Perumusan Masalah Manfaat Penelitian Jenis-Jenis Analgesik Mekanisme Kerja Obat

Universitas Sumatera Utara Mual dan muntah pasca anestesi umum pada bedah elektif masih merupakan “The Big Little Problem” dalam dunia anestesi. Disebut “big” karena mual muntah dapat menyebabkan perpanjangan waktu pemulihan, peningkatan biaya perawatan, perpanjangan masa pengawasan di Post Anesthesia Care Unit PACU, dan meningkatnya morbiditas. Morbiditas yang berhubungan dengan kejadian nausea vomitus meliputi perdarahan, dehidrasi, gangguan elektrolit hipokalemi dan hiponatremi, malnutrisi, karies gigi, inflamasi mukosa mulut, rupture esophagus, dan aspirasi pneumonitis Silbernagl, 2006; Sunatrio et al., 2004, dan disebut “little”, karena sebenarnya mual dan muntah adalah masalah yang cukup ringan dibanding komplikasi anestesi lainnya. Insiden PONV terjadi pada 75-80 anestesi dengan eter, 25-30 pasien pasca bedah dengan anestesi umum Kovac, 2003 dan dapat mencapai 70 pada pasien high risk Mohamed, 2004. Chandra dari FK USU 2012, telah menyatakan dalam tesis nya, mual muntah pasca operasi atau post operative nausea and vomiting PONV adalah efek samping yang sering terjadi setelah tindakan anestesi, angka kejadiannya lebih kurang 13 dari seluruh pasien yang menjalani operasi atau terjadi pada 30 pasien rawat inap dan sampai 70 pada pasien rawat inap yang timbul dalam 24 jam pertama. Cut meliza dari FK USU 2011, telah meneliti bahwa insiden PONV di RSUP H. Adam Malik Medan 40. Mengingat bahwa anestesi umum pada bedah elektif sangat penting, maka perlu dikaji seberapa besar pengaruhnya terhadap mual dan muntah pasca operasi. Berdasarkan dari kondisi permasalahan tersebut, peneliti tertarik mengkajinya melalui penelitian tentang prevalensi mual muntah pasca anastesi umum pada bedah elektif di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2013.

1.2 Perumusan Masalah

Uraian ringkas dalam latar belakang masalah di atas memberikan dasar bagi peneliti untuk merumuskan pertanyaan penelitian yaitu berapakah prevalensi mual muntah pasca anastesi umum pada bedah elektif di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2013? Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mencari prevalensi mual muntah pasca anastesi umum pada bedah elektif di RSUP H. Adam Malik, Medan pada tahun 2013.

1.3.2. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui distribusi frekuensi mual muntah pasca anastesi umum pada bedah elektif di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2013.

1.4 Manfaat Penelitian

Secara umum hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya penanganan mual dan muntah pasca anestesi umum pada bedah elektif. Adapun secara khusus penelitian ini diharapkan mendatangkan manfaat sebagai berikut: 1.4.1. Bagi ilmu pengetahuan, yaitu dapat menambah keragaman ilmu pengetahuan dan penelitian bagi dunia kedokteran umumnya, khususnya adalah ilmu kedokteran anestesi. 1.4.2. Bagi pihak RSUP H. Adam Malik yaitu memberikan masukan dalam rangka pemberian informasi yang berkaitan dengan mual dan muntah pasca anestesi umum pada bedah elektif. 1.4.3. Bagi peneliti selanjutnya yaitu dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian yang berkaitan tentang mual dan muntah pasca anestesi umum pada bedah elektif. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anestesi 2.1.1. Definisi Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan secara inhalasi gas dan cairan yang mudah menguap yang terpenting di antaranya adalah N2O, halotan, enfluran, metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan secara intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin. Munaf, 2008. Dalam tesis Nainggolan 2011, untuk menentukan prognosis ASA American Society of Anesthesiologists membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut: ASA 1, yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi. ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan febris. ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diaktibatkan karena berbagai penyebab. Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi dengan iskemia miokardium. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara darurat dengan mencantumkan tanda darurat E = emergency, misalnya ASA 1 E atau III E. Menurut Kee et al 1996, Anastesi seimbang, suatu kombinasi obat-obatan, sering dipakai dalam anastesi umum. Anestesi seimbang terdiri dari: 1. Hipnotik diberikan semalam sebelumnya 2. Premedikasi, seperti analgesik narkotik atau benzodiazepin misalnya, midazolam dan antikolinergik contoh, atropin untuk mengurangi sekresi diberikan kira-kira 1 jam sebelum pembedahan 3. Barbiturat dengan masa kerja singkat, seperti natrium tiopental Pentothal 4. Gas inhalan, seperti nitrous oksida dan oksigen 5. Pelemas otot jika diperlukan

