C.  Pengaturan Kepemilikan
Pulau Nipa
Menurut Hukum
Laut Internasional
Mengenai  kepemilikan  pulau  Nipa  di  mata  internasional,  kita  terlebih dahulu  harus  mengkaji  ke  belakang  untuk  mengetahui  perbatasan  laut  teritorial.
ahli-ahli hukum romawi memandang laut sebagai milik bersama umat manusia –
res  komunis  meskipun  sudah  di  rasakan  pada  waktu  itu  bahwa  laut  sekeliling pantai  suatu  negara  berbeda  penggunaannya  dengan  bagian  laut  yang lebih jauh,
namun perbedaan yurisdiksi belum  ada. Laut sekeliling pantai sejak dahulu di pergunakan oleh setiap negara untuk
lalu-lintas  antar  kota  dengan  kota,  untuk  menangkap  ikan,  dan  juga  tempat menyerang sebelum musuh mendarat. Menurut sejarah, salah satu kaedah hukum
internasional yang sangat populer  “liberum  mare” dan masih relevan hingga kini untuk  kegiatan  tertentu  dalam  perairan  tertentu  yang  di  cetuskan  filosof  terkenal
Hugo Grotius, adalah menyangkut perairan Indonesia. Memang  dalam  pelayaran-pelayaran  pertama  orang  Eropa,  sering  terdapat
kekeliruan  nama,  akan  tetapi  menurut  rekonstruksi  waktu,  hal  tersebut  memang benar  adanya.  Diktum  Hugo  G
rotius  “mare  liberum”  dan  doktrin  Jhon  Sheldon “mare  clausum”  berkembang  bersama-sama  di  dalam  mengisi  hak  –hak
penggunaan  atas  laut.  Pada  “high  seas”  laut  lepas    berkembang  doktrin  mare liberum,  meskipun  beberapa  pembatasan  harus  di  adakan,  sedangkan  pada
“territorial  sea”  ,  “internal  waters”  dan  seterusnya,  berkembang  doktrin  “mare clausum
” meskipun beberapa unsur kebebasan harus pula di berikan.
Universitas Sumatera Utara
Kebutuhan suatu bangsa untuk memperoleh hak atas perairan disepanjang pantai  dengan  suatu  jarak  tertentu,  rupanya  dapat  di  terima  oleh  masyarakat
internasional  atas  dasar  untuk  keamanan  negaranya.  Apabila  hak-hak  ini  diakui oleh  masyarakat  internasional  sebagai  hak  eksklusif  negara  pantai,  maka  apakah
ada  hak  hak  lain  di  atas  nya,  berapa  lebar  dan  dimana  batas-batasnya.  Persoalan pertama  telah  di  jawab  oleh  hukum  kebiasaan,  yang  kemudian  di  kukuhkan
Konvensi  Geneva  1958  yaitu  adanya  hak  lintas  damai.  Persoalan  kedua  yaitu tentang  lebar  laut  teritorial  tumbuh  dengan  pandangan  yang  berbeda.  Cornelius
Van Biynkershoek dalam diktum nya menyatakan : Terrae  potestas  finitur  ubi  armorum  vis.  Yang  artinya  :
“sovereignty of a state ends where the power of arms ends”.
Dalam  abad  itu,  jarak  meriam  bervariasi  antara  1  sampai  dengan  2,5  mil, akhirnya mereka yang sependapat dengan hal ini menetapkan lebar laut teritorial 3
mil.
48
Masalah  kelautan  timbul  karena  adanya  keperluan  berbagai  pihak  yang ingin  memanfaatkan  segala  fasilitas  laut.  Tumbuh  berkembangnyahukum  laut
selain karena adanya kepentingan dengan alasan milik bersama, juga perlu di jaga: -  kepentingan yang berkaitan dengan keamanan dan stabilitas negara
-  terbatasnya sumber daya, apabila kemampuan laut diabaikan -  pembagian kepentingan
-  menjaga  dan  menuju  pelestarian  lingkungan  laut  dengan  segala ekosistemnya
48
Adi Sumardiman, Wilayah Indonesia Dan Dasar Hukum Nya, PT Pradnya paramita, Jakarta, 1992, hal. 59
Universitas Sumatera Utara
-  dan sebagainya. Kemudian  muncul  konvensi-konvensi  yang  keberadannya  diakui  secara
internasional,  juga adanya kepentingan yang mendesak di masing  masing negara yang  ditindaklanjuti  dengan  pembentukan  peraturan  dengan  alasan  masing-
masing. Khususnya bagi negara kepulauan sebagaimana halnya Indonesia adanya konvensi  hukum  laut  tahun  1982  yang  di  selenggarakan  oleh  PBB  di  Montego
Bay  Jamaica  telah  menjadi  kabar  baik  dengan  pengaruh  baru  dalam  wawasan internasional.  Pengukuhan  lebar  laut  teritorial  sepanjang  maksimal  12  mil  laut,
memberikan  kesempatan  bagi  negara  pantai  untuk  melakukan  perluasan  lautnya. Di  sisi  lain,  pengaruh  konvensi  tersebut,  bahwa  laut  yang  sebelum  konvensi
merupakan  perairan  internasional  dan  merupakan  laut  bebas  High  sea  berubah menjadi  laut  teritorial  di  bawah  kedaulatan  suatu  negara  dengan  perlindungan
hukum    nasional.  Akibatnya  negara  lain  tidak  dapat  bergerak  bebas  di  perairan tersebut seperti sebelumnya.
