11
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan memiliki keberagaman suku, agama, ras, budaya dan bahasa daerah. Indonesia memiliki lebih
dari 300 suku bangsa. Dimana setiap suku bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Suku bangsa merupakan bagian dari
suatu Negara. Badan Pusat Statistik BPS dalam sensus penduduk 2010 mendata ada 10.030 orang suku terasing di Indonesia. Diantaranya di Provinsi Sumatera Barat
terdapat sebanyak 70 orang, di provinsi Jambi 3.198 orang, Kalimantan Timur 15 orang, Sulawesi Tengah 4.516 orang, Maluku 1.087 orang, Maluku Utara 27 orang,
Papua 865 orang dan Papua Barat 252 orang. Pada umumnya, mereka tersebar di pedalaman hutan Indonesia dengan hidup
dari memanfaatkan hasil hutan, seperti berburu hewan dan tumbuh – tumbuhan yang dapat dimakan dan dapat dijadikan obat. Salah satu Suku Primitif atau terasing di
Indonesia adalah Suku Anak Dalam SAD yang berada di provinsi Jambi dan bermukim di sekitar Bukit Dua Belas Jambi. Pada umumnya, orang – orang di luar
Suku Anak Dalam menyebut mereka sebagai Orang Rimba atau Orang Kubu. Namun, Suku Anak Dalam tidak menyenangi sebutan diri mereka Orang Kubu atau
Orang Rimba di mana sebutan itu dianggap merendahkan diri mereka. Hasil survei Kelompok Konservasi Indonesia KKI Warsi tahun 2004 menyatakan, jumlah
keseluruhan Orang Rimba ada 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian
12
dinyatakan sebagai kawasan Taman Nasional Bukit Barisan TNBD. Kawasan ini terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan
Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba. Beberapa ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa
sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu.
Selain di TNBD, kelompok- kelompok Orang Rimba juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi terbesar terdapat di Bayung Lencir, Provinsi Sumatera Selatan,
sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran anak-anak sungai keempat lebih kecil dari sungai tersier, seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan
Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya
sekitar 1.200 orang. Kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, di mana sekitar 500 orang.
Kehidupan Suku Anak Dalam pada awalnya hanya untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya Subsitensi. Namun, dengan pengaruh perkembang ilmu
pengetahuan teknologi dan adanya akulturasi budaya dengan masyarakat luar, kini mereka telah mengenal pengetahuan tentang pertanian dan perkebunan dengan
mengolah ladang padi, perkebunan sawit dan karet sebagai mata pencahariannya. Walaupun demikian kegiatan berburu binatang seperti babi, kera, beruang, monyet,
ular, labi – labi, rusa, kijang dan berbagai jenis unggas lainnya masih merupakan salah satu bentuk mata pencaharian mereka. Kegiatan berburu dilaksanakan secara
bersama-sama dengan membawa anjing. Alat yang digunakan adalah Tombak dan
13
Parang. Di samping itu untuk mendapatkan binatang buruan juga menggunakan sistem perangkap dan jerat.
Jenis mata pencaharian lain yang dilakukan adalah meramu didalam hutan, yaitu mengambil buah-buahan, dedaunan, akar-akaran dan tumbuh -tumbuhan
sebagai bahan makanan. Lokasi tempat meramu sangat menentukan jenis yang diperoleh. Jika meramu dihutan lebat, biasanya mendapatkan buah-buahan, seperti
cempedak, durian, arang paro, dan buah-buahan lainnya. Di daerah semak belukar dipinggir sungai dan lembah mereka mengumpulkan pakis, rebung, gadung, enau,
dan rumbia. Mencari rotan, mengambil madu, menangkap ikan adalah bentuk mata pencaharian lainnya.
Semua bentuk dan jenis peralatan yang digunakan dalam mendukung dalam proses pemenuhan kebutuhan hidupnya sangat sederhana. Bangunan tempat
tinggalnya berupa bangunan pondok yang dikenal dengan sebutan Sasudungan terbuat dari kayu dengan atap jerami atau sejenisnya. Konstruksi bangunannya
dengan sistem ikat dari bahan rotan dan sejenisnya. Bangunannya berbentuk panggung dengan tinggi 1,5 meter, dibagian bawahnya dijadikan sebagai lumbung
bilik yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi. Ukuran bangunan sekitar 4 x 5 meter atau sesuai dengan kebutuhan keluarga. Disamping bangunan tempat
tinggal, dalam satu lingkungan keluarga besar terdapat pondok tanpa atap sebagai tempat duduk-duduk dan menerima tamu.
