Umum Norma dan Prinsip Penahanan Prapersidangan

6 Berdasar pada putusan MK, sudah semestinya rasionalitas perlu tidaknya dilakukan penahanan wajib dielaborasi secara tajam, terang, dan terukur, dengan menggunakan indikator-indikator yang relevan untuk dipertimbangkan oleh pejabat yang berwenang menahan. Dengan demikian, penggunaan instrumen penahanan prapersidangan dengan menempatkan tersangka di Rumah Tahanan Negara atau ruang tahanan Kepolisian dan Kejaksaan dapat diminimalisasi. Misalnya, dengan memanfaatkan upaya alternatif non-penahanan. B. Dasar hukum penahanan prapersidangan Agar tindakan penahanan tidak dilakukan secara sewenang-wenang dan sejalan dengan prinsip- prinsip perlindungan kebebasan sipil, maka aparat penegak hukum harus bersandar pada sejumlah instrumen hukum yang berlaku dalam melakukan tindakan penahanan. Instrumen-instrumen hukum tersebut bersumber dari hukum internasional, baik yang bersifat hard law maupun soft law, selain juga merujuk pada peraturan perundang-undangan nasional. Sejumlah instrumen hukum penahanan prapersidangan dapat dipaparkan dengan kategorisasi berikut ini: Sumber Hukum Bentuk Aturan Hukum Internasional 1. Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia Sedunia UDHR 2. Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik ICCPR 1976 diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005 3. Konvensi tentang Hak-hak Anak diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 4. Basic Principles for Treatment of Prisoners 5. Body Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment 6. Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners 7. Minimum Rules for Non Custodial Measures 8. Rules for the Protection of Juveniles Deprived of their Liberty 9. Standard Minimum Rules for the Administration of Juveniles Justice Hukum Nasional Undang-undang 1. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 2. UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif 3. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM 4. UU No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 5. UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga 6. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 7. UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika 8. UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian 9. UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Peraturan Kelembagaan 7 1. Peraturan Mahkamah Agung MA No. 2 Tahun 2012 tentang Penyelesaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP 2. Surat Edaran MA No. 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial 3. Surat Edaran MA No. 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika di Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial 4. Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana Putusan Pengadilan 1. Putusan MK No. 018PUU-IV2006 pengujian Pasal 21 Ayat 1 KUHAP 2. Putusan MK No. 65PUU-IX2011 pengujian Pasal 83 ayat 2 dan 3 KUHAP

