47
3.1.2 Ciri – ciri fisik dan non fisik
Suku Anak Dalam termasuk golongan ras Mongoloid yang termasuk dalam migrasi pertama dari manusia proto melayu. Perawakannya rata-rata sedang, kulit
sawo matang, rambut agak keriting, telapak kaki tebal, laki-laki dan perempuan yang dewasa banyak makan sirih. Ciri fisik lain yang menonjol adalah penampilan gigi
mereka yang tidak terawat dan berwarna kecoklatan. Hal ini terkait dengan kebiasaan mereka yang dari kecil nyaris tidak berhenti merokok serta rambut yang terlihat kusut
karena jarang disisir dan hanya dibasahi saja.
48
BAB IV KEHIDUPAN SUKU ANAK DALAM DI LOKASI TRANS SOSIAL
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian 4.1.1 Sejarah Singkat Mengenai Kab. Merangin Prov. Jambi
Berdasarkan Keputusan Sidang Komite Nasional Indonesia K.N.I Sumatera di Bukit Tinggi pada tahun 1946 ditetapkan bahwa Pulau Sumatera dibagi menjadi
tiga sub Propinsi, yaitu Sub Propinsi Sumatera Utara, Sub Propinsi Sumatera Tengah, Sub Propinsi Sumatera Selatan. Kemudian dengan UU Nomor 10 tahun 1946 sub
propinsi tersebut ditetapkan menjadi propinsi, dimana daerah Kepresidenan Jambi yang terdiri dari Kabupaten Batang Hari, dan kabupaten Merangin tergabung dalam
Propinsi Sumatera Tengah. Dengan Undang-Undang Darurat Nomor 19 tahun 1957 yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 18 tahun 1958, dibentuklah
Propinsi Daerah Tingkat I Jambi yang terdiri dari Kabupaten Batang Hari, Kabupaten Merangin dan Kabupaten Kerinci. Dalam perjalanan sejarah, dengan
dibentuknya Propinsi Daerah Tingkat I Jambi, yang sekaligus juga dibentuknya Kabupaten Merangin pada saat ini adalah Kabupaten Merangin, Kabupaten
Sarolangun, Kabupaten Bungo Tebo yang beribukota di Bangko. Kemudian ibukota Kabupaten Merangin dipindahkan ke Muara Bungo yang diputuskan melalui sidang
DPRD. Selanjutnya, dengan adanya gerakan PRRI tahun 1958 Kantor Bupati
Merangin di bakar dan dibangun kembali pada tahun 1965 sebagai persiapan Kantor Bupati Sarolangun Bangko. Setelah berdirinya Kabupaten Sarolangun Bangko
melalui UU No. 7 tahun 1965, maka pusat pemerintahan ditempatkan di Bangko dan
49
juga menempati bangunan tersebut. Setelah itu pindah ke Kantor yang baru di jalan Jendral Sudirman Km2, sedangkan kantor lama menjadi Kantor Dinas Pendapatan
Daerah Tingkat II. Dengan adanya pemekaran wilayah sesuai dengan UU No. 54 tahun 1999
tentang pembentukan Kabupaten Merangin, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur, maka wilayah Kabupaten Sarolangun Bangko
dimekarkan menjadi dua yaitu Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin. Kabupaten Sarolangun beribukota di Sarolangun dan Kabupaten Merangin beribukota
di Bangko. Dasar pembentukan wilayah Kabupaten Merangin adalah Undang-undang Nomor 54 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo,
Kabupaten Muara Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur LN tahun 1999 Nomor 182, TLN Nomor 39030. Kabupaten Merangin merupakan Pengembangan
dari Kabupaten Sarolangun Bangko dan hari jadinya tanggal 5 Agustus 1965.
4.1.2 Letak Lokasi Dan Keadaan Alam
Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0,45° Lintang Utara, 2,45° Lintang Selatan dan antara 101,10°-104,55° Bujur Timur. Kabupaten Merangin
adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jambi. Luas wilayahnya 7.679 km² dengan populasi penduduknya berjumlah 251.283 jiwa. Ibu kotanya ialah Bangko. Kabupaten
ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Sarolangun-Bangko dan terbagi menjadi 9 kecamatan yang terbagi lagi menjadi 141 desa. Luas dan batas wilayah Kabupaten
Merangin:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaen Bungo - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sarolangun
50
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kerinci - Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bungo Tebo
Kondisi geografis yang cukup strategis di antara kota-kota lain di provinsi sekitarnya membuat peran Provinsi ini cukup penting terlebih lagi dengan dukungan
sumber daya alam yang melimpah. Kebutuhan industri dan masyarakat di kota-kota sekelilingnya didukung suplai bahan baku dan bahan kebutuhan dari provinsi ini.
Kabupaten Merangin terdiri dari areal pemukiman, ladang, perkebunan sawit, hutan, jalan dan lain-lain. Jika dibandingkan kabupaten lain yang berada di
Provinsi Jambi, Kabupaten Merangin merupakan kabupaten yang paling luas. Jarak antara kelurahan dan kecamatan berkisar 30 menit dengan lama tempuh sekitar 45
menit dengan jalan yang sudah diaspal dimana di sepanjang kiri dan kanan perjalanan terdapat rumah penduduk dan perkebunan sawit dan karet.
Gambar 6 Peta Kabupaten Merangin
4.1.3 Pola Pemukiman
Suku Anak Dalam pada awalnya tingggal di dalam hutan. Namun pada saat ini ada dua kriteria Suku Anak Dalam yaitu yang tinggal di dalam hutan dan yang
51
tinggal di lokasi Trans Sosial. Suku Anak Dalam yang tinggal di lokasi Trans Sosial memiliki rumah dan lahan perkebunan. Rumah yang di miliki Suku Anak Dalam
didirikan oleh Pemerintah, rumah tersebut terbuat dari papan dan beratapkan seng. Suku Anak Dalam juga mendapatkan bibit sawit dari pemerintah. Bibit sawit tersebut
ditanam di lahan milik Suku Anak Dalam, tujuannya agar mereka memiliki matapencaharian dan dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Pemukiman atau tempat tinggal Suku Anak Dalam berada di Desa Bukit Suban, Kabupaten Merangin. Daerah tersebut sangat dekat dengan Taman Nasional
Bukit Dua Belas tempat Suku Anak Dalam yang belum mengikuti Program Trans Sosial berada. Lahan kebun sawit yang di miliki oleh Suku Anak Dalam luasnya
bervariasi, ada yang memiliki 10 Ha dan ada juga yang memiliki 2 Ha saja. Luas lahan tersebut tergantung dengan luas lahan yang di miliki oleh setiap Suku Anak
Dalam. Suku Anak Dalam yang memiliki kebun karet juga memiliki perbedaan luas lahan, karena tergantung berapa banyak lahan yang dapat di buka dan ditanami pohon
karet oleh mereka. Suku Anak Dalam memiliki Petuah yang dijunjung tinggi yaitu “segala
tumbuh – tumbuhan yang ada serta hewan yang ada di bumi milik mereka”. Petuah tersebut memiliki dampak yang negatif bagi Masyarakat Terang, karena Suku Anak
Dalam dapat tinggal di tempat yang mereka inginkan. Lahan kebun sawit Masyarakat Terang menjadi sasaran utama mereka, karena disaat Suku Anak Dalam tinggal di
lahan tersebut mereka mengambil buah sawit Masyarakat Terang. Sehinggga Petuah yang mereka junjung tersebut menjadikan masalah bagi masyarakat yang ada di
sekitarnya. Seperti masalah yang dapat kita lihat yaitu dengan petuah tersebut,
52
mereka berhak atas hasil kebun masyarakat lainnya dan dapat tinggal di perkebunan sawit Masyarakat Terang. Ketika masyarakat melaporkan kepada pihak yang
berwajib, Suku Anak Dalam tersebut berkata “semuanyo milik nenek moyang”Nyeneh ,34 tahun, laki –laki. Dengan demikian kasus tersebut tidak akan
pernah selesai dikarenakan Suku Anak Dalam menggunakan hukum adat mereka sendiri dan tidak mau menggunakan hukum Negara yang berlaku.
4.1.4 Mata Pencaharian Suku Anak Dalam Di Lokasi Trans Sosial A. Pendapatan Suku Anak Dalam
Suku Anak Dalam memiliki pendapatan dari perkebunan, seperti Perkebunan sawit, perkebunan karet, sayur – sayuran, buah – buahan, rotan dan berburu. Setiap
keluarga Suku Anak Dalam memiliki pendapatan yang berbeda tergantung dari hasil perkebunan atau pertanian yang mereka dapatkan. Pendapatan mereka berbeda jauh
dengan Suku Anak dalam yang sudah tidak memiliki lahan perkebunan, dan hanya memiliki pekerjaan sebagai pemburu babi hutan dan pengambil rotan.berikut tabel
mengenai pendapatan Suku Anak Dalam.
Tabel. 1. Jawaban Responden Berdasarkan Pernyataan “Berapakah Pendapatan Keluarga Anda Perbulan.”
No Pendapatan
Jumlah Persentase
1 4.000.000
20 57,14
2
4.000.000 15
42,86
Total 35
100
Sumber : Data Penelitian Lapangan Kuesioner Agustus 2012
Hasil dari data di atas adalah tingkat pendapatan Suku Anak Dalam yang dibagi menjadi dua tingkatan yaitu keluarga yang memiliki pendapatan 4.000.000
berjumlah 20 keluarga dengan persentase 57,14 Persen, sedangakan keluarga dengan
53
tingkat pendapatan 4.000.000 berjumlah 15 keluarga dengan persentase 42,86 Persen. Data ini diperoleh dari 35 keluarga Suku Anak Dalam yang menjadi informan
penelitian. Dari data di atas menjelaskan bahwa pendapatan Suku Anak Dalam ada yang
berpenghasilan baik dan ada yang tidak. Hasil pendapatan di atas dari berbagai jenis pekerjaan Suku Anak Dalam.
1. Perkebunan Sawit
Pemerintah Daerah memberikan Bibit sawit dan perumahan bagi Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial. Suku Anak Dalam yang memiliki
lahan perkebunan sawit merawat perkebunan sawit mereka dan menjadikan perkebunan sawit menjadi sumber utama bagi matapencaharian mereka. Cara
bercocok tanaman masyarakat Suku Anak Dalam masih bersifat manual yaitu dikerjakan dengan tidak menggunakan mesin dan tidak ada teknik khusus dalam
penggarapan dan perawatan lahan pertanian. Penghasillan yang diperoleh dari perkebunan sawit setiap keluarga Suku Anak Dalam berbeda, hal ini disebabkan
karena luas lahan perkebunan mereka yang berbeda. Pendapatan Suku Anak Dalam dari perkebunan sawit berbeda karena adanya
perbedaan lahan perkebunan yang dimiliki oleh mereka. Perkebunan sawit setiap Dua Hektar menghasilkan sekitar 3 Ton per 2 minggunya, sehingga dalam waktu
satu bulan mereka mereka mendapatkan 6 Ton kelapa sawit dengan harga Rp. 7.200.000. Suku Anak Dalam yang memiliki lahan perkebunan sawit 5 Hektar
mendapatkan hasil sawit sekitar 15 Ton per bulan dengan harga Rp. 18.000.000.
54
Sedangkan lahan sawit yang 10 Hektar mendapatkan hasil buah sawit 30 Ton per bulannya dengan jumlah uang Rp. 36.000.000.
Pengeluaran Suku Anak Dalam tiap bulannya adalah membayar pekerja untuk memanen sawit atau mendodos, biaya pupuk untuk perkebunan sawit, biaya
kebutuhan sehari – hari dan lain sebagainya. Diantara pengeluaran tersebut biaya untuk perawatan perkebunan sawit lumayan besar, karena lahan perkebunan
membutuhkan pupuk yang banyak. Bukan hanya pupuk, Suku Anak Dalam juga membeli Janjangan limbah atau kerangka buah sawit yang tidak ada buahnya lagi
dari Pabrik Sawit PT. SAL dengan harga per Dam Truk sekitar 200. 000 Rupiah tergantung dengan jauhnya jarak lahan yang akan ditempuh, semakin jauh jarak
lahan perkebunan sawit maka harga Janjangan akan mahal. Suku Anak Dalam tidak hanya membutuhkan satu Dam Truk saja, melainkan untuk lahan yang luas
dibutuhkan 20 sammpai 30 Dam Truk pupuk Janjangan. Pengeluaran Suku Anak Dalam tersebut masih dapat ditanggulangi karena penghasilan Suku Anak Dalam
bukan hanya dari perkebunan sawit saja, melainkan sebagian Suku Anak Dalam masih memiliki Lumbung pendapatan dari berbagai hal seperti Perkebunan Karet,
Sayur - sayuran dan buah – buahan serta hasil usaha lainnya seperti warung.
