29
dikawinkan paksa. Tapi, sebelumnya tubuh mereka akan dihujani pukulan rotan sebagai hukuman karena telah mempermalukan orang tua.
Suku Anak Dalam tinggal di sebuah rumah godong. Luasnya sekitar 6 x 4 meter. Rumah itu biasanya didirikan kalau mereka membuka lahan, atau untuk
menunggu panen. Dulu mereka hanya menanam ubi-ubian. Kini mereka sudah bisa menanam kelapa sawit. Rumah godong itu hanya digunakan untuk menyimpan
makanan atau peralatan mereka. Untuk tidur, mereka biasa merebahkan badan di atas tanah. Sebagian membuat tenda dari terpal. Untuk mandi, mereka cukup
mencelupkan tubuh ke kolam atau sungai. Tentunya tanpa sabun. Orang rimba atau Suku Anak Dalam memang sudah terbiasa dengan kehidupan
di dalam hutan. Mereka menolak tinggal di rumah. Rencananya Menteri PDT yaitu Saifullah Yusuf memberikan bantuan rumah untuk Suku Anak Dalam, namun ditolak
oleh Suku Anak Dalam karena menurut mereka rumah tidak begitu penting bagi mereka, hutan rimba adalah hal terpenting bagi Suku Anak Dalam. Menurut Tarib,
pernah mereka mendapat rumah beratap seng. Tapi, mereka meninggalkan rumah itu. Karena Suku Anak Dalam meyakini bahwa ketika mereka tinggal di dalam rumah
yang beratapkan seng maka leluhur Suku Anak Dalam tidak bisa masuk.
2.3 Kebudayaan Suku Anak Dalam
Dalam jurnal Kebudayaan mengatakan bahwa Indonesia adalah salah satu Negara yang memiliki ribuan suku bangsa ya ng beraneka ragam. Masing-masing
daerah saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebudayaan daerah lain atau kebudayaan yang berasal dari luar. Salah satu kebudayaan tersebut adalah Suku Anak
Dalam. Suku Anak Dalam terdapat di daerah Jambi dan Sumatera Selatan. Suku
30
Anak Dalam belum terlalu dikenal oleh masyarakat Indonesia karena Suku Anak Dalam sudah sangat langka dan mereka tinggal di tempat-tempat terpencil yang jauh
dari jangkauan orang-orang. Suku Anak Dalam disebut juga Suku Kubu atau Orang Rimba. Menurut
tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Melayu sesat yang lari ke hutan rimba disekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duapuluh. Mereka kemudian
dinamakan Moyang Segayo. Sistem kemasyarakatan mereka adalah hidup secara nomaden atau tidak menetap dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu,
walaupun diantara mereka sudah banyak yang telah memiliki lahan karet ataupun pertanian lainnya. Sistem kepercayaan mereka adalah Polytheisme yaitu mereka
mempercayai banyak dewa. Suku Anak Dalam memiliki dewa dengan sebutan Dewo dan Dewa. Ada
dewa yang baik adapula dewa yang jahat. Selain kepercayaan terhadap dewa mereka juga percaya adanya roh nenek moyang yang selalu ada disekitar mereka.
Suku Anak Dalam juga Sangat antusias terhadap pendidikan. Mereka sangat bersemangat mengikuti belajar di sekolah. Tak hanya anak-anak saja yang bersekolah
akan tetapi juga orang dewasa pun mengikutinya. Mereka berpikir bahwa dengan bersekolah mereka akan pintar dan tak mudah untuk dibodohi oleh orang luar atau
masyarakat biasa. Kebudayaan Suku Anak Dalam merupakan salah satu Komunitas Adat
Terpencil KAT yang ada di Propinsi Jambi yang mempunyai permasalahan spesifik. Jika kita melihat pola kehidupan dan penghidupan mereka, hal ini
disebabkan oleh keterikatan adat istiadat yang begitu kuat. Hidup berkelompok
31
dengan pakaian hanya sebagian menutupi badan dengan kata lain mereka sangat tergantung dengan hasil hutan alam dan binatang buruan.
Penyebutan terhadap Orang Rimba perlu untuk diketahui terlebih dahulu, karena ada tiga sebutan terhadap dirinya yang mengandung makna yang berbeda,
yaitu Pertama KUBU, merupakan sebutan yang paling populer digunakan oleh terutama orang Melayu dan masyarakat Internasional. Kubu dalam bahasa Melayu
memiliki makna peyorasi seperti primitif, bodoh, kafir, kotor dan menjijikan. Sebutan Kubu telah terlanjur populer terutama oleh berbagai tulisan pegawai kolonial dan
etnografer pada awal abad ini. Kedua SUKU ANAK DALAM, sebutan ini digunakan oleh pemerintah melalui Departemen Sosial. Anak Dalam memiliki makna orang
terbelakang yang tinggal di pedalaman. Karena itulah dalam perspektif pemerintah mereka harus dimodernisasikan dengan mengeluarkan mereka dari hutan dan
dimukimkan melalui program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing PKMT. Ketiga ORANG RIMBA, adalah sebutan yang digunakan oleh etnik ini untuk
menyebut dirinya. Makna sebutan ini adalah menunjukkan jati diri mereka sebagai etnis yang mengembangkan kebudayaannya yang tidak bisa lepas dari hutan. Sebutan
ini adalah yang paling proposional dan obyektif karena didasarkan kepada konsep Orang Rimba itu sendiri dalam menyebut dirinya. Suku Anak Dalam masih berpaham
animisme. Mereka percaya bahwa alam semesta memiliki banyak jenis roh yang melindungi manusia. Jika ingin selamat, manusia harus menghormati roh dan tidak
merusak unsur-unsur alam, seperti hutan, sungai, dan bumi. Kekayaan alam bisa dijadikan sumber mata pencarian untuk sekadar menyambung hidup dan tidak
32
berlebihan.Hingga kini suku Anak Dalam masih mempertahankan beberapa etika khusus
2.4 Suku Anak Dalam Pertahankan Hutan Dengan Hompongan