Bahan Ajar Pengantar Hukum Pajak

(1)

BAHAN AJAR

PENGANTAR HUKUM PAJAK

PROGRAM DIPLOMA I KEUANGAN

SPESIALISASI PAJAK

SUSI ZULVINA

SEKOLAH TINGGI AKUNTANSI NEGARA

TAHUN 2011


(2)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatu

Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan, kesempatan, dan semangat kepada penulis untuk menyusun bahan ajar ini.

Materi yang dipilih untuk disajikan dalam bahan ajar ini disesuaikan dengan kebutuhan minimal yang dipandang perlu untuk dikuasi oleh para mahasiswa dalam rangka untuk membekali diri agar dapat bekerja sesuai dengan tugas masing-masing.

Bagaimanapun juga, bahan ajar ini hanya dimaksudkan sebagai pengantar dan masih perlu dikembangkan, sehingga mahasiswa tidak terlepas dari kewajiban untuk tetap mempelajari peraturan-peraturan yang terbaru, literatur dan sumber lainnya.

Dengan adanya keterbatasan, baik kemampuan maupun kesempatan, penulis menyadari bahwa bahan ajar ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan sumbangan pemikiran dari pihak manapun sebagai bahan masukkan yang sangat bermanfaat untuk penyempurnaan bahan ajar ini.

Akhirnya, harapan kami semoga bahan ajar ini dapat memberikan masukan dan kontribusi positif dalam rangka kegiatan proses belajar mengajar yang diharapkan nantinya dapat meningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Amin.

Jakarta, Oktober 2011


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI... ii

DAFTAR TABEL ... v

PENDAHULUAN ... vi

BAB 1 SEJARAH PEMUNGUTAN PAJAK ... 1

A. Terbentuknya Negara ... 1

B. Fungsi Pemerintah ... 2

C. Hubungan Negara dan Warga Negara ... 4

D. Sejarah Pemungutan Pajak ... 5

BAB 2 SUMBER – SUMBER PENERIMAAN NEGARA ... 11

A. Bumi, Air, dan Kekayaan Alam ... 11

B. Pajak-Pajak, Bea dan Cukai ... 12

C. Penerimaan Negara Bukan Pajak (Non-Tax) ... 13

D. Hasil Perusahaan Negara... 14

E. Sumber-Sumber Lain ... 14

BAB 3 PENGERTIAN PAJAK DAN HUKUM PAJAK ... 19

A. Hukum Pajak ... 19

B. Pajak ... 22

C. Fungsi Pajak... 23

D. Retribusi ... 24

E. Sumbangan ... 25

F. Zakat/Sumbangan Keagamaan ... 25

G. Kedudukan Hukum Pajak dalam Tatanan Hukum Nasional ... 25

BAB 4 ASAS DAN YURIDIKSI PEMUNGUTAN PAJAK ... 29

A. Pancasila dan Pajak ... 29

B. Asas-asas Pemungutan Pajak ... 30

C. Yurisdiksi Pemungutan Pajak ... 32

BAB 5 PENGGOLONGAN JENIS PAJAK DAN SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK ... 35

A. Penggolongan Jenis Pajak ... 35


(4)

BAB 6 PENAFSIRAN DALAM HUKUM PAJAK ... 43

A. Metode Penafsiran ... 43

B. Kekosongan Hukum ... 48

BAB 7 TARIF PAJAK DAN DASAR PENGENAAN PAJAK ... 52

A. Pengertian Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak ... 52

B. Jenis-jenis Tarif Pajak ... 52

BAB 8 UTANG PAJAK ... 59

A. Pengertian ... 59

B. Sebab Timbulnya Utang Pajak ... 60

C. Penetapan dan Ketetapan ... 63

BAB 9 PENAGIHAN PAJAK ... 66

A. Pengertian ... 66

B. Sifat Utang Pajak ... 67

C. Tata Cara penagihan Pajak ... 69

D. Pencairan Tunggakan Pajak (Penghapusan Piutang Pajak) ... 82

BAB 10 PERADILAN ADMINISTRASI PAJAK ... 87

A. Pengertian ... 87

B. Kedudukan pengadilan Pajak dalam Sistem Peradilan ... 88

C. Sengketa Pajak ... 90

BAB 11 TINDAK PIDANA DI BIDANG PERPAJAKAN ... 104

A. Pengertian Tindak Pidana ... 104

B. Jenis-jenis Tindak Pidana ... 104

C. Pengertian Tindak Pidana Pajak... 106

D. Penyidikan Tindak Pidana Pajak ... 106

E. Penuntutan ... 108

BAB 12 KESADARAN DAN KEPATUHAN KEWAJIBAN ... 111

A. Tax Compliance (Kepatuhan Pajak) ... 111

B. Pentingnya Kepatuhan Kewajiban Perpajakan ... 112

C. Hambatan Pemungutan Pajak ... 114


(5)

BAB 13 PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA SERTA PERLUNYA TAX

TREATY ... 118

A. Pengertian Pajak Berganda ... 118

B. Sebab Terjadinya Pajak Berganda Internasional ... 119

C. Cara Penghindaran Pajak Berganda ... 120

DAFTAR PUSTAKA ... 125


(6)

DAFTAR TABEL

Tabel 7.1 Tarif Pajak Orang Pribadi berdasarkan Pasal 17 ayat (1) huruf a ... 61 Tabel 7.2 Contoh Tarif Pajak Degresif ... 62 Tabel 7.3 Contoh Tarif Pajak Proporsional ... 62


(7)

PENDAHULUAN

A. Pengantar

Pajak ibarat oase di padang pasir yang tandus. Krisis ekonomi berkepanjangan yang dihadapi oleh Indonesia tak pelak membutuhkan dana yang besar. Dana tersebut bisa berasal dari berbagai sektor seperti sektor migas dan sektor nonmigas serta dari sektor pajak. Berbeda dengan beberapa periode yang lalu dimana sumber penerimaan APBN terbesar berasal dari sektor migas, beberapa tahun belakangan sumber utama penerimaan APBN mulai bergeser ke sektor penerimaan perpajakan. Tak bisa dipungkiri, penerimaan dari sektor pajak beberapa tahun terakhir mencapai sekitar 80% dari seluruh penerimaan negara.

Hal ini menunjukkan peranan pajak yang sangat dibutuhkan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan di Indonesia. Oleh karena itu pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak terus berusaha meningkatkan jumlah penerimaan pajak setiap tahunnya dengan melakukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan perpajakan serta melakukan modernisasi sistem administrasi perpajakan agar dapat melaksanakan sistem perpajakan yang efektif dan efisien.

Seperti yang telah diketahui bersama, pemerintah secara serius dan berketetapan hati melaksanakan pemungutan pajak melalui sistem Self Assesment dengan melakukan Reformasi Perpajakan. Perjalanan Reformasi Perpajakan sampai saat ini selalu mengalami penyempurnaan dan penyesuaian dalam rangka kemandirian bangsa Indonesia memenuhi tuntutan APBN dari tahun ke tahun yang semakin meningkat, dimana penerimaan pajak memegang peranan yang besar. Salah satu cara untuk meningkatkan penerimaan pajak itu sendiri adalah meningkatkan terlebih dahulu kualitas sumber daya manusia (SDM) yang nantinya akan bekerja di Direktorat Jenderal Pajak. Proses tersebut bisa dimulai dari kegiatan belajar mengajar yang ada di Sekolah Tinggi Akuntansi Negara.


(8)

B. Tujuan Intruksional Umum

Mahasiswa Sekolah Tinggi Akuntansi Negara adalah mahasiswa kedinasan di bawah naungan Kementerian Keuangan yang nantinya lulusannya akan ditempatkan di Kementerian Keuangan maupun instansi pemerintah lainnya. Ketika menimba ilmu di STAN, mahasiswa diharapkan dapat fokus dalam menekuni pendidikannya karena pada masa yang akan datang mahasiswa akan ikut berperan sebagai bagian dari pejabat pengambil keputusan dan pembuat kebijakan di Kementerian Keuangan. Oleh karena itu para mahasiswa sudah seharusnya:

a. Memahami masalah pengantar perpajakan sebagai dasar untuk mempelajari mata kuliah perpajakan lebih jauh;

b. Memahami ketentuan-ketentuan yang dijadikan dasar pemungutan pajak; c. Memahami alasan-alasan mengapa harus ada pemungutan pajak dalam

kehidupan bernegara;

d. Mengetahui peran dan fungsi pajak dalam pembangunan; dan tentunya e. Mengetahui sejarah pengenaan pajak di Indonesia.

C. Tujuan Intruksional Khusus

Setelah mempelajari mata kuliah Pengantar Perpajakan, para mahasiswa diharapkan mampu:

a. Berperan aktif maupun pasif dalam pengembangan ilmu perpajakan;

b. Menganalisis secara benar dan rasional permasalahan di bidang perpajakan; dan

c.

Dapat mengaplikasikan ilmu yang didapatnya demi kemaslahatan keuangan negara.


(9)

SEJARAH PEMUNGUTAN PAJAK

A. Terbentuknya Negara

Menurut pendapat Aristoteles, manusia merupakan makhluk bermasyarakat atau Zoon Politikon. Setiap manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri dalam masyarakat tanpa berhubung dengan orang lain dan tetap secara individu terlibat dalam suatu ikatan dengan kelompoknya.

Agar dapat mengatur kehidupan sosial dan berkelompok menjadi lebih baik, maka manusia membutuhkan seorang pemimpin yang dianggap lebih cakap dan memiliki kharisma sebagai seseorang yang patut dihormati, ditaati perintahnya dan diteladani sikap dan tingkah lakunya. Dengan adanya pemimpin kehidupan manusia lebih teratur. Ketaatan anggota kelompok terhadap pemimpinnya menimbulkan suatu kekuasaan pemerintahan yang sederhana dalam kelompok tersebut. Setiap anggota kelompok sadar, patuh, dan mendukung tata hidup yang ditetapkan pemimpin mereka, menghormati dan menghargai pemimpin mereka, yang pada akhirnya lambat laun peraturan itu menjadi peraturan tertulis yang dilaksanakan dan ditaati setiap anggota kelompok.