2.1.2 Tahap-tahap Anestesi

Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I stadium induksi atau eksitasi volunter, dimulai dari pemberian agen anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II stadium eksitasi involunter, dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium III pembedahanoperasi, terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot perut relaksasi. Stadium IV paralisis medulla oblongata atau overdosis,ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal Munaf, 2008. Tabel 2.1. Tahap Anestesi Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Tahap Nama Keterangan 1 Analgesia Dimulai dengan keadaan sadar dan diakhiri dengan hilangnya kesadaran. Sulit untuk bicara; indra penciuman dan rasa nyeri hilang. Mimpi serta halusinasi pendengaran dan penglihatan mungkin terjadi. Tahap ini dikenal juga sebagai tahap induksi 2 Eksitasi atau delirium Terjadi kehilangan kesadaran akibat penekananan korteks serebri. Kekacauan mental, eksitasi, atau delirium dapat terjadi. Waktu induksi singkat. 3 Surgical Prosedur pembedahan biasanya dilakukan pada tahap ini 4 Paralisis medular Tahap toksik dari anestesi. Pernapasan hilang dan terjadi kolaps sirkular. Perlu diberikan bantuan ventilasi. Sumber: E, B, C, et al., 2008. Anestesiologi. Edisi 10. Jakarta: EGC.

2.1.3. Sifat-Sifat Anestesi Umum yang Ideal

Sifat anestesi umum yang ideal adalah: 1 bekerja cepat, induksi dan pemilihan baik, 2 cepat mencapai anestesi yang dalam, 3 batas keamanan lebar; 4 tidak bersifat toksis. Untuk anestesi yang dalam diperlukan obat yang secara langsung mencapai kadar yang tinggi di SSP obat intravena atau tekanan parsial yang tinggi di SSP obat ihalasi. Kecepatan induksi dan pemulihan bergantung pada kadar dan cepatnya perubahan kadar obat anastesi dalam SSP Munaf, 2008.

