Denmark Instrumentasi yang menjamin perlindungan dari penahanan sewenang-wenang

23 terbatas pada kewenangan untuk memutuskan apakah berhak memproses suatu perkara atau tidak, dan yang terkait dengan kasus yang sangat serius dan kasus tertentu lainnya. Selain itu mereka juga berwenang melakukan banding ke Pengadilan Tinggi PT, serta melakukan pengawasan keseluruhan atas penanganan kasus pidana oleh jaksa di tingkat lokal. Sedangkan otoritas tertinggi dalam kejaksaan berada pada Direktur Penuntut Umum, yang posisinya non-politik. Direktur penuntut umum dan seluruh hirarki kejaksaan bertanggung jawab kepada Menteri Kehakiman. Polisi, di sisi lain, secara yuridis berada di bawah pengawasan umum dan pengawasan kejaksaan dalam penyelidikan atas suatu pelanggaran,. Namun pada praktiknya, polisi melakukan sebagian besar penyelidikan secara independen dan baru melimpahkannya kepada jaksa setelah proses penyelidikan berakhir. Akan tetapi tindakan seperti ini tak bisa dilakukan terhadap kasus-kasus kejahatan ekonomi yang kompleks. Selain itu, dalam penanganan setiap kasus yang memerlukan upaya paksa, yang membutuhkan perintah peradilan atau untuk melakukan penahanan pra-sidang, polisi harus melakukan dengan sepengatahuan Jaksa, karena Jaksa yang bertanggung jawab untuk mencari surat perintah pengadilan tersebut. Jaksa berperan dalam memutuskan apakah perkara harus dilanjutkan atau dihentikan. Ketika proses penyelidikan berakhir, Polisi harus menyerahkan seluruh hasil penyelidikan tersebut kepada jaksa. Kemudian jaksa akan memutuskan apakah berwenang mengadili atau tidak. Tidak seperti negara Eropa lain, di Denmark tidak ada asas legalitas formal yang membutuhkan penuntutan. Namun, hukum acara menentukan keadaan dimana kasus tersebut dapat diberhentikan tanpa penuntutan, dan juga daftar keadaan di mana diskresi untuk mengesampingkan penuntutan dapat dilakukan. Untuk kasus yang tidak diteruskan ke pengadilan, terdakwa dapat memberikan penggantian seju lah ua g, i i dise ut se agai se uah proses sosial . Jika jaksa e olak kasus ta pa penuntutan atau menghapuskan penuntutan, korban atau orang lain yang mewakili mereka dapat mengajukan keberatan kepada jaksa tingkat berikutnya dari hirarki penuntutan yaitu dengan jaksa daerah jika keputusan telah diambil oleh jaksa lokal. Namun, mereka tidak memiliki hak untuk mengajukan banding ke pengadilan. Sementara itu, mediasi antara korban dengan pelaku dapat dilakukan dalam semua kasus sebagai alternatif untuk penuntutan. Biasanya, mediasi terjadi sebelum kasus diajukan ke pengadilan dan hasilnya dimasukkan dalam berkas perkara. Kasus yang cocok untuk dilakukan mediasi umumnya diidentifikasi oleh polisi. Mengenai kewenangan yang dimiliki oleh Polisi, mereka dapat menahannya sampai 24 jam tanpa perintah pengadilan. Setelah itu, mereka dapat mencari perintah pengadilan melalui jaksa, untuk penahanan pra-sidang atas dasar kecurigaan yang masuk akal bahwa pelanggaran telah dilakukan. Permohonan untuk melakukan penahanan beserta biaya yang diperlukan harus diajukan ke pengadilan dan didengar oleh seorang hakim di pengadilan terbuka. Dalam proses ini tersangka berhak mendapatkan seorang pengacara selama penyelidikan, termasuk awal 24 jam penahanan pertama. Jika tersangka tidak mampu membayar pengacara, maka Negara menyediakan pengacara yang didanai oleh negara, tapi balasan selanjutnya akan dicari dari tersangka jika dia terbukti bersalah. Pengacara akan selalu hadir di pengadilan untuk menangani kasus-kasus penahanan pra-sidang pula. Jika tersangka dikenakan perintah penahanan pra-sidang, ia dapat dilepaskan setiap saat tanpa perintah pengadilan, atas arahan dari jaksa. 