dengan Republik Portugal mengenai masalah Timor Timur. Serta tidak berlakunya lagi Ketetapan Majelis Permusyarakatan Rakyat Republik Indonesia
Nomor VIMPR1978 tentang Pengukuhan Penyatuan Wilayah Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka Peraturan Pemerintah Nomor
38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia mengalami perubahan terutama pada bagian lampirannya.
Sehingga ditetapkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat
Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.
B. Penarikan Garis Pangkal Pantai Indonesia
Indonesia memiliki undang-undang tersendiri mengenai jalur-jalur hukum laut Indonesia, hal ini dibuat agar tidak ada kesalahpahaman antara Indonesia
dengan negara-negara tetangga, berikut jalur-jalur laut Indonesia.
1. Perairan Kepulauan
Dalam pasal 3 ayat 3 undang-undang perairan Indonesia disebutkan bahwa, “Perairan Kepulauan Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada
sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya dari pantai.” Karena Konvensi Hukum Laut Internasional UNCLOS III
sudah mengakui konsep negara kepulauan archipelagic state maka perairan kepulauan Indonesia juga masuk kedalam perlindungan hukum laut internasional
sebagaimana halnya negara-negara kepulauan lainnya.
Universitas Sumatera Utara
2. Perairan Pedalaman
Dalam pasal 8 ayat 1 United Nations Conventions on the Law of the Sea UNCLOS 1982 disebutkan bahwa yang dinamakan Perairan Pedalaman
adalah perairan pada sisi darat garis pangkal laut teritorial. Pasal tersebut selengkapnya berbu
nyi, “perairan pada sisi darat garis pangkal laut territorial merupakan bagian perairan pedalaman negara tersebut”. Sedangkan dalam pasal 3
4 UU No. 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia disebutkan bahwa, “Perairan Pedalaman Indonesia adalah semua perairan yang terletak pada sisi
darat dari garis air rendah dari pantai-pantai Indonesia, termasuk kedalamnya semua bagian dari perairan yang terletak pada sisi darat dari suatu garis penutup
sebagaimana dimaksud dalam pasal 7. Perairan Pedalaman Indonesia terdiri atas: laut pedalaman, dan perairan darat.
Selanjutnya, laut pedalaman menurut pengertian undang-undang ini adalah bagian laut yang terletak pada sisi darat dari garis penutup, pada sisi laut dan
garis air rendah. Sedangkan Perairan Darat adalah segala perairan yang terletak pada sisa darat dari garis air rendah, kecuali pada mulut sungai perairan darat
adalah segala perairan yang terletak pada sisi darat dari garis penutup mulut sungai.
Perincian dari Perairan Indonesia berdasarkan ketentuan-ketentuan dari UU No. 4Prp tahun 1960 sekarang UU No. 6 Tahun 1996, hukum laut secara
tradisional mengadakan pembagian laut atas laut lepas, laut wilayah dan perairan pedalaman. Di laut lepas, terdapat rezim kebebasan berlayar bagi semua kapal, di
Universitas Sumatera Utara
laut wilayah berlaku rezim lintas damai bagi kapal-kapal asing dan di perairan pedalaman hak lintas damai ini tidak ada.
Sedangkan bagi Indonesia, karena adanya bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah yang menjadi laut pedalaman karena penarikan garis dasar lurus dari
ujung ke ujung, pembagian perairan Indonesai agak sedikit berbeda dengan negara-negara lain. Sesuai dengan UU No. 4 Perp Tahun 1960 tersebut, perairan
Indonesia terdiri dari laut wilayah dan perairan Pedalaman. Perairan pedalaman ini dibagi pula atas laut pedalaman dan perairan daratan.
Mengenai hak lintas damai di laut wilayah, tidak ada persoalan karena telah merupakan suatu ketentuan yang telah diterima dan dijamin oleh hukum
internasional. Dilaut wilayah perairan Indonesia, kapal semua negara baik berpantai atau tidak berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut teritorial
pasal 17 konvensi. Selanjutnya, Indonesia membedakan perairan pedalaman perairan kepulauan atas dua golongan, yaitu:
1. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya Undang-Undang No. 4Prp Tahun 1960 merupakan laut wilayah atau laut bebas. Perairan pedalaman ini
disebut laut pedalaman atau internal seas. 2. Perairan pedalaman yang sebelum berlakunya UU No. 4Prp Tahun 1960 ini
merupakan laut pedalaman yang dahulu, selanjutnya dinamakan perairan daratan atau coastal waters.
