat menaklukkan Kerajaan Rangkayo Hitam, mereka menyanggupi dan bersumpah tidak akan kembali sebelum menang. Jarak antara kerajaan Pagar Ruyung dengan kerajaan Jambi sangat jauh, harus melalui hutan rimba belantara dengan berjalan kaki.

Perjalanan mereka sudah berhari hari lamanya, kondisi mereka sudah mulai menurun sedangkan persediaan bahan makanan sudah habis, mereka sudah kebingungan. Perjalanan yang ditempuh masih jauh, untuk kembali ke kerajaan Pagar


(49)

Ruyung mereka merasa malu. Sehingga mereka bermusyawarah untuk mempertahankan diri hidup di dalam hutan. Untuk menghindarkan rasa malu, mereka mencari tempat tempat sepi dan jauh ke dalam rimba raya. Keadaan kehidupan mereka makin lama makin terpencil, keturunan mereka menamakan dirinya Suku Anak Dalam.

Dari uraian di atas sejalan dengan apa yang dikemukakan (Koentjaraningrat, 1993) bahwa asal mula adanya Masyarakat Terasing dapat di bagi dua yaitu pertama, dengan menganggap bahwa masyarakat terasing itu merupakan sisa sisa dari suatu produk lama yang tertinggal di daerah daerah yang tidak dilewati penduduk sekarang. Kedua bahwa mereka merupakan bagian dari penduduk sekarang yang karena peristiwa peristiwa tertentu diusir atau melarikan diri ke daerah daerah terpencil sehingga mereka tidak mengikut perkembangan dan kemajuan penduduk sekarang.

Menurut Van Dongen (1906), menyebutkan bahwa orang rimba sebagai orang primitif yang taraf kemampuannya masih sangat rendah dan tak beragama. Dalam hubungannya dengan dunia luar orang rimba mempraktekkan (Silent trade), mereka melakukan transaksi dengan bersembunyi di dalam hutan dan melakukan barter, mereka meletakkannya di pinggir hutan, kemudian orang melayu akan mengambil dan menukarnya. Gonggongan anjing merupakan tanda barang telah ditukar. Demikian pula Paul Bescrta mengatakan bahwa orang rimba adalah proto melayu (melayu tua) yang ada di semenanjung Melayu yang terdesak oleh kedatangan melayu muda.


(50)

3.1.2 Ciri – ciri fisik dan non fisik

Suku Anak Dalam termasuk golongan ras Mongoloid yang termasuk dalam migrasi pertama dari manusia proto melayu. Perawakannya rata-rata sedang, kulit sawo matang, rambut agak keriting, telapak kaki tebal, laki-laki dan perempuan yang dewasa banyak makan sirih. Ciri fisik lain yang menonjol adalah penampilan gigi mereka yang tidak terawat dan berwarna kecoklatan. Hal ini terkait dengan kebiasaan mereka yang dari kecil nyaris tidak berhenti merokok serta rambut yang terlihat kusut karena jarang disisir dan hanya dibasahi saja.


(51)

BAB IV

KEHIDUPAN SUKU ANAK DALAM DI LOKASI TRANS SOSIAL 4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

4.1.1 Sejarah Singkat Mengenai Kab. Merangin Prov. Jambi

Berdasarkan Keputusan Sidang Komite Nasional Indonesia (K.N.I) Sumatera di Bukit Tinggi pada tahun 1946 ditetapkan bahwa Pulau Sumatera dibagi menjadi tiga sub Propinsi, yaitu Sub Propinsi Sumatera Utara, Sub Propinsi Sumatera Tengah, Sub Propinsi Sumatera Selatan. Kemudian dengan UU Nomor 10 tahun 1946 sub propinsi tersebut ditetapkan menjadi propinsi, dimana daerah Kepresidenan Jambi yang terdiri dari Kabupaten Batang Hari, dan kabupaten Merangin tergabung dalam Propinsi Sumatera Tengah. Dengan Undang-Undang Darurat Nomor 19 tahun 1957 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 18 tahun 1958, dibentuklah Propinsi Daerah Tingkat I Jambi yang terdiri dari Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Merangin dan Kabupaten Kerinci. Dalam perjalanan sejarah, dengan dibentuknya Propinsi Daerah Tingkat I Jambi, yang sekaligus juga dibentuknya Kabupaten Merangin (pada saat ini adalah Kabupaten Merangin, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Bungo Tebo) yang beribukota di Bangko. Kemudian ibukota Kabupaten Merangin dipindahkan ke Muara Bungo yang diputuskan melalui sidang DPRD.