2. Perkebunan karet
Perkebunan karet yang dimiliki oleh Suku Anak Dalam tidak diberikan oleh Pemerintah, namun perkebunan karet tersebut didapatkan mereka dari membuka
lahan sendiri dan menanaminya dengan pohon karet. Lahan yang dijadikan perkebunan karet Suku Anak Dalam adalah daerah di luar Bukit Dua Belas dan
55
berguna juga untuk menjaga hutan yang ada di Bukit Dua Belas hal ini dinamakan Hompongan. Berikut hasil kutipan wawancara dengan salah satu Suku Anak Dalam.
“… Waktu kami keluar hutan, kami tinggal dipinggir Bukit Dua Belas. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami membuka lahan
semak belukar yang ada di sekeliling Bukit Dua Belas dan menanaminya dengan pohon karet, kami memilih pohon karet karena
pohon karet tidak terlalu butuh perawatan. Dengan hasil dari kebun karet kami mampu mencukupi kebutuhan kekuarga kami. Tidak
beberapa lama temengggung mendatangi kami, dan mengajak kami untuk ikut Trans Sosial..”
2
Penghasilan yang didapat oleh Suku Anak Dalam dari perkebunan karet berdasarkan harga getah Karet perkilonya, yaitu pada Bulan Agustus 2012 harga
getah karet per kilogram sekitar 12.000 Rupiah. Hasil perkebunan yang didapat oleh Suku Anak Dalam dari perkebunan karet tergantung dengan bagus tidaknya getah
yang keluar dari pohon karet tersebut. Sedangkan Pengeluaran yang dikeluarkan oleh Suku Anak Dalam yaitu biaya untuk pupuk dan membayar para pekerja ketika
mengangkat getah karet. Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa Suku Anak Dalam yang
mempunyai perkebunan karet memiliki kehidupan yang baik, karena setiap hektar perkebunan karet yang dimiliki oleh Suku Anak Dalam mampu menghidupi
keluarga mereka, belum lagi sebagian dari Suku Anak Dalam mendapatkan penghasilan dari perkebunan sawit yang dimiliki oleh Suku Anak Dalam itu sendiri.
3. Berburu
Sebagian Suku Anak Dalam tidak hanya bertani dan berkebun saja, melainkan ada yang berburu hewan di perkebunan kelapa sawit, seperti Babi Hutan dan Ular
2. Wawancara dengan Bapak Abdullah, 56 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012,
di Lokasi Trans Sosial.
56
Sawah. Suku Anak Dalam yang memiliki mata pencaharian dengan berburu, meletakan jerat untuk hewan buruannya di dalam perkebunan sawit pada waktu Sore
hari dan ketika pagi mereka melihat jerat. Hasil dari berburu dijual mereka pada tengkulak daging, dengan perkiraan setiap satu ekor babi hutan yang besar dijual
dengan harga 200.000 Rupiah hingga 300.000 Rupiah namun jika babi hutan tersebut berukuran kecil maka dijual dengan harga 100.000 Rupiah hingga 150.000 Rupiah.
Seperti penjelasan yang diberikan oleh informan berikut ini : “… Tengkulak daging mau ambil hewan buruan kami dengan
harga yang murah dan hewan tersebut tidak ditimbang, hanya pakai predeksi saja. Kalo hewan buruannya kena tembak harganya
pasti murah, tapi kalo hewan buruannya tertangkap memakai jerat harganya relative naik, walaupun sedikit..”
3
4. Bertanam Sayuran dan Buah
Suku Anak Dalam juga ada yang menjual hasil pertanian berupa sayur – sayuran dan buah – buahan dari tanaman yang ada di halaman rumah dan di
perkebunan karet atau sawti Suku Anak Dalam. Sayur – sayuran yang dihasilkan mereka seperti Kangkung, Bayam, Daun Singkong dan Kacang Panjang. Sedangkan
buah yang dijual mereka seperti Cempedak, Duku atau Langsat, Durian, Rambutan, Mangga, Jambu Air, dan Kelapa muda maupun kelapa tua. Suku Anak Dalam
menjual semua hasil perkebunan sayur mereka kepada tengkulak sayur atau pengumpul sayur – sayuran yang nantinya akan dijual ke pedagang sayur di pasar.
3. Wawancara dengan Bapak Ermes, 35 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012, di Lokasi Trans Sosial.
57
5. Buruh Kasar
Bagi sebagian Suku Anak Dalam yang tidak memiliki lahan untuk menanam karet dan kelapa sawit seperti Suku Anak Dalam lainnya, karena lahan yang ada
sebelumnya telah mereka jual kepada masyarakat Terang, sehingga mereka tidak dapat lagi bercocok tanam dan memilih untuk menjadi buruh harian. Apabila ada
Suku Anak Dalam lain yang sedang memanen hasil perkebunan mereka, Suku Anak Dalam lain yang memilih mata pencharian sebagai buruh yang membantu mereka
dalam memanen hasil kebunnya, contohnya dari proses memanen kelapa sawit sampai menggangkat buah kelapa sawit ke pinggir jalan untuk mempermudah
tengkulak yang akan mengambil kelapa sawit tersebut. Berikut adalah kutipan wawancara dengan salah satu Suku Anak Dalam yang
memiliki mata pencaharian sebagai buruh harian: “… Saya terpaksa harus melakukan pekerjaan sebagai buruh,
karena saya tidak memiliki pekerjaan lain dan tidak memiliki kebun sawit ataupun kebun karet, seperti orang lainnya,
penghasilannya dapat membantu saya mencukupi kebutuhan keluarga saya..”
4
Dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa Suku Anak Dalam yang bermata pencaharian sebagai buruh adalah mereka yang tidak memiliki lahan untuk bercocok
tanam, mereka mencoba memenuhi kebutuhan hidup keluarganya hanya dengan mengandalkan pekerjaannya sebagai buruh harian, walaupun mereka merasa semua
itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi mereka memaksa untuk mencukup-cukupkannya.
4. Wawancara dengan Bapak Rengkuti, 45 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012, di Lokasi Trans Sosial.
58
6. Mencari Rotan
Suku Anak Dalam telah sejak lama dikenal sebagai pengumpul rotan yang handal. Tumbuhan memanjat dari Family palmae, ditemui hampir diseluruh hutan
Jamb, yang merupakan tempat hidup Suku Anak Dalam. Sejauh ini Suku Anak Dalam baru menjual Routan demikian Suku Anak Dalam menyebut tumbuhan ini
yang baru dipanen di dalam hutan. Hal ini menyebabkan harga rotan sangat murah jika dibandingkan dengan rotan olahan. Untuk menjadikannya sebagai rotan olahan
tentu butuh ketrampilan khusus. Terkait dengan ini, KKI Warsi yang telah lama mendampingi komunitas Suku Anak Dalam, mengajak 12 Suku Anak Dalam
perwakilan dari beberapa rombongan di TNBD melakukan kunjungan belajar ke unit usaha pengolahan rotan di Bungo jambi dan Palembang SUMSEL, beberapa waktu
lalu. Kegiatan ini dilaksanakan untuk memberikan pengetahuan dan menumbuhkan minat Suku Anak Dalam untuk melakukan pengolahan rotan secara mandiri dengan
memperhatikan kepentingan konservasi. Suku Anak Dalam mencari rotan secara berkelompok, dengan diorganisir
pemimpin kelompok seperti umumnya dilakukan Suku Anak Dalam di TNBD atau diorganisir oleh orang luar yang bertindak sebagai pembeli toke seperti Suku Anak
Dalam di jalan lintas. Bagi Suku Anak Dalam yang berada di TNBD, ketersediaan rotan boleh dikatakan masih melimpah. Namun, usaha untuk mengeluarkan rotan dari
dalam hutan menuju desa terdekat membutuhkan kerja keras dan waktu yang cukup panjang. Hal ini mengingat akses jalan masih sangat terbatas. Setelah rotan terkumpul
dan Suku Anak Dalam telah mendapatkan calon pembeli, kemudian rotan yang terkumpul diantarkan menggunakan truk ke tempat pengumpulan sementara. Lokasi
59
pengumpulan rotan kebanyakan tersebat sepanjang di jalan lalu lintas Sumatera, mulai dari Bangko hingga Bungo. Proses pengankutan membutuhkan waktu
sedikitnya 2 jam perjalanan.
Tabel 2 Harga Jual Rotan No.
Jenis Rotan Harga PerbatangKg
1
Rotan Getah 500
2 Rotan Saga
1.000
3 Tebu – tebu
500
4
Manau 9.000
5 Semambu
1.500
Sumber : Alam Sumatera 2009
Harga jual rotan ini sangat jauh jika dibandingkan dengan harga rotan yang telah diolah. Rotan yang diolah dengan cara penggorengan rotan dimasukan ke
dalam campuran minyak dan solar kemudian dipanaskan, yang bertujuan untuk menurunkan kadar air dan memperbaiki warna bias meningkatkan harga dua sampai
tiga kali lipat. Suku Anak Dalam kaget, ketika mengetahui harga rotan bias meningkat tajam hanya dengan menggorengnya. Berikut hasil kutipan wawancara
dengan Suku Anak Dalam. “…Jika Suku Anak Dalam mempunyai alat penggorengan dan bias
menggoreng rotan sendiri, pasti Suku Anak Dalam bias dapat menjual rotan dengan harga lebih baik..”
5
“… Mungkin bila ada yang bersedia membantu kami membimbing belajar menganyam rotan sampai kami pandai membuat kursi atau
meja dari rotan, maka Suku Anak Dalam akan bisa lebih maju. Tidak hanya menjual kepada Toke yang harganya hanya
ditentukan toke, karena kami bisa mengolahnya sendiri dan dan menjualnya pada orang – orang yang datang ke TNBD sebagai
5. Wawancara dengan Mangku Basemen, Penghulu SAD. Wawancara dilakukan pada bulan Juli 2012, di Lokasi Trans Sosial.
60
oleh – oleh atau kenang – kenangan, atau kalau memungkinkan kami bias mengirimkan hasil kerajinan kami ke pusat – pusat
penjualan kerajinan, sehingga hasilnya jauh lebih baik untuk kemajuan ekonomi Suku Anak Dalam..”
6
Mengambil rotan di dalam hutan hanya dilakukan oleh Suku Anak Dalam yang tidak memiliki perkebunan dan pertanian, Dari hasil kutipan tersebut, Suku
Anak Dalam yang bekerja mencari rotan di hutan, memilih untuk mencari rotan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
B. Penjualan Lahan Sawit Dan Karet
Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial ada yang memiliki pendapatan cukup serta ada juga yang berpendapatan lebih dari cukup, namun ada
juga Suku Anak Dalam yang kesulitan dalam memenuhi kebutuhan keluarganya sehari – hari. Suku Anak Dalam yang memiliki pendapatan 4.000.000 adalah
mereka yang memiliki lahan perkebunan sawit dan karet yang luas dan tidak pernah sekalipun menjual perkebunan mereka seperti yang dilakukan oleh Suku Anak Dalam
yang lainnya. Suku Anak Dalam yang menjual lahan perkebunannya kepada Masyarakat Terang dengan harga yang relatif murah. Seperti data yang didapat dari
hasil wawancara berikut ini : “…Kami jual lahan dengan harga murah, biar cepat terjual
lahannya. Karena kami butuh uang cepat. Lahan yang kami punya sekitar 2 Hektar dijual dengan harga 15 sampai 20 juta saja yang
penting laku ..”
7
6. Wawancara dengan Temenggung Tarib, 60 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Juli 2012, di Lokasi Trans Sosial.
7. Wawancara dengan Bapak Mustafa, 43 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012,
di Lokasi Trans Sosial.
