C. Pengaturan Kepemilikan
Pulau Nipa
Menurut Hukum
Laut Internasional
Mengenai kepemilikan pulau Nipa di mata internasional, kita terlebih dahulu harus mengkaji ke belakang untuk mengetahui perbatasan laut teritorial.
ahli-ahli hukum romawi memandang laut sebagai milik bersama umat manusia –
res komunis meskipun sudah di rasakan pada waktu itu bahwa laut sekeliling pantai suatu negara berbeda penggunaannya dengan bagian laut yang lebih jauh,
namun perbedaan yurisdiksi belum ada. Laut sekeliling pantai sejak dahulu di pergunakan oleh setiap negara untuk
lalu-lintas antar kota dengan kota, untuk menangkap ikan, dan juga tempat menyerang sebelum musuh mendarat. Menurut sejarah, salah satu kaedah hukum
internasional yang sangat populer “liberum mare” dan masih relevan hingga kini untuk kegiatan tertentu dalam perairan tertentu yang di cetuskan filosof terkenal
Hugo Grotius, adalah menyangkut perairan Indonesia. Memang dalam pelayaran-pelayaran pertama orang Eropa, sering terdapat
kekeliruan nama, akan tetapi menurut rekonstruksi waktu, hal tersebut memang benar adanya. Diktum Hugo G
rotius “mare liberum” dan doktrin Jhon Sheldon “mare clausum” berkembang bersama-sama di dalam mengisi hak –hak
penggunaan atas laut. Pada “high seas” laut lepas berkembang doktrin mare liberum, meskipun beberapa pembatasan harus di adakan, sedangkan pada
“territorial sea” , “internal waters” dan seterusnya, berkembang doktrin “mare clausum
” meskipun beberapa unsur kebebasan harus pula di berikan.
Universitas Sumatera Utara
Kebutuhan suatu bangsa untuk memperoleh hak atas perairan disepanjang pantai dengan suatu jarak tertentu, rupanya dapat di terima oleh masyarakat
internasional atas dasar untuk keamanan negaranya. Apabila hak-hak ini diakui oleh masyarakat internasional sebagai hak eksklusif negara pantai, maka apakah
ada hak hak lain di atas nya, berapa lebar dan dimana batas-batasnya. Persoalan pertama telah di jawab oleh hukum kebiasaan, yang kemudian di kukuhkan
Konvensi Geneva 1958 yaitu adanya hak lintas damai. Persoalan kedua yaitu tentang lebar laut teritorial tumbuh dengan pandangan yang berbeda. Cornelius
Van Biynkershoek dalam diktum nya menyatakan : Terrae potestas finitur ubi armorum vis. Yang artinya :
“sovereignty of a state ends where the power of arms ends”.
Dalam abad itu, jarak meriam bervariasi antara 1 sampai dengan 2,5 mil, akhirnya mereka yang sependapat dengan hal ini menetapkan lebar laut teritorial 3
mil.
48
Masalah kelautan timbul karena adanya keperluan berbagai pihak yang ingin memanfaatkan segala fasilitas laut. Tumbuh berkembangnyahukum laut
selain karena adanya kepentingan dengan alasan milik bersama, juga perlu di jaga: - kepentingan yang berkaitan dengan keamanan dan stabilitas negara
- terbatasnya sumber daya, apabila kemampuan laut diabaikan - pembagian kepentingan
- menjaga dan menuju pelestarian lingkungan laut dengan segala ekosistemnya
48
Adi Sumardiman, Wilayah Indonesia Dan Dasar Hukum Nya, PT Pradnya paramita, Jakarta, 1992, hal. 59
Universitas Sumatera Utara
- dan sebagainya. Kemudian muncul konvensi-konvensi yang keberadannya diakui secara
internasional, juga adanya kepentingan yang mendesak di masing masing negara yang ditindaklanjuti dengan pembentukan peraturan dengan alasan masing-
masing. Khususnya bagi negara kepulauan sebagaimana halnya Indonesia adanya konvensi hukum laut tahun 1982 yang di selenggarakan oleh PBB di Montego
Bay Jamaica telah menjadi kabar baik dengan pengaruh baru dalam wawasan internasional. Pengukuhan lebar laut teritorial sepanjang maksimal 12 mil laut,
memberikan kesempatan bagi negara pantai untuk melakukan perluasan lautnya. Di sisi lain, pengaruh konvensi tersebut, bahwa laut yang sebelum konvensi
merupakan perairan internasional dan merupakan laut bebas High sea berubah menjadi laut teritorial di bawah kedaulatan suatu negara dengan perlindungan
hukum nasional. Akibatnya negara lain tidak dapat bergerak bebas di perairan tersebut seperti sebelumnya.
