Pembentukan Hukum Yurisprudensi Pembentukan Hukum adat

Hukum TaTa Negara daN Pilar-Pilar demokrasi serpihan Pemikiran Hukum, media dan Ham Prof. dr. Jimly asshiddiqie, s.H. Hukum TaTa Negara daN Pilar-Pilar demokrasi serpihan Pemikiran Hukum, media dan Ham Prof. dr. Jimly asshiddiqie, s.H. tanpa pendelegasian materiil dari UU yang sudah ada lebih dahulu. Sedangkan keputusan Presiden, dibentuk sendiri oleh Presiden tanpa perlu dikaitkan dengan pendelegasian materiil dari UU. Artinya, materi yang dimuat dalam keppres dapat sepenuhnya bersifat mandiri dalam rangka kewenangan Presiden, baik sebagai kepala Negara maupun kepala Pemerintahan. keputusan Presiden dapat saja dibuat untuk melaksanakan perintah UUD, perintah gBHN, perintah UU, ataupun perintah PP. Di bawah keppres, ada keputusan Menteri, keputusan kepala lPND, dan keputu- san Direktur Jenderal yang semuanya bersifat operasional dalam rangka pelaksanaan tugas Menteri menurut bidang tugasnya masing-masing. Di tingkat daerah, ada pula Peraturan Daerah Tingkat i, Peraturan Daerah Tingkat ii, keputusan gubernur, keputusan Bupati, keputusan Walikota, dan sebagainya. ketentuan mengenai pembuatan hukum di tingkat daerah ini, seyogyanya juga mengi- kuti pola di tingkat pusat. Misalnya, Peraturan Daerah dibuat oleh gubernur dengan persetujuan DPrD. Tetapi DPrD sendiri dapat pula berinisiatif mengajukan rancangan Perda seperti hak inisiatif DPr Pusat untuk mengajukan rUU tertentu kepada Pemerintah. Akan tetapi, karena restrukturisasi pemerintahan daerah dalam rangka kebijaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di masa yang akan datang, ketentuan mengenai pembuatan hukum seperti ini masih harus disesuaikan dengan perkembangan pelaksanaan kebijaksanaan desentralisasi itu nantinya. Misalnya, jika nantinya DPrD tingkat i provinsi ditiadakan, dan DPrD hanya ada di tingkat ii, maka otomatis ketentuan mengenai Peraturan Daerah itu hanya akan ada di tingkat ii, sedangkan produk-produk hukum di tingkat propinsi yang dikeluarkan oleh gubernur yang hanya akan berperan sebagai kepala Wilayah, masih perlu dipikirkan baik bentuknya maupun otoritas kedudukannya sebagai produk hukum di tingkat provinsi.

2. Pembentukan Hukum Yurisprudensi

Yurisprudensi terbentuk atas dasar keputusan hakim yang telah mendapatkan kekuatan hukum yang tetap. Putusan hakim yang demikian dapat dijadikan sandaran bagi hakim berikutnya dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum sejenis di kemudian hari dengan mempertimbangkan fakta-fakta baru, baik karena perbedaan ruang dan waktu maupun karena perbedaan subjek hukum yang terlibat. Asas-asas dan prinsip-prinsip hukum yang dapat ditemukan dalam kasus-kasus yang diselesaikan dapat diambil menjadi dasar hukum untuk memutuskan perkara yang dihadapi. Para hakim dituntut bertindak aktif dan proaktif dalam menafsirkan asas-asas dan prinsip-prinsip hukum yang terkan- dung dalam keputusan-keputusan terdahulu, baik oleh hakim yang bersangkutan ataupun hakim-hakim lain di tempat yang ber- beda. Dinamika peranan hakim demikian itu dengan sendirinya membangun tradisi tersendiri dengan memberlakukan putusan hakim sebagai hukum yang dari waktu ke waktu terus berkembang. Tradisi inilah yang kemudian dikenal dengan “judge-made law” hukum buatan hakim atau sekedar pemberlakuan “yurispru- densi” sebagai sumber hukum menurut tradisi “civil law”.