Selanjutnya, dengan adanya gerakan PRRI tahun 1958 Kantor Bupati Merangin di bakar dan dibangun kembali pada tahun 1965 sebagai persiapan Kantor Bupati Sarolangun Bangko. Setelah berdirinya Kabupaten Sarolangun Bangko melalui UU No. 7 tahun 1965, maka pusat pemerintahan ditempatkan di Bangko dan


(52)

juga menempati bangunan tersebut. Setelah itu pindah ke Kantor yang baru di jalan Jendral Sudirman Km2, sedangkan kantor lama menjadi Kantor Dinas Pendapatan Daerah Tingkat II.

Dengan adanya pemekaran wilayah sesuai dengan UU No. 54 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Merangin, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, maka wilayah Kabupaten Sarolangun Bangko dimekarkan menjadi dua yaitu Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin. Kabupaten Sarolangun beribukota di Sarolangun dan Kabupaten Merangin beribukota di Bangko. Dasar pembentukan wilayah Kabupaten Merangin adalah Undang-undang Nomor 54 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muara Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur (LN tahun 1999 Nomor 182, TLN Nomor 39030). Kabupaten Merangin merupakan Pengembangan dari Kabupaten Sarolangun Bangko dan hari jadinya tanggal 5 Agustus 1965.

4.1.2 Letak Lokasi Dan Keadaan Alam

Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0,45° Lintang Utara, 2,45° Lintang Selatan dan antara 101,10°-104,55° Bujur Timur. Kabupaten Merangin adalah salah sat populasi penduduknya berjumlah 251.283 jiwa. Ibu kotanya iala ini merupakan pemekaran dari kecamatan yang terbagi lagi menjadi 141 desa. Luas dan batas wilayah Kabupaten Merangin:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaen Bungo


(53)

- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kerinci - Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bungo Tebo

Kondisi geografis yang cukup strategis di antara kota-kota lain di provinsi sekitarnya membuat peran Provinsi ini cukup penting terlebih lagi dengan dukungan sumber daya alam yang melimpah. Kebutuhan industri dan masyarakat di kota-kota sekelilingnya didukung suplai bahan baku dan bahan kebutuhan dari provinsi ini.

Kabupaten Merangin terdiri dari areal pemukiman, ladang, perkebunan sawit, hutan, jalan dan lain-lain. Jika dibandingkan kabupaten lain yang berada di Provinsi Jambi, Kabupaten Merangin merupakan kabupaten yang paling luas. Jarak antara kelurahan dan kecamatan berkisar 30 menit dengan lama tempuh sekitar 45 menit dengan jalan yang sudah diaspal dimana di sepanjang kiri dan kanan perjalanan terdapat rumah penduduk dan perkebunan sawit dan karet.

Gambar 6 Peta Kabupaten Merangin

4.1.3 Pola Pemukiman

Suku Anak Dalam pada awalnya tingggal di dalam hutan. Namun pada saat ini ada dua kriteria Suku Anak Dalam yaitu yang tinggal di dalam hutan dan yang


(54)

tinggal di lokasi Trans Sosial. Suku Anak Dalam yang tinggal di lokasi Trans Sosial memiliki rumah dan lahan perkebunan. Rumah yang di miliki Suku Anak Dalam didirikan oleh Pemerintah, rumah tersebut terbuat dari papan dan beratapkan seng. Suku Anak Dalam juga mendapatkan bibit sawit dari pemerintah. Bibit sawit tersebut ditanam di lahan milik Suku Anak Dalam, tujuannya agar mereka memiliki matapencaharian dan dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.