Secara rinci, pengaruh konvensi hukum laut tersebut diatas bagi negara pantai maupun negara lainnya sebagai berikut:
1. Dapat membentuk negara kepulauan, menjamin kpentingan negara tersebut.
2. Memberikan kesempatan negara pantai untuk melakukan perluasan wilayah laut
3. Memperluas tanggung jawab negara pantai terhadap lautan. 4. Berkurangnya wilayah laut bebas High sea menjadi laut teritorial.
Universitas Sumatera Utara
5. Mendukung pelestarian lingkungan laut yang harus dijaga oleh hukum nasional suatu negara.
6. Mengurangi kebebasan yang semula ada bagi para pengelola lautan. Didalam menjalankan politik luar negeri yang bebas dan aktif, Indonesia
sebagai negara yang berdaulat juga harus menghormati kedaulatan negara lain. Kedaulatan suatu negara pada prinsipnya harus dipertahankan apabila
menyangkut kepentingan dan prinsip yang dianut oleh negara yang bersangkutan sehingga kerja sama bilateral maupun multilateral didalam bidang ekonomi,
teknologi, keuangan dapat dibina dan dipelihara.
1. Kebiasaan Internasional Kebiasaan disini merupakan suatu pola tindak dari serangkaian tindakan
berulang-ulang, tindakan yang dimaksud adalah berkaitan dengan hubungan internasional. Banyaknya tindakan yang di lakukan itu tidak terbatas, hal ini
tergantung dari situasi dan kondisi setempat serta kebutuhannya. Apabila secara pergaulan internasional sudah cukup mendapatkan pengakuan dalam arti tidak
menimbulkan pertanyaan maupun permasalahan yang dapat berjalan lancar di dalam pergaulan tersebut. Contoh dengan ini diterimanya konsep hukum laut dan
landas kontinen continental shelf di dalam hukum laut internasional sebagai suatu lembaga hukum. Sebagai konsep hukum baru muncul setelah proklamasi
presiden Truman tahun 1945 mengenai continental shelf. Proklamasi ini disusul proklamasi yang serupa oleh negara negara lain pada tahun 1958. Kemudian
Universitas Sumatera Utara
konvensi hukum laut di Jenewa telah menerima konvensi mengenai landas kontinen
49
2. Perjanjian Internasional Perjanjian diadakan oleh bangsa sebagai subyek hukum internasional,
bertujuan untuk menggariskan hak dan kewajiban yang ditimbulkan serta akibat lainnya yang berpengaruh bagi para pihak pembuat perjanjian. Para pihak terikat
dan tunduk pada perjanjian sesuai dengan ketentuan yang menjadi kesepakatan bersama. Perjanjian ini dapat di lakukan antar dua negara bilateral atau lebih
multilateral. Pada umumnya perjanjian dibuat dengan memperhatikan kepentingan para pihak dengan saling menguntungkan dan tidak meninggalkan
landasan-landasan masing masing pihak serta memperhatikan segala ketentuan hukum internasional yang ada.