Semakin luas dan kompleksnya masing-masing kelompok, maka makin besar dan banyak pula kesulitan yang timbul baik masalah internal antar individu dalam kelompok, maupun masalah dengan pihak eksternal. Interaksi antar kelompok juga memerlukan suatu aturan yang lebih terstruktur daripada sebelumnya. Hal tersebut yang menjadi alasan mendasar perlunya dibentuk suatu organisasi yang lebih teratur dan memiliki kekuasaan yang memadai. Organisasi atau lembaga tersebut sangat diperlukan untuk melaksanakan dan mempertahankan peraturan-peraturan hidup

Tujuan Instruksional Khusus : 1. Terbentuknya Negara 2. Fungsi Pemerintahan

3. Siklus hubungan Negara dan Warga Negara 4. Sejarah singkat tentang Pemungutan Pajak

1


(10)

agar dapat berjalan secara tertib dan lancar. Organisasi yang memiliki kekusaan seperti itulah yang kemudian dinamakan Negara.

Konsep dan pengertian Negara sebagai organisasi kekuasaan dipelopori oleh J.H.A. Logemaan dalam bukunya yaitu “Over De theorie Van Een Stelling Staadrecht”, yaitu bahwa keberadaan negara bertujuan untuk mengatur dan menyelenggarakan masyarakat yang dilengkapi dengan kekuasaan tertinggi.

Negara dalam konteksnya sebagai organisasi kekuasan didalamnya terdapat suatu mekanisme atau tata hubungan kerja yang mengatur suatu kelompok manusia (rakyat) agar berbuat, atau bersikap sesuai dengan kehendak negara, agar mematuhi aturan yang telah dibuat negara. Agar negara dapat mengatur rakyatnya, maka negara diberi kekuasaan (authority) yang dapat memaksa seluruh anggotanya untuk mematuhi segala peraturan/ketentuan yang telah ditetapkan oleh negara. Kekuasaan tersebut berhak dimiliki oleh negara, karena secara historis timbulnya negara adalah untuk mengatur kehidupan yang lebih baik. Untuk menghindari adanya kekuasaan yang sewenang-wenang, disisi lain Negara juga menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai dimana kekuasaan itu dapat digunakan dalam kehidupan bersama, baik oleh individu, golongan, organisasi, maupun oleh negara itu sendiri.

B. Fungsi Pemerintah

Fungsi pemerintah di dalam suatu negara sangat penting. Jika pemerintah tidak berfungsi dengan baik alias mandul, maka akan berpengaruh besar terhadap kestabilan suatu negara. Pemerintah memiliki wewenang dalam mengatur kehidupan bernegara, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah sudah semestinya juga bertanggung jawab pada perikehidupan rakyatnya. Menurut Miriam Budiardjo (1998), fungsi pemerintah dapat dikelompokkan menjadi:

1. Melaksanakan penertiban (law and order) untuk emncapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, maka negara harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator.

2. Mengusahakan kesejahtaraan dan kemakmuran rakyat. Dewasa ini fungsi ini dianggap penting terutama bagi negara-negara baru. Pandangan ini di Indonesia


(11)

tercermin dalam usaha pemerintah untuk membangun melalui suatu rentetan Repelita.

3. Fungsi pertahanan, hal ini diperlukan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar. Untuk itu negara dilengkapi dengan alat-alat pertahanan.

4. Fungsi menegakkan keadilan, hal ini dilaksanakan melalui badan-badan pengadilan.

Terdapat tiga fungsi pokok ekonomi yang diemban oleh pemerintah yaitu: 1. Tindakan pemerintah yang menyangkut efisiensi berupa segala upaya untuk

memperbaiki kesalahan pasar. Misalnya monopoli.

2. Program pemerintah untuk meningkatkan keadilan. Misalnya pemerataan pendapatan agar mencerminkan kepentingan seluruh masyarakat, termasuk golongan miskin

3. Kebijaksanaan stabilisasi berusaha mengiki fluktuasi yang tajam dari siklus bisnis dengan cara menekan angka pengangguran dan inflasi, serta mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.

Menurut Paul A. Samuelson & William D. Nordhaus, pada intinya peran pemerintah sangat besar dalam menjalankan pemerintahan negara dan menjalankan perikehidupan masyarakatnya. Fungsi pemerintah dalam perekonomian adalah menjaga kestabilan ekonomi negara dan rakyatnya. Tanpa campur tangan pemerintah dalam masalah kebijakan ekonomi, kondisi perekonomian tentunya tidak akan berjalan seimbang. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan prosesnya yang berkelanjutan, merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi suatu negara. Dengan kondisi tersebut maka fungsi pemerintah dalam mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat akan berjalan dengan baik.

Selain masalah ekonomi, yang merupakan faktor penting untuk dijalankan dengan baik oleh pemerintah adalah penegakan hukum, dan politik serta pertahanan negara. Dengan kondisi adanya kepastian hukum, keadilan yang seadil-adilnya dan kondisi pemerintahan dan negara yang kondusif, akan menunjang berjalannya pembangunan ekonomi, yang tentunya akan menjadi dasar peningkatan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Yang pada akhirnya bertujuan juga pada pencapaian masyarakat yang makmur dan sejahtera sebagai tujuan negara.


(12)

Pemerintah tentunya memerlukan dana, sumber daya alam, sumber daya manusia dalam pembiayaan pelaksanaan fungsinya, baik fungsi pokok ekonomi maupun fungsi secara keseluruhan. Modal berupa dana selain dari potensi alam yang dimiliki suatu negara, juga berasal dari laba perusahaan negara, royalti pemerintah, restribusi, konstribusi, bea dan cukai, sanksi dan denda serta berasal dari pajak yang merupakan peran serta warga negara dalam melaksanakan fungsi pemerintah.

Dari fungsi ekonomi pemerintah yang berhubungan dengan pajak adalah fungsi nomor 2 yakni keadilan masyarakat, di mana dengan pajak yang dipungut atas warga negara yang memiliki kemampuan, akan dapat mewujudkan kesejahteraan seluruh masyarakat.

C. Hubungan Negara dan Warga Negara

Negara merupakan organisasi sekelompok orang yang bersama-sama mendiami dan tinggal disatu wilayah dan mengakui suatu pemerintahan. Unsur-unsur terbentuknya suatu negara secara konstitutif adalah wilayah, rakyat, dan pemerintahan. Sesuai dengan UUD 1945 pasal 26 ayat 1, warga negara Indonesia adalah orang-orang Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang bertempat tinggal di Indonesia, dan mengakui Indonesia sebagai tanah airnya dan bersikap setia kepada NKRI yang disahkan dengan UU. Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi sesuai dengan Pancasila. Dimana warga negaranya diberi kebebasan untuk menyalurkan aspirasinya tetapi tentunya dalam konteks yang positif. Sistem demokrasi ini menandakan bahwa Indonesia sangat menghargai warga negaranya sebagai mahluk ciptaan Tuhan dan mengakui persamaan derajat manusia.

Sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, Tujuan Negara Republik Indonesia:

1) Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2) Memajukan kesejahteraan umum;

3) Mencerdaskan kehidupan bangsa; 4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Tidak akan ada negara tanpa warga negara. Warga negara merupakan unsur terpenting dalam hal terbentuknya negara. Warga negara dan negara merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling berkaitan dan memiliki hak dan kewajiban masing-masing yang berupa hubungan timbal balik. Warga negara mempunyai kewajiban untuk menjaga nama baik negara dan membelanya.


(13)

Sedangkan negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi dan menyejahterakan kehidupan warga negaranya. Sementara untuk hak, warga negara memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan dan penghidupan yang layak dari negara, sedangkan negara memiliki hak untuk mendapatkan pembelaan dan penjagaan nama baik dari warga negaranya. Dapat disimpulkan bahwa hak negara merupakan kewajiban warga negara dan sebaliknya kewajiban negara merupakan hak warga negara.

Selain itu, tentunya kita sebagai warga negara Indonesia yang baik, memiliki banyak kewajiban yang harus kita laksanakan untuk negara. Negara membuat peraturan dan hukum, pasti bertujuan yang baik untuk kelangsungan hidup dan tertatanya suatu negara. Hukum di Indonesia jika diklasifikasikan menurut wujudnya ada 2, yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Dengan hak dan kewajiban yang sama setiap orang Indonesia tanpa harus diperintah dapat berperan aktif dalam melaksanakan kewajiban bernegara. Diantaranya adalah kewajiban membayar Pajak. Amandemen UUD 1945 khususnya Pasal 23 A menyebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang. Dengan kata lain, pajak harus berlandaskan undang-undang, berarti pemungutan pajak tersebut telah mendapat persetujuan dari rakyat melalui perwakilannya di DPR . Asas ini telah memberikan jaminan hukum yang tegas akan hak Negara dalam memungut pajak.

Selanjutnya UU KUP No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1, menyebutkan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Definisi mengenai “pajak” ini baru diatur dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007. Dalam UU KUP sebelumnya, tidak pernah diterangkan secara lugas mengenai pengertian “pajak” sebagai kontribusi wajib kepada Negara.

D. Sejarah Pemungutan Pajak

Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau penguasa. Saat itu, rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa


(14)

padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu, digunakan untuk keperluan atau kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat, karena memang sifatnya hanya untuk kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.

Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri. Artinya pemberian kepada rakyat atau penguasa digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan, membangun saluran air, membangun sarana sosial lainnya, serta kepentingan umum lainnya.

Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat upeti (pemberian) yang semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang kemudian dibuat suatu aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada, namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak, yang nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri.

Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut:

a. Ordonansi Pajak Rumah Tangga; b. Aturan Bea Meterai;

c. Ordonansi Bea Balik Nama; d. Ordonansi Pajak Kekayaan;

e. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor; f. Ordonansi Pajak Upah;

g. Ordonansi Pajak Potong; h. Ordonansi Pajak Pendapatan; i. Undang-undang Pajak Radio;

j. Undang-undang Pajak Pembangunan I; k. Undang-undang Pajak Peredaran.


(15)

Kemudian diundangkan lagi beberapa undang-undang, antara lain:

a. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968; b. UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan

Undang-undang No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti; c. UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa; d. UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;

e. UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs atau Tata Cara MPS-MPO.

Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan

masyarakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Selain itu, beberapa undang-undang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi rasa keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melakukan reformasi undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-undang yang ada dan mengundang-undangkan 5 (lima) paket undang-undang-undang-undang perpajakan yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah menjadi self assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah:

a. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);

b. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh); c. UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM;

d. UU No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih menggunakan official assessment); e. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM).

Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas kemudian mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan undang-undang, yaitu:

a. UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994; b. UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994; c. UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994; d. UU No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994;


(16)

Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang yang berkaitan dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang sudah ada, yaitu:

a. UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak; b. UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; c. UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa; d. UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;

e. UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan untuk memberikan rasa keadilan dan pelayanan kepada Wajib Pajak, maka pada tahun 2000 pemerintah kembali mengubah undang-undang perpajakan, yaitu:

a. UU No. 16 Tahun 2000 tentang KUP; b. UU No. 17 Tahun 2000 tentang PPh;

c. UU No. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM; d. UU No. 19 Tahun 2000 tentang PPSP;

e. UU No. 21 Tahun 2000 tentang BPHTB; f. UU No. 34 Tahun 2000 tentang PDRD; serta

g. Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai.

Kemudian pada tahun 2002, dengan menimbang bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung maka dibentuklah suatu Pengadilan Pajak dengan UU No. 14 Tahun 2002 sebagai pengganti UU No. 17 Tahun 1997.

Perubahan terakhir undang-undang perpajakan baru-baru ini dilakukan pada tahun 2007 dan 2008 yang menghasilkan UU KUP No. 28 Tahun 2007 yang berlaku mulai tahun 2008 dan UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai tahun 2009, serta UU PPN No 42 Tahun 2009 yang berlaku mulai tahun 2010. Namun,

dilatarbelakangi adanya sunset policy beberapa waktu lalu, maka UU KUP

diperbaharui lagi dengan adanya UU No. 16 Tahun 2009 sebagai penetapan Perpu No. 5 Tahun 2008 yang hanya mengubah satu bunyi ketentuan Pasal 37A ayat (1) UU KUP No. 28 Tahun 2007.


(17)

RANGKUMAN

Naluri alamiah dan fitrahnya manusia sebagai makhluk sosial sejak dahulu selalu hidup berkelompok, bekerja sama untuk dapat bertahan hidup dan melanjukan kehidupannya. Semakin luas dan kompleksnya masing-masing kelompok, maka makin besar dan banyak pula kesulitan yang timbul baik masalah internal antar individu dalam kelompok, maupun masalah dengan pihak eksternal. Interaksi antar kelompok juga memerlukan suatu aturan yang lebih terstruktur daripada sebelumnya. Hal tersebut yang menjadi alasan mendasar perlunya dibentuk suatu organisasi yang lebih teratur dan memiliki kekuasaan yang memadai. Organisasi atau lembaga tersebut sangat diperlukan untuk melaksanakan dan mempertahankan peraturan-peraturan hidup agar dapat berjalan secara tertib dan lancar. Organisasi yang memiliki kekusaan seperti itulah yang kemudian dinamakan Negara.

Fungsi pemerintah di dalam suatu negara sangat penting. Pemerintah memiliki wewenang dalam mengatur kehidupan bernegara, sehingga fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam penyelenggaraan negara sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam menjalankan fungsinya pemerintah tentu memerlukan dana. Sumber dana dapat berasal dari laba perusahaan negara, royalti pemerintah, restribusi, konstribusi, bea dan cukai, sanksi dan denda serta berasal dari pajak yang merupakan peran serta warga negara dalam melaksanakan fungsi pemerintah.

Saat ini sumber penerimaan negara yang terbesar berasal dari Pajak. peraturan pajak terus disempurnakan. Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan untuk memberikan rasa keadilan dan pelayanan kepada Wajib Pajak, peraturan pajak terus disempurnakan.

Perubahan terakhir undang-undang perpajakan baru-baru ini dilakukan pada tahun 2007 dan 2008 yang menghasilkan UU KUP No. 28 Tahun 2007 yang diperbaharui lagi dengan adanya UU No. 16 Tahun 2009 dan UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai tahun 2009, serta UU PPN No 42 Tahun 2009 yang berlaku mulai tahun 2010.


(18)

LATIHAN

1. Jelaskanlah fungsi Negara dalam konteksnya sebagai organisasi kekuasaan! 2. Menurut Miriam Budiarjo fungsi pemerintah diantaranya adalah melaksanakan

penertiban (law and order) untuk mencapai tujuan bersama. Jelaskan seberapa perlu fungsi ini bila dikaitkan dengan hak negara dalam memungut pajak

3. Jelaskan seberapa perlu memahami sejarah pemungutan pajak bagi para pelaksana hukum pajak!

4. Mengapa pengertian pajak baru disebutkan pada UU KUP No. 28 Tahun 2007 dan tidak pernah disebutkan pada UU KUP sebelum-sebelumnya. Berikan alasan dan pendapat Anda mengenai hal ini!


(19)

SUMBER

SUMBER PENERIMAAN NEGARA

Pembiayaan pembangunan memerlukan dana yang tidak sedikit sebagai syarat mutlak agar pembangunan dapat berhasil. Uang yang digunakan untuk itu didapat dari berbagai sumber penerimaan negara. Pada umumnya negara mempunyai sumber-sumber penghasilan yang terdiri dari:

1. Bumi, air dan kekayaan alam 2. Pajak-pajak, Bea dan cukai

3. Penerimaan Negara Bukan Pajak (non-tax) 4. Hasil Perusahaan Negara

5. Sumber-sumber lain, seperti pencetakan uang dan pinjaman

A. Bumi, Air, dan Kekayaan Alam

Pasal 33 UUD 1945 mengatur bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya. Selanjutnya Pasal 1 ayat 2 Undang-undang Pokok Agraria menegaskan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Bumi, air, dan ruang angkasa milik Bangsa Indonesia merupakan kekayaan nasional. Yang termasuk pengertian menguasai adalah mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaannya,

Tujuan Instruksional Khusus : 1. Bumi, air dan kekayaan alam. 2. Pajak-pajak, Bea dan cukai.

3. Penerimaan Negara Bukan Pajak (non-tax). 4. Hasil Perusahaan Negara.

5. Sumber-sumber lain, seperti pencetakan uang dan pinjaman.

2


(20)

menentukan dan mengatur yang dapat dimiliki atas bagian dari bumi, air dan ruang angkasa dan mengatur hubungan hukum antara person (subjek hukum) dan pembuatan-pembuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan ruang angkasa .

Negara hanya menguasai bumi, air dan ruang angkasa. Dengan demikian dapat dipahani bahwa negara tidak dapat menjual tanah kepada pihak swasta, sebagaimana yang terjadi pada zaman pemerintahan Hindia Belanda di mana tanah dijual oleh Pemerintah kepada pihak partikelir (swasta), sehingga banyak diketemukan tanah partikelir. Baru sesudah berlakunya UU Pokok Agraria 1960 tanah-tanah partikelir ini dihapuskan.

B. Pajak-Pajak, Bea dan Cukai

Pajak-pajak, bea dan cukai merupakan peralihan kekayaan dari sektor swasta ke pemerintah, yang diharuskan oleh UU dan dapat dipaksakan, dengan tidak mendapat jasa timbal (tegenprestatie) yang langsung dapat ditunjuk, untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Pajak adalah sumber terpenting dari segi penerimaan negara. Hal ini dapat kita lihat di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Struktur APBN memperlihatkan bahwa sumber penerimaan terdiri dari berbagai jenis pajak, bea masuk, bea keluar dan cukai. Penerimaan pajak dari tahun ke tahun makin meningkat.

Bea dibagi atas dua yaitu:

1. Bea masuk ialah bea yang dipungut dari jumlah harga barang yang dimasukkan ke daerah pabean dengan maksud untuk dipakai dan dikenakan bea menurut tarif tertentu yang ditetapkan dengan UU dan keputusan Menteri keuangan.

2. Bea keluar ialah bea yang dipungut dari jumlah harga barang tertentu yang dikirim keluar daerah Indonesia dihitung berdasarkan tarif tertentu berdasarkan UU.

Daerah Pabean ialah daerah yang ditentukan batas-batasnya oleh pemerintah yang digunakan sebagai garis untuk memungut bea-bea. Cukai ialah pungutan yang dikenakan atas barang-barang tertentu berdasarkan tarif yang sudah ditentukan misalnya tembakau, gula, dan bensin.


(21)

C. Penerimaan Negara Bukan Pajak (Non-Tax)

Dalam pasal 2 UU No.20 tahun 1997 terdapat 7 jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yaitu:

a. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah yang terdiri: - Penerimaan jasa giro,

- Penerimaan sisa anggaran pembangunan (SIAP) dan sisa anggaran rutin (SIAR).

b. Penerimaan dari pemanfaatan SDA terdiri: - Royalti bidang perikanan,

- Royalti bidang kehutanan,

- Royalti bidang pertambangan, kecuali Migas.

Royalti adalah pembayaran yang diterima oleh negara sehubungan dengan pemberian izin atau fasilitas tertentu dari negara kepada pihak lain untuk memanfaatkan atau mengolah kekayaan negara.

c. Penerimaan dari hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan terdiri: - Bagian laba pemerintah,

- Hasil penjualan saham pemerintah,

- Deviden: pembayaran berupa keuntungan yang diterima oleh negara sehubungan dengan keikutsertaan mereka selaku pemegang saham dalam suatu perusahaan.

d. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilakukan pemerintah terdiri: - Pelayanan pendidikan,

- Pelayanan kesehatan,

- Pemberian hak paten, hak cipta, dan merk.

e. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan yang terdiri: - Lelang barang,

- Denda,

- Hasil rampasan yang diperoleh dari kejahatan. f. Penerimaan berupa hibah.


(22)

D. Hasil Perusahaan Negara

Yang tergolong dalam perusahaan negara adalah semua perusahaan yang modalnya merupakan kekayaan negara dengan tidak melihat bentuknya. Selain itu ada perusahaan negara yang berada dalam lapangan hukum perdata yang berbentuk PT yang sahamnya seluruhnya berada ditangan pemerintah atau kementerian yang bersangkutan.