2.1.4. Anestesi Cair yang Menguap  Halotan

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Efek terhadap Sistem dalam Tubuh a. Kardiovaskular Depresi miokard bergantung pada dosis, penurunan otomatisitas sistem konduksi, penurunan aliran darah ginjal dan splanknikus dari curah jantung yang berkurang, serta pengurangan sensitivitas miokard terhadap aritmia yang diinduksi katekolamin yang menyebabkan terjadinya hipotensi untuk menghindari efek hipotensi yang berat selama anestesi, yang dalam hal ini perlu diberikan vasokonstriktor langsung, seperti fenileprin Munaf, 2008. b. Pernapasan Depresi respirasi terkait dengan dosis yang dapat menyebabkan menurunnya volume tidal dan sensitivitas terhadap pengaturan respirasi yang dipacu oleh CO2. Pemberian bronkodilator poten sangat baik untuk mengurangi spasme bronkus Munaf, 2008. c. Susunan Saraf Pusat Hilangnya autoregulasi aliran darah serebral yang menyebabkan tekanan intrakranial menurun Munaf, 2008. d. Ginjal Menurunnya GFR, dan berkurangnya aliran darah ke ginjal disebabkan oleh curah jantung yang menurun Munaf, 2008. e. Hati Aliran darah ke hati menurun Munaf, 2008. f. Uterus Menyebabkan relaksasi otot polos uterus; berguna dalam manipulasi kasus obstetrik misalnya penarikan plasenta Munaf, 2008. Metabolisme Sebanyak 80 hilang melalui gas yang dihembuskan, 20 melalui metabolisme di hati. Metabolit berupa bromida dan asam trifluoroasetat Munaf, 2008. Keuntungan dan Kerugian potensi anestesi umum kuat, induksi dan penyembuhan baik, iritasi jalan napas tidak ada, serta bronkodilator yang sangat baik. Sedangkan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara kerugiannya adalah depresi miokard dan pernapasan, sensitisasi miokard terhadap aritmia yang diinduksi oleh katekolamin, serta aliran darah serebral menurun yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial Munaf, 2008. Indikasi Klinik Halotan digunakan secara ekstensif dalam anestesia anak karena ketidakmampuannya menginduksi inhalasi secara cepat dan status asmatikus yang refraktur. Obat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit intrakranial Munaf, 2008. Efek sampingToksisitas a. Hepatitis halotan: kejadian 130.000 dari pemberian; pasien yang mempunyai resiko adalah yang mengalami obesitas, wanita usia muda lebih banyak terjadi dengan periode waktu yang singkat; ditandai dengan nekrosis sentrilobuler; uji fungsi hati abnormal dan eosinofilia. Sindrom ini dapat juga terjadi dengan isofluran dan etran Munaf, 2008. b. Hipertermi maligna: suatu sindrom yang ditandai dengan peningkatan suhu tubuh secara belebihan, rigiditas otot rangka, serta dijumpai asidosis metabolik. Secara umum, hal ini berakibat fatal kecuali jika diobati dengan dantrolen yang merupakan pelemas otot yang mencegah Ca dari retikulum sarkoplasmik Munaf, 2008.  Enfluran Efek terhadap Sistem dalam Tubuh a. Kardiovaskular Depresi miokard bergantung pada dosis, vasodilator arterial, dan sensitisasi ringan miokard terhadap katekolamin Munaf, 2008. b. Respirasi Depresi pernapasan bergantung pada dosis; hipoksia ablasia yang disebabkan oleh bronkodilator Munaf, 2008. c. Susunan Saraf Pusat Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Dapat menimbulkan kejang pada kadar enfluran tinggi dengan tekanan parsial CO2 PCO2 menurun hipokarbia; vasodilatasi serebral dengan meningkatnya tekanan intrakranial Munaf, 2008. d. Ginjal Aliran darah ginjal dan GFR menurun Munaf, 2008. Metabolisne Sebanyak 2 enfluran dimetabolisme di hati, metabolit utama, yaitu fluorida mempunyai potensi untuk menimbulkan nefrotoksis sangat jarang digunakan secara klinis Munaf, 2008. Keuntungan dan kerugian Secara klinis, enfluran merupakan bronkodilator yang baik, respons kardiovaskular stabil, kecenderungan aritmia jantung minimal, dan tidak mengiritasi saluran napas. Sedangkan kerugiannya adalah Enfluran mempunyai potensi aktivitas kejang. Kontraindikasi pada pasien dengan tekanan intrakranial yang meningkat disertai dengan gangguan patologik intrakranial Munaf, 2008.  Isofluran Efek terhadap Sistem dalam Tubuh a. Kardiovaskular Terjadi depresi miokard yang ringan dan bergantung pada dosis, sedangkan curah jantung biasanya normal disebabkan sifat vasodilatasinya, sensitisasi miokard minimal terhadap katekolamin, dapat menyebabkan coronary steal oleh vasodilatasi normal pada stenosis dengan aliran yang berlebihan Munaf, 2008. b. Respirasi Depresi respons terhadap CO2 bergantung pada dosis, hipoksia ventilasi, bronkodilator, iritasi sedang pada jalan napas Munaf, 2008. c. Ginjal Glomerular Filtration Rate GFR dan aliran darah ginjal rendah disebabkan tekanan arterial menengah yang menurun Munaf, 2008. d. Susunan Saraf Pusat Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Efek minimal pada otoregulasi serebral, konsumsi oksigen metabolik serebral menurun, dan merupakan obat pilihan untuk bedah saraf Munaf, 2008. Metabolisme Hanya 0,2 yang dimetabolisme di hati, selebihnya diekskresikan pada waktu ekspirasi dalam bentuk gas Munaf, 2008. Keuntungan dan Kerugian Keadaan kardeiovaskular stabil, tidak bersifat aritmogenik, tekanan ntrakranial tidak meningkat, bronkodilator. Sedangkan kerugiannya adalah Iritasi jalan napas sedang Munaf, 2008.  Sevofluran Sevofluran merupakan fluorokarbon dengan bau yang tidak begitu menyengat, dan tidak begitu mengiritasi saluran napas, serta absorpsinya cepat. Indikasi klinik: sebagai anestesi umum untuk melewati stadium 2 dan untuk pemeliharaan umum Munaf, 2008. Tabel 2.2. Obat Sevofluran Obat Aritmia Sensitivitas terhadap katekolamin Curah jantung Tekanan Darah Refleks Respirasi Toksisitas pada Hepar Halotan ↑ ↑ ↓ ↓ ↓ +++ Enflura n ↑ ↑ ↓ ↓ ↓ + Isoflura n -- -- ↓ ↓ ↑stimulasi awal -- Sevoflur an -- -- -- -- -- -- Nitrogen oksida -- -- -- -- -- -- Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC.

