Hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan buruk

15 memaksa orang tersebut untuk mengaku, menyudutkan dirinya sendiri atau untuk bersaksi terhadap orang lain. 334 Tidak seorang tahanan pun yang sedang diinterogasi dapat dijadikan sasaran kekerasan, ancaman atau metode-metode interogasi yang melumpuhkan kemampuannya untuk membuat keputusan atau melumpuhkan penilaiannya. 335 Lamanya interogasi atas tahanan serta waktu jeda antara interogasi-interogasi dan identitas petugas-petugas yang melakukan interogasi dan orang-orang lain yang hadir, harus dicatat dan disahkan dalam bentuk tertentu, yang ditetapkan oleh undang-undang. 336 Orang yang ditahan atau dipenjara atau pengacaranya, harus memiliki akses kepada informasi hasil interogasi tersebut. 337 Sedangkan UN Guidelines on the Role of Prosecutors menyatakan, apabila jaksa memperoleh bukti yang memberatkan tertuduh dan diketahuinya atau dipercayainya didapatkan melalui metode yang melawan hukum, maka mereka harus menolak untuk menggunakan metode-metode tersebut. Mengapa demikian? Sebab tindakan tersebut merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi tersangka, terutama yang melibatkan penyiksaan atau perlakuan dan penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia atau penganiayaan lain dari hak asasi manusia. Terhadap tindakan tersebut, jaksa harus memberitahukannya kepada pengadilan serta segera mengambil langkah-langkah untuk menjamin bahwa orang-orang yang bertanggungjawab atas penggunaan metode-metode tersebut diajukan ke pengadilan. 338 Ko ite HAM PBB se diri terkait de ga hal i i telah e yataka , ... pengaduan mengenai perlakuan buruk harus diselidiki secara efektif oleh aparat yang berwenang. Mereka yang terbukti bersalah harus mempertanggungjawabkannya dan korban-korban harus mendapatkan upaya pemulihan yang efektif bagi dirinya mereka, termasuk hak untuk mendapatkan ganti kerugian . 339 Menurut Komite HAM PBB, larangan penyiksaan dan perlakuan buruk terhadap tahanan, harus mencakup hukuman badan termasuk hukuman yang berlebihan sebagai upaya-upaya pengajaran dan pendisiplinan. Bahkan upaya-upaya seperti kurungan dalam sel tersendiri, sesuai dengan keadaan, dan terutama apabila seseorang ditahan tanpa boleh berhubungan dengan orang lain, bertentangan dengan Pasal 7 Konvensi Anti-penyiksaan. Pasal tersebut, menurut Komite HAM PBB, secara tegas melindungi tidak saja orang-orang yang ditangkap atau dipenjarakan tetapi juga murid dan pasien-pasien di lembaga pendidikan dan medis. Menjadi tugas dari aparat hukum untuk menjamin perlindungan melalui hukum untuk menjamin tidak adanya tindakan penyiksaan dan perlakuan buruk. 340

G. Penahanan dalam rumah tahanan Rutan

Acuan utama dalam melakukan perawatan tahanan prapersidangan adalah Peraturan Standar Minimum tentang Perlakuan terhadap Narapidana Standard Minimum Rules for the Treatment for Prisoners. Peraturan ini diadopsi oleh First United Nations Congress on the Prevention of Crime and 334 Lihat Prinsip-prinsip mengenai Penahanan, Prinsip 21 1. 335 Lihat Prinsip-prinsip mengenai Penahanan, Prinsip 21 2. 336 Lihat Prinsip-prinsip mengenai Penahanan, Prinsip 23 1. 337 Lihat Prinsip-prinsip mengenai Penahanan, Prinsip 23 2. 338 Lihat Pedoman tentang Penuntut Umum, Pedoman 16. 339 Lihat Komentar Umum No. 7 paragraf 1 ICCPR. 340 Lihat Komentar Umum No. 7 paragraf 2 ICCPR. 16 the Treatment of Off enders, yang diadakan di Jenewa pada 1955, dan disetujui oleh Economic and Social Council melalui Resolusi 663 C XXIV pada 31 Juli 1957 dan 2076 LXII pada 13 Mei 1977. Peraturan standar minimum ini memuat perlindungan-perlindungan yang terperinci atas kondisi semua orang dalam penahanan prapersidangan atau pemenjaraan. Beberapa dari peraturan tersebut secara khusus diterapkan bagi penahanan prapersidangan yang bertitik tolak dari asas praduga tidak bersalah. Selanjutnya pada tahun 1988, Majelis Umum PBB mengumumkan Kumpulan Prinsip-Prinsip tentang Perlindungan Semua Orang dalam Segala Bentuk Penahanan atau Pemenjaraan Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention and Imprisonment. Body Principles atau prinsip-prinsip pokok ini merupakan sumber penting bagi pedoman penerapan prinsip-prinsip umum UDHR dan ICCPR Politik dalam penahanan prapersidangan. Prinsip-prinsip pokok tersebut memerinci upaya yang diperlukan untuk melindungi HAM para tahanan. Dalam momentum yang tidak terlalu lama, Resolusi Majelis Umum No. 45111, tertanggal 14 Desember 1990, juga telah mengadopsi dan mengumumkan Prinsip-Prinsip Dasar bagi Perlakuan Tahanan Basic Principles for the Treatment of Prisoners, sebagai seruan kepada semua negara agar menyantumkan prinsip-prinsip elementer dalam memperlakukan tahanan. Di Indonesia, Penjelasan Pasal 22 ayat 1 KUHAP telah menggariskan kebijakan bahwa selama Rutan belum ada pada suatu tempat, penahanan dapat dilakukan di Kantor kepolisian negara, kantor kejaksaan negeri, di lembaga pemasyarakatan, di rumah sakit, atau dalam keadaan mendesak di tempat lain. Merespon hal ini, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP, yang menyatakan dalam Pasal bahwa pada setiap ibukota kabupatenkota akan dibentuk Rutan. Jika dianggap perlu dapat didirikan cabang rutan di luar ibukota kabupaten seperti pada suatu kecamatan tertentu. Selanjutnya, untuk meneruskan perintah PP di atas, Menteri Kehakiman mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04 UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu sebagai Rutan. Keputusan Menteri ini mempunyai dua lampiran: i Lampiran I, berisi daftar Lembaga Pemasyarakatan yang ditetapkan sebagai Rutan; ii Lampiran II, berupa daftar Lapas yang disamping tetap dipergunakan sebagai Lembaga Pemasyarakatan, beberapa ruangannya ditetapkan sebagai Rutan. Mengani siapa saja yang ditempatkan dalam Rutan, dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 19 PP No. 27 Tahun 1983 jo. Pasal 1 Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06 Tahun 1983. Di dalam Rutan ditempatkan tahanan yang masih dalam proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Semua tahanan berada dan ditempatkan dalam Rutan tanpa kecuali, tetapi tempat tahanan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, umur, dan tingkat pemeriksaan. Demikian penegasan Pasal 19 ayat 1 dan 2 PP No. 27 Tahun 1983 serta Pasal 1 ayat 1 dan 2 Keputusan Menteri Kehakiman. Rutan sendiri dimaknai sebagai empat tahanan tersangka atau terdakwa yang masih sedang dalam proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan pengadilan.