E. Sumber-Sumber Lain

Yang termasuk dalam sumber-sumber lain ialah pencetakan uang (deficit spending). Sumber terakhir ini oleh beberapa negara sering dilakukan. Pemerintah Indonesia pernah melaksanakannya dalam rangka memenuhi kebutuhan akan investasi negara untuk membiayai pembangunan yang tercermin dalam Anggaran Belanja dan Pembangunan. Secara teoritis sebenarnya dapat saja dilakukan oleh Pemerintah kapan saja. Tetapi cara ini tidalah populer karena membawa akibat yang sangat mendalam di bidang ekonomi. Oleh karena itu defisit tersebut ditutup dengan melalui pinjaman atau kredit luar negeri yang berasal dari kelompok negara donor, yang dalam Anggaran Belanja Negara penerimaan dari pinjaman tersebut merupakan penerimaan pembangunan yang sebenarnya juga merupakan uang muka pajak yang kelak dikemudian hari menjadi beban bagi generasi mendatang.

Sumber-sumber lainnya dari penerimaan negara adalah Pinjaman Negara, baik

yang berasal dari dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri. Pinjaman dari dalam negeri dapat dibedakan dalam dua bagian, yakni jangka pendek dan jangka panjang. Pinjaman jangka pendek dengan cara pemberian pembukaan uang muka oleh Bank Indonesia kepada Pemerintah sebelum penerimaan negara masuk ke kas negara. Pemberian uang muka ini untuk mencegah kevakuman dalam rangka Pemerintah melakukan pengeluaran-pengeluaran. Pinjaman atau pemberian uang muka ini dijamin dengan Kertas Perbendaharaan negara, dan pinjaman ini akan dilunasi setelah ada penerimaan negara, seperti pajak dan penerimaan negara bukan pajak sudah masuk dalam kas negara. Pinjaman dalam negeri yang berjangka Panjang dilaksanakan dengan cara menerbitkan uang kertas berharga (obligasi) berjangka waktu. Penjualan obligasi berjangka ini ditujukan kepada seluruh masyarakat dan hasil penjualannya digunakan untuk membiayai pembangunan.


(23)

Mengenai Pinjaman Luar Negeri, umumnya berjangka panjang. Sifat pinjaman Luar Negeri hanya merupakan faktor pelengkap dan tidak mempunyai komitmen dengan masalah politik dan ideologi.

Pinjaman Luar Negeri terdiri dari 2 macam:

- Bantuan Program, yaitu bantuan keuangan yang diterima dari Luar Negeri berupa devisa kredit. Devisa kredit ini kemudian dirupiahkan ke dalam kas negara sehingga kas negara bertambah yang akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan.

- Bantuan Proyek yaitu bantuan kredit yang diterima Pemerintah dari negara donor berupa peralatan dan mesin-mesin untuk membangun proyek tertentu, seperti: proyek tenaga listrik, jembatan, jalanan, pelabuhan, telekomunikasi dan irigasi. Sebagian dari bantuan proyek ini diberikan dalam bentuk jasa konsultan dan tenaga teknisi yang membantu merencanakan pembangunan proyek.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara bahwa pendapatan negara dapat dikelompokan ke dalam:

1. Penerimaan Perpajakan

2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 3. Hibah

Penjelasan:

1. Penerimaan Perpajakan

(i) Pajak dalam negeri terdiri dari : - Pajak Penghasilan dari Minyak Gas - Pajak Penghasilan Non Minyak Gas - PPn dan PPn BM

- Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan - Cukai

- Pajak lainnya


(24)

2. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Realisasi PNBP berasal dari:

- Penerimaan Sumber daya alam ( pendapatan minyak bumi, pendapatan gas

alam, pendapatan pertambangan umum, pendapatan kehutanan,pendapatan perikanan).

- Bagian Pemerintah atas laba BUMN

- Penerimaan Negara bukan pajak lainnya

3. Hibah

Penerimaan negara dalam bentuk sumbangan yang berasal dari negara lain, swasta dan Pemerintah Daerah yang tidak perlu dibayar kembali, bersifat tidak wajib dan tidak mengikat, tidak berlangsung terus menerus dan digunakan untuk kegiatan tertentu. Adanya kesepakatan atau MoU mengenai pemberian hibah yang dilakukan pemerintah dengan Pemerintah Negara Lain, Pihak Swasta atau Pemerintah Daerah.


(25)

RANGKUMAN

Dalam melaksanakan pembangunan, negara memerlukan dana yang tidak sedikit Pada umumnya negara mempunyai sumber-sumber penghasilan yang terdiri dari:

1. Bumi, air dan kekayaan alam 2. Pajak-pajak, Bea dan cukai

3. Penerimaan Negara Bukan Pajak (non-tax) 4. Hasil Perusahaan Negara

5. Sumber-sumber lain, seperti pencetakan uang dan pinjaman

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara bahwa pendapatan negara dapat dikelompokan ke dalam:

1. Penerimaan Perpajakan

2. Penerimaan Negara Bukan Pajak 3. Hibah

Pinjaman Negara dalam Negeri jangka panjang

jangka pendek

obligasi uang muka

Luar Negeri jangka panjang Bantuan proyek


(26)

LATIHAN

1. Mengapa pajak dikatakan sebagai penerimaan negara yang sangat penting? 2. Seandainya pajak tidak ada, penerimaan negara dari sumber apakah yang akan

Anda ciptakan?

3. Menurut saudara, apakah bea dan cukai termasuk pajak? Jelaskan alasannya dan dasar hukum yang mendukungnya!

4. Mengapa pencetakan mata uang bisa menjadi sumber penerimaan negara? Jelaskan!


(27)

PENGERTIAN PAJAK DAN HUKUM PAJAK

A. Hukum Pajak

1. Pengertian Hukum Pajak

Hukum pajak, dalam bahasa Inggris, disebut tax law. Dalam bahasa Belanda, hukum pajak disebut belasting recht. Di Indonesia, selain digunakan istilah hukum pajak, juga digunakan istilah hukum fiskal. Sebenarnya hukum pajak dengan hukum fiskal memiliki substansi yang berbeda. Hukum pajak hanya sekadar membicarakan tentang pajak sebagai objek kajiannya, sedangkan hukum fiskal meliputi pajak dan sebagian keuangan Negara sebagai objek kajiannya.

Hukum pajak dalam arti luas adalah hukum yang berkaitan dengan pajak. Hukum pajak dalam arti sempit adalah seperangkat kaidah hukum tertulis yang memuat sanksi hukum. Hukum pajak sebagai bagian ilmu hukum tidak lepas dari sanksi hukum sebagai substansi di dalamnya agar Pejabat Pajak maupun Wajib Pajak menaati kaidah hukum. Sanksi hukum yang dapat diterapkan berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana.

Hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak (Rochmat Soemitro, 1979). Dengan kata lain, hukum pajak menerangkan:

Tujuan Instruksional Khusus :

Setelah membaca bab ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan:

 Hukum Pajak, Arti, Tugas, Dan Kegunaannya

 Pajak, Definisi, Dan Ciri

 Fungsi Pajak

 Retribusi, Sumbangan, Zakat/Sumbangan Wajib Keagamaan.

 Kedudukan Hukum Pajak Dalam Tatanan Hukum Nasional

3


(28)

a. Siapa-siapa Wajib Pajak (subjek pajak);

b. Objek-objek apa yang dikenakan pajak (objek pajak); c. Kewajiban Wajib Pajak terhadap pemerintah;

d. Timbulnya dan hapusnya utang pajak; e. Cara penagihan pajak;

f. Cara mengajukan keberatan dan banding pada peradilan pajak

Undang-undang No. 28 Tahun 2007 (UU KUP) tidak menyebutkan pengertian

hukum pajak, melainkan hanya menyatakan kedudukannya sebagai “ketentuan umum”

bagi peraturan perundang-undangan perpajakan yang lain. UU KUP merupakan kaderwet yang berfungsi sebagai payung terhadap undang-undang pajak yang sifatnya sektoral.

Pengertian hukum pajak dapat memberi petunjuk bagi penegak hukum pajak dalam menggunakan wewenang dan kewajibannya untuk menegakkan hukum pajak. Sebaliknya, dapat dijadikan pedoman bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban dan menggunakan hak dalam rangka memperoleh perlindungan hukum sebagai konsekuensi dari penegakan hukum pajak.

Penegakan hukum pajak di dalam lembaga peradilan dilakukan melalui lembaga peradilan pajak maupun lembaga peradilan umum. Penegakkan hukum pajak melalui lembaga peradilan pajak tertuju pada penyelesaian sengketa pajak dan dilakukan dalam Lembaga Keberatan, Pengadilan Pajak, dan Mahkamah Agung, atau hanya Pengadilan Pajak dan Mahkamah Agung saja. Penegakan hukum pajak melalui lembaga peradilan umum tertuju pada penyelesaian tindak pidana pajak dan dilakukan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Sedangkan penegakan hukum pajak di luar lembaga peradilan dilakukan oleh Pejabat Pajak dengan menggunakan wewenang berupa menerbitkan surat ketetapan pajak dan surat keputusan yang terkait dengan penagihan pajak.

2. Tugas Hukum Pajak

Tugas umum yang harus diemban oleh hukum pajak adalah:

a. Menelaah keadaan masyarakat yang dapat dihubungkan dengan pengenaan pajak;

b. Merumuskannya kedalam peraturan-peraturan hukum; c. Menafsirkan peraturan-peraturan hukum tersebut;


(29)

d. Mengatur ketentuan-ketentuan pidana; e. Mengatur ketentuan-ketentuan administrasi;

f. Mengatur ketentuan peradilan administrasi dan peradilan pajak.

Tugas Khusus hukum pajak adalah sebagai alat kebijaksanaan untuk menentukan politik perekonomian ataupun tugas di luar kepentingan keuangan negara.

3. Kegunaan (Fungsi) Hukum Pajak

Fungsi hukum pajak berkaitan erat dengan fungsi dari negara. Beberapa fungsi dari negara seperti:

a. Mensejahterakan dan memakmurkan masyarakat

Negara yang sukses dan maju adalah negara yang bisa membuat masyarakat bahagia secara umum dari sisi ekonomi dan sosial kemasyarakatan.

b. Melaksanakan ketertiban

Untuk menciptakan suasana dan lingkungan yag kondusif dan damai diperlukan pemeliharaan ketertiban umum yang didukung penuh oleh masyarakat.

c. Pertahanan dan keamanan

Negara harus bisa memberi rasa aman serta menjaga dari segala macam gangguan dan ancaman baik yang datang dari dalam maupun dari luar.

d. Menegakkan keadilan

Negara membentuk lembaga-lembaga peradilan sebagai tempat warga meminta keadilan di segala bidang.