2.1.5. Anestesi Intravena

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Pada suatu operasi biasanya digunakan anestesi intravena untuk induksi cepat melewati stadium II, dilanjutkan stadium III, dan dipertahankan dengan suatu anestesi umum per inhalasi. Karena anestesi IV ini cepat menginduksi stadium anestesi, penyuntikan harus dilakukan secara perlahan-lahan Kee, et al 1996. Tabel 2.3. Anestesi Intravena Obat Waktu induksi Pertimbangan Pemakaian Natrium tiopental Cepat Masa kerja singkat. Dipakai untuk induksi cepat pada anestesi umum. Membuat pasien tetap hangat, karena dapat terjadi tremor. Dapat menekan pusat pernapasan dan mungkin diperlukan bantuan ventilasi Natrium Tiamilal Cepat Dipakai untuk induksi anestesi dan anestesi untuk terapi elektrosyok Droperidol Sedang sampai cepat Sering digunakan bersama anaestesi umum. Dapat juga dipaki sebagai obat preanestetik Ketamin Hidroklorida Cepat Dipakai untuk pembedahan jangka singkat atau untuk induksi pembedahan. Obat ini meningkatkan salivasi, tekanan darah, dan denyut jantung Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC.

2.1.6. Anestesi Gas

Tabel 2.4. Anestesi Gas Obat Waktu Induksi Pertimbangan pemakaian Nitrous oksida Sangat cepat Pemulihan cepat. Mempunyai efek yang minimal pada kardiovaskular. Harus diberikan bersama-sama oksigen. Potensi rendah Siklopropan Sangat cepat Sangat mudah terbakar dan meledak. Jarang digunakan Sumber: Omoigui, S., 2009. Buku Saku Obat-Obatan. Edisi 11. Jakarta: EGC.

2.1.7. Penggolongan Muscle Relaxant

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri. Relaksan otot adalah obat yang mengurangi ketegangan otot dengan bekerja pada saraf yang menuju otot misalnya kurare, suksinilkolin Grace, 2006. Berdasarkan perbedaan mekanisme kerja dan durasi kerjanya obat-obat pelumpuh otot dapat dibagi menjadi obat pelumpuh otot depolarisasi meniru aksi asetilkolin dan obat pelumpuh otot nondepolarisasi mengganggu kerja asetilkolin. Obat pelumpuh otot nondepolarisasi dibagi menjadi 3 grup lagi yaitu obat kerja lama sedang dan singkat. Obat-obat pelumpuh otot dapat berupa senyawa benzilisokuinolin atau aminosteroid. Obat- obat pelumpuh otot membentuk blokade saraf-otot fase I depolarisasi blokade saraf-otot fase II depolarisasi atau nondepolarisasi Rachmat, et al., 2004.

2.1.7.1 Muscle Relaxant Golongan Depolarizing

Pelumpuh otot depolarisasi bekerja seperti asetilkolin, tetapi di celah sinaps tidak dirusak dengan asetilkolinesterase sehingga bertahan cukup lama menyebabkan terjadinya depolarisasi yang ditandai dengan fasikulasi yang diikuti relaksasi otot lurik. Termasuk golongan ini adalah suksinilkolin diasetil-kolin dan dekametonium. Didalam vena, suksinil kolin dimetabolisme oleh kolinesterase plasma,pseudokolinesterase menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase prostigmin dikontraindikasikan karena menghambat kerja pseudokolinesterase Mangku, 2010.

