Praperadilan: antara mekanisme perdata dan pidana
81
Figur 16: Jumlah hari yang dibutuhkan dalam praperadilan
Situasi ini terjadi karena Pengadilan menerapkan asas –asas hukum acara perdata, sehingga
pemanggilan kepada penyidikpenuntut harus memperhatikan syarat formal. Salah satu penyebab lambannya praperadilan adalah kedudukan pejabat yang dipanggil pengadilan. Meski KUHAP tidak
mengenal istilah Termohon dan tidak ada kewajiban mendengarkan keterangan dari pejabat yang berwenang, namun istilah Termohon digunakan, sehingga Pengadilan juga seperti memiliki
kewajiban untuk mendengarkan keterangan Termohon. Oleh karena itu, sidang seringkali harus menunggu kehadiran termohon untuk didengar keterangan
dan tanggapannya. Dari statistik yang ada, kedua belah pihak cukup memiliki komitmen untuk menghadiri persidangan. Dari 80 perkara praperadilan, 78 perkara diantaranya dihadiri oleh
pemohon, dan 77 perkara dihadiri pula oleh termohon.
Figur 17: Kehadiran para pihak dalam persidangan
Kecenderungan penggunaan hukum acara perdata di dalam proses beracara praperadilan juga bisa dilihat dengan adanya upaya perdamaian dalam proses praperadilan, meski umumnya upaya ini
gagal. Dari 80 perkara praperadilan, hanya lima kasus yang selesai melalui perdamaian, sementara 75 kasus selebihnya gagal.
1-7 hari 8-14 hari
15-21 hari 21-28 hari
29-36 hari 37-45 hari
5 10
15 20
25 30
35
Perkara
4 16
35
15 7
3
Pemohon Termohon
20 40
60 80
Hadir Tidak Hadir
Pemohon 78
2 Termohon
77 3
82 Namun demikian, beberapa hakim dalam pertimbangannya mengisyaratkan bahwa mekanisme
beracara dalam sidang praperadilan adalah mekanisme pidana. Hal ini terlihat dalam pertimbangan hakim di PN Medan mengenai penulisan pihak termohon dalam permohonan.
Dalam Putusan No. 11Pra.Pid2004PN.Mdn, pemohon menulis identitas termohon secara rinci dan langsung ditujukan kepada individu yang dianggap bertanggungjawab secara langsung atas upaya
paksa, sebagaimana umum dilakukan dalam sidang kasus perdata. Dalam jawabannya, termohon menyatakan penulisan semacam itu menjadikan permohonan menjadi kabur. Kualitas para pihak,
menurut termohon, seharusnya tidak disebutkan karena bukan pihak secara individu yang menjadi pihak termohon, melainkan negara cq. institusi yang para termohon.
Hakim sendiri, dalam pertimbangan hukumnya mengakui penulisan identitas seperti itu tidak tepat. Dalam pertimbangannya, hakim mengatakan:
…pe ye uta per oho a Praperadila Pe oho ya g la gsu g e ye utka pada diri dan kualitas Termohon, tanpa ditujukan terhadap Negara TI cq. Departemen Keuangan cq.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Tipe A Belawan, memang tidak tepat menurut hukum, namun memperhatikan sistem pendekatan yang jauh dari sikap formalistic legal thinking
secara sempit dan ekstrem, keteledoran penyebutan kualitas Para Termohon tersebut, tidak perlu sampai berakibat hukum permohonan Praperadilan harus dinyatakan kabur dan
tidak dapat diterima, karena sesungguhnya pokok utama problem yang mesti diselesaikan adalah apakah tindakan Para Termohon terhadap diri Pemohon tersebut
sudah tepat dan sesuai dengan berjalannya hukum, ke
adila da ke e ara . Pertimbangan hakim di atas dapat diartikan dua hal: pertama, hakim menyatakan penulisan
identitas termohon semacam itu tidak tepat karena sidang praperadilan bukanlah sidang pengadilan perdata; dan kedua, hakim mengakui adanya mekanisme tersendiri dalam sidang praperadilan,
termasuk cara menulis identitas yang benar. Namun, menjadi pertanyaan berikutnya ketika hakim lain di
PN Meda e asukka upaya damai , yang hanya terdapat dalam mekanisme sidang peradilan perdata, untuk menyelesaikan perkara
praperadilan. Dalam putusan No. 06Prapid2005PN.Mdn P-9
143
, hakim menyatakan: Me i
a g, ah a pada per ulaa persida ga Haki Pe gadila Negeri Meda telah berusaha mendamaikan para pihak tersebut di atas, namun tidak berhasil, maka dimulailah
pemeriksaan perkara ini dengan membacakan permohonan praperadilan pemohon terse ut, da atas per oho a terse ut, kuasa Pe oho tetap pada per oho a ya .
Sementara di PN Jaksel, hakim justru menegaskan percampuran mekanisme sidang peradilan perdata dan pidana dalam sidang praperadilan. Pertimbangan hakim dalam Putusan No. Putusan No.
04Pid.Pra2009PN. Jkt. Sel P-55
144
, hakim menyatakan:
143
Putusan 06Prapid2005PN.Mdn ini berasal dari PN Medan dengan pemohon bernama Ti Sapiah. Kasus ini terkait dengan tindak pidana narkotika yang bermula saat Pemohon dititipi suatu benda oleh seseorang, suami
pemohon pada saat itu sedang berobat. Pada saat pulang ke rumah, suami korban ditangkap dan ditahan termohon. Pemohon tidak mendapatkan tembusan surat penangkapan dan pada saat bertemu dengan
suaminya, pemohon melihat adanya luka pada kaki dan kemaluan suami pemohon yang diduga merupakan akibat penganiayaan saat suami pemohon ditahan. Putusan Praperadilan PN Medan kemudian memutuskan
menolak permohonan praperadilan pemohon tersebut.
144
Putusan 04Pid.Pra2009PN. Jkt. Sel ini berasal dari PN Jaksel dengan pemohon bernama Bagindo Quirinno, terkait dengan tindak pidana korupsi. Kasus bermula saat pemohon yang berstatus PNS di BPK RI,
dipanggil untuk dimintai keterangannya sebagai tersangka di kantor termohon. Di hari yang sama, termohon
83 Me i
a g, ah a gugata praperadila adalah perkara pida a de ga eka is e perdata, oleh karena itu gugatan praperadilan yang diajukan adalah ke pengadilan negeri
ya g ilayah huku ya eliputi te pat keduduka huku dari ter oho .