Pemukiman atau tempat tinggal Suku Anak Dalam berada di Desa Bukit Suban, Kabupaten Merangin. Daerah tersebut sangat dekat dengan Taman Nasional Bukit Dua Belas tempat Suku Anak Dalam yang belum mengikuti Program Trans Sosial berada. Lahan kebun sawit yang di miliki oleh Suku Anak Dalam luasnya bervariasi, ada yang memiliki 10 Ha dan ada juga yang memiliki 2 Ha saja. Luas lahan tersebut tergantung dengan luas lahan yang di miliki oleh setiap Suku Anak Dalam. Suku Anak Dalam yang memiliki kebun karet juga memiliki perbedaan luas lahan, karena tergantung berapa banyak lahan yang dapat di buka dan ditanami pohon karet oleh mereka.

Suku Anak Dalam memiliki Petuah yang dijunjung tinggi yaitu “segala

tumbuh – tumbuhan yang ada serta hewan yang ada di bumi milik mereka”. Petuah tersebut memiliki dampak yang negatif bagi Masyarakat Terang, karena Suku Anak Dalam dapat tinggal di tempat yang mereka inginkan. Lahan kebun sawit Masyarakat Terang menjadi sasaran utama mereka, karena disaat Suku Anak Dalam tinggal di lahan tersebut mereka mengambil buah sawit Masyarakat Terang. Sehinggga Petuah yang mereka junjung tersebut menjadikan masalah bagi masyarakat yang ada di sekitarnya. Seperti masalah yang dapat kita lihat yaitu dengan petuah tersebut,


(55)

mereka berhak atas hasil kebun masyarakat lainnya dan dapat tinggal di perkebunan sawit Masyarakat Terang. Ketika masyarakat melaporkan kepada pihak yang

berwajib, Suku Anak Dalam tersebut berkata “semuanyo milik nenek

moyang”(Nyeneh ,34 tahun, laki –laki). Dengan demikian kasus tersebut tidak akan pernah selesai dikarenakan Suku Anak Dalam menggunakan hukum adat mereka sendiri dan tidak mau menggunakan hukum Negara yang berlaku.

4.1.4 Mata Pencaharian Suku Anak Dalam Di Lokasi Trans Sosial A. Pendapatan Suku Anak Dalam

Suku Anak Dalam memiliki pendapatan dari perkebunan, seperti Perkebunan sawit, perkebunan karet, sayur – sayuran, buah – buahan, rotan dan berburu. Setiap keluarga Suku Anak Dalam memiliki pendapatan yang berbeda tergantung dari hasil perkebunan atau pertanian yang mereka dapatkan. Pendapatan mereka berbeda jauh dengan Suku Anak dalam yang sudah tidak memiliki lahan perkebunan, dan hanya memiliki pekerjaan sebagai pemburu babi hutan dan pengambil rotan.berikut tabel mengenai pendapatan Suku Anak Dalam.

Tabel. 1. Jawaban Responden Berdasarkan Pernyataan “Berapakah Pendapatan Keluarga Anda Perbulan.”

No Pendapatan Jumlah Persentase (%)

1 > 4.000.000 20 57,14 %

2 < 4.000.000 15 42,86 %

Total 35 100 %

Sumber : Data Penelitian Lapangan (Kuesioner) Agustus 2012

Hasil dari data di atas adalah tingkat pendapatan Suku Anak Dalam yang dibagi menjadi dua tingkatan yaitu keluarga yang memiliki pendapatan > 4.000.000 berjumlah 20 keluarga dengan persentase 57,14 Persen, sedangakan keluarga dengan


(56)

tingkat pendapatan <4.000.000 berjumlah 15 keluarga dengan persentase 42,86 Persen. Data ini diperoleh dari 35 keluarga Suku Anak Dalam yang menjadi informan penelitian.

Dari data di atas menjelaskan bahwa pendapatan Suku Anak Dalam ada yang berpenghasilan baik dan ada yang tidak. Hasil pendapatan di atas dari berbagai jenis pekerjaan Suku Anak Dalam.

1. Perkebunan Sawit

Pemerintah Daerah memberikan Bibit sawit dan perumahan bagi Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial. Suku Anak Dalam yang memiliki lahan perkebunan sawit merawat perkebunan sawit mereka dan menjadikan perkebunan sawit menjadi sumber utama bagi matapencaharian mereka. Cara bercocok tanaman masyarakat Suku Anak Dalam masih bersifat manual yaitu dikerjakan dengan tidak menggunakan mesin dan tidak ada teknik khusus dalam penggarapan dan perawatan lahan pertanian. Penghasillan yang diperoleh dari perkebunan sawit setiap keluarga Suku Anak Dalam berbeda, hal ini disebabkan karena luas lahan perkebunan mereka yang berbeda.