61
Harga jual lahan perkebunan yang sangat murah membuat Masyarakat Terang tertarik dan membeli lahan perkebunan tersebut. Namun, lahan tersebut tidak
memiliki Sertifikat tanah karena lahan tersebut milik Suku Anak Dalam, sehingga tidak memiliki Sertifikat tanah karena tidak diurus oleh mereka. Hasil dari penjualan
lahan tersebut digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari keluarga Suku Anak Dalam. Seperti membeli beras dan kebutuhan pokok lainnya, serta membeli
pakaian, namun sebagian kepala keluarga dari Suku Anak Dalam ada yang memakai uang tersebut untuk membeli rokok dan minuman keras seperti tuak. Setelah uang
penjualan lahan tersebut habis Suku Anak Dalam tersebut akan kesulitan memenuhi kebutuhan keluarganya.
Suku Anak Dalam yang tidak memiliki jalan keluar lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, mereka memilih untuk menjual kembali lahan yang
sebelumnya sudah mereka jual kepada Masyarakat Terang dan menjualnya kembali kepada Masyarakat Terang yang lainnya karena tidak ada sertifikat kepemilikan tanah
sehingga dengan mudah Suku Anak Dalam menjual kembali tanah yang sudah mereka jual sebelumnya. Mereka menjual lahan tersebut dengan harga yang murah
juga kepada pembeli yang baru. Setelah mendapatkan uang dari hasil menjual lahan, Suku Anak Dalam
menggunakan uang tersebut untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Mereka tidak sadar apa yang telah mereka lakukan sudah menimbulkan konflik antara para pembeli
pertama dan pembeli kedua. Namun, Suku Anak Dalam tidak peduli akan konflik yang terjadi, mereka tetap hidup seakan tidak pernah terjadi masalah.
62
4.1.5 Sarana dan Prasarana
4.1.5.1 Pendidikan SAD yang Mengikuti Program Trans Sosial
Salah satu indikator inti untuk mendapatkan gambaran tentang kualitas
sumber daya manusia adalah dengan melihat komposisi penduduk yang menamatkan pendidikan tertinggi. Karena kualitas sumber daya manusia yang tinggi hanya bisa
didapatkan apabila manusia tersebut memiliki jenjang pendidikan yang tinggi pula. Kehidupan Suku Anak Dalam dalam bidang pendidikan sangat berbeda dengan
masyarakat umum lainnya. Pada umumnya, mereka tidak mencapai tingkat pendidikan tinggi. Sebagian dari anak – anak Suku Anak Dalam SAD ada yang
mengikuti pendidikan formal di sekolah, terutamanya adalah PAUD Pendidikan Anak Usia Dini dan tingkat SD Sekolah Dasar. Namun demikian yang mengikuti
pendidikan ditingkat PAUD dan SD di lokasi Trans sosial ini hanya terbatas kepada beberapa keluarga saja, selebihnya tidak bersekolah.
A . Sarana Pendidikan
Di Lokasi Trans Sosial tidak disediakan sekolah bagi anak – anak Suku Anak Dalam secara khusus. Namun, di Kabupaten Merangin yang merupakan sebagian
daerah yang didiami SAD terdapat sarana pendidikan seperti TK Taman Kanak – kanak, SD Sekolah Dasar, SMP Sekolah Menengah Pertama dan SLTA Sekolah
Lanjutan Tingkatan Pertama. Sekolah – sekolah tersebut terletak di sekitar lokasi Trans Sosial dan bukan di pusat lokasi Trans Sosial. Sarana pendidikan yang telah
tersedia di Kabupaten Merangin membuat Suku Anak Dalam mudah untuk mendapatkan pendidikan seperti yang diinginkan mereka. Para guru telah siap
63
dibekali untuk menerima anak – anak Suku Anak Dalam dan dengan sabar mendidik anak – anak Suku Anak Dalam yang ingin bersekolah. Namun, kendala yang
didapatkan oleh para guru bukan saja karena anak – anak Suku Anak Dalam jarang datang ke sekolah, tetapi para guru juga harus bersabar membujuk anak – anak Suku
Anak Dalam agar mau datang hadir ke sekolah. Karena, para guru selain merasa sebagai tugas dan tanggung jawab mereka tetapi, yang paling penting para guru
melihat bahwa anak – anak SAD belum mempunyai keinginan yang kuat untuk belajar di sekolah.
Sarana pendidikan merupakan sarana pokok yang harus diperhatikan oleh setiap masyarakat untuk meningkatkan sumber daya manusia yang handal. Di sekitar
daerah Trans Sosial hanya ada beberapa sekolah saja, sekolah – sekolah yang berada dekat dengan Lokasi Trans Sosial seperti yang dikatakan oleh masyarakat yang
tinggal disekitar lokasi Trans Sosial.
Tabel 3 Jumlah Sekolah Di Lokasi Trans Sosial Kabupaten
Jenis Sekolah Yang Mendidik Anak SAD SD
SMP SLTA
Merangin 2
1 Sarolangun
1 1
Tebo 1
1 Batang Hari
1
Sumber : Data Provinsi Jambi
“…Di daerah Trans Sosial sudah terdapat PAUD, TK, SD dan SMP. Rata – rata Suku Anak Dalam megenyam pendidikan sampai tingkat
SMP. Suku Anak Dalam yang berhasil tamat dari SD disekitar 4
64
Empat Kabupaten yang berdekatan dengan Bukit Dua Belas ada
sekitar 400anak..”
8
Sekolah – sekolah yang ada di sekitar Empat Kabupaten di Provinsi Jambi yaitu Kabupaten Merangin, Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo dan Kabupaten
Batanghari dengan jumlah anak didik yang berasal dari Suku Bangsa SAD yang bersekolah di Empat Kabupaten adalah sebagai berikut :
Tabel 4 Jumlah Murid Berdasarkan Tingkat Pendidikan SAD di Sekitar Bukit Suban
No Tingkat pendidikan
Jumlah Anak Persentase
1 PAUD
20 16
2 TK
30 24
3 SD
45 36
4 SMP
30 24
Total 125
100
Sumber Data Penelitian Di Kantor Kelurahan Bukit Suban Tahun 2011
Dari data di atas Suku, Anak Dalam yang mengikutkan anak mereka ke pendidikan tingkat PAUD adalah 20 orang dengan persentase 16 Persen, Sedangkan
yang mengikuti pendidikan di tingkat TK berjumlah 30 orang atau 24 persen. Suku Anak Dalam yang melanjutkan ke tingkat SD berjumlah 45 orang atau 36 Persen.
Tingkat pendidikan Suku Anak Dalam yang paling tinggi adalah tingkat SMP yaitu berjumlah 30 orang atau 24 Persen,
Anak – anak Suku Anak Dalam yang berkeinginan untuk bersekolah berusaha, untuk dapat diterima oleh teman – temannya di sekolah. Upaya yang
dilakukan oleh anak – anak tersebut adalah bangun lebih awal untuk membersihkan diri seperti mandi, sikat gigi, merapikan seragam yang akan dipakai ke sekolah.
8. Wawancara dengan Bapak R. Sinaga, 52 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012,
di Lokasi Trans Sosial.
65
Bukan hanya itu saja, anak – anak Suku Anak Dalam juga merapikan diri dengan memotong rambut mereka serta berusaha wangi agar teman – teman mereka di
sekolah tidak mencium bau yang tidak sedap dari pakaian mereka. Sehingga anak – anak Suku Anak Dalam dapat bergaul dan diterima oleh teman – teman mereka.
Bukan hanya anak – anak Suku Anak Dalam saja yang berusaha agar mereka diterima di lingkungan sekolah. Pihak orang tua mereka juga membantu upaya dari anak –
anak tersebut agar mereka dapat diterima di dalam pergaulan dengan teman – teman dari luar suku mereka. Seperti memberikan uang saku kepada anak – anak mereka
dengan tujuan agar anak mereka dapat bergaul dengan teman – temannya di sekolah. Selain itu juga, para orang tua memberikan perlengkapan sekolah kepada anak
mereka agar tidak tertinggal dengan anak – anak Masyarakat Terang, agar anak – anak mereka dapat sejajar dan sama dengan anak – anak Masyarakat Terang dan tidak
ada lagi yang dapat menjadi bahan ejekan dari teman – teman mereka. Namun demikian, tidak semua orang tua yang berkeinginan agar anak mereka sekolah. Ada
sebagian orang tua yang tidak menganggap penting pendidikan, seperti data yang ada di bawah ini.
Tabel 5 Pandangan Orang Tua SAD Yang Telah Bermukim Di Lokasi Trans Sosial Tentang Pendidikan Anak – anak Mereka
No Jawaban
Jumlah F Persentase
1 Sangat Penting
15 42,86
2 Netral
4 11,43
3 Tidak Penting
16 45,71
Total 35
100
Sumber : Data Penelitian Lapangan Agustus 2012
66
Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas responden menjawab bahwa pendidikan tidak penting dengan jumlah 16 orang atau 45,71 Persen. Berikut adalah
hasil kutipan wawancara peneliti dengan informan yang dapat menjelaskan mengapa Suku Anak Dalam tidak menganggap pendidikan itu penting. Seperti yang
diungkapkan informan di bawah ini: “…Kami tinggal di daerah Trans Sosial ini berharap akan
mendapatkan teman selain dari suku kami. Namun, kami mendapatkan penolakan. Seperti yang dirasakan oleh putri saya
ketika menuntut ilmu di Sekolah Dasar, namun harus mengalami dilema untuk kembali ke sekolah. Karena di olok – olok oleh teman –
temannya di sekolah. Yahh.. banyak juga hinaan yang masyarakat terang lakukan, namun dilakukan secara halus. Misalnya ketika
kami lewat atau berada di pasar dan berpapasan, masyarakat Terang langsung menjauhi kami seolah – olah kami memiliki
penyakit yang menular. kami sudah mencoba untuk mendekatkan diri kepada masyarakat terang, namun selalu di perlakukan seperti
manusia yang menjijikan. Karena itu kami sekeluarga menarik diri dari pergaulan. Bukan karena kami tidak menyukai masyarakat
Terang. Namun, kami hanya menjauhkan diri dari mereka agar kami tidak di hina dan merasakan olokan mereka..”
9
Jawaban yang diberikan oleh informan mempertegas bahwa Suku Anak Dalam tidak menganggap pendidikan itu penting dikarenakan adanya penolakan yang
dilakukan oleh masyarakat di sekitar mereka. Olokan dan hinaan yang dirasakan oleh anggota suku anak dalam membuat mereka tidak ingin memasukkan anak – anak
mereka ke sekolah.
9. Wawancara dengan Bapak Dedi, 34 Tahun. Wawancara dilakukan pada Bulan Agustus 2012
67
Sedangkan Suku Anak Dalam yang menjawab sangat penting dengan jumlah 15 orang atau 42,86 Persen. Suku Anak Dalam yang menganggap Pendidikan itu
sangat penting berusaha untuk menyekolahkan anak – anaknya sampai ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Mereka menyekolahkan anak – anak mereka dengan
tujuan agar anak mereka tidak buta huruf dan dapat menulis serta mengetahui angka – angka untuk menambah dan membagi, sehingga tidak ditipu oleh orang. Karena
kebanyakan dari Suku Anak Dalam yang buta huruf dan tidak bisa membaca, sering di tipu oleh masyarakat Terang. Dengan kondisi yang demikian, membuat para orang
tua Suku Anak Dalam yang menganggap pendidikan penting berusaha untuk menyekolahkan anak – anak mereka.
Suku Anak Dalam yang tidak menjawab atau Netral berjumlah 4 orang atau 11,43 Persen. Suku Anak Dalam yang tidak menjawab berfikir bahwa sekolah atau
tidak anak – anak mereka itu tidak ada dampak yang baik bagi mereka. Sehinga Suku Anak Dalam tersebut memberikan kebebasan kepada anaknya untuk memilih mau
sekolah atau tidak. WARSI Warung Informasi adalah suatu lembaga sosial masyarakat yang
khusus menangani kehidupan Suku Anak Dalam yang terdapat di daerah Jambi. Dalam hal pendidikan, Lembaga WARSI berusaha untuk menyediakan buku – buku
bacaan dan pelajaran untuk anak – anak Suku Anak Dalam. Mereka membuat perpustakaan kecil di pondok atau. Anak – anak yang ingin membaca dan meminjam
buku diperbolehkan, bukan hanya sekedar membaca dan meminjam saja. Tetapi, WARSI juga memberikan les tambahan buat anak – anak Suku Anak Dalam tersebut.