50
UNCLOS juga mengatur tentang negara kepulauan agar memudahkan negara kepulauan seperti Indonesia mengetahui daerah kedaulatannya. Di dalam
UNCLOS pasal 47 di sebutkan : 1.
Suatu negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik titik terluar pulau dan karang kering termasuk
kepulauan itu., dengan ketentuan bahwa di dalam garis pangkal demikian termasuk pulau pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara
daerahperairan dan daerah daratan, termasuk atol, adalah satu berbanding sembilan dan sembilan berbanding satu.
49
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Bina Cipta 1982, cet.4, hal. 136-137.
50
Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
2. Panjang garis pangkal demikian tidak boleh melebihi 100 mil lat, kecuali
bahwa hingga 3 dari jumlah seluruh pangakal yang mengelilingi setiap kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga pada suatu
perpanjangan maksimum 125 mil laut. 3.
Penarikan garis pangkal demikian tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi uum kepulauan tersebut.
4. Garis pangkal demikian tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut, kecuali
apabila di atasnya telah dibangun mercu suar atau instalasi serupa yang secara permanen berada di atas permukaan laut atau apabila elevasi surut
tersebut terletak seluruhnya atau sebagian pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat.
5. Sistem garis pangkal demikian tidak boleh diterapkan oleh suatu Negara
kepulauan dengan cara yang demikian rupa sehingga memotong laut teritorial Negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.
6. Apabila suatu bagian perairan kepulauan suatu Negara kepulauan terletak di
antara dua bagian suatu Negara tetangga yang langsung berdampingan, hak- hak yang ada dan kepentingan-kepentigan sah lainnya yang dilaksanakan
secara tradisional oleh Negara tersebut terakhir di perairan demikian, serta segala hak yang ditetapkan dalam perjanjian antara Negara-negara tersebut
akan tetap berlaku dan harus dihormati. 7.
Untuk maksud menghitung perbandingan perairan dengan daratan berdasarkan ketentuan ayat 1, daerah daratan dapat mencakup di dalamnya
perairan yang terletak di dalam tebaran karang, pulau-pulau dan atol,
Universitas Sumatera Utara
termasuk bagian plateau oceanik yang bertebing curam yang tertutup atau hampir tertutup oleh serangkaian pulau batu gamping dan karang kering di
atas permukaan laut yang terletak di sekeliling plateau tersebut. 8.
Garis pangkal yang ditarik sesuai dengan ketentuan pasal ini, harus dicantumkan pada peta dengan skala atau skala-skala yang memadai untuk
menegaskan posisinya. Sebagai gantinya, dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-titik yang secara jelas memerinci datum geodetik.
9. Negara kepulauan harus mengumumkan sebagaimana mestinya peta atau
daftar koordinat geografis demikian dan harus menyerahkan satu salinan setiap peta atau daftar itu pada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-
Bangsa. UNCLOS menjadi acuan penyelesaian setiap permasalahan yang berkenaan
dengan hukum wilayah laut. Namun, UNCLOS terakhir pada tahun 1982 yang mulai berlaku pada 16 November 1994 tidak mengatur secara spesifik mengenai
masalah reklamasi. Sehingga, ketentuan dan hukum yang ada dalam UNCLOS harus diinterpretasikan. Berikut beberapa pasal dalam UNCLOS 1982 yang dapat
diinterpretasikan : Pasal 60 ayat 8 mengemukakan bahwa pulau buatan, instalasi, dan bangunan tidak
mempunyai status pulau. Sehingga, tidak mempengaruhi penetapan batas laut territorial, zona ekonomi eksklusif. Dalam hal ini, reklamasi dapat dimasukkan
dalam pulau buatan. Pengukuran dilakukan dari pulau terluar yang alami, bukan dari daratan reklamasi. Melalui penafsiran pasal ini, Indonesia dapat bernafas
lega.