Pendapatan Suku Anak Dalam dari perkebunan sawit berbeda karena adanya perbedaan lahan perkebunan yang dimiliki oleh mereka. Perkebunan sawit setiap Dua Hektar menghasilkan sekitar 3 Ton per 2 minggunya, sehingga dalam waktu satu bulan mereka mereka mendapatkan 6 Ton kelapa sawit dengan harga Rp. 7.200.000. Suku Anak Dalam yang memiliki lahan perkebunan sawit 5 Hektar mendapatkan hasil sawit sekitar 15 Ton per bulan dengan harga Rp. 18.000.000.


(57)

Sedangkan lahan sawit yang 10 Hektar mendapatkan hasil buah sawit 30 Ton per bulannya dengan jumlah uang Rp. 36.000.000.

Pengeluaran Suku Anak Dalam tiap bulannya adalah membayar pekerja untuk memanen sawit atau mendodos, biaya pupuk untuk perkebunan sawit, biaya kebutuhan sehari – hari dan lain sebagainya. Diantara pengeluaran tersebut biaya untuk perawatan perkebunan sawit lumayan besar, karena lahan perkebunan membutuhkan pupuk yang banyak. Bukan hanya pupuk, Suku Anak Dalam juga membeli Janjangan (limbah atau kerangka buah sawit yang tidak ada buahnya lagi) dari Pabrik Sawit PT. SAL dengan harga per Dam Truk sekitar 200. 000 Rupiah tergantung dengan jauhnya jarak lahan yang akan ditempuh, semakin jauh jarak lahan perkebunan sawit maka harga Janjangan akan mahal. Suku Anak Dalam tidak hanya membutuhkan satu Dam Truk saja, melainkan untuk lahan yang luas dibutuhkan 20 sammpai 30 Dam Truk pupuk Janjangan. Pengeluaran Suku Anak Dalam tersebut masih dapat ditanggulangi karena penghasilan Suku Anak Dalam bukan hanya dari perkebunan sawit saja, melainkan sebagian Suku Anak Dalam masih memiliki Lumbung pendapatan dari berbagai hal seperti Perkebunan Karet, Sayur - sayuran dan buah – buahan serta hasil usaha lainnya seperti warung.

2. Perkebunan karet

Perkebunan karet yang dimiliki oleh Suku Anak Dalam tidak diberikan oleh Pemerintah, namun perkebunan karet tersebut didapatkan mereka dari membuka lahan sendiri dan menanaminya dengan pohon karet. Lahan yang dijadikan perkebunan karet Suku Anak Dalam adalah daerah di luar Bukit Dua Belas dan


(58)

berguna juga untuk menjaga hutan yang ada di Bukit Dua Belas hal ini dinamakan Hompongan. Berikut hasil kutipan wawancara dengan salah satu Suku Anak Dalam.

“… Waktu kami keluar hutan, kami tinggal dipinggir Bukit Dua Belas. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami membuka lahan semak belukar yang ada di sekeliling Bukit Dua Belas dan menanaminya dengan pohon karet, kami memilih pohon karet karena pohon karet tidak terlalu butuh perawatan. Dengan hasil dari kebun karet kami mampu mencukupi kebutuhan kekuarga kami. Tidak beberapa lama temengggung mendatangi kami, dan mengajak kami untuk ikut Trans Sosial..” 2

Penghasilan yang didapat oleh Suku Anak Dalam dari perkebunan karet berdasarkan harga getah Karet perkilonya, yaitu pada Bulan Agustus 2012 harga getah karet per kilogram sekitar 12.000 Rupiah. Hasil perkebunan yang didapat oleh Suku Anak Dalam dari perkebunan karet tergantung dengan bagus tidaknya getah yang keluar dari pohon karet tersebut. Sedangkan Pengeluaran yang dikeluarkan oleh Suku Anak Dalam yaitu biaya untuk pupuk dan membayar para pekerja ketika mengangkat getah karet.

Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa Suku Anak Dalam yang mempunyai perkebunan karet memiliki kehidupan yang baik, karena setiap hektar perkebunan karet yang dimiliki oleh Suku Anak Dalam mampu menghidupi keluarga mereka, belum lagi sebagian dari Suku Anak Dalam mendapatkan penghasilan dari perkebunan sawit yang dimiliki oleh Suku Anak Dalam itu sendiri.

3. Berburu

Sebagian Suku Anak Dalam tidak hanya bertani dan berkebun saja, melainkan ada yang berburu hewan di perkebunan kelapa sawit, seperti Babi Hutan dan Ular

2.Wawancara dengan Bapak Abdullah, 56 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012,


(59)

Sawah. Suku Anak Dalam yang memiliki mata pencaharian dengan berburu, meletakan jerat untuk hewan buruannya di dalam perkebunan sawit pada waktu Sore hari dan ketika pagi mereka melihat jerat. Hasil dari berburu dijual mereka pada tengkulak daging, dengan perkiraan setiap satu ekor babi hutan yang besar dijual dengan harga 200.000 Rupiah hingga 300.000 Rupiah namun jika babi hutan tersebut berukuran kecil maka dijual dengan harga 100.000 Rupiah hingga 150.000 Rupiah. Seperti penjelasan yang diberikan oleh informan berikut ini :

“… Tengkulak daging mau ambil hewan buruan kami dengan harga yang murah dan hewan tersebut tidak ditimbang, hanya pakai predeksi saja. Kalo hewan buruannya kena tembak harganya pasti murah, tapi kalo hewan buruannya tertangkap memakai jerat harganya relative naik, walaupun sedikit..” 3

4. Bertanam Sayuran dan Buah

Suku Anak Dalam juga ada yang menjual hasil pertanian berupa sayur – sayuran dan buah – buahan dari tanaman yang ada di halaman rumah dan di perkebunan karet atau sawti Suku Anak Dalam. Sayur – sayuran yang dihasilkan mereka seperti Kangkung, Bayam, Daun Singkong dan Kacang Panjang. Sedangkan buah yang dijual mereka seperti Cempedak, Duku atau Langsat, Durian, Rambutan, Mangga, Jambu Air, dan Kelapa muda maupun kelapa tua. Suku Anak Dalam menjual semua hasil perkebunan sayur mereka kepada tengkulak sayur atau pengumpul sayur – sayuran yang nantinya akan dijual ke pedagang sayur di pasar.

3. Wawancara dengan Bapak Ermes, 35 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012, di Lokasi Trans Sosial.


(60)

5. Buruh Kasar

Bagi sebagian Suku Anak Dalam yang tidak memiliki lahan untuk menanam karet dan kelapa sawit seperti Suku Anak Dalam lainnya, karena lahan yang ada sebelumnya telah mereka jual kepada masyarakat Terang, sehingga mereka tidak dapat lagi bercocok tanam dan memilih untuk menjadi buruh harian. Apabila ada Suku Anak Dalam lain yang sedang memanen hasil perkebunan mereka, Suku Anak Dalam lain yang memilih mata pencharian sebagai buruh yang membantu mereka dalam memanen hasil kebunnya, contohnya dari proses memanen kelapa sawit sampai menggangkat buah kelapa sawit ke pinggir jalan untuk mempermudah tengkulak yang akan mengambil kelapa sawit tersebut.

Berikut adalah kutipan wawancara dengan salah satu Suku Anak Dalam yang memiliki mata pencaharian sebagai buruh harian:

“… Saya terpaksa harus melakukan pekerjaan sebagai buruh, karena saya tidak memiliki pekerjaan lain dan tidak memiliki kebun sawit ataupun kebun karet, seperti orang lainnya, penghasilannya dapat membantu saya mencukupi kebutuhan keluarga saya.. 4

Dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa Suku Anak Dalam yang bermata pencaharian sebagai buruh adalah mereka yang tidak memiliki lahan untuk bercocok tanam, mereka mencoba memenuhi kebutuhan hidup keluarganya hanya dengan mengandalkan pekerjaannya sebagai buruh harian, walaupun mereka merasa semua itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi mereka memaksa untuk mencukup-cukupkannya.