24 Jika tersangka ditahan, dia harus dibawa kepada hakim setiap empat minggu untuk mendapatkan review mengenai perintah penahanan dan kemajuan dalam penyelidikan. Selain itu, periode maksimum penahanan pra-sidang pelaku dewasa adalah enam bulan untuk hukuman maksimum enam tahun atau kurang dan satu tahun untuk hukuman maksimum lebih dari enam tahun. Jika pelaku di bawah usia 18 tahun, masing-masing periode maksimum dikurangi menjadi empat bulan dan delapan bulan. Pengadilan dapat memperpanjang jangka waktu dalam keadaan khusus. Namun umumnya kasus datang ke pengadilan dalam periode maksimal. Ada juga aturan bahwa penahanan pra-sidang tidak bisa lebih lama dari hukuman penjara yang diharapkan. Jika ternyata lebih lama, terdakwa harus mendapatkan ganti kerugian. Selain itu tersangka dapat mengajukan petisi pengadilan untuk meninjau kemajuan atau menetapkan jadwal sidang jika belum diajukan ke pengadilan oleh jaksa dalam jangka waktu yang wajar. Jika jaksa mengajukan tuntutan setelah selesainya penyelidikan, ia mengajukan tuduhan itu di pengadilan, bersama dengan berkas perkara pendukung. Dokumen ini berisi pernyataan dari semua saksi yang relevan dengan kasus. Hakim menggunakan berkas perkara untuk mempersiapkan persidangan, para pihak bertanggungjawab untuk menentukan saksi dalam persidangan. 6. Italia Sebelum revolusi hukum acara pidana di Italia 24 Oktober 1988, Italia menerapkan sistem hukum acara pidana inkuisitorial. Sistem hukum acara pidana ini sudah dianut oleh Italia sejak 1808, ketika Napoleon berkuasa di Italia, yang menerapkan French dinstruksi Criminelle Code. Sistem tersebut dikodifikasi kembali pada 1865, setelah berdirinya Italia pada tahun 1861. Namun demikian, sistem yang baru sepenuhnya masih menganut Kode Napoleon. Perubahan kembali terjadi saat pemerintah fasis berkuasa pada 1930, yang membagi proses pidana menjadi dua tahap, tahap investigasi istruzione dan tahap uji coba dibattimento. Tahap investigasi berpengaruh lebih besar atas seluruh proses pidana. Seorang hakim investigasi Giudice istruttore yang memiliki kekuasaan sangat luas ditunjuk saat sistem ini diterapkan. 59 Kewenangan hakim investigasi termasuk memberikan rekomendasi kepada jaksa penuntut umum, mengarahkan penyelidikan dalam rangka memastikan kebenaran, mendengar saksi dan ahli, dan melakukan pencarian alat bukti. Hakim investigasi juga bisa memanggil dan mempertanyakan terdakwa. Semua bukti yang diperoleh selama penyelidikan akan dicatat dalam berkas investigasi, dan hakim pengadilan akan memberikan putusan berdasarkan berkas investigasi tersebut. Model seperti ini sangat lazim dikenal di Indonesia dengan keberadaan BAP Berita Acara Pemeriksaan. Model penyelidikan seperti ini berdampak serius di pengadilan. Keberadaan berkas investigasi seringkali menjadikan persidangan di pengadilan hanya berfungsi sebagai kontrol pada apa yang telah diputuskan sebelumnya —dalam berkas investigasi BAP. Persidangan hanya menjadi ruang untuk membaca resmi dari catatan yang telah disusun selama tahap investigasi. Memang benar selama persidangan saksi bisa dipanggil ke pengadilan untuk bersaksi, dan kesaksian mereka dapat berbeda dari yang sebelumnya diberikan kepada hakim investigasi pada saat penyelidikan. Namun putusan yang diambil oleh hakim di pengadilan dapat saja 59 Giulio Illuminati, The Frustrated Turn to Adversarial Procedure in Italy Italian Criminal Procedure Code of 1988, Washington University Global Studies Law Review, Vol. 4, 2005, versi elektronik tersedia di http:law.wustl.eduwugslrissuesvolume4_3p567Illuminati.pdf . 25 hanya didasarkan pada dokumen investigasi, mengabaikan bukti yang diberikan dalam tahap persidangan di pengadilan. 