A. Suksinilkolin diasetilkolin, suxamethonium

Suksinilkolin terdiri dari 2 molekul asetilkolin yang bergabung. obat ini memiliki onset yang cepat 30-60 detik dan duration of action yang pendek kurang dari 10 menit. Ketika suksinilkolin memasuki sirkulasi, sebagian besar dimetabolisme oleh pseudokolinesterase menjadi suksinilmonokolin. Proses ini sangat efisien, sehingga hanya fraksi kecil dari dosis yang dinjeksikan yang mencapaineuromuscular junction. Duration of action akan memanjang pada dosis besar atau dengan metabolisme abnormal, seperti hipotermia atau rendanya level pseudokolinesterase. Rendahnya level pseudokolinesterase ini ditemukan pada kehamilan, penyakit hati, gagal ginjal dan beberapa terapi obat. Pada beberapa Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara orang juga ditemukan gen pseudokolinesterase abnormal yang menyebabkan blokade yang memanjang Mangku, 2010.

B. Ciri Kelumpuhan

a. Ada fasikulasi otot. b. Berpotensiasi dengan antikolinesterase. c. Kelumpuhan berkurang dengan pemberian obat pelumpuh otot non depolarisasi dan asidosis. d. Tidak menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal maupun tetanik. e. Belum diatasi dengan obat spesifik

2.1.7.2. Muscle Relaxant Golongan Non Depolarizing.

Bekerja berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik tanpa menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja Latief, dkk, 2007. Farmakokinetik obat pelumpuh otot nondepolarisasi dihitung setelah pemberian cepat intravena. Rerata obat pelumpuh otot yang hilang dari plasma dicirikan dengan penurunan inisial cepat distribusi ke jaringan diikuti penurunan yang lebih lambat klirens. Meskipun terdapat perubahan distribusi dalam aliran darah anestesi inhalasi memiliki sedikit efek atau tidak sama sekali pada farmakokinetik obat pelumpuh otot. Peningkatan blok saraf-otot oleh anestesi volatil mencerminkan aksi farmakodinamik seperti dimanifestasikan oleh penurunan konsentrasi plasma obat pelumpuh otot yang dibutuhkan untuk menghasilkan tingkat blokade saraf tertentu dengan adanya anestesi volatile. Bila volume distribusi menurun akibat peningkatan ikatan protein dehidrasi atau perdarahan akut dosis obat yang sama menghasilkan konsentrasi plasma yang lebih tinggi dan potensi nyata akumulasi obat. Waktu paruh eliminasi obat pelumpuh otot tidak dapat dihubungkan dengan durasi kerja obat-obat ini saat Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara diberikan sebagai injeksi cepat intravena Lunn, 2004. Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot non depolarisasi digolongkan menjadi: 1. Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurium, atrakurium, doksakurium, mivakurium. 2. Steroid: pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium, rokuronium. 3. Eter-fenolik : gallamin. 4. Nortoksiferin : alkuronium. Tabel 2.5. Obat Pelumpuh Otot Berdasarkan maka pelumpuh otot non depolarisasi dibagi menjadi kerja panjang, sedang, dan pendek:lama kerja, Dosis Awal mgkg Dosis Rumatan mgkg Durasi menit Efek Samping Non Depol Long Acting 1. D-tubokurarin 2. Pankuronium 3. Metakurin 4. Pipekuronium 5. Doksakurium 6. Alkurium 0.40 – 0.60 0.08 – 0.12 0.20 - 0.40 0.05 – 0.12 0.02 – 0.08 0.15 – 0.30 0.10 0.15 – 0.20 0.05 0.01 – 0.015 0.005 – 0.010 0.05 30 – 60 30 – 60 40 – 60 40 – 60 45 – 60 40 – 60 Hipotensi Vagolitik,takikardi Hipotensi Kardiovaskuler stabil Kardiovaskuler stabil Vagolitik, takikardi Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Non depol Intermediate 1. Gallamin 2. Atrakurium 3. Vekuronium 4. Rokuronium 5. Cistacuronium 4 – 6 0.5 – 0.6 0.1 – 0.2 0.6 – 0.1 0.15 – 0.20 0.5 0.1 0.015 – 0.02 0.10 – 0.15 0.02 30 – 60 20 – 45 25 – 45 30 – 60 30 – 45 Hipotensi Aman untuk hepar Berdasarkan lama kerja, maka pelumpuh otot non depolarisasi dibagi menjadi kerja panjang, sedang, dan pendek: Dosis Awal mgkg Dosis Rumatan mgkg Durasi menit Efek Samping Non Depol Short Acting 1. Mivakurium 2. Ropacuronium 0.20 – 0.25 1.5 – 2.0 0.05 0.3 – 0.5 10 – 15 15 – 30 Depol Short Acting 1. Suksinilkolin 1 3 – 10 Sumber: Mangku, dr, Sp. An. KIC Senapathi, dr, Sp. An., 2010. Buku Ajar Ilmu Anestesi dan Reanimasi . Jakarta: PT. Indeks. Ciri Kelumpuhan Otot Non Depolarisasi Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara a. Tidak ada fasikulasi otot. b. Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi eter, halotan, enfluran, isofluran c. Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal atau tetanik. d. Dapat diantagonis oleh antikolinesterase.