Di laut pedalaman ini, pemerintah Indonesia menjamin hak lintas damai kapal-kapal asing. Sebagaimana kita ketahui, laut pedalaman ini dulunya adalah
bagian-bagian laut lepas atau laut wilayah dan sudah sewajarnya kita berikan hak
Universitas Sumatera Utara
lintas damai kepada kapal-kapal asing. Ketentuan yang juga dinyatakan oleh Konvensi Jenewa, dan yang ditegaskan pula oleh pasal 8 Konvensi 1982. Di
perairan daratan tidak ada hak lintas damai. Ini adalah suatu hal yang wajar karena kedekatannya dengan pantai seperti anak-anak laut, muara-muara sungai, teluk-
teluk yang mulutnya kurang dari 24 mil, pelabuhan-pelabuhan, dan lain- lainnya. Sebagai tambahan, pemerintah Indonesia pada tahun 1985 telah
meratifikasi UNCLOS III1982 ini dengan mengeluarkan UU No 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea yang
ketiga. Sebagai bahan perbandingan dalam mempelajari perkembangan wacana
hukum laut, khususnya yang membahas tentang laut teritorial dan jalur tambahan dalam era yang berbeda, berikut ini akan dikaji perbedaan antara Konvensi
Jenewa 1957 dengan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 UNCLOS III 1982 yang khusus membahas tentang Laut Territorial dan Jalur
Tambahan ; Konvensi Jenewa 1957 yang membahas tentang Laut Territorial dan Jalur
Tambahan meneguhkan beberapa azas tentang laut territorial yang telah berkembang sejak lahirnya hukum laut internasional dan memperoleh
perumusannya yang jelas dalam konferensi kodifikasi Den Haag tahun 1930. Dalam beberapa hal, Konvensi ini memuat ketentuan-ketentuan yang
merupakan perkembangan baru dalam hukum laut internasional publik. Yang terpenting diantaranya adalah ketentuan-ketentuan dalam pasal 3, 4, dan 5
mengenai penarikan garis pangkal.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 1: menyatakan bahwa laut teritorial yang merupakan suatu jalur yang terletak disepanjang pantai suatu negara berada dibawah kedaulatan negara.
Pasal 2: menyatakan bahwa kedaulatan negara atas laut teritorial hanya meliputi juga ruang udara diatasnya dan dasar laut serta tanah dibawah dasar laut.
Pasal 3: memuat ketentuan mengenai garis pasang surut low water mark sebagai garis pangkal biasa
“normal” base-line. Pasal 4: mengatur garis pangkal lurus dari ujung ke ujung straight base-lines
sebagai cara penarikan garis pangkal yang dapat dilakukan dalam keadaan- keadaan tertentu. Dalam penjabarannya, ayat 1 menetapkan dalam hal-hal
mana dapat dipergunakan sistem penarikan garis pangkal lurus, yakni: 1.
Ditempat-tempat dimana pantai banyak liku-liku tajam atau laut masuk jauh kedalam.
2. Apabila terdapat deretan pulau yang letaknya tak jauh dari pantai.
Ayat selanjutnya 2, 3, dan 5 memuat syarat-syarat yang harus diperhatikan di dalam menggunakan penarikan garis pangkal menurut sistem garis
pangkal lurus dari ujung ke ujung. Syarat pertama adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh menyimpang
terlalu banyak dari arah umum daripada pantai dan bahwa bagian laut yang terletak pada sisi dalam sisi darat garis-garis demikian harus cukup dekat pada
wilayah daratan untuk dapat diatur oleh rezim perairan pedalaman, ayat 2. Syarat kedua adalah bahwa garis-garis lurus tidak boleh diantara dua pulau
atau bagian daratan yang hanya timbul diatas permukaan air diwaktu pasang surut low-tide elevations kecuali apabila diatasnya telah didirikan mercusuar-
Universitas Sumatera Utara
mercusuar atau instalasi-instalasi serupayang setiap waktu ada diatas permukaan air ayat 3.
Syarat ketiga adalah bahwa penarikan garis pangkal tidak boleh dilakukan sedemikian rupa hingga memutuskan hubungan laut wilayah negara lain dengan
laut lepas. ayat 5. Ayat 4 dapat dianggap sebagai tambahan pada ketentuan ayat 1 mengenai
penetapan garis lurus sebagai garis pangkal. Ayat ini menetapkan bahwa dalam menetapkan garis pangkal lurus demikian dapat diperhatikan kebutuhan-
kebutuhan istimewa yang bersifat ekonomis daripada suatu daerah yang dapat dibuktikan
dengan kebiasaan-kebiasaan
dan kebutuhan
yang telah
berlangsung lama. Ketentuan dalam ayat 1 yang menyatakan”……., ditempat-tempat dimana,
dan seterusnya….,” menunjukan bahwa sistem garis pangkal lurus adalah cara penarikan garis pangkal istimewa yang dapat dipergunakan oleh suatu negara.