Untuk menjalankan fungsi tersebut di atas, negara membutuhkan biaya yang besar jumlahnya dan sifatnya rutin. Biaya tersebut harus ditanggung oleh setiap warganya yang dinilai mampu memberikan sumbangsih yang kemudian dikenal sebagai pajak. Sumbangsih dari warga negara tersebut harus dibuat aturan yang jelas dalam pelaksanaannya, sehingga dibuatlah hukum pajak yang berfungsi mengatur perpindahan harta dari masyarakat (wajib pajak) kepada publik (dengan melalui kas negara) tersebut berjalan dengan baik, teratur, tertib dan adil serta tidak menimbulkan kesewenang-wenangan dari pelaksana hukum.

Melalui fungsi dari hukum pajak, maka diharapkan fungsi budgetair (mengisi kas negara untuk kemudian digunakan membiayai pengeluaran negara/melaksanakan


(30)

pembangunan) dari pemungutan pajak dapat terlaksana dengan baik dan adil. Dalam pembentukan hukum pajak harus nampak pula fungsi regulerent (mengatur) sehingga pemerintah dapat mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak seperti menggiring penanaman modal baik dalam negeri maupun luar negeri dengan pemberian berbagai keringanan pajak.

B. Pajak

1. Definisi Pajak

Negara dalam menyelenggarakan pemerintahan mempunyai kewajiban untuk menjaga kepentingan rakyatnya, baik dalam bidang kesejahteraan, keamanan, pertahanan, maupun kecerdasan kehidupannya. Hal ini sesuai dengan tujuan Negara yang dicantumkan di dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat yang

berbunyi “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia

serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan keadilan sosial.” Negara memerlukan dana untuk mewujudkan tujuan tersebut, sehingga diperlukan dana yang tentunya didapat dari rakyat itu sendiri melalui pemungutan pajak.

Kemudian dalam Pasal 23A UUD 1945 hasil amandemen disebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang. Dengan kata lain, pajak harus berlandaskan undang-undang, berarti pemungutan pajak tersebut telah mendapat persetujuan dari rakyat melalui perwakilannya di DPR yang biasa disebut “berdasarkan yuridis”. Asas ini telah memberikan jaminan hukum yang tegas akan hak Negara dalam memungut pajak.

Dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1, disebutkan bahwa pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Definisi mengenai “pajak” ini baru diatur dalam UU KUP No. 28 Tahun 2007. Dalam UU KUP sebelumnya, tidak pernah diterangkan secara lugas mengenai pengertian “pajak” sebagai kontribusi wajib kepada Negara. 2. Ciri Pajak

Ada lima unsur yang melekat dalam pengertian pajak tersebut, yaitu: a. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang;


(31)

c. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar pajak;

d. Pemungutan pajak dilakukan oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun daerah;

e. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah bagi kepentingan masyrakat umum.

Sifat pemungutan pajak yang dapat dipaksakan dapat dijelaskan dimana uang yang dikumpulkan dari pajak akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan serta pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Supaya ada kepastian

dalam proses pengumpulannya dan berjalannya pembangunan secara

berkesinambungan, maka sifat pemaksaannya harus ada dan rakyat itu sendiri telah menyetujuinya dalam bentuk undang-undang. Unsur pemaksaan disini berarti apabila Wajib Pajak tidak mau membayar pajak, pemerintah dapat melakukan upaya paksa dengan mengeluarkan suatu surat paksa agar Wajib Pajak mau melunasi utang pajaknya.

C. Fungsi Pajak

Dalam dunia perpajakan, sering disebutkan bahwa fungsi pajak ada dua yaitu

fungsi budgeter dan regulerend. Namun dalam perkembangannya fungsi pajak

tersebut dapat dikembangkan dan ditambah dua fungsi lagi yaitu fungsi demokrasi dan fungsi redistribusi.

Fungsi budgeter adalah fungsi yang letaknya di sektor publik, yaitu fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku, yang pada waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara. Dalam APBNP 2011, target penerimaan perpajakan mencapai Rp878,7 triliun. Jumlah ini 75,4% (persen) dari total penerimaan negara, yaitu sebesar Rp1.165,3 triliun

Fungsi regulerend adalah suatu fungsi bahwa pajak-pajak tersebut akan digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan. Dalam hal ini, pajak berfungsi sebagai alat pengatur keadaan sosial dan ekonomi. Salah satu contohnya yaitu adanya pengenaan pajak dengan tarif yang tinggi untuk PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah).


(32)

Fungsi demokrasi dari pajak adalah suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan atau wujud sistem gotong royong dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan demi kemaslahatan manusia. Fungsi demokrasi pada masa sekarang ini sering dikaitkan dengan hak seseorang dalam memperoleh pelayanan dari pemerintah. Apabila seseorang telah melakukan kewajiban membayar pajak kepada Negara sesuai ketentuan yang berlaku, maka ia mempunyai hak untuk mendapatkan pelayanan yang baik dari pemerintah. Bila pemerintah tidak memberikan pelayanan yang baik, pembayar pajak bisa melakukan protes (complaint) terhadap pemerintah.

Fungsi redistribusi yaitu fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataan dan keadilan dalam masyrakat. Hal ini dapat terlihat misalnya dengan adanya tarif progresif pada undang-undang pajak yang mengenakan pajak lebih besar kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan besar dan pajak yang lebih kecil kepada masyarakat yang mempunyai penghasilan lebih sedikit (kecil).

D. Retribusi

Pungutan lain yang bersifat memaksa seperti retribusi pada dasarnya memiliki ciri yang sama dengan pajak, kecuali dalam hal imbalannya yang langsung dapat dirasakan oleh pembayar retribusi. Unsur yang melekat pada pengertian retribusi adalah:

a. Pungutan retribusi harus berdasarkan undang-undang; b. Sifat pungutannya dapat dipaksakan;

c. Pemungutannya dilakukan oleh Negara;

d. Digunakan untuk pengeluaran bagi masyarakat umum; dan

e. Kontra-prestasi (imbalan) langsung dapat dirasakan oleh pembayar retribusi. Umumnya pungutan atas retribusi diberikan atas pembayaran berupa jasa atau pemberian izin tertentu yang disediakan oleh pemerintah kepada setiap orang atau badan. Karena kontra-prestasinya langsung dapat dirasakan, maka dari sudut sifat paksaanya lebih mengarah pada hal yang bersifat ekonomis. Apabila manfaat ekonomisnya telah dirasakan tetapi retribusinya tidak dibayar, maka secara yuridis pelunasannya dapat dipaksakan seperti halnya pajak.


(33)

E. Sumbangan

Istilah sumbangan ini berlandasan pemikiran bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan untuk prestasi pemerintah tertentu tidak boleh dikeluarkan dari kas umum, karena prestasi itu tidak ditujukan kepada penduduk seluruhnya, tetapi hanya untuk sebagian tertentu saja. Hanya golongan tertentu dari penduduk ini sajalah yang diwajibkan membayar sumbangan itu. Sebagai contoh pemungutan sumbangan yang hasilnya ditujukan untuk pembuatan dan pemeliharaan jalan yang khususnya bermanfaat bagi para pemakai jalan tersebut.

Walaupun kelihatan hampir sama, namun sumbangan ini tidak boleh disamakan denga Retribusi. Pada retribusi dapatlah ditunjuk seseorang yang mengenyam kenikmatan kontra-prestasi dari pemerintah, sedangkan pada sumbangan yang mendapat prestasi kembali ini adalah suatu kelompok/golongan

F. Zakat/Sumbangan Keagamaan

Zakat merupakan Rukun Islam yang ketiga. Secara bahasa, zakat berarti tumbuh dan bertambah. Secara istilah, berarti hak wajib pada harta tertentu yang wajib diberikan kepada kalangan tertentu dan pada waktu tertentu. Zakat diwajibkan pada harta orang dewasa dan anak-anak, laki-laki dan wanita, jika harta dimilikinya secara sempurna mencapai nisab, melewati haul (sampai satu tahun kepemilikannya) dan pemiliknya adalah seorang muslim yang merdeka.

Berdasarkan UU Pajak Penghasilan, zakat yang disalurkan melalui Amil Zakat (badan yang sudah disahkan oleh Pemerintah untuk mengumpulkan zakat), maka dapat diperhitungkan sebagai pengurang dari penghasilan wajib pajak.

G. Kedudukan Hukum Pajak dalam Tatanan Hukum Nasional

Pembagian hukum sesuai civil law system (sistem hukum Romawi/Eropa

Kontinental) memberikan pemisahan yang tegas antara hukum privat dan hukum publik. Hukum privat mengatur sekalian perkara yang berisi hubungan antara sesama warga negara dalam kedudukasn yang sederajat, seperti masalah perkawinan, waris, keluarga, dan perjanjian. Sedangkan hukum publik mengatur kepentingan umum, seperti hubungan antara warga negara dengan negara. Hukum publik berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan masalah kenegaraan serta bagaimana negara itu melaksanakan tugasnya.


(34)

Hukum yang masuk ke dalam bagian hukum privat, misalnya hukum perdata, hukum dagang, hukum perkawinan, dan sebagainya. Hukum yang masuk ke dalam hukum publik, misalnya hukum tata negara, hukum administrasi (hukum tata usaha negara), hukum pidana, dan hukum internasional. Berdasarkan pembagian hukum tersebut, ternyata hukum pajak tidak berdiri sendiri, melainkan berada dalam kandungan hukum administrasi sebagai bagian dari hukum publik.

Hukum pajak adalah bagian dari hukum administrasi, yang merupakan segenap peraturan hukum yang mengatur segala cara kerja dan pelaksanaan serta wewenang dari lembaga-lembaga negara serta aparaturnya dalam melaksanakan tugas administrasi. Jika hukum publik mengatur hubungan antara pemerintah (selaku penguasa) dengan rakyatnya, hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah selaku pemungut pajak dengan rakyatnya sebagai Wajib Pajak.

