Perangkat Norma Pengatur dan Pengendali ”Nor-

Hukum TaTa Negara daN Pilar-Pilar demokrasi serpihan Pemikiran Hukum, media dan Ham Prof. dr. Jimly asshiddiqie, s.H. Hukum TaTa Negara daN Pilar-Pilar demokrasi serpihan Pemikiran Hukum, media dan Ham Prof. dr. Jimly asshiddiqie, s.H. rasional dan terbuka. Memang harus pula disadari bahwa tingkatan dan dimensi konlik itu sendiri mencakup aspek yang sangat luas, mulai dari etnisitas, agama, sosial, budaya, ekonomi dan bahkan politik. oleh karena itu, yang menjadi masalahnya kemudian bagaimana potensi konlik yang semacam itu sebaiknya dikelola. Untuk itu, diperlukan sekurang-kurangnya adanya empat elemen penting dalam masyarakat kita, terutama di lingkungan yang rawan kon- lik, yaitu: i normative reference, ii agent of mediation and resolution sebagai aparatur penyelesaian masalah hukum, dan iii dukungan sosial social support terhadap mekanisme penyelesa- ian konlik itu, serta iv dukungan fasilitas dari pemerintah.

1. Perangkat Norma Pengatur dan Pengendali ”Nor-

mative reference” Dalam setiap masyarakat selalu dikenal selalu norma moral yang mencakup kesusilaan etika pribadi dan kesopanan etika antar peribadi, norma agama, dan norma hukum yang mencakup hukum adat the people’s law dan hukum negara state’s law yang berlaku sebagai sistem rujukan dalam kehidupan bersama. Tidak semua jenis konlik dapat diselesaikan oleh norma hukum. Kadang-kadang efektiitas penyelesaian suatu sengketa lebih ditentukan oleh norma moral ataupun agama daripada norma hukum. Namun, dalam konteks suatu negara, biasanya disepe- kati bahwa yang dijadikan pegangan dalam konteks kehidupan bernegara adalah norma hukum. Bahkan dalam sistem negara modern, biasanya sistem hukum adat people’s law sedapat mungkin ditansformasikan menjadi hukum negara state’s law. Untuk mengatasi formalisasi rasa keadilan yang kadang-kadang lebih terjamin dalam sistem hukum adat, maka sistem hukum negara itu dikembangkan dalam pengertian hukum materiel yang mencakup nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat, sehingga proses transformasi dari the people’s law menjadi the state’s law tidak akan mengalami problem ketidakadilan. Namun, dalam perkembangan praktek – sekurang-kurangnya di indonesia – sering ditemukan kenyataan bahwa sistem hukum modern tidak luasnya disparitas tingkat perkembangan, baik dari segi ekonomi, akses informasi, pendidikan, dan pusat pengambilan keputusan politik dari satu tempat ke tempat yang lain, membuat tingkat keragaman masyarakat indonesia menjadi sangat kompleks yang tidak mudah diurai. Di bawah rezim yang represif selama masa orde lama dan Orde Baru, potensi konlik di antara warisan keragaman tersebut dapat dengan mudah diredam dan dihindari conlict avoidance dengan tangan besi. Akan tetapi, setelah kita memasuki pintu gerbang demokrasi dewasa ini, warisan sosio-historis keragaman masyarakat kita itu terkuak dan menganga lebar dan mudah sekali meletupkan konlik dan sengketa, baik secara vertikal antara ma- syarakat dengan negara maupun secara horizontal antar warga atau kelompok masyarakat sendiri. Apa yang terjadi di Sampit, kalimantan Tengah; Sambas di kalimantan Barat; dan Ambon di Maluku; merupakan contoh-contoh mengenai besarnya potensi konlik horizontal di Indonesia. Sedangkan gejolak yang terjadi di Aceh dan irian Jaya merupakan contoh-contoh mengenai potensi konlik vertikal dan struktural yang terus menghantui integritas wilayah nusantara. Bahkan, di beberapa daerah seperti di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, kasus-kasus konlik horizontal yang timbul tersebut sudah pernah terjadi berulang- ulang dalam kurun sejarah di masa lalu dengan tingkat korban kemanusiaan yang sama ganasnya. karena itu, dari kasus-kasus konlik yang berulang-ulang tersebut, dapat dikatakan bahwa, sebenarnya, selama ini kita tidak pernah menyelesaikan konlik- konlik yang terjadi itu dengan tuntas. Selama ini, kita hanya berhasil menghindari dari keharusan menyelesaikan konlik itu atau malah kita hanya menutup-nutupi adanya konlik itu sendiri. Yang terjadi selama ini bukanlah conlict resolution, melainkan hanya conlict avoidance. Untuk itulah maka perlu dipikirkan mengenai mekanisme yang dapat berkembang dalam masyarakat sendiri, sehingga setiap kali timbul konlik atau sengketa, maka institusi yang ada di tengah masyarakat itu secara otomatis dapat bekerja secara efektif untuk menyelesaikan konlik itu secara Hukum TaTa Negara daN Pilar-Pilar demokrasi serpihan Pemikiran Hukum, media dan Ham Prof. dr. Jimly asshiddiqie, s.H. Hukum TaTa Negara daN Pilar-Pilar demokrasi serpihan Pemikiran Hukum, media dan Ham Prof. dr. Jimly asshiddiqie, s.H. Akan tetapi, dalam praktek akhir-akhir ini makin disadari bahwa pengadilan tidak selalu berhasil menciptakan keadilan secara efek- tif. karena itu, bersamaan dengan belum berkembangnya kultur berperkara di pengadilan litigative culture, masyarakat kita juga perlu diperkenalkan dengan mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagai bentuk alternative despute resolution seperti yang juga berkembang luas di banyak negara maju. Memang harus diakui bahwa dalam setiap masyarakat, selalu tersedia mekanisme dan prosedur pengelolaan konlik dan pertentangan yang biasa dikenal dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam setiap masyarakat selalu terdapat agent yang berperan untuk menyelesaikan berbagai jenis konlik yang terjadi. Di berbagai lingkungan masyarakat tradisional, misalnya, peran tokoh-tokoh informal seperti tokoh agama dan guru sangat besar dan diper- caya untuk memimpin proses penyelesaian konlik-konlik yang terjadi. Namun, di samping peran tokoh-tokoh itu, mekanisme penyelesaian konflik-konflik itu biasanya tetap memerlukan instrumen sistem aturan yang disepakati bersama dalam masya- rakat bersangkutan. Di sinilah letak pentingnya sistem hukum adat yang tumbuh dalam masyarakat di daerah-daerah. Akan tetapi, dalam perkembangan kehidupan bermasyarakat, kita seringkali dihadapkan pada kenyataan bahwa konlik-konlik itu terjadi karena adanya gagasan-gagasan yang sama sekali baru yang belum dikenal dalam tradisi yang berkembang sebelumnya. Bersamaan dengan kompleksitas kehidupan bersama yang terus berkembang makin kompleks mengikuti arus perubahan zaman, institusi-institusi pengelola konlik semacam itu terus dituntut untuk dilembagakan secara formal dan mekanisme kerjanya diikat dan diatur menurut prosedur-prosedur yang juga disepakati secara formal dalam kerangka sistem kenegaraan modern. Disini kita harus menyebut pentingnya sistem perundangan- undangan negara sebagai instrumen dalam sistem hukum kita. Dalam sistem hukum, ditentukan adanya lembaga Pengadilan mulai dari yang tertinggi, yaitu Mahkamah Agung sampai ke Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, Pengadilan Tata Usaha sepenuhnya memuaskan rasa keadilan dalam masyarakat. itu sebabnya, setelah lebih dari setengah abad indonesia merdeka, budaya berperkara di pengadilan litigative culture belum juga berkembang di kalangan masyarakat luas. oleh karena itu, tradisi hukum adat yang hidup dalam masyarakat mau tidak mau tetap harus diselami oleh setiap hakim dalam menentukan keputusan- keputusan yang adil. Untuk itu, sistem hukum negara tetap harus dibangun dengan mempertimbangkan bahan materiel dari sistem hukum adat dan juga sistem hukum agama yang memang diyakini kebenaran dan jaminan keadilannya oleh masyarakat. Untuk menjamin adanya kepastian hukum, sistem hukum negara itu harus ditata dengan seksama mulai dari yang paling tinggi, yaitu Undang-Undang Dasar sampai ke yang paling rendah, yaitu Peraturan Daerah kabupatenkota dan bahkan Peraturan Desa yang sudah diperkenalkan secara resmi oleh UU No. 221999. Berdasarkan TAP No. iiiMPr2000, struktur hirarkis peraturan perundang-undangan republik indonesia mencakup i UUD dan Perubahan UUD, ii ketetapan MPr, iii Undang-Undang, iv Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, v Per- aturan Pemerintah, vi keputusan Presiden, dan vii Peraturan Daerah yang mencakup Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah kabupatenkota, dan Peraturan Desa. Sistem peraturan perundang-undangan tersebut ditambah dengan peraturan-per- aturan lainnya, seperti Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Bank indonesia, Peraturan Menteri, dan sebagainya, merupakan produk-produk pengaturan regeling yang haruslah dijadikan referensi atau rujukan dalam setiap penyelesaian masalah atau konlik yang terjadi dalam masyarakat.

2. “agent of mediation and law enforcement apara- tus”