4. Wawancara dengan Bapak Rengkuti, 45 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012, di Lokasi Trans Sosial.


(61)

6. Mencari Rotan

Suku Anak Dalam telah sejak lama dikenal sebagai pengumpul rotan yang handal. Tumbuhan memanjat dari Family palmae, ditemui hampir diseluruh hutan Jamb, yang merupakan tempat hidup Suku Anak Dalam. Sejauh ini Suku Anak Dalam baru menjual Routan demikian Suku Anak Dalam menyebut tumbuhan ini yang baru dipanen di dalam hutan. Hal ini menyebabkan harga rotan sangat murah jika dibandingkan dengan rotan olahan. Untuk menjadikannya sebagai rotan olahan tentu butuh ketrampilan khusus. Terkait dengan ini, KKI Warsi yang telah lama mendampingi komunitas Suku Anak Dalam, mengajak 12 Suku Anak Dalam perwakilan dari beberapa rombongan di TNBD melakukan kunjungan belajar ke unit usaha pengolahan rotan di Bungo jambi dan Palembang (SUMSEL), beberapa waktu lalu. Kegiatan ini dilaksanakan untuk memberikan pengetahuan dan menumbuhkan minat Suku Anak Dalam untuk melakukan pengolahan rotan secara mandiri dengan memperhatikan kepentingan konservasi.

Suku Anak Dalam mencari rotan secara berkelompok, dengan diorganisir pemimpin kelompok seperti umumnya dilakukan Suku Anak Dalam di TNBD atau diorganisir oleh orang luar yang bertindak sebagai pembeli (toke) seperti Suku Anak Dalam di jalan lintas. Bagi Suku Anak Dalam yang berada di TNBD, ketersediaan rotan boleh dikatakan masih melimpah. Namun, usaha untuk mengeluarkan rotan dari dalam hutan menuju desa terdekat membutuhkan kerja keras dan waktu yang cukup panjang. Hal ini mengingat akses jalan masih sangat terbatas. Setelah rotan terkumpul dan Suku Anak Dalam telah mendapatkan calon pembeli, kemudian rotan yang terkumpul diantarkan menggunakan truk ke tempat pengumpulan sementara. Lokasi


(62)

pengumpulan rotan kebanyakan tersebat sepanjang di jalan lalu lintas Sumatera, mulai dari Bangko hingga Bungo. Proses pengankutan membutuhkan waktu sedikitnya 2 jam perjalanan.

Tabel 2 Harga Jual Rotan

No. Jenis Rotan Harga Perbatang/Kg

1 Rotan Getah 500

2 Rotan Saga 1.000

3 Tebu – tebu 500

4 Manau 9.000

5 Semambu 1.500

Sumber : Alam Sumatera 2009

Harga jual rotan ini sangat jauh jika dibandingkan dengan harga rotan yang telah diolah. Rotan yang diolah dengan cara penggorengan (rotan dimasukan ke dalam campuran minyak dan solar kemudian dipanaskan, yang bertujuan untuk menurunkan kadar air dan memperbaiki warna) bias meningkatkan harga dua sampai tiga kali lipat. Suku Anak Dalam kaget, ketika mengetahui harga rotan bias meningkat tajam hanya dengan menggorengnya. Berikut hasil kutipan wawancara dengan Suku Anak Dalam.

“…Jika Suku Anak Dalam mempunyai alat penggorengan dan bias menggoreng rotan sendiri, pasti Suku Anak Dalam bias dapat menjual rotan dengan harga lebih baik..” 5

“… Mungkin bila ada yang bersedia membantu kami membimbing belajar menganyam rotan sampai kami pandai membuat kursi atau meja dari rotan, maka Suku Anak Dalam akan bisa lebih maju. Tidak hanya menjual kepada Toke yang harganya hanya ditentukan toke, karena kami bisa mengolahnya sendiri dan dan menjualnya pada orang – orang yang datang ke TNBD sebagai

5. Wawancara dengan Mangku Basemen, Penghulu SAD. Wawancara dilakukan pada bulan Juli 2012, di Lokasi Trans Sosial.


(1)

sebuah makanan. Suku Anak Dalam menggunakan dedaunan untuk di jadikan tempat makanannya, dan menggunakan bambu atau bonggol untuk tempat air minum mereka. Saat ini mereka sudah banyak yang menggunakan beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Beras ini mereka dapat dari membeli di dusun-dusun atau masyarakat yang datang ke lokasi mereka. Sebenarnya makanan pokok mereka waktu dahulu adalah segala jenis umbi-umbian yang tumbuh di hutan, seperti keladi, ubi kayu, ubi jalar, umbi silung dan binatang buruan seperti babi hutan, rusa, kancil dan lain-lain. Namun pada saat ini kebiasaan memakan umbi – umbian dan hewan buruan sudah berubah.