Universitas Sumatera Utara
Namu n, ada pasal yang menyebutkan “untuk tujuan deliminasi laut
territorial, bagian terluar instalasi pelabuhan yang merupakan bagian integral dari pelabuhan dapat diperlakukan sebagai bagian dari pantai”. Berarti, jika reklamasi
pantai yang dilakukan oleh Singapura bertujuan untuk membangun struktur seperti yang disebutkan di atas, maka jelas akan mengubah garis pangkal pantai.
Berdasarkan hal di atas, maka baik Indonesia maupun Singapura mempunyai celah
–celah yang bisa menimbulkan perbedaan paham
51
Untuk mengamankan kebijakan pemerintah menyangkut wilayah perbatasan, pemerintah mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1973 yang berisi tentang
Landasan Kontinen Indonesia, semua kekayaan yang ada di dalam Landasan Kontinen Indonesia merupakan hak milik pemerintah Indonesia. Tidak hanya itu,
daerah perbatasan juga akan mulai diberdayakan, seperti Pulau Batam yang berbatasan langsung dengan Singapura.
Selat Singapura yang tidak terlalu lebar menjadi masalah tersendiri bagi UU Nomor 1 Tahun 1973. Singapura yang juga dikelilingi pulau-pulau kecil
disekitarnya sehingga didalam menarik garis batas antara kedua negara perlu ketelitian agar tercapai kesepakatan. Beberapa perundingan telah dilakukan untuk
menyelesaikan masalah ini, kesepakatan pun tercapai pada Mei 1973, dengan ditandatanganinya Garis Batas Laut Wilayah di Jakarta. Untuk menetapkan garis
awal perbatasan dan karena jarak Selat Singapura yang sempit, maka akhirnya diambil keputusan untuk mengambil batas kedua negara dari wilayah atau pulau
terdepan masing-masing negara.
51
Sukrisna Aji, Reklamasi Pantai Singapura di Pulau Jorong Sebagai Masalah Perbatasan Indonesia-Singapura, http:sukrisnaaji.blogspot.com201310reklamasi-pantai-Singapura-di-
pulau.html, di akses pada tanggal 27 Mei jam 14:02.
Universitas Sumatera Utara
Disetujuinya Perjanjian Penetapan Perbatasan Indonesia –Singapura di
Bagian Barat Selat Singapura. Sebagai bentuk kelanjutan dari diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia dan Singapura, pada Maret 2009, perjanjian batas
laut antara kedua negara ditandatangani di Jakarta. Pembicaraan tentang perjanjian ini sudah dilakukan sejak tahun 2005, untuk menyelesaikan batas
wilayah Indonesia-Singapura di bagian barat Selat Singapura, antara perairan Tuas dan Nipa. Sedangkan untuk wilayah tengah dan timur, masih dalam tahap
penyelesaian, karena memerlukan kajian yang lebih mendalam. Disetujuinya perjanjian batas laut ini, diharapkan dapat mempertegas posisi Pulau Nipa
sebagai titik dasar yang digunakan dalam pengukuran batas maritim Republik Indonesia dengan Singapura.
Dalam menetapkan perjanjian ini, pemerintah Indonesia menolak mengakui wilayah reklamasi Singapura, dan menggunakan perjanjian tahun 1973
sebagai sumber. Menurut Pasal 60 Ayat 8 UNCLOS disebutkan bahwa, “Pulau
buatan, instalasi, dan bangunan tidak mempunyai status pulau dan laut teritorialnya sendiri, maka kehadirannya tidak memengaruhi penetapan batas laut
teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif, dan landasan kontinen.”
52
Dalam pemikiran tentang kedaulatan negara dan hubungan antar negara, sebagaimana dilukiskan di muka yaitu ada kekuasaan tertinggi dalam negara.
Menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH bahwa kekuasaan tertinggi mengandung 2 pembatasan penting dalam dirinya yaitu :
52
M Arief Fauzi, Konflik Perbatasan Indonesia Singapura, http:marieffauzi.wordpress.com2013 0428konflik-perbatasan-Indonesia-Singapura, di akses
pada tanggal 27 Mei jam 14:12.