Sifat istimewa daripada garis pangkal lurus tampak dengan lebih jelas apabila kita hubungkan ayat 1 ini dengan pasal 3 yang menyatakan garis pasang surut
sebagai garis pangkal biasa normal base-line. Ketentuan ini berarti suatu negara dapat emnggunakannya disebagian pantainya yang memenuhi syarat-syarat ayat
1. Sebagaimana diketahui keputusan-keputusan Konvensi I mengenai garis
pangkal lurus ini didasarkan atas keputusan Mahkamah Internasional tanggal 28 Desember 1951 dalam perkara Sengta Perikanan antara Inggris dan Norwegia
Anglo-Norwegian Fisheries Case.
Universitas Sumatera Utara
Dengan dimuatnya ketentuan mengenai penarikan garis pangkal lurus ini dalam konvensi mengenai “Laut Territorial dan Zona Tambahan”, maka isi
keputusan Mahkamah Internasional tersebut yang berdasarkan pada pasal 59, tidak mengikat kecuali terhadap pihak-pihak yang bersengketa dan berkenaan
dengan perkara yang bersangkutan”, kini telah diakui menjadi suatu cara penarikan garis pangkal yang
– dengan syarat-syarat tertentu – berlaku umum.[4] Sedangkan ketentuan mengenai laut teritorial yang tercantum dalam
UNCLOS IIII1982 menjelaskan bahwa, kedaulatan negara pantai selain diwilayah daratan dan perairan pedalamannya, perairan kepulauannya, juga
meliputi laut teritorial, ruang udara diatasnya dan dasar laut serta lapisan tanah dibawahnya.
Batas laut teritorial tidak melebihi batas 12 mil laut diukur dari garis pangkal normal. Untuk negara-negara kepulauan yang mempunyai karang-
karang disekitarnya, garis pangkalnya adalah garis pasang surut dari sisi karang ke arah laut. Bagian ini juga membahas tentang perairan kepulauan, mulut sungai,
teluk, instalasi pelabuhan, penetapan garis batas laut teritorial antara negara- negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan serta lintas damai.
Mengenai zona tambahan, menentukan bahwa negara pantai dalam zona tersebut bisa melaksanakan pengawasan yang diperlukan guna mencegah
pelanggaran undang-undang menyangkut bea cukai, fiskal, imigrasi, dan saniter dalam wilayahnya, namun tidak boleh lebih dari 24 mil laut. Artinya, untuk zona
tambahan, jaraknya diperluas selebar 12 mil laut diukur dari batas laut teritorial.
Universitas Sumatera Utara
Sebagaimana pernah disebutkan diatas, suatu negara mempunyai kedaulatan yang penuh dalam perairan teritorialnya dan dapat menyelenggarakan
serta menjalankan tindakan-tindakan seperlunya untuk menjamin antara lain: a. Pertahanan keselamatan negara terhadap gangguan serangan dari luar;
b. Pengawasan atas keluar masuknya orang asing imigrasi; c. Penyelenggaraan peraturan fiskal bea dan cukai;
d. Pekerjaan dilapangan kesehatan karantina; e. Kepentingan perikanan
f. Pertambangan dan hasil-hasil alam lainnya. Oleh karena itu, penentuan lebar laut 3 mil yang tercantum dalam
“Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie
tahun 1939” yang dalam pasal 1 ayat 1 a.l. menyatakan bahwa “laut territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis
air rendah laagwaterlijn daripada pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan grondgebied
dari Indonesia………..” dirasakan tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang dan dirasakan sudah tidak cukup lagi
untuk menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan negara Indonesia yang biasanya diselenggarakan dalam batas lautan territorial suatu negara. Oleh
karena itu, pada tahun 1996 pemerintah RI mengeluarkan UU No 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia sebagai tindak lanjut dari kesepakatan UNCLOS
III1982 yang menetapkan batas laut teritorial seluas 12 mil laut. Menurut ICNT, yang dimaksud dengan ”Jalur Tambahan” adalah suatu
daerah laut yang berdekatan dengan laut wilayah, yang lebarnya tidak lebih dari 24 mil laut dihitung dari garis dasar, dari mana lebar laut wilayah diukur. Dengan
Universitas Sumatera Utara
adanya lebar perairan yang kurang dari 24 mil laut yang membatasi wilayah RI dengan Malaysia, dengan Singapura serta dengan Philipina, maka dengan
perairan-peraira n tertentu negara kita tidak memiliki ”Jalur Tambahan”.
Pada jalur tambahan tersebut, NKRI mempunyai kewenangan- kewenangan tertentu untuk :
1. Mencegah pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tentang ke-Bea-an, perpajakan fiskal, imirasi, mau
pun ”sanitary”, yang berlaku di wilayah atau laut wilayah RI.
2. Menindak pelanggaran atas peraturan-peraturan hukum tersebut diatas yang dilakukan di wilayah atau laut wilayah RI.
3. Laut teritorial