60 Situasi yang demikian telah membuat warga Italia frustrasi dalam proses penegakan hukum di negara mereka, hingga Parlemen Italia meninggalkan sistem inkuisitorial di tahun 1988 dan mengubahnya pada sistem adversarial, yang dikenal dalam sistem hukum acara pidana Anglo- America. Dengan sistem baru ini, peranan hakim investigasi berkurang dalam penyusunan bukti berkas investigasi, dan tanggung jawab pengumpulan bukti-bukti bergeser ke para pihak. Terdakwa harus memanggil saksi untuk memberikan kesaksian-bahkan jika mereka telah memberi pernyataan kepada polisi sebelumnya. Terdakwa juga berhak menghadapi dan memeriksa silang para saksi, serta memberikan bukti yang bertentangan dengan keterangan saksi-saksi. Namun, perubahan rupanya sulit dilakukan dan diperlukan cara-cara radikal untuk mengubah tradisi hukum Italia lama, agar sepenuhnya mengadopsi model adversarial. Perlawanan terhadap KUHAP baru dilakukan oleh Polisi, disertai beberapa putusan Mahkamah Konstitusi MK Italia yang melemahkan beberapa prinsip dasar yang seharusnya menjadi pusat sistem adversarial. Parlemen Italia tak mampu melawan putusan MK, karena seperti di Indonesia, MK dibentuk dan memiliki kewenangan berdasarkan Konstitusi Italia. Baru pada tahun 1999 Parlemen Italia mengamandemen Konstitusi Italia, khusus ya Pasal ya g e gatur fair trial , untuk mengubah sistem hukum acara pidana menjadi adversarial dan penguatan hak-hak terdakwa. Perubahan terhadap KUHAP dilakukan kembali pada tahun 2001 berdasarkan pada Konstitusi Italia yang baru. 61 Melalui UU No. 63 Tahun 2001, Parlemen Italia telah mengesahkan KUHAP baru The Nuovo Codice di Procedura Penale, yang diseleraskan dengan konstitusi hasil amandemen. KUHAP ini menitikberatkan upaya memasukkan sistem advesarial ke struktur peradilan Italia. Secara khusus, reformasi KUHAP berusaha menciptakan pemisahan yang jelas antara lembaga yang bertanggung jawab untuk menyelidiki dan menuntut kejahatan, dengan badan yang bertanggung jawab untuk mengadili kasus ini. Merujuk pada KUHAP yang baru, proses pidana di Italia dibagi menjadi tiga fase: 1 tahap awal penyelidikan indagini preliminari, 2 tahap sidang pemeriksaan pendahuluan udienza preliminare, dan 3 tahap persidangan —pengujian dibattimento. 62 Menurut KUHAP baru, untuk menjaga netralitas hakim, tanggung jawab investigasi berada di tangan jaksa penuntut umum. Dalam beberapa jam setelah tindak kejahatan atau laporan tindak kejahatan kepada polisi, polisi akan memberitahukannya kepada jaksa penuntut umum, yang kemudian memiliki waktu enam bulan untuk menyelesaikan investigasi dan mengumpulkan alat bukti. U tuk saksi atau ukti ya g u gki tidak tersedia di persida ga , jaksa dapat e i ta probatorio incidente , ya g e u gki ka sida g kesaksia dari saksi, sehi gga dapat e pertaha ka kesaksian saksi untuk persidangan mendatang. Kesaksian tersebut kemudian dimasukkan ke dalam sebuah berkas untuk persidangan. 60 Giulio Illuminati, The Frustrated ... Ibid. 61 William T. Pizzi and Mariangela Montagna, The Battle to Establish an Adversarial Trial System in Italy, Michigan Journal of International Law Vol. 25, 2004, versi elektronik tersedia di http:lawweb.colorado.eduprofilespubpdfspizziPizziMJIL.pdf. 62 Julia Grace Mirabella, Scales of Justice: Assessing Italian Criminal Procedure Through the Amanda Knox Trial, Boston University International Law Journal, Vol. 30, No. 1, 2012, versi elektronik tersedia di http:www.bu.edulawcentraljdorganizationsjournalsinternationalvolume30n1documentsnote_mirab ella.pdf. 26 Karena sistem Italia wajib membutuhkan penuntutan, jaksa harus secara eksplisit meminta penghentian penyidikan dari hakim jika