68
Kehadiran WARSI di sarankan sangat membantu Anak – anak Suku Anak Dalam untuk belajar dan menambah motivasi anak – anak tersebut untuk tetap
bersekolah. Anak – anak SAD yang bersekolah difasilitasi oleh orang tua mereka, dengan perlengkapan belajar sampai seragam dan atribut sekolah. Putus sekolahnya
anak – anak Suku Anak Dalam tidak membuat para guru putus asa, dengan dibantu oleh WARSI para guru coba untuk mengajak anak – anak Suku Anak Dalam lagi
untuk sekolah lagi. Anak – anak Suku Anak Dalam yang tidak mau untuk kembali lagi sekolah mendapatkan pendidikan di WARSI sedangkan untuk buku bacaan,
dapat meminjam di perpustakaan WARSI. Sehingga sebetulnya tidak ditemukan masalah pendidikan dari sudut sarana pendidikan tetapi, lebih kepada halangan
budaya. Pihak WARSI akan mengajarkan anak – anak Suku Anak Dalam tersebut di
basecamp mereka, atau pihak WARSI mendatangi rumah – rumah anak Suku Anak Dalam tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh salah – satu informan berikut :
“…Kami tau kalau anak – anak Suku Anak Dalam ingin sekali melanjutkan sekolah mereka, tapi karena ejekan dan olokan dari
teman – teman sekolahnya membuat mereka tidak mau untuk datang ke sekolah lagi, karena masalah yang demikian saya selaku
guru dan teman – teman yang ada di WARSI bersama – sama mendatangi rumah anak – anak Suku Anak Dalam yang putus
sekolah, mengajak anak – anak tersebut untuk datang ke Pondok WARSI dan di sanalah kami mengajar bagi anak – anak yang putus
sekolah tersebut, sehingga anak – anak tersebut dapat menulis dan membaca..”
10
10. Wawancara dengan Bapak Heri, 30 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012, di
Lokasi Trans Sosial.
69
B. Kendala Pendidikan Bagi Keluarga SAD
Pada dasarnya Anak – anak Suku Anak Dalam SAD memiliki keinginan bersekolah, tetapi pada sebagian besar anak –anak tersebut tidak mau datang ke
sekolah karena mereka mendapatkan hinaan dan ejekan dari teman – teman mereka di sekolah. Anak – anak Suku Anak Dalam yang tidak mau melanjutkan pendidikan ke
tingkat yang lebih tinggi dan tidak mau ke sekolah ada dua kategori Pertama, anak – anak tersebut tidak mau kesekolah, mereka lebih memilih untuk bermain bersama
dengan sesama anak – anak Suku Anak Dalam lainnyadi Lokasi Trans Sosial dan ada juga yang memilih untuk ikut dengan orang tua mereka ke perkebunan kelapa sawit,
karena lebih nyaman bergaul dengan keluarga dan sesama Suku Anak Dalam. Kedua, karena anak – anak Suku Anak Dalam mendapat hinaan, celaan serta olokan dari
teman – teman Masyarakat Terang ketika berada di sekolah. Sehingga anak – anak Suku Anak Dalam tidak mau datang lagi ke sekolah untuk mendapatkan pendidikan.
Bentuk hinaan atau celaan yang selalu dikemukakan oleh Masyarakat Terang Sebutan bagi Masyarakat di luar Suku Anak Dalam kepada anak – anak Suku Anak
Dalam yang menyebabkan mereka berhenti dari sekolah, antara lain : 1.
Olokan yang mengatakan mereka dengan sebutan Orang Kubu. Julukan yang artinya merendahkan mereka. Padahal Suku Anak Dalam lebih suka dipanggil
dengan sebutan “sanak” yang artinya saudara, sehingga dirasakan oleh mereka tidak ada perbedaan yang mencolok antara Suku Anak Dalam dengan
Masyarakat Terang. Imej sebagai suku kubu yang berarti jorok, kotor, penyakitan dan berbau
70
mistis, masih tertanam kuat di masyarakat Terang. Meskipun Suku Anak Dalam telah berubah dan berkampung serta meninggalkan kebiasaan lama seperti tidak
mandi, dan memakai cawat atau bercawot, namun dalam keseharian, mereka tetap diperlakukan seperti manusia kelas lima. Perubahan yang dilakukan oleh Suku Anak
Dalam supaya mereka dapat diterima berdampingan dengan warga lainnya. Saling mernghargai juga diciptakan diantara mereka. Interaksi sosial juga terjalin dengan
baik. “…setiap kegiatan di desa ini kami selalu menghadirinya. Kami
ingin berbaur dengan masyarakat desa dan kami ingin masyarakat menerima kami apa adanya. Kalau di undang pada acara
kawinan, sunatan, sedekahan maupun rapat wali murid kami selalu datang”
11
Kata hinaan atau olokan “bauk” dan “kotor” yang membuat anak – anak Suku Anak Dalam merasa bahwa mereka sangat kotor dan bau sehingga
dikucilkan, membuat anak – anak tersebut berkecil hati dan tidak mau datang lagi kesekolah.
2. Sebutan sebagai manusia Kelas Lima. Ungkapan ini mempunyai makna yang
mempunyai arti bahwa Suku Anak Dalam sangat rendah, bahkan kedudukan status sosial mereka sangat jauh di bawah budak. Ungkapan demikian membuat
anak – anak Suku Anak Dalam merasa tersinggung, sehingga menutup diri dan bahkan tidak pernah datang lagi ke sekolah.
3. Kata hinaan yang diterima oleh anak – anak Suku Anak Dalam lainnya adalah
“penyakitan dan dapat menularkan penyakit”, sehingga anak – anak Masyarakat
11. Wawancara dengan Bapak Rahmad, 48 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012,
di Lokasi Trans Sosial.
71
Terang tidak mau bergaul dengan Anak – anak Suku Anak Dalam, karena takut ketularan penyakit.
4. Hinaan halus yang dirasakan oleh anak – anak Suku Anak Dalam adalah ketika
mereka berbaur dengan Masyarakat Terang ada jarak dan perbedaan yang sangat jelas, yaitu perbedaan tempat duduk, sampai kepiring dan gelas yang mereka
gunakan pun dibedakan. Walaupun, sudah mencoba membaur, Suku Anak Dalam masih tetap
dibedakan. Mulai dari tempat duduk, sampai ke piring dan gelas yang mereka gunakan. Seperti yang dituturkan oleh salah satu orang tua Suku Anak Dalam :
“… walaupun secaara pergaulan sehari – hari kami diterimatapi ada hal – hal yang kami dipisahkan atau di bedakan dengan Masyarakat
Terang..”
12
Hinaan yang diterima oleh anak – anak Suku Anak Dalam membuat mereka idak ingin kembali lagi ke sekolah. Disaat para guru datang ke rumah mereka untuk
membujuk agar kembali lagi ke sekolah, umumnya mereka menolak untuk kembali ke sekolah lagi. Anak – anak itu tidak mau lagi bergaul dengan anak – anak
Masyarakat Terang karena trauma akan dihina lagi. Segala upaya telaha dilakukan oleh orang tua Suku Anak Dalam agar anak – anak mereka dan keluarga mereka
dapat diterima dikalangan Masyarakat Terang. Namun segala upaya yang dilakukan hanya lah sia – sia saja. Hinaan tetap saja di terima oleh mereka dan anak – anak
mereka. Membuat Suku Anak Dalam berkecil hati untuk bertemu dan bergabung dengan anak – anak Masyarakat Terang.
12. Wawancara dengan Bapak R. Sinaga, 52 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012,
di Lokasi Trans Sosial.
72
Suku Anak Dalam yang tahan akan hinaan anak – anak Masyarakat Terang tetap pergi ke sekolah. Dengan membiasakan diri untuk bangun pagi dan
membersihkan dirinya agar wangi dan tidak di jauhi oleh teman – temannya. Bahkan tidak di hinaa karna mengeluarkan bau yang tidak sedap dari tubuhnya. Sehingga
ketika didekati oleh teman – teman Masyarakat Terang tidak ada lagi hinaan yang mengatakan Suku Anak Dalam itu bau. Usaha yang dilakukan anak – anak Suku
Anak Dalam bukan hanya sekedar membersihkan tubuh mereka saja agar wangi, namun Anak – anak tersebut juga merapikan potongan rambut mereka serta mengikat
rapi rambut mereka. Bukan hanya itu saja anak- anak Suku Anak Dalam juga mencoba untuk bergaul dengan anak – anak Masyarakat Terang.
4.1.5.2 Sarana Ibadah
Sarana ibadah yang terdapat di daerah Trans Sosial berupa Masjid dan Gereja Pentakosta. Suku Anak Dalam yang mengikuti Trans Sosial sebagian kecil masih
mempertahankan kepercayaan mereka dan masih menyembah Dewa – dewa mereka dan masih melakukan upacara – upacara untuk menyembah dewa – dewa tersebut.
Namun, ada sebagian dari Suku Anak Dalam yang sudah menganut agama Islam dan Kristen. Salah satu contoh adalah keluarga besar dari Temenggung Tarib sudah
memeluk agama Islam. Menurut Temenggung Tarib mengapa memeluk agama islam karena:
“...saya masuk agama Islam karno menantu saya orang melayu. Agamanyo islam. Syarat dio mau nikah dengan anak
saya harus masuk islam, jadi keluarga besar Temenggung Tarib memeluk agamo islam..”
13
13. Wawancara dengan Temenggung Tarib, 60 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus
2012, di Lokasi Trans Sosial.
73
Hampir semua Suku Anak Dalam yang memeluk agama Islam menikah dengan Masyarakat Terang. Suku Anak Dalam yang memeluk agama Islam belajar
megaji dan rajin shalat di mushola yang terdapat di sekitar Lokasi Trans Sosial. Suku Anak Dalam tersebut sangat aktif dalam urusan agama seperti ketika ada pengajian
Suku Anak Dalam akan hadir, bukan hanya itu disaat hari raya Idul Fitri Suku Anak Dalam juga ikut merayakan dan shalat Idul Fitri di masjid.
Suku Anak Dalam yang memeluk agama Kristen tepatnya Protestan ada beberapa keluarga. Suku Anak Dalam memeluk agama Kristen karena ada beberpa
pemuka agama Kristen tepatnya pemuka agama dari Gereja Betel Indonesia dan Gereja Pantekosta yang datang ke daerah Trans Sosial yang memperkenalkan agama
Kristen kepada Suku Anak Dalam. Beberapa dari Suku Anak Dalam tertarik akan memeluk agama Kristen Protestan dan mulai belajar agama dari pemuka agama
tersebut. Suku Anak Dalam yang memeluk agama Kristen Protestan Gereja Pentakosta beribadah di gereja Pentakosta Bukit Suban. Sedangkan Suku Anak
Dalam yang memeluk agama Kristen Protestan Betel beribadah di Gereja Betel Bukit Suban. Namun, belum banyaknya Suku Anak Dalam memeluk agama yang di sahkan
oleh negara. Membuat mereka masih menjalankan ritual – ritual mistis, untuk memanggil dewa maupun untuk melakukan sembahyang atau ritual adat. Suku Anak
Dalam lainnya memiliki kepercayaan bahwa Agama di luar Islam adalah Agama Kristen Rimba.
Kristen Rimba tersebut tidak seperti Kristen pada umumnya. Kristen Rimba tidak seperti Kristen yang beribadah di gereja dan melakukan kebaktian, namun
74
Kristen Rimba tersebut masih menyembah dewa- dewa dan leluhur Suku Anak Dalam serta masih memepercayai adanya arwah nenek moyang yang melindungi
mereka. Sebutan Kristen Rimba tersebut hanya untuk membedakan ajaran agama Suku Anak Dalam dengan agama Masyarakat Terang lainnya. Karena Masyarakat
Terang kebanyakan menganut agama Islam, dan hanya sedikit sekali yang menganut agama Kristen. Hal itu lah yang membuat Suku Anak Dalam berpikir bahwa agama
minoritas itu adalah agama Kristen, sehingga mereka menyebut agama mereka juga Kristen. Untuk membedakan Kristen Suku Anak Dalam dengan masyarakat terang
Suku Anak Dalam menembahkan Rimba untuk mempertegas keadaan mereka yang dahulunya berasal dari rimba. Seperti data yang di temukan oleh peneliti di bawah ini
jumlah Suku Anak Dalam yang menganut agama.