Dalam kenyataannya, tidak dapat dipungkiri bahwa berdasarkan

perkembangan dan kebutuhan negara akan pajak, Undang-undang Pajak mengalami perubahan (tax reform). Sebagai konsekuensinya, ternyata tidak disadari hukum pajak telah memisahkan diri dari hukum administrasi. Secara tegas dikatakan, bahwa hukum pajak bukan lagi bagian hukum administrasi, melainkan kedudukannya sama dalam kajian ilmu hukum. Dasar pemisahan hukum pajak dari hukum administrasi dapat ditinjau dari faktor-faktor berikut:

a. Sumber hukum pajak berbeda dengan sumber hukum administrasi;

b. Objek kajian hukum pajak adalah pajak, sedangkan objek kajian hukum administrasi adalah ketetapan yang bersegi satu yang ditetapkan oleh pejabat tata usaha negara (administrasi negara);

c. Subjek hukum pajak adalah Wajib Pajak, sedangkan subjek hukum admiistrasi adalah pejabat tata usaha negara yang menerbitkan ketetapan yang menimbulkan sengketa;

d. Penyelesaian sengketa pajak merupakan kompetensi absolut Pengadilan Pajak, sedangkan penyelesaian sengketa administrasi merupakan kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara;

e. Hukum acara yang digunakan adalah hukum acara peradilan pajak, sedangkan hukum acara yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa tata usaha adalah hukum acara peradilan tata usaha negara.


(35)

RANGKUMAN

Hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak (Rochmat Soemitro, 1979).

Penegakan hukum pajak di dalam lembaga peradilan dilakukan melalui lembaga peradilan pajak maupun lembaga peradilan umum. Penegakkan hukum pajak melalui lembaga peradilan pajak tertuju pada penyelesaian sengketa pajak dan dilakukan dalam Lembaga Keberatan, Pengadilan Pajak, dan Mahkamah Agung. Penegakan hukum pajak melalui lembaga peradilan umum tertuju pada penyelesaian tindak pidana pajak dan dilakukan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Sedangkan penegakan hukum pajak di luar lembaga peradilan dilakukan oleh Pejabat Pajak dengan menggunakan wewenang berupa menerbitkan surat ketetapan pajak dan surat keputusan yang terkait dengan penagihan pajak.

Substansi yang terkandung dalam hukum pajak juga menampakkan ciri khasnya sebagai bagian ilmu hukum yang merupakan hukum fungsional, dengan fungsi mengatur pendapatan dan perekonomian negara/daerah, dan mempunyai instrumen berupa sanksi administrasi dan sanksi pidana dalam penegakannya.

Pasal 23A UUD 1945 hasil amandemen menyebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan undang-undang. Sedangkan UU KUP No. 28 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1, menyebutkan bahwa pengertiaan pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Fungsi pajak : a. Fungsi budgeter

b. Fungsi regulerent c. Fungsi demokrasi d. Fungsi redistribusi

Selain pajak masih terdapat pungutan-pungutan lain yang biasa disebut dengan Retribusi, sumbangan dan Zakat/ sumbangan keagamaan.


(36)

LATIHAN

1. Apa yang dibahas dalam hukum pajak dan apa bedanya dengan hukum fiskal? Jelaskan!

2. Jelaskan mengapa memahami landasan filosofis dari peraturan perundang-undangan perpajakan merupakan hal yang sangat penting bagi para pelaksana hukum pajak?

3. Jelaskan sumber hukum pajak dan apa saja yang dijadikan sumber hukum pajak di Indonesia?

4. Apa saja tugas dari hukum pajak?

5. Sebutkan fungsi dan tujuan hukum pajak?

6. Bagaimana kedudukan hukum pajak dalam tatanan hukum di Indonesia?


(37)

ASAS DAN YURISDIKSI PEMUNGUTAN PAJAK

A. Pancasila dan Pajak

Pancasila merupakan sumber hukum dasar nasional yang menjiwai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Pancasila memiliki kedudukan sebagai alat penguji terhadap sumber hukum tertulis, apakah sudah sesuai atau malah bertentangan dengan Pancasila. Pancasila merupakan tolok ukur untuk menentukan kebenaran substansi hukum yang terkandung dalam setiap Undang-undang Pajak.

Sebelum amandemen UUD 1945, ketentuan mengenai pajak diatur pada Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “segala pajak untuk keperluan negara harus

berdasarkan undang-undang.” Ketentuan ini mengandung asas legalitas yang

meletakkan kewenangan pada negara untuk memungut pajak apabila negara membutuhkannya, tetapi dengan syarat harus berdasarkan undang-undang. Tidak ada pajak tanpa persetujuan antara rakyat melalui wakilnya di dalam Dewan Perwakilan Rakyat dengan Pemerintah yang diatur dengan undang-undang atau “No taxation without representation”.

Tujuan Instruksional Khusus :

Setelah membaca bab ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan: 1. Pancasila dan Pajak

2. Asas-Asas Pemungutan Pajak  Teori asuransi

 Teori kepentingan

 Teori gaya pikul  Teori gaya beli  Teori bakti

3. Yurisdiksi pemungutan pajak:  Asas tempat tiggal

 Asas kebangsaan

 Asas sumber.

4


(38)

Setelah UUD 1945 diamandemen, ternyata ketentuan mengenai pajak mengalami perubahan yang sangat prinsipil. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 23A

UUD 1945 yag berbunyi “pajak dan pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan

negara diatur dengan undang-undang.” Terdapat perubahan yang prinsipil karena bukan hanya pajak, melainkan pungutan yang bersifat memaksa juga harus diatur dengan undang-undang. Hal ini merupakan suatu perkembangan positif agar tidak ada kesewenang-wenangan dalam pembebanan pungutan yang bersifat memaksa kepada warga negara.

B. Asas-asas Pemungutan Pajak

Berikut ini merupakan beberapa teori yang berhubungan dengan hak negara untuk memungut pajak, antara lain adalah:

1. Teori Asuransi

Teori Asuransi diartikan dengan suatu kepentingan masyarakat (seseorang) yang harus dilindungi negara. Masyarakat seakan mempertanggungkan keselamatan dan keamanan jiwanya pada negara. Dengan adanya kepentingan dari masyarakat itu

sendiri, maka masyarakat harus membayar „premi‟ pada negara.

Namun istilah premi sebenarnya kurang tepat jika disama artikan dengan pajak, sebab apabila masyarakat membayar premi akan mendapat balas jasa secara langsung sedangkan pajak tidak. Teori ini sebenarnya tidak dapat dipergunakan untuk menunjukkan hak negara memungut pajak dari warganya, karena tidak semua kerugian warga, misalnya kebanjiran ataupun perampokan, negara memberikan ganti rugi.

2. Teori Kepentingan

Teori kepentingan diartikan sebagai negara yang melindungi kepentingan harta benda dan jiwa warga negara dengan memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari seluruh penduduknya. Segala biaya atau pengeluaran yang akan dikeluarkan oleh negara dibebankan kepada seluruh warga berdasarkan kepentingan dari warga negara yang ada. Warga negara yang memiliki harta yang banyak membayar pajak lebih besar kepada negara untuk melindungi kepentingan dari warga negara yang bersangkutan. Demikian sebaliknya, warga negara yang memiliki harta benda sedikit membayar pajak yang lebih kecil untuk melindungi kepentingan warga negara tersebut.


(39)

Namun, pada kenyataannya warga negara yang memiliki penghasilan sedikit mempunyai kepentingan yang lebih besar dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam perlindungan jaminan sosial, sehingga sebagai konsekuensi, seharusnya ia membayar pajak lebih banyak dan ini adalah suatu hal yang bertentangan dengan kenyataan. Landasan teori ini pun seakan sama dengan pengertian retribusi dan bukan pajak karena berkaitan dengan adanya kontra prestasi secara langsung.

3. Teori Gaya Pikul

Menurut teori ini, pemungutan pajak berlandaskan asas keadilan yaitu setiap orang yang dikenakan pajak harus sama beratnya. Pajak yang harus dibayar adalah menurut gaya pikul seseorang yang ukurannya adalah besarnya penghasilan dan besarnya pengeluaran yang dilakukan.

Yang harus diperlukan dalam kehidupan seseorang tidak dimasukkan dalam pengertian gaya pikul. Kekuatan (gaya pikul) untuk membayar pajak baru dilakukan setelah kebutuhan primer seseorang telah terpenuhi. Kebutuhan primer ini merupakan asas minimum bagi kehidupan seseorang. Jika telah terpenuhi barulah pembayaran pajak dilakukan. Dalam konteks UU PPh, asas minimum kehidupan di atas bisa disebut dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Apabila seseorang punya penghailan di bawah PTKP berarti orang tersebut tidk perlu membayar pajak, atau gaya pikulnya adalah nihil. Sedangkan jika penghasilannya di atas PTKP barulah terkena gaya pikul untuk membayar pajak sesuai ketentuan yang berlaku.

4. Teori Gaya Beli

Menurut teori ini, maka fungsi pemungutan pajak dipandang sebagai gejala dalam masyarakat, dapat disamakan dengan pompa, yaitu mengambil gaya beli dari rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara dan kemudian menyalurkannya kembali kepada masyarakat dengan maksud untuk memelihara hidup masyarakat dan untuk membawanya ke arah tertentu. Teori ini mengajarkan bahwa penyelenggaraan kepentingan masyarakat inilah yang dapat dianggap sebagai dasar keadilan pemungutan pajak bukan kepentingan individu dan juga bukan kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat yang meliputi keduanya itu. Dapatlah kiranya disimpulkan bahwa teori ini menitikberatkan ajarannya pada fungsi pajak sebagai pengatur (regulerent).


(40)

Menurut para penganutnya, termasuk juga Prof. Adriani, teori ini berlaku sepanjang masa, baik dalam masa ekonomi bebas, maupun dalam masa ekonomi terpimpin, bahkan juga dalam masyarakat yang sosialistis, walaupun tidak luput dari adanya variasi dalam coraknya. Tidak demikian halnya dengan teori-teori yang diuraikan sebelumnya, yang hanya berlaku selama masa tertentu saja.