Suku Anak Dalam pada umumnya tidak berpakaian, namun mereka menggunakan cawat kain untuk menutupi kemaluannya. Dahulu aslinya mereka menggunakan cawat dari kulit kayu terap atau serdang, namun karena cawat dari kulit kayu sering menimbulkan rasa sakit akibat kutu kayu yang masuk ke dalam kulit, sehingga mereka meninggalkannya dan beralih dengan kain yang mereka beli di pasar melalui masyarakat umum. Jenis kain dan warnanya bebas dan cara memasangnya disesuaikan oleh meraka sendiri. Untuk kaum wanita sangat sulit untuk dilihat karena ada larangan, bahkan kalau dia melihat orang luar selalu menghindar / lari. Tetapi menurut Tumenggung bahwa perempuan Suku Anak Dalam yang wanitanya hanya berpakaian menutupi bagian pinggang saja sedangkan payudara mereka dibiarkan terbuka. Suku Anak Dalam tidak pernah mandi dan mengganti pakaian mereka. Mereka juga tidak pernah memangkas rambut mereka. Sehingga keaadaan mereka benar – benar memprihatinkan. Tingkat kemampuan intelektual Suku Anak Dalam dapat disebut masih rendah dan temperamen mereka pada umumnya keras dan


(2)

pemalu. Pada saat ini Suku Anak Dalam memiliki kehidupan yang lebih baik, mereka sudah memakai pakaian dan sudah mulai membersihkan diri (mandi). Suku Anak Dalam juga sudah mulai merapikan rambut mereka dengan memotongnya.

Suku Anak Dalam saat berada di hutan hidup berkelompok dalam satu wilayah, biasanya kelompok Tumenggung yang satu tinggal di kelompok Tumenggung yang lainnya, dan tetap mengakui Tumenggung mereka yang sebenarnya. Tempat tinggal mereka agak masuk ke dalam belukar yang lebat hutannya, tidak di tepi jalan setapak, setiap pondok ( sudung ) satu keluarga terpisah agak jauh dengan sesudung keluarga lainnya. Namun sesudung yang masuk dalam suatu keluarga misalnya untuk anak-anak mereka yang sudah besar dibuat sesudung sendiri yang tidak jauh dengan sesudung orang tuanya. Begitu juga untuk keluarga istrinya. Sesudung dalam bahasa mereka berarti rumah. Didirikan diatas batang-batang kayu bulat kecil panjang yang disusun berjajar hingga dapat digunakan sebagai alas.

Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial memiliki hidup yang lebih baik. Saat ini Mereka tinggal di bangunan yang di namakan rumah. Rumah yang di tinggali oleh Suku Anak Dalam dibangun oleh Pemerintah. Pemerintah juga memberikan bibit sawit untuk ditanami oleh Suku Anak Dalam di atas lahan mereka. Dengan demikian mereka dapat memenuhi kebutuhan keluarganya dari hasil perkebunan sawit. Suku Anak Dalam diberikan pendidikan mengenai bagaimana mereka merawat dan menjaga agar kebun sawit mereka dapat berbuah dengan baik dan menghasilkan buah yang banyak. Suku Anak Dalam ada juga yang memiliki perkebunan karet, mereka memanfaatkan dan membuka lahan yang ada disekitar


(3)

Bukit Dua Belas dan menanaminya dengan pohon karet. Hal yang dilakukan oleh Suku Anak Dalam tersebut membantu melindungi hutan, mereka menamainya dengan Hompongan. Penghasilan yang didapat oleh Suku Anak Dalam mampu untuk menghidupi keluarganya. Sebagian dari mereka ada yang memiliki pekerjaan sebagai buruh, pencari rotan dan pemburu.

Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial mulai membaur dengan Masyarakat Terang. Mereka berusaha agar diterima oleh Masyarakat Terang, dengan membersihkan diri agar tidak menimbulkan bau yang tidak sedap, menyikat gigi dan memakai pakaian yang sudah dicuci bersih. Bukan hanya membersihkan diri saja, Suku Anak Dalam juga berusaha untuk menguasai bahasa Melayu agar dapat berkomunikasi dengan baik dengan Masyarakat Terang.

Usaha yang dilakukan oleh Suku Anak Dalam sampai saat ini belum semuanya dapat diterima oleh Masyarakat Terang. Masyarakat Terang tidak dapat menerima mereka, dan menunjukan sikap penolakan yang mereka tunjukkan seperti mengolok – olok Suku Anak Dalam, menghina, memanggil dengan sebutan “Kubu”, dan tidak mau berdekatan dengan Suku Anak Dalam tersebut. Perlakuan yang diterima oleh Suku Anak Dalam tersebut membuat mereka menjauhkan diri dari keramaian terutama dari Masyarakat Terang. Mereka sebisa mungkin tidak mau bergabung dengan Masyarakat Terang karena takut akan dijauhi dan mendapatkan olokan.

Keberadaan Suku Anak Dalam tidak semua ditolak oleh Masyarakat Terang, sebagian dari Mereka menerima keberadaan Suku Anak Dalam. Para tetangga yang berada di lokasi Trans Sosial dapat bergaul dengan Suku Anak Dalam, bukan hanya


(4)

sekedar bergaul saja sebagian dari mereka ada juga yang menikah dengan Masyarakat Terang. Dengan adanya pernikahan dengan Masyarakat Terang menunjukan bahwa keberadaan mereka tidak ditolak. Suku Anak Dalam yang menikah dengan Masyarakat Terang pada awalnya memeluk agama Rimba, namun disaat mereka mau menikah Suku Anak Dalam tersebut masuk/memeluk agama Islam yaitu agama dari Masyarakat Terang tersebut. Dengan demikian Suku Anak Dalam dapat bergaul dengan Masyarakat Terang dan dapat mengikuti semua perubahan yang ada di hadapan mereka.

5.2 Saran

Setelah melakukan penelitian mengenai Kehidupan Suku Anak Dalam yang Mengikuti Program Trans Sosial, peneliti memiliki saran yaitu :

1. Suku Anak Dalam harus memanfaatkan fasilitas yang diberikan oleh pemerintah, karena fasilitas yang diberikan kepada Suku Anak Dalam bermanfaat bagi mereka untuk menjalani hidup mereka di Lokasi Trans Sosial. 2. Pemerintah lebih memperhatikan lagi kehidupan Suku Anak Dalam yang

mengikuti Program Trans Sosial karena sebagian dari Suku Anak Dalam ada yang tidak mampu menghadapi hambatan – hambatan yang terjadi selama mereka mengikuti Program Trans Sosial.

3. Masyarakat setempat seharusnya dapat menerima keberadaan Suku Anak Dalam yang berada di Lokasi Trans Sosial, tanpa ada batasan – batasan yang mengakibatkan Suku Anak Dalam di jauhi.

4. Masyarakat Terang hendaknya tidak membuat batasan – batasan bagi Suku Anak Dalam untuk dapat bergaul dengan mereka dan hidup berdampingan di


(5)

lokasi Trans Sosial.

5. Suku Anak Dalam hendaknya lebih mengikuti segala kegiatan bermasyarakat, seperti Gotong royong, Wiritan, pengajian, pesta pernikahan dan lain sebagainya. Agar Suku Anak Dalam tersebut dapat mendekatkan diri dengan Masyarakat Terang.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Sunarto,Kamanto,2000, Pengantar Sosiologi, Edisi Revisi, Jakarta

Depsos RI.1998, Masyarakat Terasing Suku Anak Dalam dan Dusun Solea Dan Melinani, Direktorat Bina Masyarakat Terasing. Jakarta.

Moleong, lexy.2003.Metodologi Penelitian Kualitatif. Rajawali Press. Jakarta

Website ;

november 2011).

18.00 wib).

tanggal 30 november 2011 pukul 18.15 wib).

pada tanggal 2 Desember 2011 pukul 21.00 Wib)