2.1.8. Penawar Pelumpuh Otot

Antikolinesterase bekerja dengan menghambat kolinesterase sehingga asetilkolin dapat bekerja. Antikolinesterase yang paling sering digunakan adalah neostigmin dosis 0,04-0,08 mgkg, piridostigmin dosis 0,1-0,4 mgkg dan edrophonium dosis 0,5-1,0 mgkg, dan fisostigmin yang hanya untuk penggunaan oral dosis 0,01-0,03 mgkg. Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik sehingga menyebabkan hipersalivasi, keringatan, bradikardi, kejang bronkus, hipermotilitas usus dan pandangan kabur sehingga pemberiannya harus disertai vagolitik seperti atropine dosis 0,01-0,02mgkg atau glikopirolat dosis 0,005-0,01 mgkg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa Mangku, 2010.

2.1.9. Analgesik

Menurut kamus perobatan Oxford 2011, obat anti nyeri bermaksud suatu obat yang meredakan rasa nyeri. Obat anti nyeri ringan aspirin dan parasetamol digunakan untuk meredakan nyeri kepala, nyeri gigi dan nyeri reumatik ringan manakala obat anti nyeri yang lebih poten narkotika atau opioid seperti morfin dan petidin hanya digunakan untuk meredakan nyeri berat memandangkan ia bisa menimbulkan gejala dependensi dan toleransi. Sesetengah analgesik termasuk aspirin, indometasin dan fenilbutazon bisa juga meredakan demam dan inflamasi serta digunakan dalam kondisi rematik.

a. Jenis-Jenis Analgesik

Berdasarkan sifat farmakologisnya, obat anti nyeri analgesika dibagi kepada dua kelompok yaitu analgesika perifer dan analgesika narkotika. Analgesika perifer non-narkotika terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara bekerja sentral manakala analgesika narkotika digunakan untuk meredakan rasa nyeri hebat misalnya pada pesakit kanker Suleman, 2006.

b. Mekanisme Kerja Obat

1. Obat Anti Inflamasi Nonsteroid OAINS Hampir semua obat AINS mempunyai tiga jenis efek yang penting yaitu : a. Efek anti-inflamatori : memodifikasi reaksi inflamasi b. Efek analgesik : meredakan suatu rasa nyeri c. Efek antipiretik : menurunkan suhu badan yang meningkat. Secara umumnya, semua efek-efek ini berhubungan dengan tindakan awal obat-obat tersebut yaitu penghambatan arakidonat siklooksigenase sekaligus menghambat sintesa prostaglandin dan tromboksan Rang et al., 2007. Terdapat dua tipe enzim siklooksigenase yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang dihasilkan oleh kebanyakan jaringan termasuklah platlet darah Rang et al., 2007. Enzim ini memainkan peranan penting dalam menjaga homeostasis jaringan tubuh khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. COX-2 pula diinduksi dalam sel-sel inflamatori diaktivasi. Dalam hal ini, stimulus inflamatoar seperti sitokin inflamatori primer yaitu interleukin-1 IL- 1 dan tumour necrosis factor- α TNF- α, endotoksin dan faktor pertumbuhan growth factors yang dilepaskan menjadi sangat penting dalam aktivasi enzim tersebut.Ternyata sekarang COX-2 juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal, jaringan vaskular dan pada proses pembaikan jaringan. Tromboksan A2, yang disentesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi dan proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin yang disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek anti-proliferatif Fendrick et al., 2008.

2. Obat Anti Inflamasi Steroid

Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Morgan Jr GE, Michail MS, Murray MJ 2006, Menjelaskan bahwa opioid didefinisikan sebagai senyawa dengan efek yang diantagonis oleh nalokson.

a. Analgesik Opioid Kuat