5. Teori Bakti (Teori Kewajiban Pajak Mutlak)

Berlawanan dengan teori asuransi, teori kepentingan dan teori gaya pikul, yang tidak mengutamakan kepentingan-kepentingan negara di atas kepentingan warganya, maka teori ini berdasarkan atas paham-paham Organische Staatler yang mengajarkan bahwa sifat negara sebagai suatu organisasi (perkumpulan) dari individu-individu (masyarakat) maka timbul hak mutlak negara untuk memungut pajak.

Teori bakti ini bisa dikatakan sebagai adanya perjanjian dalam masyarakat (tiap-tiap individu) untuk membentuk negara dan menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada negara untuk memimpin masyarakat. Karena adanya kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada negara, maka pembayaran pajak yang dilakukan negara merupakan bakti dari masyarakat kepada negara, karena negaralah yang bertugas menyelenggarakan kepentingan masyarakatnya.

C. Yurisdiksi Pemungutan Pajak

Negara, dalam melakukan pemungutan pajak, terikat pada yurisdiksi dari Negara yang bersangkutan. Yurisdiksi adalah batas kewenangan yang dapat dilakukan oleh suatu Negara dalam memungut pajak terhadap warga negaranya, agar pemungutannya tidak menjadi berulang-ulang yang bisa memberatkan orang yang dikenakan pajak.

1. Berdasarkan Asas Sumber

Berdasarkan yurisdiksi ini, pemungutan pajak tidak dapat dilepaskan dari sumber atau tempat objek pajak itu berada. Jika objek pajak itu berada di Negara Indonesia, Negara Indonesia berwenang memungut pajak terhadap terhadap orang pribadi atau badan yang memiliki objek pajak tersebut. Misalnya, terhadap objek Pajak Bumi dan Bangunan yang berada di Indonesia, Negara Indonesia memiliki kewenangan untuk mengenakan dan memungut pajak bagi wajib pajak yang memiliki, menguasai, atau memperoleh manfaat atas objek pajak yang dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.


(41)

2. Berdasarkan Asas Kewarganegaraan

Menurut asas ini, yurisdiksi pemungutan pajak dikenakan bukan berdasarkan tempat objek pajak, melainkan berdasarkan status atau kedudukan warga Negara dari setiap orang pribadi yang berasal dari Negara yang mengenakan pajak. Walaupun orang pribadi yang bersangkutan tidak bertempat tinggal atau berkedudukan pada Negara yang hendak melakukan pemungutan pajak, tetapi orang pribadi itu merupakan warga negara tersebut, maka tetap dapat dilakukan pemungutan pajak terhadap yang bersangkutan. Misalnya, untuk Indonesia yang juga menganut asas kewarganegaraan, pemungutan pajak bukan hanya dilakukan pada warga negaranya yang bertempat tiggal atau berkedudukan di Indonesia, tetapi termasuk juga yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Indonesia.

3. Berdasarkan Asas Tempat Tinggal

Berdasarkan yurisdiksi ini, pemungutan pajak dilakukan oleh Negara berdasarkan tempat tinggal atau kedudukan dari wajib pajak. Negara berwenang memungut pajak pada wajib pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan pada Negara yang bersangkutan. Segala objek pajak yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkan oleh wajib pajak yang bertempat tinggal tau berkedudukan pada Negara yang bersangkutan dikenakan pajak. Misalnya, warga Negara Australia yang bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia memperoleh atau mendapat penghasilan di Indonesia, maka atas penghasilan tersebut dikenakan Pajak Penghasilan.

Ketiga jenis asas pemungutan pajak tersebut selama ini diadopsi dalam rangka pemungutan pajak di Indonesia, baik terhadap pajak langsung maupun pajak tidak langsung. Khusus terhadap asas tempat tinggal, UU PPh ( UU No. 36 Tahun 2008) menegaskan adanya batasan waktu untuk bertempat tinggal atau berada di Indonesia yaitu lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Keberadaan lebih dari 183 hari tidaklah harus berturut-turut tetapi ditentukan oleh jumlah hari seseorang berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 bulan sejak kedatangannya di Indonesia.

Untuk asas kewarnegaraan dan asas sumber yaitu bahwa terhadap setiap warga Negara Indonesia di manapun dia berada akan dikenakan pajak oleh Negara Indonesia, demikian pula bila seseorang bukan warga Negara Indonesia namun memperoleh penghasilan dari Indonesia, maka Negara Indonesia mempunyai hak


(42)

untuk mengenakan pajak kepada setiap orang yang memperoleh penghasilan dari sumber penghasiln tersebut berada.

RANGKUMAN

LATIHAN

1. Apa yang dijadikan dasar hukum pemungutan pajak di Indonesia?

2. Jelaskan beberapa teori yang mengesahkan hak Negara memungut pajak!

3. Jelaskan dengan lengkap apa itu teori gaya pikul dan bagaimana aplikasinya dalam perundang-undangan perpajakan Indonesia!

4. Teori gaya pikul bersifat kualitatif, artinya kemampuan seseorang antara satu dan lainnya adalah tidak sama, dan banyak faktor yang mempengaruhinya. Jelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi teori gaya pikul tersebut!

5. Asas pemungutan pajak antara lain adalah asas tempat tinggal dan asas sumber. Jelaskan kedua asas tersebut dan apa akibatnya dan bagaimana pemecahannya?

Yuridiksi pemungutan pajak:

 Asas Sumber

 Asas Tempat tinggal

 Asas Kebangsaan

Pajak dan Pancasila ASAS DAN YURIDIKSI PEMUNGUTAN PAJAK

Asas

 Teori Asuransi  Teori gaya beli  Teori gaya

pikul  Teori

kepentingan  Teori Bakti


(43)

PENGGOLONGAN JENIS PAJAK DAN SISTEM

PEMUNGUTAN PAJAK

A. Penggolongan Jenis Pajak

Secara umum pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga kategori, antara lain:

1. Berdasarkan pihak yang menanggung, pajak terdiri dari dua macam pajak yaitu : a. Pajak Langsung adalah pajak yang pembayarannya harus ditanggung sendiri

oleh wajib pajak dan tidak dapat dialihkan kepada pihak lain serta dikenakan secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu.

Contoh: PPh, PBB.

b. Pajak Tidak Langsung adalah pajak yang pembayarannya dapat dialihkan kepada pihak lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja.

Contoh: Pajak Penjualan, PPN, PPn-BM, Bea Materai, dan Cukai. 2. Berdasarkan sifatnya, pajak terdiri dari dua macam, antara lain:

a. Pajak Subjektif, yaitu pengenaan pajak dengan pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi wajib pajak (subjeknya). Setelah diketahui keadaan subjeknya barulah diperhatikan keadaan objektifnya sesuai gaya pikul apakah dapat dikenakan pajak atau tidak. Misalnya perhitungan Pajak Penghasilan, jumlah tanggungan dapat mengurangi jumlah pajak yang harus dibayar.

Tujuan Instruksional Khusus :

Setelah membaca bab ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan: 1. Penggolongan jenis pajak:

a. Pusat dan daerah

b. Langsung dan Tak Langsung c. Pajak Objektif dan Subjektif

2. Sistem pemungutan pajak (self assessment, official asessment, witholding taxes, dan semi official assessment)

5


(44)

b. Pajak Obyektif, yaitu pengenaan pajak dengan pertama-tama memperhatikan/melihat objeknya, baik berupa keadaan atau perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah diketahui objeknya, barulah dicari subjeknya yang mempunyai hubungan hukum dengan objek yang telah diketahui. Misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak memperhitungkan apakah wajib pajak tersebut memiliki tanggungan atau tidak.

3. Berdasarkan pihak yang memungut pajak, terdiri dari dua macam, antara lain : a. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam

hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Kementerian Keuangan. Adapun pajak-pajak pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi: 1) Pajak Penghasilan (PPh)

PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian, maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.

Pelaksanaan Pajak penghasilan di Indonesia dimulai Tahun 1984 melalui Undang-undang No. 7 Tahun 1983 yang telah mengalami perubahan dan tambahn terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008. UU No. 7 Tahun 1983 merupakan pengganti dari dua ketentuan undang-undang yakni Ordonansi Pajak Pendapatan dan Ordonansi Pajak Perseroan.

2) Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.


(45)

Perkembangan PPN di Indonesia dimulai dari: a. Pajak Peredaran yag diberlakukan tahun1950.

b. Pajak Penjualan 1951 yang berdasarkan UU Darurat No. 19 Tahun 1951 dan dikukuhkan dengan UU No. 35 Tahun 1953.

c. Yang terakhir degan UU No. 8 Tahun 1983 yang telah mengalami perubahan dan tambahan terakhir dengan UU No. 18 Tahun 2000.

3) Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)

Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPnBM untuk mengurangi efek regresivitas PPN. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah:

- Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau - Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau

- Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat

berpenghasilan tinggi; atau

- Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau

- Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat serta mengganggu ketertiban masyarakat.

4) Bea Meterai

Pengenaan Bea Meterai berdasarkan pada Undang-Undang nomor 13 tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 2000. Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.

5) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan berdasarkan Undang-Undang nomor 20 tahun 2000. BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.


(46)

b. Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Sesuai UU No. 28 Tahun 2009 tentan PDRD yang dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda), antara lain : 1) Pajak Provinsi

- Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;

- Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; - Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bemotor;

- Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

2) Pajak Kabupaten/Kota - Pajak Hotel,

- Pajak Restoran, - Pajak Hiburan, - Pajak Reklame,

- Pajak Penerangan Jalan,

- Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C, - Pajak Parkir,

- Retribusi Daerah, - Retribusi Jasa Umum, - Retribusi Jasa Usaha, - Retribusi Perizinan Tertentu.

B. Sistem Pemungutan Pajak

Negara menentukan sistem pemungutan pajak yang akan digunakan atau diterapkan dalam melakukan pemungutan pajak. Hal ini disesuaikan dengan situasi dan kondisi Negara dengan tidak mengabaikan kewajiban dan hak wajib pajak dalam berperan serta di bidang pembiayaan pengelolaan Negara.

Tata cara pemungutan pajak dapat beraneka ragam, tergantung dari sistem pemungutan pajak yang digunakan. Sistem pemungutan pajak hanya bergantung pada kehendak Negara untuk menerapkannya dalam setiap Undang-undang Pajak, sepanjang masih dimungkinkan berdasarkan substansi hukumyang responsif.