Tabel 6 Agama yang Dianut Oleh SAD No
Agama Jumlah
Persentase 1
Islam 12
34,29
2 Kristen Protestan
6 17,14
3 Kristen Rimba
8 22,86
4
Agama SAD 9
25,71
Total
35 100
Sumber : Data Penelitian Lapangan kuesioner Agustus 2012
Suku Anak Dalam yang menganut Agama Islam berjumlah 12 orang dengan persentase 34,29, Namun dari data yang ditemukan kebanyakan yang memeluk
agama Islam adalah keluarga besar Temenggung Tarib. Suku Anak Dalam yang menganut Agama Kristen Protestan berjumlah 6 orang dengan persentase 17,14,
Suku Anak Dalam yang menganut agama Protestan ini dibagi menjadi dua yaitu Suku
75
Anak Dalam yang memeluk agama Kristen Protestan Betel dan Suku Anak Dalam yang mnenganut agama Kristen Protestan Pentakosta. Berikut hasil wawancara
dengan salah satu Suku Anak Dalam yang menganut agama Kristen Protestan. “… Waktu pertama kali kami mengikuti kebaktian di
Pentakosta kami bingung, karna kami melihat semua orang bernyayi, melompat dan menangis sambil berdoa. Namun
setelah diterangkan oleh pak Pendeta kami mengerti. Itu rupanya tata cara beribadah orang Pentakosta untuk
menyembah Tuhan. Dan kami juga memutuskan untuk memeluk agama tersebut karena tertarik dengan cara
beribadah Pentakosta..”
14
Suku Anak Dalam kebanyakan tertarik dengan cara beribadah agama Kristen Protestan tepatnya yang beraliran Kharismatik seperti Betel dan Pentakosta. Di
sekitar Lokasi Trans Sosial juga terdapat Gereja – Gereja lainnya seperti HKBP Huria Kristen Batak Protestan, GKPI Gereja Kristen Protestan Indonesia dan
Gereja Khatolik, namun tidak ada Suku Anak Dalam yang menjadi Jemaat dari salah satu Gereja tersebut. Berikut hasil wawancara dengan Suku Anak Dalam.
“… Memeang banyak gereja – geraja lainnya yang terdapat di sekitar tempat tinggal kami, namun jarak untuk bisa sampai ke
gereja tersebut membutuhkan waktu yang lama karena jarak yang ditempuh sangat jauh. Pendeta gereja – gereja tersebut
juga tidak ada yang pernah datang ke Lokasi Trans Sosial untuk mengajak kami unutk datang ke gereja mereka..”
15
Suku Anak Dalam yang menganut agama Kristen Rimba berjumlah 8 orang dengan persentase 22,86, Suku Anak Dalam yang memeluk agama Kristen Rimba
14. Wawancara dengan Ibu Maria, 50 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012, di
Lokasi Trans Sosial. 15.
Wawancara dengan Ibu , 50 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012, di Lokasi Trans Sosial.
76
tersebut tidak memiliki tempat ibadah. Mereka juga tidak melakukan kebaktian yang semestinya dilakukan oleh Orang Kristiani setiap hari mingggu di gereja.
Kebanyakan dari Suku Anak Dalam yang menganut agama Kristen Rimba masih mempercayai dan meyakini arwah nenek moyang mereka serta masih menyembah
dewa – dewa. Sedangkan Suku Anak Dalam yang menganut Agama SAD atau agama nenek moyang mereka berjumlah 9 orang dengan persentase 25,71. Suku
Anak Dalam yang masih menyembah Dewa ini melakukan sembahyang tidak seperti di dalam hutan, mereka cukup sembahyang dengan meletakkan sesajen di pohon –
pohon yang besar.
4.1.5.3 Sarana Kesehatan
Sarana Kesehatan yang terdapat di daerah Trans Sosial hanya Puskesmas saja dan jarak antara Puskesmas dengan Lokasi Trans Sosial lumayan jauh. Namun
diantara Puskesmes yang terdapat di sekitar Lokasi Trans Sosial Puskesmas SPI lumayan mudah di jangkau oleh Suku Anak Dalam, untuk sampai ke tempat itu Suku
Anak Dalam menggunakan sepeda motor untuk mempersingkat waktu agar secapatnya sampai ke tujuan, selain mengendarai sepeda motor Suku Anak Dalam
ada yang menumpang dengan Truk yang bermuatan buah sawit dan ada juga yang berjalan kaki untuk sampai ke Puskesmas SPI.
A. SAD Yang Memilih Untuk Berobat Di Puskesmas
Suku Anak Dalam sangat jarang memeriksakan kesehatan mereka ke Puskesmas, mereka tidak memiliki informasi lengkap mengenai kesehatan, contohnya
seperti informasi mengenai adanya kegiatan Posyandu, Sehingga Suku Anak Dalam tidak membawa anak–anak mereka ke Puskesmas untuk mengikuti imunisasi
77
Posyandu. Tetapi ada juga sebagian diantara mereka yang selalu memeriksakan kondisi kesehatannya di Puskesmas, Suku Anak Dalam yang selalu memeriksakan
kondisi kesehatannya di Puskesmas adalah mereka yang tempat tinggalnya berada tidak jauh dari puskesmas itu sendiri dan keluarga yang telah melakukan perkawinan
campuran yaitu antara Suku Anak Dalam dengan Masyarakat Terang. Berikut ini beberapa kutipan wawancara yang dapat menjelaskan kejadian yang telah dipaparkan
diatas: “… Kalau anak saya sakit, saya membawa ke Puskesmas dekat
sini jadi tidak harus jauh-jauh karena kan tidak terlalu jauh jarak rumah kami ke sana, harganya juga tidak mahal jadi
lebih baik berobat ke Puskesmas saja dari pada harus nunggu ramuan-ramuan lagi, buatnya lama jadi nggak sabar
nunggunya.. ”
16
Informan di atas memilih untuk menggunakan tenaga medis untuk memeriksa kondisi kesehatannya dikarenakan oleh jarak antara Puskesmas dan tempat
tinggalnya, sehingga beliau lebih memilih untuk berobat di Puskesmas dan tidak menggunakan pengobatan tradisional yang terkenal manjur dalam mengobati banyak
penyakit. Berikut ini kutipan wawancara yang peneliti lakukan dengan isteri Suku Anak Dalam yang berasal dari Masyarakat Terang sebelumnya dan memilih
menggunakan pengobatan medis untuk memeriksakan kesehatan keluarganya: “… Sebenarnya pengobatan tradisional juga baik, tetapi saya
lebih suka untuk berobat ke Puskesmas, kalaupun harus menggunakan pengobatan tradisional tunggu benar-benar
terpaksa lah baru saya mau melakukannya, karena banyak sekali ritual-ritualnya...”
17
16. Wawancara dengan M. Sidik, 48Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012, di
Lokasi Trans Sosial. 17.
Wawancara dengan Ibu Sundari Isteri dari Suku Anak Dalam yang berasal dari MasyarakatTerang, 58 tahun .Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012, di Lokasi Trans
Sosial.
78
Pengobatan Medis dianggap lebih pasti daripada pengobatan tradisional menurut Ibu Sundari, yaitu isteri dari salah seorang Suku Anak Dalam yang berasal
dari masyarakat Terang, hal ini disebabkan oleh latar belakang beliau yang sebelumnya bukan bagian dari Suku Anak Dalam itu sendiri karena beliau menikah
dengan salah satu Suku Anak Dalam. Dimana sebelum menjadi bagian dari Suku Anak Dalam Ibu Sundari selalu memeriksakan kondisi kesehatannya di Rumah Sakit
ataupun Puskesmas, sehingga setelah menjadi bagian dari Suku Anak Dalam, beliau masih terbiasa menggunakan pengobatan medis daripada pengobatan tradisional.
B. SAD Yang Memilih Menggunakan Pengobatan Tradisional
Pengobatan Tradisional oleh sebagian Suku Anak Dalam menjadi kebutuhan yang tidak dapat terlepas dari kehidupan mereka, dimana sebagian dari mereka sejak
dahulu mempercayai bahwa hanya pengobatan Tradisional yang diajarkan leluhur kepada mereka yang dapat menyembuhkan segala penyakit yang mereka derita.
Sehingga apabila ada keluarga yang sakit, Suku Anak Dalam akan meramu obat- obatan untuk dapat menyembuhkan penyakit tersebut. Berikut adalah kutipan
wawancara dari salah satu Suku Anak Dalam yang tidak memeriksakan anaknya di Puskesmas dan lebih memilih menggunakan Pengobatan Tradisional:
“… Tidak pernah saya membawa anak saya ke Puskesmas, kalau ada yang sakit saya obatin sendiri saja di rumah, suami saya yang
cari bahan-bahannya dari hutan dan beberapa hari kemudian anak saya sudah sembuh kembali..”
18
Dari pemaparan hasil kutipan wawancara bahwa Suku Anak Dalam yang
18. Wawancara dengan Ibu Renggani, 38 tahun .Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012, di
Lokasi Trans Sosial.
79
menderita sakit sangat jarang berobat ke Puskesmas. Mereka lebih cenderung mengobati penyakit mereka dengan ritual – ritual mistis adat mereka. Dengan
mengharapkan bantuan dari leluhur mereka agar segala penyakit mereka di sembuhkan. Bukan hanya dengan ritual – ritual adat saja, namun Suku Anak Dalam
memiliki ramuan obat–obat tradisional yang mereka buat dari tumbuh–tumbuhan obat di hutan, madu dan ramuan–ramuan hutan lainya. Obat ataupun ramuan
tradisional itu dapat menyembuhkan segala penyakit yang di derita Suku Anak Dalam.
Khasiat dari ramuan obat – obatan Suku Anak Dalam tersebut pernah di uji di Istana Kepresidenan dengan di ikuti oleh semua Suku Terasing yang ada di Indonesia.
Dengan hasil yang membuat Provinsi Jambi bangga, karena ramuan obat – obatan yang di buat oleh Temenggung Tarib memenangkan perlombaan tingkat indonesia
itu. Berikut adalah kutipan wawancara dari salah seorang Suku Anak Dalam yang anggota keluarganya mengidap penyakit parah dan dapat disembuhkan dengan
menggunakan ramuan yang diracik oleh mereka sendiri: “…Ibu saya sempat sakit parah Malaria sudah sekarat
kemaren itu, nggak ada kami bawa ke Puskesmas, sering- sering kami kasih obat yang kami buat sendiri, sekarang udah
baik laginya dia nggak sakit-sakit lagi sudah sembuh, sudah bisa kerja dia ibunya.. ”
19
Dari hasil kutipan wawancara di atas terlihat bahwa Suku Anak Dalam lebih mempercayai khasiat dari ramuan obat yang mereka buat sendiri daripada harus
berobat ke Puskesmas yang ada di sekitar daerah Trans Sosial. Suku Anak Dalam
19. Wawancara dengan Argan, 18 Tahun.Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012, di Lokasi
Trans Sosial.
80
mampu meracik ramuan yang dapat menyembuhkan penyakit yang parah sekalipun, tetapi Suku Anak Dalam sangat tertutup apabila ditanyai mengenai bahan-bahan apa
saja yang dibutuhkan dalam meracik ramuan obat tersebut. Berikut ini kutipan wawancara kepada salah seorang Suku Anak Dalam yang bertele-tele dalam
menjelaskan bahan - bahan apa saja yang di perlukan untuk meramu obat yang selalu diberikan kepada keluarganya yang sedang sakit:
“… Hmmm.. Ada banyak tumbuhan yang saya pakai dalam meramu obat ini, nggak tau saya nama tanamannya apa-apa
saja, kalau jumpa di hutan saya ambil saja terus saya bawa pulang dibuat jadi obat untuk di minum atau ada yang di oleskan
juga untuk penyakit kulit.. ”
20
Seperti itu lah penjelasan yang diberikan oleh Suku Anak Dalam apabila ada orang yang menanyakan mengenai bahan-bahan yang dijadikan ramuan obat yang
dapat menyembuhkan berbagai penyakit baik itu penyakit dalam ataupun penyakit luar, bahkan ada juga yang membuat ramuan yang dapat merugikan buat orang lain,
contohnya seperti untuk memikat orang lain demi mendapatkan cintanya dan untuk dijadikan pasangan hidupnya sehingga Suku Anak Dalam menggunakan cara apapun
agar mendapatkan pujaan hatinya atau bahasa lainnya mengguna-gunai orang yang ingin mereka jadikan pasangan. Berikut ini kutipan wawancara dengan salah seorang
Suku Anak Dalam yang tidak ingin diketahui namanya: “… Saya pernah membuat ramuan untuk menarik hati orang lain,
tapi ramuan itu bukan untuk saya, ada yang datang ke rumah saya dan minta tolong dibuatkan ramuan yang bias memikat hati orang
lain dengan mudah, yah saya buatkan saja lagi pula dia masih ada
20. Wawancara dengan Bapak Perjuangan, 49 Tahun .Wawancara dilakukan pada bulan Agustus
2012, di Lokasi Trans Sosial.