Universitas Sumatera Utara
1. Kekuasaan itu pada batas-batas wilayah negara yang memiliki kekuasaan itu, dan
2. Kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain dimulai.
53
Jadi, hukum internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antara subyek-subyek hukum internasional, dengan ketentuan melintasi batas wilayah
suatu negara harus di jadikan pedoman dan ikatan bagi pencipta hubungan tersebut. Kedaulatan suatu negara, bukan berati negara itu menutup kemungkinan-
kemungkinan tunduk pada hukum internasional, maka keharusan bagi anggota- anggota masyarakat Indonesia memperhatikan segala ketentuan ketentuan yang
mengatur hubungan di antara mereka baik berasal dari kesepakatan yang di adakan maupun berdasarkan ketentuan ketentuan yang sudah ada sebelum
kesepakatan itu di lakukan dan yang di anggap masih mengikat dalam pergaulan internasional.
Untuk mempertegas bagian kedaulatan wilayah laut NKRI, berikut adalah dasar hukum terkait kedaulatan wilayah laut Indonesia.
A. Secara Umum : 1 UU. No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
2 UU. No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention on The Law of The Sea Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum
Laut. 3 UU. No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
4 UU. No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
53
Mochtar Kusumaatmadja, Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
5 PP. No. 47 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Pesawat Udara Asing dalam melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan melalui alur laut
kepulauan yang ditetapkan. 6 PP No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia sebagaimana telah diubah dengan PP. No. 37 Tahun 2008 tentang Perubahan PP No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat
Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. B. Secara Khusus :
Batas Laut Wilayah Teritorial 1 UU. No. 2 Tahun 1971 tentang Perjanjian antara Republik Indonesia dan
Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Malaka.
2 UU. No. 6 Tahun 1973 tentang Perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai Garis-Garis Batas tertentu antara Indonesia dan Papua Nugini.
3 UU. No. 7 Tahun 1973 tentang Perjanjian antara Indonesia dan Singapura tentang penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di selat Singapura.
4 UU. No. 4 Tahun 2010 tentang Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua
Negara di Bagian Barat Selat Singapura. Batas Wilayah Yurisdiksi
1 UU. No. 18 Tahun 2007 tentang Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Sosialis Vietnam tentang Penetapan
Batas Landas Kontinen tanggal 26 juni 2003.
Universitas Sumatera Utara
2 No. 89 Tahun 1969 tentang Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia tentang Penetapan Garis-Garis Landas
Kontinen Antara Kedua Negara. 3 Keppres No. 42 Tahun 1971 tentang Persetujuan antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah commonwealth australia tentang Penetapan Batas- Batas Dasar Laut Tertentu.
4 Keppres No. 20 Tahun 1972 5 Keppres No. 21 Tahun 1972
6 Keppres No. 66 Tahun 1972 7 Keppres No. 51 Tahun 1974
8 Keppres No. 1 Tahun 1977 9 Keppres No. 26 Tahun 1977
10 Keppres No. 24 Tahun 1978 11 Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Australia
tentang Penetapan Batas Zona Ekonomi Ekslusif dan Batas Laut Tertentu ditandatangani tanggal 14 maret 1997.
12 Keppres No. 21 Tahun 1992 13 MoU antara Republik Indonesia dan Autralia tentag Pengawasan dan
Pelaksanaan Pengaturan Perikanan Sementara MoU 1981 tentang Provisional Fisheries surveilance and Enforcement Line.