(47)

1. Sistem Self Assessment

Berdasarkan sistem self assessment, wajib pajak memiliki hak yang tidak boleh diintervensi oleh pejabat pajak. Pejabat pajak hanya bersifat pasif dan wajib pajak bersifat aktif. Keaktifan wajib pajak adalah untuk menghitung, memperhitungkan, melaporkan, dan menyetor jumlah pajak yang terutang. Pejabat pajak tidak terlibat dalam penentuan jumlah pajak yang terutang sebagai beban yang dipikul oleh wajib pajak, melainkan hanya mengarahkan cara (memberikan bimbingan) bagaimana wajib pajak memenuhi kewajiban dan menjalankan hak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan agar tidak terjadi pelanggaran hukum.

2. Sistem Official Assessment

Dalam sistem official assessment, terdapat campur tangan pejabat pajak dalam penentuan pajak yang terutang bagi wajib pajak. Yaitu berupa keterlibatan pejabat pajak dalam menerbitkan ketetapan pajak yang berisikan utang pajak dan bahkan dapat memuat sanksi hukum. Pajak yang terutang dalam ketetapan pajak merupakan inisiatif dari pejabat pajak berdasarkan objek pajak yang diterima, dimiliki, atau dimanfaatkan oleh wajib pajak.

Undang-Undang PBB merupakan contoh penerapan sistem official assessment di Indonesia, yang memberi kepercayaan kepada pejabat pajak untuk menentukan besarnya pajak yang wajib dibayar lunas oleh wajib pajak terhadap objek pajak bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, atau dimanfaatkannya.

3. Sistem Semi Self Assessment

Menurut sistem semi self assessment, terdapat kerja sama antara wajib pajak dan pejabat pajak untuk menentukan jumlah pajak yang wajib dibayar lunas oleh wajib pajak kepada Negara. Pada awal tahun pajak, wajib pajak menetukan sendiri jumlah pajak yang terutang untuk tahun berjalan sebagai angsuran yang disetor sendiri. Kemudian pada akhir tahun pajak, ditentukan kembali oleh pejabat pajak jumlah pajak yang sebenarnya, berdasarkan data yang disampaikan oleh wajib pajak. Pejabat pajak, dalam hal ini, bertindak sebagai pengawas terhadap wajib pajak untuk menilai sejauh mana kejujurn wajib pajak dalam melaporkan jumlah pajak yang terutang.

Sistem ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dalam penerapannya, bahkan

dapat menimbulkan “kompromi pajak” antara wajib pajak dan pejabat pajak pada akhir


(48)

4. Sistem With Holding

Sistem with holding memberi kepercayaan kepada pihak ketiga untuk

melakukan pemungutan pajak atas objek pajak yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. Pihak ketiga ditempatkan sebagai pihak yang berwenang untuk memotong atau memungut pajak tertentu dan menyetor serta melaporkan kepada pejabat pajak. Pejabat pajak hanya berwenang melakukan kontrol atau pengawasan terhadap pelaksanaan pemotongan atau pemungutan pajak sampai kepada pelaporan pajak yang telah ditentukan.

Pemotong atau pemungut pajak tidak boleh melakukan pelanggaran hukum dalam melakukan pemotongan atau pemungutan pajak, termasuk dalam melakukan pelaporan pajak yang dipotong atau dipungut kepada pejabat pajak.

Penerapan sistem with holding dalam Undang-undang Pajak dapat dilihat pada ketentuan Pajak Penghasilan Pasal 21 serta dalam Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Bea Materai, dan Bea Masuk dan Cukai.


(1)

e. penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan; f. penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada;

g. keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap berada; dan

h. keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap berada.

Ayat (4): Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud pada ayat tersebut.

Ayat (5): Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.

Ayat (6): Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas

penghasilan dari luar negeri diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

2. Cara Bilateral atau Multilateral

Dilakukan melalui suatu peundingan antarnegara yang berkepentingan untuk menghindarkan terjadinya pajak berganda. Perjanjian secar bilateral dilakukan oleh dua Negara, sedangkan multilateral dilakukan oleh lebih dari dua Negara. Perjanjian ini lazim disebut dengan istilah tax treaty atau P3B (agreement for avoidance of double taxation and the prevention of tax evasion).

Masing-masing Negara mempunyai prinsip pemajakannya masing-masing sesuai dengan kedaulatan negaranya sendiri. Sehingga penghindaran pajak cara bilateral adalah yang paling banyak dilakukan oleh suatu Negara. Sedangkan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) yang dilakukan dengan cara multilateral jarang sekali terjadi karena disebabkan sulitnya melakukan pembicaraan


(2)

123 | P a g e

RANGKUMAN

1. Secara Luas, Pajak berganda adalah bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas suatu fakta fiskal. 2. Secara Sempit, Pajak berganda dianggap terjadi pada semua kasus pemajakan

beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu administrasi pajak yang sama, yang mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah.

3. Selanjutnya, pajak berganda sesuai dengan yurisdiksi pemungut pajaknya, dapat dikelompokkan menjadi pajak berganda:

a. Internal (domestic) b. Internasional

Dalam kedua kelompok tersebut terdapat pajak berganda vertikal, horizontal dan diagonal (terutama dalam Negara yang berbentuk federal).

4. Unsur-unsur Internasional Pajak Ganda:

a. Pemungutan dilakukan oleh beberapa negara b. Indentitas subyek pajak yang sama

c. Identitas obyek pajak yang sama d. Masa atau tahun pajak yang sama e. Jenis pajaknya sama atau serupa.

5. Sebab-sebab Terjadinya Pajak Berganda Internasional:

a. Subyek pajak yang sama dikenakan pajak yang sama dibeberapa negara. Hal ini dikarenakan:

1) Subyek pajak yang bersangkutan memiliki domisili rangkap. 2) Seseorang memiliki kewarganegaraan rangkap.

b. Satu obyek pajak dikenakan pajak yang sama oleh dua negara atau lebih akibat pertautan antara asas sumber dengan asas domisili atau asas kebangsaan.

c. Adannya titik pertautan antara asas territorial dengan asas sumber atau conflict of source rule.


(3)

6. Cara Penghindaran Pajak Berganda a. Unilateral atau Sepihak

Yaitu pengaturan sistem perpajakan nasional dari negara yang bersangkutan. Yaitu dengan memasukan aturan-aturan yang merupakan prinsip-prinsip perpajakan internasional. Sehingga wajib pajak yang berkedudukan di dalam negeri dengan mencegah kemungkinan terjadi pajak ganda internasional.

b. Multilateral atau Bilateral

Yaitu penghindaran pajak berganda yang dituangkan dalam naskah perjanjian yang dilakukan oleh dua negara atau lebih melalui proses negosiasi diantara mereka.

LATIHAN

1. Apa yang dimaksud dengan pajak internasional? Apa yang dimaksud dengan tax treaty (P3B)?

2. Jelaskan beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengurangi resiko kemungkinan pengenaan pajak berganda?

3. Sebutkan sumber-sumber hukum pajak internasional? 4. Sebutkan subjek dan objek tax treaty?

5. Jelaskan sebab-sebab terjadinya pajak berganda internasional?

6. Jelaskanlah cara-cara yang bisa ditempuh untuk menghindari pajak berganda internasional?


(4)

125 | P a g e

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Asri Harahap, 2004, Paradigma Baru Perpajakan Indonesia Perspektif Ekonomi-Politik, Jakarta: Integrita Dinamika Press

Darussalam, Danny Septriadi, 2006, Membatasi Kekuasaan untuk Mengenakan Pajak, Jakarta: Grasindo

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kedua, Jakarta: Balai Pustaka

Djamaluddin Gade, Muhammad Gade, 2004, Hukum Pajak, edisi Keempat, Jakarta: Fakultas ekonomi Universitas Indonesia

Djoko Muljono,2008, Ketentuan Umum Perpajakan, Yogyakarta: Andi Erly Suandy, 2002, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat

Kompas, Republika, Majalah Tempo dan Koran Tempo

Paul A. Samuelson dan William D Nordhaus, 1986,Ekonomi, Jakarta: Erlangga

R. Santoso Brotodihardjo, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: PT.Refika Aditama

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan

Republik Indonesia, Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Republik Indonesia, Undang-Undang No. UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Republik Indonesia, Undang-Undang No. No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan

Republik Indonesia, Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah


(5)

Rimsky K. Judisseno, 2004, Perpajakan, Edisi Revisi, Jakarta: gramedia Pustaka Utama

Rochmat Soemitro, 1991, Pajak Ditinjau dari Segi Hukum, Bandung: Eresco

Rochmat Soemitro, 1991, Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan, Edisi revisi, Bandung: Refika Aditama

Safri Nurmantu, 2005, Pengantar Perpajakan, Jakarta: Granit

Siti Kurnia Rahayu, 2010, Perpajakan Indonesia Konsep & Aspek Formal, Yogyakarta: Graha Ilmu

Siti Kurnia Rahayu, Ely Suhayati, 2010, Perpajakan Teori dan Teknis Perhitungan, Yogyakarta: Graha Ilmu

Waluyo, 2010, Perpajakan Indonesia, Jakarta: Salemba Empat


(6)

127 | P a g e

BIODATA PENULIS

Nama : Susi Zulvina, S.H., M.H.

Alamat korespondensi : Jl. Jurangmangu Barat Utama No. 52, Cikini Dalam, Bintaro

Sektor 7, Tangerang.

Unit Instansi : Sekolah Tinggi Akuntansi Negara

Telp./Faks : 021) 7361654-58/ faks (021) 7361653.

E-mail : Susi_Sadeq@yahoo.com

Riwayat Pendidikan Jenjang

Jendidikan Perguruan Tinggi Bidang Spesialisasi

S-1 / 1990 Universitas Andalas Hukum

S-2 / 2008 Universitas Muhamadiyah

Jakarta

Hukum Bisnis S-3

Nama mata kuliah yang diasuh

No Nama Mata Kuliah

1 Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

2 PPh Potongan dan Pungutan

3 Perpajakan I

4 Perpajakan II

5 Pengantar Perpajakan

Jakarta, Okober 2011