3. Pembentukan Hukum adat

Hukum adat terbentuk melalui proses pelembagaan nilai- nilai dan proses pengulangan perilaku dalam kesadaran kolektif warga masyarakat menjadi norma yang dilengkapi dengan sistem sanksi. Secara sederhana, dapat digambarkan bahwa proses ter- bentuknya suatu norma hukum dimulai dengan adanya perbuatan individu yang diulang-ulang menjadi kebiasaan pribadi individual habbit. Perbuatan pribadi itu lama kelamaan diikuti orang lain secara berulang-ulang pula social habbit. Makin banyak peserta yang terlibat dalam proses pengulangan dan peniruan itu, makin terbentuk suatu kebiasaan kolektif atau biasa dinamakan adat istiadat custom. kriteria yang mudah untuk mengenali suatu ke- biasaan kolektif social habbit berkembang menjadi adat istiadat custom adalah mulai diperkenalkannya unsur sanksi terhadap penyelewenangan atau penyimpangan terhadap kebiasaan kolektif itu. Terhadap orang yang tidak mengikuti kebiasaan kolektif itu, Hukum TaTa Negara daN Pilar-Pilar demokrasi serpihan Pemikiran Hukum, media dan Ham Prof. dr. Jimly asshiddiqie, s.H. Hukum TaTa Negara daN Pilar-Pilar demokrasi serpihan Pemikiran Hukum, media dan Ham Prof. dr. Jimly asshiddiqie, s.H. biasanya dikenakan sanksi sosial pula, misalnya, dianggap aneh ataupun lebih keras lagi mulai dicerca karena dianggap menyim- pang deviant behavior. Selama sistem sanksi yang dikenakan itu masih bersifat sosial, maka derajat sanksinya masih bersifat moral, yaitu setiap penyimpangan dianggap tidak baik, kurang atau tidak sopan, dan sebagainya. Tetapi, jika sistem sanksi itu makin lama makin menguat, dan kemudian dikukuhkan oleh sistem kekuasaan yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan, misalnya dengan meli- batkan keputusan kepala adat sistem kepemimpinan setempat, maka sistem sanksi itupun meningkat pula. Sanksi kemudian dapat dipaksakan berlakunya dengan dukungan kekuasaan. Pada tahap demikian itu, maka sifat sanksinya berubah menjadi sanksi hukum, dan karena itu kualitas norma adat istiadat yang tadinya hanya bersifat moral berubah menjadi norma hukum yang dapat dipaksakan berlakunya oleh sistem kekuasaan setempat. Dengan demikian, sistem norma yang berkembang disini berasal dari dalam kesadaran masyarakat sendiri, tumbuh menjadi kesadaran hukum yang khas menurut ukuran-ukuran keadilan yang hidup dalam masyarakat yang bersangkutan. Masalahnya kemudian adalah sejauh mana sistem hukum dalam suatu negara modern dapat memberikan toleransi terhadap keberadaan sistem ‘kekuasaan’ dalam masyarakat adat seperti itu. Dalam alam pikiran negara yang ingin mencakupi dan melingkupi seluruh sistem kehidupan dalam masyarakatnya, toleransi seperti ini biasanya tidak populer. Akan tetapi, di masa depan, dalam rangka perwujudan cita-cita masyarakat madani yang mengasum- sikan tumbuh dan berkembangnya kemandirian setiap individu dan komunitas-komunitas yang berada dalam lingkungan wilayah suatu negara hukum yang berdaulat, toleransi seperti justru dapat berkembang makin populer. komunitas hukum dan budaya per daerah justru penting untuk dikembangkan sebagai bagian dari pluralisme yang dapat memperkuat sistem negara hukum dan masyarakat madani di masa depan.

4. Pembentukan Hukum “Volunter”