14 Recommendations of Commission on The Limits of The continental shelf in Regard to the Submission made by Indonesia in Respect of The Area north
west of Sumatra on 16 June 2008 Rekomendasi Komisi Batas Landas
Universitas Sumatera Utara
kontinen tentang Submisi yang Disampaikan oleh Indonesia untuk area sebelah Barat Laut Sumatera tertanggal 16 Juni 2008. Rekomendasi
tersebut disahkan pada tanggal 26 Maret 2011. Atas dasar hal tersebut luas wilayah yurisdiksi landas kontinen Indonesia bertambah seluas 4.209 km².
Menurut Hukum Laut Internasional, jelas sekali bahwa Pulau Nipa adalah pulau yang dimiliki oleh Indonesia. Kepemilikan Indonesia atas pulau Nipa
mungkin menimbulkan pertanyaan yang cukup mendasar, kenapa Pulau Nipa bisa jatuh ke kedaulatan Indonesia padahal letaknya sendiri lebih dekat ke negara
Singapura? Bahkan sinyal yang di dapat di Pulau Nipa adalah sinyal Singapura. Hal ini memang masuk akal. Tetapi ada hal yang tidak boleh dilupakan, mengenai
batas Pulau Nipa di Indonesia. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, Pulau Nipa dulunya sebelum bersengketa adalah pulau yang jelas milik Indonesia.
Namun seiring berjalannya waktu, Singapura dengan gencar mereklamasi pulau mereka. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pada awalnya luas wilayah
Singapura hanya 580 km
2
, dan pada tahun 2005 jumlahnya bertambah menjadi 699 km
2
. Dengan adanya perubahan ini, otomatis terlihat bahwa Pulau Nipa lebih
dekat dengan Singapura daripada dengan Indonesia itu sendiri. Tetapi Pulau Nipa adalah milik Indonesia dan tidak ada yang boleh merubah hal itu.
Dalam Bab IV Pasal 47 ayat 1 UNCLOS 1982 diatur mengenai mekanisme penarikan garis pangkal kepulauan bagi negara-negara kepulauan
archipelagic state, yaitu sebagai berikut: “Suatu negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan yang
menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang-karang terluar
Universitas Sumatera Utara
kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa di dalam garis pangkal demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara daerah perairan
dan daerah daratan, termasuk atoll, adalah antara satu berbanding satu dan sembilan berbanding satu.
” Dalam Bab II Pasal 2 ayat 1 dan 2UNCLOS 1982 diatur mengenai status
hukum laut teritorial, ruang udara di atas laut teritorial, dan dasar laut serta tanah di bawahnya yaitu sebagai berikut:
1. Kedaulatan suatu negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan, dalam hal suatu negara kepulauan, perairan kepulauannya,
meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya yang dinamakan laut teritorial.
2. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya. Kemudian dalam konvensi ini diatur juga mengenai lebar
laut teritorial dimana setiap negara berhak menetapkan lebar laut teritorialnya hingga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil laut, diukur dari garis pangkal
yang ditentukan dalam konvensi Pasal 3. Konvensi ini pun secara jelas mengatur bagaimana penetapan garis batas laut teritorial antara negara-negara
yang pantainya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, seperti halnya antara Indonesia dengan Singapura, yaitu dalam hal pantai dua negara yang
letaknya berhadapan atau berdampingan satu sama lain, tidak satupun diantaranya berhak, kecuali ada persetujuan sebaliknya antara mereka untuk
menetapkan batas taut teritorialnya melebihi garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis-garis pangkal darimana lebar
Universitas Sumatera Utara
laut teritorial masing-masing negara diukur. Dengan demikian batas pada perbatasan segmen barat antara Negara Indonesia dan Negara Singapura telah
jelas.
54
Tetapi ketentuan di atas tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis atau keadaan khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut
teritorial antara kedua negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan di atas.
54
Halima, Perjanjian Perbatasan Laut Indonesia dan Singapura,http:halima1809.blogspot.com2010 04perjanjian-perbatasan-laut-indonesia.html, di
akses pada tanggal 13 Juni 2014.
Universitas Sumatera Utara
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang