adanya lebar perairan yang kurang dari 24 mil laut yang membatasi wilayah RI dengan Malaysia, dengan Singapura serta dengan Philipina, maka dengan
perairan-peraira n tertentu negara kita tidak memiliki ”Jalur Tambahan”.
Pada jalur tambahan tersebut, NKRI mempunyai kewenangan- kewenangan tertentu untuk :
1. Mencegah pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tentang ke-Bea-an, perpajakan fiskal, imirasi, mau
pun ”sanitary”, yang berlaku di wilayah atau laut wilayah RI.
2. Menindak pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tersebut diatas yang dilakukan di wilayah atau laut wilayah RI.
3. Laut teritorial
Dalam pasal 3 ayat 2 undang-undang perairan Indonesia disebutkan bahwa, “Laut Teritorial adalah jalur laut selebar 12 dua belas mil laut yang
diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud pasal 5”. Pasal 5 yang dimaksud adalah tentang ketentuan dan tata cara penarikan garis
pangkal kepulauan Indonesia. Definisi laut teritorial yang terdapat dalam UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia ini adalah mengikuti ketentuan yang
tercantum dalam UNCLOS 1982. Dalam ketentuan ini UNCLOS III, batas laut teritorial tidak melebihi
batas 12 mil laut diukur dari garis pangkal normal. Untuk negara-negara kepulauan yang mempunyai karang-karang di sekitarnya, garis pangkalnya adalah
garis pasang surut dari sisi karang ke arah laut. Bagian ini juga membahas tentang
Universitas Sumatera Utara
perairan kepulauan, mulut sungai, teluk, instalasi pelabuhan, penetapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau
berdampingan serta lintas damai.
4. Laut Tambahan
Zona tambahan didalam pasal 24 1 UNCLOS III dinyatakan bahwa suatu zona dalam laut lepas yang bersambungan dengan laut teritorial negara pantai
tersebut dapat melaksanakan pengawasannya yang dibutuhkan untuk: 1. Mencegah
pelanggaran-pelanggaran perundang-undangannya
yang berkenaan dengan masalah bea cukai customs, perpajakan fiskal,
keimigrasiandan kesehatan atau saniter. 2. Menghukum pelanggaran-pelanggaran atau peraturan-peraturan perundang-
undangannya tersebut di atas. Didalam ayat 2 ditegaskan tentang lebar maksimum dari zona tambahan tidak
boleh melampaui dari 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Hal ini berarti bahwa zona tambahan itu hanya mempunyai arti bagi negara-negara yang mempunyai
lebar laut teritorial kurang dari 12 mil laut ini menurut konvensi Hukum Laut Jenewa 1958, dan sudah tidak berlaku lagi setelah adanya ketentuan baru dalam
Konvensi Hukum Laut 1982. Menurut pasal 33 ayat 2 Konvensi Hukum Laut 1982, zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, dari garis pangkal dari
mana lebar laut teritorial itu diukur. Berikut ini beberapa hal guna memperjelas tentang letak zona tambahan itu:
Universitas Sumatera Utara
Pertama, Tempat atau garis dari mana lebar jalur tambahan itu harus diukur, tempat atau garis itu adalah garis pangkal.
Kedua, Lebar zona tambahan itu tidak boleh melebihi 24 mil laut, diukur dari garis pangkal.
Ketiga, Oleh karena zona laut selebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal adalah merupakan laut teritorial, maka secara praktis lebar zona tambahan itu
adalah 12 mil 24-12 mil laut, itu diukur dari garis atau batas luar laut territorial, dengan kata lain zona tambahan selalu terletak diluar dan berbatasan dengan laut
teritorial.
Keempat, Pada zona tambahan, negara pantai hanya memiliki yurisdiksi yang terbats seperti yang ditegaskan dalam pasal 33 ayat 1 Konvensi Hukla 1982. Hal
ini tentu saja berbeda dengan laut teritorial dimana negara pantai di laut teritorial memiliki kedaulatan sepenuhnya dan hanya dibatasi oleh hak lintas damai.
5. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ZEEI