Pergeseran dari Pemerintah ke Parlemen

Hukum TaTa Negara daN Pilar-Pilar demokrasi serpihan Pemikiran Hukum, media dan Ham Prof. dr. Jimly asshiddiqie, s.H. Hukum TaTa Negara daN Pilar-Pilar demokrasi serpihan Pemikiran Hukum, media dan Ham Prof. dr. Jimly asshiddiqie, s.H. ian yang berbeda satu sama lain. karena itu, untuk kepentingan eisiensi, kedua pekerjaan itu dibagi dalam dua institusi yang berbeda. kedua, pembedaan kedua cabang kekuasaan itu juga dianggap penting untuk menjamin taraf kebebasan dan pem- batasan kekuasaan yang dimiliki, sehingga dianggap perlu dia- dakan pemisahan kelembagaan. Doktrin pemisahan kekuasaan ini dapat dikaitkan pula dengan konsep Baron de Montesquieu 1689-1755 yang berpendapat bahwa pemisahan fungsi-fungsi legislatif, eksekutif dan judikatif dalam struktur kekuasaan negara diperlukan sebagai langkah untuk menjamin kebebasan dari masing-masing cabang kekuasaan itu. ketiga, pemisahan ketiga cabang kekuasaan itu seringkali dikaitkan dengan corak penulisan yang mengikuti tradisi yang sudah berlangsung sejak lama, di mana ketiga cabang kekuasaan itu dirumuskan dalam tiga bagian terpisah satu sama lain. Meskipun demikian apabila ditelaah secara mendalam, ses- ungguhnya tidak satupun teks konstitusi maupun dalam praktek dimanapun yang memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif itu secara kaku. Baik dalam rumusan formal apalagi dalam kenyataan praktek, fungsi-fungsi legislatif dan eksekutif selalu bersifat tumpang tindih. Parlemen inggris, misalnya, yang biasa dianggap sebagai induk dari semua konsep parlemen di dunia yang kemudian dijadikan model parlemen yang ideal oleh Montesquieu dalam berbagai tulisan-tulisannya, bermula dari adanya hasrat kaum aristokrat dan kemudian dari rakyat jelata untuk turut mengambil bagian dalam pemerintahan, agar kekua- saan tidak dimonopoli oleh raja. Perjuangan kaum aristokrat dan rakyat banyak itu menunjukkan hasil yang nyata sehingga sejarah hak-hak dan kebebasan politik rakyat inggeris telah menyaksikan peralihan kekuasaan dari raja ke Parlemen inggris yang mewakili kepentingan-kepentingan di luar kepentingan raja. Dengan cepat, kekuasaan politik bergeser dari pemerintahan eksekutif ke badan legislatif, sehingga pada akhir abad ke-18 James Madison mendis- kusikan kecenderungan pergeseran itu dan mengingatkan bahwa “it was an illusory to expect a piece of parchment i.e. the new

1. Pergeseran dari Pemerintah ke Parlemen

Dalam berbagai literatur hukum dan politik lazim dipahami oleh berbagai sarjana, bahwa tugas pokok lembaga parlemen itu di mana-mana adalah: a. mengambil inisiatif atas upaya pembuatan undang-undang. b. mengubah atau amandemen terhadap berbagai peraturan perundangan. c. mengadakan perdebatan mengenai kebijaksanaan umum. d. mengawasi pelaksanaan tugas pemerintahan dan pembelan- jaan negara. Di antara keempat tugas pokok itu, biasanya yang paling me- narik perhatian para politisi untuk diperbincangkan adalah tugas pertama yaitu sebagai pemrakarsa pembuatan undang-undang. Namun, jika ditelaah secara kritis, maka tugas pokok yang pertama yaitu sebagai pengambil inisiatif pembuatan undang-undang, dapat dikatakan telah mengalami kemunduran serius dalam perkemban- gan akhir-akhir ini. Biasanya, dalam berbagai konstitusi negara- negara berdaulat di mana-mana, memang diadakan perumusan mengenai tugas-tugas pembuatan undang-undang legislatif dan tugas-tugas pelaksanaan undang-undang itu eksekutif ke dalam dua kelompok pelembagaan yang menjalankan peranan yang berbeda. kekuasaan legislatif dan eksekutif itu dirumuskan dalam bab-bab yang terpisah, dan keduanya selalu diuraikan secara lebih rinci daripada ketentuan-ketentuan mengenai hal-hal lain. karena itu, dalam merumuskan Undang-Undang Dasar biasanya para penyusunnya mendasarkan diri pada doktrin “separation of power” atau “division of power” sebagai doktrin dalam meru- muskan hubungan di antara kedua cabang kekuasaan itu. Biasanya, perumusan mengenai doktrin pembagian ataupun mengenai pemisahan kekuasaan itu dalam konstitusi dianggap penting karena tiga pertimbangan pokok. Pertama, pembuatan undang-undang beserta pelaksanaannya dianggap sebagai dua pekerjaan yang memerlukan tipe organisasi, personil, dan keahl- Hukum TaTa Negara daN Pilar-Pilar demokrasi serpihan Pemikiran Hukum, media dan Ham Prof. dr. Jimly asshiddiqie, s.H. Hukum TaTa Negara daN Pilar-Pilar demokrasi serpihan Pemikiran Hukum, media dan Ham Prof. dr. Jimly asshiddiqie, s.H. Pada abad ke-20 terjadi perubahan mendasar dalam perkembangan mengenai peran parlemen. Selama abad ini, muncul kecenderungan terjadinya pergeseran peran dari ekse- kutif ke legislatif atau dari pemerintah ke parlemen mengalami kemandekan. Sebaliknya, kecenderungan yang terjadi pada abad ke-20 dan menjelang abad ke-21 sekarang ini justru menunjukkan perubahan arah yang berlawanan. Sekarang ini pergeseran itu justru terjadi dari legislatif ke eksekutif. Seperti dikatakan oleh ivo D. Duchacek: “National legislators now seem to have lost much of what they gained in wrenching the law-initiating and law-writing monopoly from royal and aristocratic executives. Law making is now, at best, a shared power. Tha executive in most systems has become the dominant source of legislative initiative and it retains the traditionally recognized role of executing laws.” Dewasa ini, para anggota parlemen nasional telah banyak kehilangan dibandingkan dengan apa yang mereka miliki sejak lama dalam monopoli inisiatif pembuatan dan penyusunan un- dang-undang dari para eksekutif kerajaan dan kaum aristokrat. Pembuatan undang-undang sekarang ini, sudah menjadi suatu pekerjaan bersama antara para legislator parlemen dan pihak eksekutif pemerintah. Dalam hampir semua sistem yang ada sekarang, pihak eksekutif telah menjadi cabang kekuasaan yang lebih dominan pengaruhnya dan perannya sebagai sumber inisi- atif pembuatan undang-undang. Padahal, pada saat yang sama, mereka juga tetap memegang kendali utama dalam rangka pelak- sanaan undang-undang itu. Para legislator, anggota parlemen di mana-mana, biasanya hanya memodiikasi rancangan UU yang diajukan pihak Pemerintah, jarang mengambil inisiatif untuk mengajukan rancangan sendiri. Dalam banyak kasus, dominan- nya peranan aktual pemerintah ini tidak sejalan dengan semangat yang terkandung dalam berbagai teks konstitusi yang lazimnya menghendaki agar anggota parlemen, para legislator melakukan inisiasi dan elaborasi kreatif untuk menyusun dan merumuskan rancangan undang-undang sendiri. American Constitution to abate the power-devouring appetite of the legislators”. Menurut pendapatnya: “Will it be suficient to mark, with precision, the boundaries of these Departments Legislative, Executive, and Judiciary in the constitution of the Government and to trust to these parchment barriers against the encroaching spirit of power?.... Experience assures us, that the eficacy of the provision has been greatly over- rated; ... a mere demarcation on parchment of the constitutional limits of the several departments is not a suficient guard against those encroachments which lead to a tyrannical concentration of all the power of government in the same hands. ...The legislative department is everywhere in the thirteen states extending the sphere of its activity, and drawing all power into its impetuous vortex.” Trend atau kecenderungan pergeseran kekuasaan dari pemerintah eksekutif ke parlemen legislatif itu berlanjut sampai abad ke-19. Pengaruhnya terus meluas ke berbagai negara eropa dan Amerika, seperti Perancis, Jerman, Belanda, Swedia, rusia, Amerika Serikat, dan lain-lain sebagainya. Peranan par- lemen di negara-negara ini, selama abad ke-18 dan ke-19, terus berkembang bersamaan dengan meningkatnya aspirasi rakyat yang ingin membebaskan diri dari kungkungan penindasan para raja feodal dan kaum aristokrat. Perkembangan yang terjadi dalam praktek kekuasaan ini, bahkan tercermin pula dalam produksi pemikiran yang tumbuh dan berkembang selama abad-abad ke-18 dan ke-19 ini. karena itulah, selama periode ini, tercatat banyak bermunculan teori-teori dan karya-karya ilmiah penting berkenaan dengan gagasan demokrasi dan parlementarisme yang mempengaruhi paradigma pemikiran dalam studi hukum tata negara dan studi politik sampai sekarang. Bahkan di inggris kemudian berkembang pula doktrin “parliamentary supremacy” sebagai doktrin hukum yang berkenaan dengan hubungan antara parlemen dengan pengadilan.

2. Pergeseran dari Parlemen ke Pemerintah