81
hubungan saudara dengan saya..”
21
Suku Anak Dalam tidak hanya menggunakan kemampuan yang dimiliki dalam meramu obat saja, dan menggunakannya untuk kegiatan yang bernilai positif
saja, tetapi mereka juga menggunakan kemampuan yang mereka miliki untuk menyakiti atau merugikan orang lain. Hal ini seharusnya tidak boleh terjadi sama
sekali, tetapi mereka tidak bias dilarang karena menurut mereka kegiatan itu dinilai wajar-wajar saja untuk dilakukan.
Ramuan obat – obatan Suku Anak Dalam mendapatkan pengakuan tingkat nasional. Khasiat ramuan obat – obatan yang di buat oleh Temenggung Tarib
memiliki khasiat yang sangat mujarab. Dengan menggunakan bahan – bahan ramuan dari hutan dan dengan di ikuti oleh ritual adat Tumenggung Tarib menghasilkan
ramuan yang memenangkan perlombaan yaitu mendapatkan Kalpataru dari Presiden SBY. Berikut adalah kutipan wawancara peneliti dengan Temenggung Tarib:
“… Saya memenangkan penghargaan Kalpataru dari Bapak Presiden, saya diundang ke Istana Negara semua itu karena obat-
obatan yang saya buat mewakili Suku Anak Dalam yang dinilai sangat baik diantara suku-suku terasing di Indonesia salah
satunya adalah suku Dayak dari Kalimantan... ”
22
Karena obat-obatan yang dihasilkan oleh Temenggung Tarib dinilai sangat baik dengan khasiat yang begitu baik pula sehingga pengobatan dari berbagai Suku-
Suku Terasing dari seluruh Indonesia dapat dimenangkan oleh Suku Terasing dari
21. Wawancara dengan Edi, 28 Tahun, Laki -laki .Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012,
di Lokasi Trans Sosial. 22.
Wawancara dengan Temenggung Tarib, 60 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012, di Lokasi Trans Sosial.
82
wilayah Jambi yaitu Suku Anak Dalam yang diwakili oleh bapak Temenggung Tarib. Prestasi ini sangat membuat bangga Masyarakat Jambi khususnya bagi Suku Anak
Dalam itu sendiri, dan keturunan Suku Anak Dalam selanjutnya wajib melestarikan budaya meramu obat-obatan ini secara turun temurun agar tidak hilang ditengah
kemajuan jaman.
4.1.5.4 Sarana Transportasi dan Isi Rumah SAD Yang Bermukim Di Lokasi
Trans Sosial A. Sarana Transportasi
Sarana Transportasi yang digunakan oleh Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial adalah Sepeda Motor. Mereka memilih Sepeda Motor karena
kendaraan tersebut dapat mempermudah untuk mencapai tempat tujuan. Suku Anak Dalam memiliki sepeda motor dari hasil perkebunan sawit dan karet. Sepeda motor
tersebut berasal dari berbagai merek seperti Honda, Yamaha dan Suzuki. Sepeda motor yang dimiliki Suku Anak Dalam ada yang dibeli dari Dealer Sepeda Motor dan
ada juga yang dibeli dari pihak kedua atau Sepeda Motor bekas. Suku Anak Dalam yang tidak memiliki Sepeda Motor sebagai alat
Transportasi hanya bisa berjalan kaki untuk mencapai tempat tujuan mereka. Kaum wanita Suku Anak Dalam yang tidak dapat mengendarai Sepeda Motor kalau ingin
berpergian diantar oleh suami mereka atau bisa berjalan kaki saja, namun terkadang para wanita tersebut lebih memilih menumpang mobil atau truk – truk pengangkut
buah sawit daripada berjalan kaki. Seperti kutipan wawancara dengan informan di bawah ini :
“… suami kan kalau pagi sudah pergi ke Kebun, jadi gak ada yang
83
ngantar kalau mau belanja atau mau pergi ke mana saja. Daripada jalan kaki lebih baik menumpang mobil atau truk sawit
yang lewat saja. Pak supirnya juga baik jadi mereka mau memberikan tumpangan buat kami..”
23
Hampir semua keluarga Suku Anak dalam yang memiliki Sepeda Motor, bahkan setiap keluarga memiliki tiga bahkan empat Sepeda Motor. Sepeda Motor
bagi Suku Anak Dalam merupakan sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi. Sehingga keluarga Suku Anak Dalam yang memiliki perekonomian yang baik memiliki lebih
dari satu sepeda motor. Sedangkan Suku Anak Dalam yang tidak mampu untuk membeli sepeda motor lebih memilih untuk membeli sepeda yang akan dibawa ke
kebun sawit maupun untuk berburu. Berikut hasil wawancara dengan salah satu Suku Anak Dalam :
“… saya tidak punya sepeda motor, gak sanggup belinya. Daripada tidak punya kendaraan untuk di pakai ke kebun sawit
buat berburu, saya lebih memilih untuk beli sepeda. Setidaknya gak terlalu lama sampai ke kebun..”
24
Suku Anak Dalam yang memiliki penghasilan lebih dari cukup berkeinginan untuk membeli mobil seperti yang dikatakan oleh salah satu Kepala Keluarga Suku
Anak Dalam berikut ini : “… saya kemarin mau beli mobil, saya bawa uang satu plastik
besar terus datang ke Dealer mobil, saya mau beli mobil tapi sekalian sama supirnya, mereka malah tertawa. Mereka bilang
Dealer tidak menjual supir. Yahh.. saya tidak jadi membeli mobil, karena saya juga tidak tau menggunakannya..”
25
23. Wawancara dengan Bapak Rusman, 45 Tahun. Wawancara dilakukan pada Bulan Agustus 2012
24. Wawancara dengan Bapak Inggei, 52 Tahun . Wawancara dilakukan pada Bulan Agustus 2012
25. Wawancara dengan Bapak M darussman, 48 Tahun. Wawancara dilakukan pada Bulan Agustus
2012
84
Dari hasil wawancara di atas menjelaskan bahwa Suku Anak Dalam yang memiliki kekayaan tidak dapat menggunakan uang mereka untuk membeli Mobil,
karena mereka tidak mengerti bagai mana cara mengemudikan mobil tersebut. Sehingga Suku Anak Dalam banyak memilih untuk membeli Sepeda Motor daripada
membeli Mobil untuk menjadi kendaraan pribadi mereka.
B. Isi Rumah SAD Yang Bermukim Di Lokasi Trans Sosial
Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial yang memiliki perekonomian yang baik sudah membangun rumah mereka menjadi rumah beton,
bukan lagi rumah yang terbuat dari papan seperti yang di bangun oleh pemerintah. Mereka juga mengisi perabotan rumah dengan barang – barang yang modern seperti
Kursi atau Sofa, Kulkas, TV, Kipas Angin, Meja dan Kursi Makan, TikarAmbal. Bukan hanya perabotan rumah saja yang diisi dengan perabotan modern, mereka juga
mengganti perabotan dapur dengan yang baru seperti mengganti tungku api dengan membeli kompor kompor gas, mengganti rak kayu buat tempat piring dengan rak
piring yang terbuat dari bahan stenlis, dan membeli Magicjar untuk memasak nasi. Berikut kutipan wawancara dengan salah satu Suku Anak Dalam :
“…kalau ada uang mau buat apalagi kalau bukan membangun rumah, tabungan juga masih banyak, anak juga sudah pada besar
dan berkeluarga jadi sudah pada mencari nafkah sendiri..”
26
Demikianlah pernyataan yang diberikan oleh Bapak Temenggung Tarib ketika menceritakan keadaan rumahnya yang dibangun dengan beton serta perabotan
modern yang mengisi rumahnya. Bukan hanya perabotan modern yang Suku Anak
26. Wawancara dengan Bapak Nungkai, 48 Tahun. Wawancara dilakukan pada Bulan Agustus 2012
85
Dalam pakai namun untuk menujang penggunaan perabotan yang membutuhkan tenaga listrik, mereka memasang listrik dirumah. Arus listrik tersebut berasal dari
Kabupaten Sarolangun. kutipan wawancara dengan salah satu informan : “… Masyarakat di sini kalau mau pakai listrik yahh ngambil dari
sarolangun. Karnakan sarolangun yang paling dekat dengan Daerah ini. Kabupaten Merangin sudah ada listrik tapi jarak ke
tempat kami itu jauh sekali, belum lagi harus melawati perkebunan sawit. Itu lah sebabnya kami memasukan listrik dari Sarolangun..”
27
Suku Anak Dalam juga menggunakan tempat tidur untuk beristirahat serta lemari sebagai tempat pakaian mereka. Mereka juga membeli pakaian untuk di
gunakan sehari – hari serta membeli alat komunikasi seperti Handphone. Perubahan Suku Anak Dalam yang demikian berpengaruh terhadap
penghasilan mereka. Karena ada juga sebagian dari Suku Anak Dalam tidak dapat membeli perabotan dan alat – alat elektronik serta tidak dapat membangun rumah
mereka dengan beton. Karena untuk mencukupi kebutuhan keluarganya saja sudah sangat kesulitan. Berikut kutipan hasil wawancara dengan Suku Anak Dalam di
bawah ini : “… saya bekerja sebagai buruh terkadang juga saya berburu
untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga saya. Uang yang saya hasilkan hanya cukup untuk makan dan keperluan lainnya, tidak
cukup untuk membeli perabotan mewah seperti Sofa, Kulkas dan Tv. Lantai rumah saya juga masih tanah untuk menggantinya
menjadi lantai semen saya tidak bisa. Lebih baik uang tersebut saya gunakan untuk membeli beras..”
28
Demikianlah kehidupan Suku Anak Dalam yang tinggal Di Lokasi Trans
27. Wawancara dengan Bapak Temenggung Tarib, 60 Tahun.. Wawancara dilakukan pada Bulan
Agustus 2012 28.
Wawancara dengan Bapak Wahyu, 50 Tahun. Wawancara ilakukan pada Bulan Agustus 2012
86
Sosial. Suku Anak Dalam yang perekonomiannya mapan mampu membangun rumah dengan beton dan berlantai marmer serta membeli perabotan dan alat – alat
elektronik. Namun bagi Suku Anak Dalam yang tidak memiliki perekonomian yang baik mereka tidak dapat membangun rumah mereka dengan beton dan tidak dapat
membeli perabotan mewah dan tidak dapat membeli alat – alat elektronik.
4.1.6 Latar Belakang Sosial Budaya 4.1.6.1 Bahasa
Bahasa yang digunakan oleh Suku Anak Dalam ketika berada di dalam hutan adalah Bahasa Rimba. Tetapi setelah mereka tinggal di daerah Trans Sosial Suku
Anak Dalam menggunakan perpaduan bahasa anatara bahasa Melayu Jambi dengan bahasa Minang dan bahasa ini hanya digunakan apabila Suku Anak Dalam
berkomunikasi dengan masyarakat yang bukan berasal dari Suku Anak Dalam juga tetapi seperti pada Masyarakat Terang. Sedangkan bahasa yang digunakan dalam
bergaul dengan sesama Suku Anak Dalam adalah bahasa khas mereka yaitu Bahasa Rimba.
Tabel 7 Penggunaan Bahasa SAD No.