C. Prinsip-prinsip dalam penahanan prapersidangan

1. Non-diskriminasi Tindakan penahanan yang dikenakan terhadap tersangka tidak boleh melanggar prinsip non- diskriminasi. Namun pejabat yang berwenang berhak untuk tidak menahan perempuan, khususnya perempuan yang sedang dalam masa kehamilan, perempuan yang sedang menyusui, anak-anak, orang tua yang sudah renta, orang sakit, dan penyandang disabilitas. Keputusan demikian tidak dapat dinyatakan sebagai keputusan yang bersifat diskriminatif. 2. Praduga tidak bersalah Ada perbedaan mendasar antara orang yang dalam penahanan dan orang yang telah dinyatakan bersalah oleh Pengadilan. Oleh karena itu, prinsip praduga tidak bersalah harus mendapatkan pertimbangan yang tertinggi sebelum pejabat yang berwenang menahan membuat keputusan untuk melakukan penahanan. Jika penahanan terpaksa dilakukan, maka tersangka yang ditahan harus mendapatkan perlakuan yang terpisah sesuai dengan status mereka sebagai orang yang belum diputus bersalah oleh Pengadilan. 3. Upaya terakhir Tindakan untuk melakukan penahanan prapersidangan harus diminimalisasi sejauh mungkin. Pada dasarnya, penahanan prapersidangan melibatkan orang yang belum dinyatakan bersalah oleh Pengadilan. Keputusan untuk melakukan penahanan prapersidangan dapat membawa dampak negatifburuk terhadap prinsip praduga tidak bersalah. Maka, penahanan prapersidangan harus digunakan sebagai upaya terakhir dalam proses persidangan pidana. 4. Beralasan dan diperlukan Penahanan prapersidangan hanya dilakukan jika ada kebutuhan yang nyata tentang hal itu. Hukum hak asasi manusia menegaskan bahwa harus ada kondisi yang sangat ketat ketika tindakan penahanan prapersidangan akan diterapkan terhadap seseorang. 5. Pengujian segera oleh pengadilan 8 Meski KUHAP tidak mempunyai mekanisme agar orang yang akan ditahan dihadapkan terlebih dahulu ke Pengadilan untuk diuji syarat-syarat dan kondisi penahanannya, beban yang dimandatkan Pasal 21 KUHAP harus benar-benar dipenuhi. Pengecualian justru muncul dalam Pasal 43 ayat 6 UU Informasi dan Transaksi Elektronik ITE, yang menyatakan setiap tindakan penangkapan dan penahanan wajib meminta penetapan dari Ketua Pengadilan. Kendati munculnya ketentuan ini adalah suatu bentuk kemajuan dalam perlindungan kebebasan sipil, namun aturan tersebut belum sepenuhnya sejalan dengan Pasal 9 ICCPR. 6. Hak untuk menguji keabsahan penahanan prapersidangan Setiap tersangka yang menjalani penahanan prapersidangan harus memiliki hak untuk mengajukan pengujian tentang keabsahan penahanan prapersidangan yang dikenakan terhadapnya tanpa penundaan. Seorang tersangka tidak boleh ditahan tanpa memiliki kesempatan untuk dapat menguji keabsahan penahanan dan perpanjangan penahanannya di depan pengadilan pada setiap waktu. 7. Pengujian penahanan secara berkala tanpa permohonan Saat keputusan penahanan prapersidangan diterapkan dan juga telah diuji melalui praperadilan, tersangka tetap berhak atas pengujian penahanan prapersidangan secara berkala tanpa harus ada kewajiban bagi tersangka untuk melakukan tindakan apapun. Tersangka harus segera dikeluarkan dari penahanan jika tidak ada lagi alasan yang telah ditentukan oleh hukum. D. Kewenangan penahanan Berdasarkan pada pejabat yang berwenang, KUHAP membedakan tiga jenis tindakan penahanan. Hal ini juga sekaligus menunjukan tingkat proses peradilan pidana yang tengah dilangsungkan. Ketiga jenis tindakan penahanan tersebut meliputi: i Penahanan yang dilakukan oleh penyidik, bertujuan untuk kepentingan penyidikan; 296 ii Penahanan yang dilakukan oleh penuntut umum, bertujuan untuk kepentingan penuntutan; 297 dan iii Penahanan yang dilakukan oleh pengadilan, yang dimaksudkan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. Hakim berwenang melakukan penahanan dengan penetapan yang di dasarkan kepada perlu tidaknya penahanan dilakukan sesuai dengan kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan. 298 D.1. Penahanan di tingkat penyidikan KUHAP menjadi rujukan utama kewenangan penyidik dalam melakukan penahanan terhadap tersangka. 299 Selain itu, kewenangan penahanan di tingkat penyidikan juga mengemuka di dalam beberapa undang-undang khusus. Ketentuan-ketentuan tersebut dapat dijumpai pada: a. UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Ketentuan Pasal 44 ayat 1 undang- undang ini menyatakan, untuk kepentingan penyidikan, Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat 1 dan ayat 3 huruf a , berwenang melakukan penahanan terhadap anak yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. b. UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Ketentuan Pasal 12 ayat 1 undang- undang ini mengatakan, Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang 296 Lihat Pasal 20 ayat 1 KUHAP. Mencakup juga penahanan dalam kaitannya dengan penyidikan seperti yang dimaksud dalam undang-undang khusus. 297 Pasal 20 ayat 2 KUHAP. 298 Pasal 20 ayat 3 KUHAP. 299 Pasal 20 ayat 1 KUHAP