14
Gambar 1. Sasudungan Gambar 2. Pondok di ladang
Kini terdapat tiga kategori kelompok pemukiman Suku Anak Dalam. Pertama yang bermukim di dalam hutan dan hidup berpindah-pindah. Kedua kelompok yang
hidup didalam hutan dan menetap. Ketiga adalah kelompok yang pemukimnya bergandengan dengan pemukiman orang luar orang kebiasaan atau masyarakat
umum atau disebut dengan Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial. Cara mudah membedakan ketiga kategori kelompok pemukiman SAD ini
adalah dengan melihat : 1. Bagi yang tinggal di hutan dan berpindah – pindah mereka dapat di tandai dengan,
Pakaiannya yang sederhana sekali, yaitu cukup menutupi bagian tertentu saja dengan menggunakan cawat.
2. Sedangkan yang tinggal di hutan tetap menetap, di samping berpakaian sesuai dengan tradisinya, juga terkadang menggunakan pakaian seperti masyarakat umum
lainnya yaitu menggunakan baju, sarung atau celana. 3. Bagi yang tinggal berdekatan dengan pemukimana masyarakat luar atau yang
mengikuti Trans Sosial, berpakaian seperti masyarakat desa lainnya. Namun
15
kebiasaannya tidak menggunakan baju masih sering ditemukan dalam wilayah pemukimannya.
Gambar 3. SAD Memakai Cawat Gambar 4. SAD Memakai Baju
Suku Anak Dalam yang tinggal berdekatan dengan pemukiman masyarakat luar umumnya telah mengikuti program yang telah diperkenalkan oleh pemerintah
yaitu Program Trans Sosial. Program tersebut bertujuan untuk mengubah kehidupan Suku Anak Dalam. Mereka yang tadinya hidup didalam hutan, terisolasi dari
perkembangan zaman, dan sekarang tinggal di dekat daerah pemukiman masyarakat luar, telah diikutkan ke dalam Program Trans Sosial Sehingga Suku Anak Dalam
tersebut berinteraksi secara langsung dengan masyarakat luar yang sebelumnya mereka takuti, untuk berhubungan dengan orang luar selain lingkungan mereka dan
mau hidup berdampingan dengan masyarakat sekitarnya. Adapun yang menjadi faktor penyebab Suku Anak Dalam mengikuti Program Trans Sosial yaitu:
1. Kondisi Hutan yang semakin sempit dikarenakan penebangan hutan yang
kemudian dijadikan sebagai konservasi lahan tanaman perkebunan. 2.
Semakin meningkatnya kebutuhan Suku Anak Dalam tetapi mata pencaharian utama mereka sudah terbatas.
16
3. Salah satu anggota keluarga dari Suku Anak Dalam ada yang meninggal
dunia, sehingga keluarga tersebut harus meninggalkan hutan untuk beberapa waktu lamanya.
4. Motif mencari dunia baru yang lebih baik dari sebelumnya.
Kehidupan Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial telah mengalami perubahan, dimana pada awalnya mereka tinggal di sasudungan berubah
menempati rumah yang dibangunkan atau didirikan oleh pemerintah. Perubahan dapat dilihat juga dari pakaian yang digunakan oleh Suku Anak Dalam, pada awalnya
Suku Anak Dalam menggunakan Cawat berubah menggunakan pakaian sebagaimana masyarakat biasanya.
Dari uraian diatas terlihat bahwa Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial mengalami perubahan yang sangat cepat. Suku Anak Dalam dipaksa
untuk berubah walaupun Suku Anak Dalam tersebut tidak mampu, namun mereka harus mampu mengikuti segala perubahan yang ada di depannya. Perubahan yang
dapat kita lihat dari tempat tinggal mereka yang sudah berubah yang tadinya berada di dalam hutan, kini keluar hutan dan hidup berdampingan dengan masyarakat
sekitar. Cara hidup mereka juga ikut berubah terutama bagi Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial.
1.2 Perumusan Masalah