Bahasa Yang Digunakan Jumlah
Persentase 1
Bahasa RimbaSAD 18
51,4
2 Bahasa Indonesia
1 2,9
3 Bahasa Melayu
1 2,9
4
Bahasa Melayu - Rimba 15
42,8
Total 35
100
Sumber : Data Lapangan Agustus 2012
Suku Anak Dalam yang telah tinggal di Lokasi Trans Sosial selalu membiasakan diri untuk berkomunikasi dengan Masyarakat Terang, kebiasaan ini
87
dapat membantu Suku Anak Dalam untuk melatih mereka dalam menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik, meskipun tidak jarang Masyarakat Terang
menggunakan Bahasa Melayu Jambi dalam berkomunikasi, sehingga Suku Anak Dalam lebih memahami Bahasa Melayu Jambi daripada Bahasa Indonesia. Berikut
adalah kutipan wawancara kepada salah seorang Suku Anak Dalam yang telah tinggal di Lokasi Trans Sosial:
“… Saya menggunakan Bahasa Melayu campur Bahasa Indonesia kalau bercerita dengan Masyarakat Terang, tapi itupun belum
benar-benar bisa. Masih sedikit-sedikitlah bisanya, tapi kalau di rumah kami lebih sering pakai bahasa kami sendiri nggak susah..”
29
Suku Anak Dalam lebih memilih menggunakan bahasa mereka sendiri yaitu Bahasa Rimba dalam berkomunikasi dengan sesama Suku Anak Dalam yang tinggal
di Daerah Trans Sosial daripada harus menggunakan Bahasa Melayu Jambi ataupun Bahasa Indonesia, karena menurut mereka menggunakan bahasa yang telah menjadi
bahasa mereka selama hidup di hutan lebih mudah daripada harus membiasakan diri untuk berbicara dengan menggunakan bahasa yang tidak mereka kuasai.
4.1.6.2 Seni
Suku Anak Dalam memilki kesenian baik dalam upacara kematian dan perkawinan mereka juga memiliki kesenian lainnya, seperti kerajinan tangan.Upacara
kematian dan perkawinan menggunakan ajaran adat Suku Anak Dalam sendiri, namun setelah mereka mengikuti Program Trans Sosial semuanya sedikit berubah.
Ketika Suku Anak Dalam berada di dalam hutan, mereka memiliki keyakinan ketika salah satu anggota keluarga mereka meninggal dunia. Suku Anak Dalam harus segera
29. Wawancara dengan Temenggung Tarib, 60 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus
2012, di Lokasi Trans Sosial.
88
meninggalkan rumah mereka, karena diyakini tempat tinggal mereka yang menjadi tempat meninggalnya anggota keluarga mereka tersebut menjadi tempat sial. Suku
Anak Dalam dapat kembali setelah jasad anggota keluarga mereka tersebut sudah tidak ada lagi. Sekitar 11 sampai 15 tahun baru dapat kembali lagi ke rumah mereka.
Namun, ketika Suku Anak Dalam meninggalkan tempat tingggal mereka untuk beberapa tahun lamanya, mereka dapat melihat sesekali kerumah mereka untuk
melihat kondisi jasad tersebut. Peristiwa ini dinamakan Budaya Melangun. Hal tersebut dipertegas oleh salah satu anggota WARSI dengan hasil wawancara berikut.
“… Setiap salah satu keluarga dari Suku Anak Dalam meninggal, keluarga tersebut wajib meninggalkan tempat tinggal mereka. Karena
Suku Anak Dalam memiliki keyakinan yang dinamakan Budaya Melangun..”
30
Kehidupan Suku Anak Dalam yang tinggal di daerah Trans Sosial sedikit demi sedikit tidak menerapkan budaya melangun lagi. Karena mereka tinggal
berdampingan dengan Masyarakat Terang dan sudah memiliki rumah serta berbaur dengan Masyarakat Terang. Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial
ketika meninggal dikebumikan seperti pada umumnya Masayarakat Terang meninggal dunia, karena sebagian dari mereka sudah ada yang menganut agama
Islam maka upacara kematian ada yang menggunakan ajaran agama Islam. Sedangkan Suku Anak Dalam yang masih menganut agama Rimba mereka hanya
menguburkan jasad keluarga mereka saja. Proses pernikahan Suku Anak Dalam memiliki aturan, Sebelum menikah tidak
ada tradisi berpacaran, gadis dan pemuda laki-laki saling menjaga jarak. Waktu
30. Wawancara dengan M. Yahya, 25 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012, di
Lokasi Trans Sosial.
89
seorang anak laki-laki beranjak remaja atau dewasa, sekitar umur 14-16 tahun, bila tertarik kepada seorang gadis, akan mengatakan hal tersebut kepada orang tuanya.
Lalu orangtuanya akan menyampaikan keinginan anak mereka kepada orang tua si gadis dan bersama-sama memutuskan apakah mereka cocok. Pernikahan yang terjadi
antara orang desa dan orang Rimba, sama dengan antara anak kelompok Rimba dan kelompok Rimba lain.
Ada tiga jenis perkawinan, yaitu; Pertama, dengan mas kawin.
Kedua, dengan prinsip pencurahan, yang artinya laki-laki sebelum menikah harus ikut mertua dan bekerja di ladang dan berburu untuk dia membuktikan dirinya.
Ketiga, dengan pertukaran gadis, artinya gadis dari kelompok lain bisa ditukar dengan gadis dari kelompok tertentu sesuai dengan keinginan laki-laki dan gadis-gadis
tersebut. Suku Anak Dalam yang mengikuti Program Trans Sosial tidak menggunakan
tradisi upacara pernikahan ketika mereka berada di hutan. Suku Anak Dalam menggunakan tradisi upacara pernikahan menurut ajaran agama yang mereka anut.
Suku Anak Dala m yang menikah dengan Masyarakat Terang mengikuti kebudayaan Masyarakat Terang tersebut dari lamaran sampai ketahap Pernikahan. Berikut hasil
kutipan wawancara dengan salah satu informan. “…Upacara pernikahan Suku Anak Dalam sudah berubah,
kebanyakan dari mereka mengikuti tradisi upacara pernikahan dari mempelai mereka yaitu Masyarakat Terang. Sedangkan Suku Anak
Dalam lainnya yang menikah dengan sesama Suku Anak Dalam
90
menggunakan Tradisi upacara pernikahan menurut keyakinan mereka sendiri..”
31
Suku Anak Dalam yang berada di dalam hutan bukan hanya memiliki upacara adat kematian maupun pernikahan. Namun, memiliki ritual –ritual adat
lainnya seperti Ritual Memandiko Budak yang bertujuan untuk selamatkan bayi, agar terhindar dari berbagai penyakit. Upacara yang dilakukan oleh Suku Anak Dalam
tanpa boleh ada masyarakat luar komunitas mereka melihat atau menyaksikan upacara tersebut berlangsung. Menurut kepercayaan mereka para dewa tidak akan
mendengarkan doa mereka apabila ada pihak luar yang ikut menyaksikan. Bukan hanya itu saja Suku Anak Dalam yang mengikuti upacara tersebut juga harus
memakai kain baru, karena memakai kain yang sudah bersentuhan dengan masyarakat diluar komunitas mereka para dewa juga tidak akan datang dan tidak akan
mengabulkan doa mereka. Di lokasi Trans Sosial Suku Anak Dalam ada yang masih menjalankan ritual Memandiko Budak ini, namun kebanyakan dari Suku Anak Dalam
Tersebut sudah meninggalkan kebuadayaan mereka tersebut. Suku Anak Dalam memiliki suatu norma – norma yang diatur dalam Seloko
Adat. Seloka Adat atau yang mereka sebut sebagai hukum adat Suku Anak Dalam. Di dalam Seloka Adat ada yang berisikan tentang keberadaan dan kehidupan orang
rimba. Seloka Adat Suku Anak Dalam ini tidak permanen, karena sewaaktu – waktu dapat diperbaharui.
Kehidupan Suku Anak Dalam sangat dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang sudah diterapkan dalam bentuk seloko-seloko yang secara tegas dijadikan
31. Wawancara dengan Sukmareni, 34Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012, di
Lokasi Trans Sosial.
91
pedoman hukum oleh para pemimpin Suku, khususnya Tumenggung dalam membuat suatu keputusan. Seloko juga menjadi pedoman dalam bertutur kata dan bertingkah
laku serta dalam kehidupan bermasyarakat Suku Anak Dalam. Bentuk seloko itu antara lain:
1.Bak emas dengan suasa . 2.Bak tali berpintal tigo
3.Yang tersurat dan tersirat 4.Mengaji di atas surat
5.Banyak daun tempat berteduh 6.Meratap di atas bangkai
7.Dak teubah anjing makan tai kebiasaan yang sulit di ubah 8.Dimano biawak terjun disitu anjing tetulung dimano kita berbuat salah disitu adat
yang dipakai. 9.Dimano bumi di pijak disitu langit di junjung dimana kita berada, disitu adat yang
kita junjung, kita menyesuaikan diri 10.Bini sekato laki dan anak sekato Bapak bahwa dalam urusan keluarga sangat
menonjol peran seorang laki – laki atau Bapak 11.Titian galling tenggung negeri Tidak ke sini juga tidak kesanalabil
Seloko-seloko Adat ini menurut mereka tidak hilang dan tidak bias berubah. Seloko-seloko adat dan cerita asal usul mereka adalah cerita Tumenggung Kecik
Pagar Alam Ngunci Lidah yang usianya pada saat laporan ini dibuat sekitar 80 tahun lebih.
92
Suku Anak Dalam yang sudah terbiasa dengan Seloko Adat ketika mereka berada di dalam hutan juga menerapkan Seloko Adat tersebut. Seperti bentuk sikap
ketika berhadapan dengan orang tua atau lebih tua harus sopan dan Seloko Adat yang mengajarkan agar mereka hormat dan patuh kepada orang tua mereka, itupun mereka
terapkan ketika berada di lokasi Trans Sosial. Suku Anak Dalam yang berada di dalam hutan memiliki kesenian kerajinan
tangan. Hasil dari seni kerajinan tangan Suku Anak Dalam tersebut Seperti Ambung yang terbuat dari Rotan, sumpit, lampu Damar. Hasil kerajinan tangan tersebut
pernah dipamerkan dalam acara Harganas Hari Keluarga nasional XV dan Bulan Bakti Gotong Royong Masyarakat BBGRM V di Jambi pada Bulan Juni 2008. Pada
saat acara pameran tersebut Ny Mufida Yusuf Kala tertarik dengan salah satu hasil kerajinan tangan Suku Anak Dalam yaitu Ambung. Dalam pameran tersebut juga
dipamerkan cara pembuatan Ambung. Disaat Suku Anak Dalam bertemu dengan Wapres dan istrinya, mereka memiliki harapan yaitu:
“… Kami berharap agar Pemerintah membantu pembuatan dan pemasaran kerajinan tangan Orang Rimba seperti Ambung dan
sumpit..”
32
Kehadiran Suku Anak Dalam di ajang nasional lebih ditujukan supaya masyarakat banyak juga bias menyadari bahwa Suku Anak Dalam mengelola sumber
daya alam yang ada di sekitar mereka. Suku Anak Dalam dengan penuh kesadaran selalu menjaga hutan yang menjadi rumah mereka, sekaligus menebarkan manfaat
untuk masyarakat luas. Alam Sumatera, Agustus 2008.
32. Wawancara dengan Temenggung Nggrip,65 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus
2012, di Lokasi Trans Sosial.
93
Suku Anak Dalam yang berada di lokasi Trans Sosial juga memiliki kerajinan tangan seperti membuat tas yang terbuat dari kulit kayu, tas, dompet, tempat pensil,
tempat tissue, Figura, gantungan kunci, gelang dan kalung yang dibuat dari biji sebelit sumpah yang diikat dengan benang. Suku Anak Dalam membuat semua
kerajinan tangan dengan menggunakan bahan dari hutan seperti kulit kayu ipuh, buah kedundung tunjuk yang jika dibelah hasilnya menyerupai biji kancing yang unuk
berbentuk segitiga, buah kemiyang yang menghasilkan hiasan jika dipotong – potong. Dari bahan – bahan yang didapat dari dalam hutan mampu membuat kerajinan tangan
yang baik, namun kerajinan tangan yang dihasilkan oleh Suku Anak Dalam belum dapat dipasarkan secara luas, mereka masih memasarkan hasil kerajinan tangan
mereka kepada Masyarakat Terang yang ada di sekitar mereka. Berikut hasil kutipan wawancara dengan salah satu informan.
