27
Meski sering dianggap primitif serta terbelakang bagi masyarakat luar rimba atau Masyarakat Terang, warga Suku Anak Dalam justru sangat terbuka dalam
membicarakan persoalan pendidikan seksualitas. Seks menjadi sesuatu hal yang biasa untuk dibicarakan di sana, bukan hal yang tabu. Misalnya saja, ketika seorang
pengantin lelaki bercerita tentang pengalaman malam pertamanya, ia melakukan tanpa malu-malu. Sementara di sampingnya, ada beberapa anak kecil yang juga
mendengarkan. Hal ini menjadi unik ketika mengetahui fakta tidak ada kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh warga Suku Anak Dalam di luar keterbukaan
mereka terhadap seksualitas. Menurut Suku Anak Dalam semua persoalan seksualitas itu berasal dari
pikiran. Kalau Suku Anak Dalam memiliki pikiran jahat maka, ketika seorang perempuan berpakaian tertutup pemerkosaan bisa saja terjadi. Namun, ketika Suku
Anak Dalam memiliki pikiran yang baik maka, ketika perempuan Suku Anak Dalam bertelanjang dada akan biasa – biasa saja. Sementara itu, mengenai proses persalinan,
warga Suku Anak Dalam, biasanya menyuruh anak-anak mereka untuk melihat langsung proses persalinan dan perjuangan sang ibu dalam menyampaikan sang bayi
selamat sampai ke dunia. Dengan metode seperti itu, anak-anak Suku Anak Dalam itu bisa lebih berempati terhadap perempuan serta menghormati kaum ibu melalui proses
persalinan secara alamiah.
2.2 Suku Anak Dalam Masih Melestarikan Budaya Leluhur
Dalam jurnal Humaniora Sosial Kemasyarakatan dituliskan bahwa Suku Anak Dalam pria dan wanita nyaris bertelanjang tampak santai berjalan tanpa alas kaki
menyusuri hutan. Mereka hanya mengenakan selembar kain untuk menutup bagian
28
vital. Sebagian perempuan juga hanya memakai selembar kain penutup bagian bawah tubuh saja dan membiarkan dada mereka kelihatan. Kulit mereka gelap dan tampak
kasar akibat terkena sinar matahari dan hawa dingin secara bergantian setiap hari. Itulah gambaran orang rimba atau Suku Anak Dalam. Warga Suku Kubu yang
dikenal dengan Suku Anak Dalam sebagai Komunitas Adat Terpencil di Provinsi Jambi dan salah satu Suku Terasing di Provinsi Jambi.
Sekitar 1.300 orang rimba atau Suku Anak Dalam masih hidup di tepi-tepi aliran sungai Taman Nasional Bukit Dua Belas. Di hutan tropis seluas 60.500 hektar
itu mereka tinggal terpisah-pisah di tiga kabupaten, Batanghari, Sarolangun, dan Tebo. Orang asing tidak bisa sembarangan masuk ke hutan tempat tinggal orang
rimba. Di depan gerbang ada tulisan pada papan, dilarang Memotret dan Syuting. Aturan itu sangat ketat dan kaku. Terutama mengambil gambar perempuan dan
rumah godong rumah terbuat dari kayu beratap rumbiyak. Pelanggar aturan itu akan dikenai denda kain, mulai 10 lembar hingga 50 lembar, bergantung keputusan depati
pejabat adat yang bertugas menyelesaikan sengketa. Banyak aturan lain yang ketat yang diterapkan oleh Suku Anak Dalam. Pria
asing boleh masuk hutan kalau ditemani pria rimba atau pria Suku Anak Dalam. Setiap masuk harus berteriak terlebih dahulu. “Ado jentan kiuna” Ada laki-laki di
sana?. Setelah mendapat jawaban, baru bisa masuk. Peraturan lainnya adalah Pria yang harus tetap mengenakan penutup bawah. Jika melanggar, si pria juga akan
didenda membayar sejumlah kain. Ada juga peraturan yang mengatakan bahwa Pria dan perempuan Suku Anak Dalam dilarang berduaan. Jika ketahuan, mereka akan
29
dikawinkan paksa. Tapi, sebelumnya tubuh mereka akan dihujani pukulan rotan sebagai hukuman karena telah mempermalukan orang tua.
Suku Anak Dalam tinggal di sebuah rumah godong. Luasnya sekitar 6 x 4 meter. Rumah itu biasanya didirikan kalau mereka membuka lahan, atau untuk
menunggu panen. Dulu mereka hanya menanam ubi-ubian. Kini mereka sudah bisa menanam kelapa sawit. Rumah godong itu hanya digunakan untuk menyimpan
makanan atau peralatan mereka. Untuk tidur, mereka biasa merebahkan badan di atas tanah. Sebagian membuat tenda dari terpal. Untuk mandi, mereka cukup
mencelupkan tubuh ke kolam atau sungai. Tentunya tanpa sabun. Orang rimba atau Suku Anak Dalam memang sudah terbiasa dengan kehidupan
di dalam hutan. Mereka menolak tinggal di rumah. Rencananya Menteri PDT yaitu Saifullah Yusuf memberikan bantuan rumah untuk Suku Anak Dalam, namun ditolak
oleh Suku Anak Dalam karena menurut mereka rumah tidak begitu penting bagi mereka, hutan rimba adalah hal terpenting bagi Suku Anak Dalam. Menurut Tarib,
pernah mereka mendapat rumah beratap seng. Tapi, mereka meninggalkan rumah itu. Karena Suku Anak Dalam meyakini bahwa ketika mereka tinggal di dalam rumah
yang beratapkan seng maka leluhur Suku Anak Dalam tidak bisa masuk.
2.3 Kebudayaan Suku Anak Dalam