mereka percaya kasus yang ditanganinya lemah. Selama penyelidikan, jaksa mengumpulkan bukti-bukti memberatkan dan membebaskan untuk sidang awal yang menentukan apakah sebuah kasus akan maju ke pengadilan. Pada akhir penyidikan dan sebelum sidang pemeriksaan pendahuluan, terdakwa diberitahu tentang tuduhan yang dikenakan terhadapnya. Terdakwa dapat memberikan bukti tambahan untuk jaksa, dan dapat meminta agar jaksa menindaklanjutinya dengan investigasi tambahan dalam periode tiga puluh hari. 63 Selain penyidikan yang dipimpin oleh Jaksa Penuntut, hukum acara pidana Italia juga mengenal hakim pemeriksaan pendahuluan Giudice per le indagini preliminari atau GIP, yang bertugas dalam setiap proses penyelidikan. GIP akan menentukan langkah-langkah pencegahan misure cautelari yang perlu diambil, seperti menentukan apakah terdakwa harus ditahan di dalam penjara, dan memberikan ijin kepada jaksa dengan meninjau permintaan kejaksaan yang bisa menahan atau merampas kebebasan sipil dari seseorang, seperti penyadapan. Pada sidang pendahuluan, GIP mengevaluasi semua bukti dari jaksa dan memutuskan apakah akan melanjutkan ke pengadilan, atau membatalkan tuntutan rinvio a giudizio atau mengarsipkan kasus. Pengawasan hakim ini sangat membatasi kekuasaan jaksa jika dibandingkan dengan sistem inkuisisi yang berlaku di Italia masa lalu. 64 Seperti halnya Amerika Serikat, hukum acara pidana Italia juga mengenal sistem juri, khusus untuk tindak kejahatan berat. Putusan kasus kejahatan berat akan diambil dengan sistem campuran, yang terdiri dari dua hakim profesional dan enam orang juri. Juri dipilih melalui proses seleksi acak untuk duduk dalam jangka waktu tertentu. Aturan keputusannya adalah murni mayoritas, hakim dan juri berunding bersama, untuk kemudian mengambil putusan terhadap terdakwa. 65

7. Jepang

Sebelum Perang Dunia II, sistem hukum acara pidana Jepang sangat inkuisitorial, yang berlangsung selama lebih dari satu abad. Di bawah rezim Tokugawa, tanggung jawab penyidikan ada pada Keshogunan yang melakukan pemeriksaan rinci bukti dan mempertanyakan niat tersangka dan saksi. Pemeriksaan ini disusun secara tertulis menjadi sebuah berkas penyidikan, atau biasa kita kenal dengan BAP. Setelah Perang Dunia II, otoritas pendudukan berusaha mengubah sistem peradilan menjadi model sistem hukum Amerika. 66 Pertama, mereka melakukan reorganisasi sistem peradilan untuk mengamankan independensi peradilan dari badan politik. Dalam konteks penyidikan, tahap pemeriksaan pendahuluan dieliminasi dan peran hakim pemeriksa dihapuskan. Hakim pengadilan dilucuti kewenangan penyidikannya dan diserahkan kepada juri. Reformasi paling penting adalah banyaknya prosedur perlindungan yang dijamin oleh konstitusi baru. Misalnya, hak untuk diam, hak atas suatu pengadilan yang terbuka, dan akses ke pengacara yang dibayar oleh negara jika diperlukan. Penyidik harus mendapatkan surat perintah untuk 63 Julia Grace Mirabella, Scales ... Ibid. 64 Giulio Illuminati, The Frustrated ... Op.Cit. 65 Ethan J. Leib, A Comparison of Criminal Jury Decision Rules in Democratic Countries, Ohio State Journal of Criminal Law, Vol. 5, 2008, versi elektronik tersedia di http:moritzlaw.osu.edustudentsgroups osjclfiles201205LeibFromPublisher.pdf. 66 Haruo Abe, Criminal Procedure in Japan, Journal of Criminal Law and Criminology, Vol. 48 1958. 27 pencarian dan penangkapan, dan tersangka harus diberitahu tentang tuduhan terhadap mereka segera setelah dilakukannya penangkapan. 67 Proses pidana di Jepang diawali laporan kejahatan dari korban atau warga negara. Tindakan penangkapan yang dilakukan tanpa surat perintah diperbolehkan jika tersangka tertangkap tangan.