“… kami menggunakan bahan – bahan dari hutan untuk membuat kerajian tangan. Pada awalnya kami tidak bias membuat kerajinan
tangan yang bagus seperti membuat dompet, tas, tempat pensil dan tempat tissue. Kami mendapatkan pelajaran dari Fasilitator
pendidikan WARSI untuk membuat kerajinan yang baik. Bukan hanya mendapatkan pelajaran, namun kami juga diberikan alat –
alat yang dapat membantu kami seperti guntung, pisau, lem, benang dan jarum juga. Sebagian besar kerajinan tangan yang kami buat
kami letakan di pondok WARSI, kami berharap ketika ada tamu yang berkunjung dapat melihat hasil kerajinan tangan kami..”
33
4.1.6.3 Religi
Komunitas adat terpencil Suku Anak Dalam pada umumnya mempunyai kepercayaan terhadap dewa, istilah ethnik mereka yakni dewo dewo. Mereka juga
mempercayai roh roh sebagai sesuatu kekuatan gaib. Mereka mempercayai adanya
33. Wawancara dengan Sepintak, 22 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus 2012, di
Lokasi Trans Sosial.
94
dewa yang mendatangkan kebajikan jika mereka menjalankan aturannya dan sebaliknya akan mendatangkan petaka jika mereka melanggar aturan adat. Hal ini
tercermin dari seloko mantera yang memiliki kepercayaan Sumpah Dewo Tunggal yang sangat mempengaruhi kehidupan mereka.
“…Hidup beranyam kuaw, bekambing kijang, berkerbau ruso, rumah Sudung beatap sikai, badinding banir, balantai tanah yang
berkelambu resam, suko berajo bejenang, babatin bapanghulu..”
Atinya: Mereka Suku Anak Dalam mempunyai larangan berupa pantang berkampung, pantang beratap seng, harus berumah
beratap daun kayu hutan, tidak boleh beternak, dan menanam tanaman tertentu, karena mereka telah memiliki ternak kuaw
burung hutan sebagai pengganti ayam, kijang, ruso, babi hutan sebagai pengganti kambing atau kerbau..”
Jika warga Suku Anak Dalam melanggar adat pusaka persumpahan nenek moyang, maka hidup akan susah, berikut seloko adat yang diungkap oleh
Tumenggung Njawat “ Di bawah idak berakar, diatai idak bepucuk, kalo ditengah ditebuk
kumbang, kalau kedarat diterkam rimau, ke air ditangkap buayo“. Artinya: “…Jika Warga Suku Anak Dalam melanggar adat pusaka
persumpahan nenek moyang mereka, maka hidupnya akan menderita atau mendapat bencana, kecelakaan, dan
kesengsaraan..” Kepercayaan tradisional Suku Anak Dalam di Propinsi Jambi adalah sejalan
dengan faham pollytheisme yang bersifat animisme dan dinamisme. Mereka mempercayai roh-roh halus dan juga percaya kepada tempat-tempat tertentu yang
dikeramatkan.
95
Suku Anak Dalam yang tinggal di Lokasi Trans Sosial sebagian sudah memeluk agama. Diantaranya adalah agama Islam dan Kristen, namun Agama
Kristen ada dua yaitu Agama Kristen Protestan dan Agama Kristen Rimba atau Agama yang ada di luar Agama Islam adalah Agama Kristen Rimba. Mereka
memeluk agama Islam karena sebagian besar bergaul dengan Masyarakat Terang. Sehingga mereka memilih untuk menganut agama islam yang juga di anut oleh
Masyarakat Terang tersebut.
4.1.6.4 Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan Suku Anak Dalam adalah matrilineal yang sama dengan sistem kekerabatan budaya Minangkabau. Tempat hidup pasca pernikahan adalah
uxorilokal, artinya saudara perempuan tetap tinggal didalam satu pekarangan sebagai sebuah keluarga luas uxorilokal. Sedangkan saudara laki-laki dari keluarga luas
tersebut harus mencari istri di luar pekarangan tempat tinggal. Suku Anak Dalam tidak diperbolehkan memanggil istri atau suami dengan namanya, demikian pula
antara adik dengan kakak dan antara anak dengan orang tua. Mereka juga tidak menyebut nama orang yang sudah meninggal dunia. Sebenarnya menyebut nama
seseorang dianggap tabu oleh orang Rimba. Orang Rimba menganggap hubungan endogami keluarga inti saudara
seperutsuadara kandung atau hubungan dengan orang satu darah, merupakan sesuatu yang tabu. Dengan kata lain, perbuatan sumbang incest dilarang, sama
halnya dengan budaya Minangkabau. Mayoritas pernikahan adalah monogami, tetapi ada juga hubungan poligami atau lebih tepat poligini, yang kelihatannya untuk
melestarikan asal suku. Sebenarnya, adalah alasan sosial lain, samping melindungi
96
sumber anak adalah keinginan untuk memelihara janda atau perempuan mandul. Umur harapan hidup laki-laki lebih pendek daripada harapan hidup perempuan dan
perempuan selalu diutamakan, pada umumnya pekerjaan berbahaya dilakukan oleh laki-laki.
Kaum kerabat merupakan sumber semua bantuan. Kebudayaan Suku Anak Dalam juga mengenal sistem pelapisan sosial. Temenggung adalah pemimpin utama
dalam struktur kelompok., yang posisinya diwarisi sebagai hak lahir dari orang tua. Tetapi, jika pemimpin tidak sesuai atau disetujui oleh anggota kelompok, pemimpin
bisa diganti melalui jalur “diskusi terbuka” atau forum yang bisa dilakukan dimana mana.
Sistem kekerabatan Suku Anak Dalam setelah berada di lokasi Trans Sosial sebagian besar tidak berubah. Walaupun mereka sudah memiliki agama namun
mereka tetap menggunakan system kekerabatan yang mereka percaya dapat membuat kesejahtraaan bagi keluarga mereka. Berikut hasil wawancara dengan salah satu Suku
Anak dalam. “… Dalam keluarga kami masih menganut sistem kekerabatan
seperti sewaktu kami di dalam hutan. Karena kami lihat system kekerabatan atau kekeluargaan yang kami terapkan tidak beda jauh
dengan sistem keluarga Masyarakat Terang..”
34
4.1.7 Organisasi Sosial dan Kelompok Masyarakat pada Suku Anak Dalam
Masyarakat Suku Anak Dalam hidup secara berkelompok, namun keberadaan kelompok ini tidak dibatasi oleh wilayah tempat tinggal tertentu. Mereka bebas untuk
tinggal bersama dengan kelompok lain. Namun mereka tidak dengan mudah berganti-
34. Wawancara dengan Temenggung Tarib, 60 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus
2012, di Lokasi Trans Sosial.
97
ganti kelompoktumenggungnya karena terdapat hukum adat yang mengaturnya. Jika terjadi perkawinan antar kelompok, ada kencenderungan bahwa pihak laki-laki akan
mengikuti kelompok dari istrinya. Susunan organisasi sosial pada masyarakat Suku Anak Dalam terdiri dari:
1.Tumenggung, Kepala adatKepala masyarakat 2.Wakil Tumenggung, Pengganti Tumenggung jika berhalangan
3.Depati, Pengawas terhadap kepemimpinan tumenggung 4.Menti, Menyidang orang secara adathakim
5.Mangku, Penimbang keputusan dalam sidang adapt 6.Anak Dalam, Menjemput Tumenggung ke sidang adapt
7.Debalang Batin, Pengawal Tumenggung 8.TengganasTengganai, Pemegang keputusan tertinggi sidang adat dan dapat
membatalkan keputusan Kepemimpinan pemimpin Suku Anak Dalam sudah tidak bersifat mutlak.
Pemimpin mereka sekarang dipilih berdasarkan pengajuan Tumenggung sebelumnya untuk kemudian disetujui seluruh anggota. Jika sebagian besar menyetujui maka
orang tersebut dapat menduduki jabatan pemimpin dan disahkan melalui pertemuan adat dalam suatu upacara. Jabatan Tumenggung yang terlihat punya kekuasaan cukup
besarpun masih dibatasi oleh beberapa jabatan lain seperti jabatan Tengganas yang mampu membatalkan keputusan Tumenggung. Ini menunjukkan bahwa Suku Anak
Dalam telah mengenal suasana demokrasi secara sehat. Menurut Temenggung Tarib, jumlah kelompok yang diwakili oleh
Temenggung naik dari 3 kelompok pada tahun 1980an, sampai 6 kelompok yang di
98
wakili oleh Temenggung di Bukit Duabelas dewasa ini. Dulu ada kelompok Makekal, Kejasun dan Air Hitam, dewasa ini di daerah Makekal adalah kelompok yang di
Temenggungi oleh Temenggung Mukir dan Temenggung Merah, daerah Kejasung dengan kelompok yang dipimpin oleh Temenggung Mijah, Marid, Kecik dan Jelita
dan di daerah Air Hitam adalah kelompok Tarib dan Biring. Alam Sumatera, Agustus 2008.
Banyak interaksi dan lintas pernikahan cross weddings terjadi antar kelompok, misalnya istri Temenggung Tarib punya darah Makakal dan orang
kelompok Tarib nikah orang kelompok Biring. Hal tersebut mengakibatkan struktur dan komposisi organisasi sosial hampir sama dengan kelompok lain. Temenggung
Biring setelah pindah keluar dan menganut agama Islam berganti nama dan sekarang dikenal dengan nama Pak Helmi. Sebenarnya anggota kelompok Biring serta anggota
kelompok Tarib terpisah. Artinya, ada anggota yang tinggal di hutan secara tradisional dan ada anggota kelompok yang pindah keluar yang dapat bantuan dan
merubah kepercayaan. Mungkin alasan memisahkan diri adalah faktor ekonomi atau faktor akulturasi dengan budaya pasca tradisional.
“…struktur masyarakat terdiri dari Temenggung adalah kepala suku. Ketika dia absent dia diwakili wakil Temenggung. Seorang
yang bergelar Depati bertugas menyelesaikan hal-hal yang terkait dengan hukum dan keadilan. Seorang yang bergelar Debalang yang
tugasnya terkait dengan stabilitas keamanan masyarakat dan seorang yang bergelar Manti yang tugasnya memanggil masyarakat
pada waktu tertentu. Penghulu adalah sebuah institusi social yang mengurus dan memimpin masyarakat orang Rimba. Ada juga yang
bertugas seperti dukun, atau Tengganai dan Alim yang mengawasi
99
dan melayani masyarakat dalam masalah spiritual dan di bidang kekeluargaan, nasehat adat dan sebagainya..”
35
Temenggung Tarib sangat aktif mengorganisir hubungan dengan dunia luar, supaya nasib orang Rimba diketahui. Misalnya dia bertemu dengan Presiden
Megawati Sukarnoputri, menjadi pewakil orang Rimba dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara di Jakarta, 15-22 Maret 1999 dan wakil orang Rimba untuk Dewan
Aliansi Daerah untuk Aliansi Masyarakat Daerah propinsi Jambi dari periode 1999 sampai sekarang. Orang Rimba yang tinggal di pinggir Bukit Dua Belas berinteraksi
cukup sering dengan orang desa. Kelihatannya orang Rimba yang tinggal lebih didalam Bukit Dua Belas tidak berinteraksi sama sekali. Orang Rimba sebenarnya
sering memerlukan bantuan dari orang Rimba yang bermukim di pinggir hutan. Mereka minta bantuan untuk mendapat barang dari pasar. Maksudnya, orang Rimba
yang tinggal di dalam Bukit Dua Belas memesan barang yang dijual di pasar kepada orang Rimba di pinggir hutan, dan diambil oleh mereka setelah barangnya sudah
didapat. Posisi Jenang, atau penghubung antara orang Rimba dan pemerintah adalah
warisan dari masa lampau, waktu belum sering ada hubungan dengan luar. Tugas pertamanya beli barang dan jual kepada pihak tertentu, serta jalur komunikasi dengan
luar. Kelihatannya posisinya terkadang disalahgunakan, itu alasan saat Jenang meninggal posisinya tidak diisi lagi dan orang Rimba yang sudah cukup biasa dengan
prosedur, melakukan perundingan sendiri dengan luar.Alam Sumatera, Juli 2009.
35. Wawancara dengan Temenggung Biring, 60 Tahun. Wawancara dilakukan pada bulan Agustus
2012, di Lokasi Trans Sosial.
100
4.2 Perubahan Kehidupan Suku Anak Dalam Pasca Mengikuti Program Trans Sosial