Secara  rinci,  pengaruh  konvensi  hukum  laut  tersebut  diatas  bagi  negara pantai maupun negara lainnya sebagai berikut:
1.  Dapat  membentuk  negara  kepulauan,  menjamin  kpentingan  negara tersebut.
2.  Memberikan  kesempatan  negara  pantai  untuk  melakukan  perluasan wilayah laut
3.  Memperluas tanggung jawab negara pantai terhadap lautan. 4.  Berkurangnya wilayah laut bebas High sea menjadi laut teritorial.
Universitas Sumatera Utara
5.  Mendukung  pelestarian  lingkungan  laut  yang  harus  dijaga  oleh  hukum nasional suatu negara.
6.  Mengurangi kebebasan yang semula ada bagi para pengelola lautan. Didalam  menjalankan  politik  luar  negeri  yang  bebas  dan  aktif,  Indonesia
sebagai  negara  yang  berdaulat  juga  harus  menghormati  kedaulatan  negara  lain. Kedaulatan  suatu  negara  pada  prinsipnya  harus  dipertahankan  apabila
menyangkut kepentingan dan prinsip yang dianut oleh negara yang bersangkutan sehingga  kerja  sama  bilateral  maupun  multilateral  didalam  bidang  ekonomi,
teknologi, keuangan dapat dibina dan dipelihara.
1. Kebiasaan Internasional Kebiasaan  disini  merupakan  suatu  pola  tindak  dari  serangkaian  tindakan
berulang-ulang,  tindakan  yang  dimaksud  adalah  berkaitan  dengan  hubungan internasional.  Banyaknya  tindakan  yang  di  lakukan  itu  tidak  terbatas,  hal  ini
tergantung  dari  situasi  dan  kondisi  setempat  serta  kebutuhannya.  Apabila  secara pergaulan  internasional  sudah  cukup  mendapatkan  pengakuan  dalam  arti  tidak
menimbulkan  pertanyaan  maupun  permasalahan  yang  dapat  berjalan  lancar  di dalam pergaulan tersebut. Contoh dengan ini diterimanya konsep hukum laut dan
landas  kontinen  continental  shelf  di  dalam  hukum  laut  internasional  sebagai suatu  lembaga  hukum.  Sebagai  konsep  hukum  baru  muncul  setelah  proklamasi
presiden  Truman  tahun  1945  mengenai  continental  shelf.  Proklamasi  ini  disusul proklamasi  yang  serupa  oleh  negara  negara  lain  pada  tahun  1958.  Kemudian
Universitas Sumatera Utara
konvensi  hukum  laut  di  Jenewa  telah  menerima  konvensi  mengenai  landas kontinen
49
2. Perjanjian Internasional Perjanjian  diadakan  oleh  bangsa  sebagai  subyek  hukum  internasional,
bertujuan  untuk  menggariskan  hak  dan  kewajiban  yang  ditimbulkan  serta  akibat lainnya yang berpengaruh bagi para pihak pembuat perjanjian. Para pihak terikat
dan  tunduk  pada  perjanjian  sesuai  dengan  ketentuan  yang  menjadi  kesepakatan bersama.  Perjanjian  ini  dapat  di  lakukan  antar  dua  negara  bilateral  atau  lebih
multilateral.  Pada  umumnya  perjanjian  dibuat  dengan  memperhatikan kepentingan  para  pihak  dengan  saling  menguntungkan  dan  tidak  meninggalkan
landasan-landasan  masing  masing  pihak  serta  memperhatikan  segala  ketentuan hukum internasional yang ada.
50
UNCLOS  juga  mengatur  tentang  negara  kepulauan  agar  memudahkan negara  kepulauan  seperti  Indonesia  mengetahui  daerah  kedaulatannya.  Di  dalam
UNCLOS pasal 47 di sebutkan : 1.
Suatu  negara kepulauan dapat menarik  garis pangkal  lurus kepulauan yang menghubungkan  titik  titik  terluar  pulau  dan  karang  kering  termasuk
kepulauan  itu.,  dengan  ketentuan  bahwa  di  dalam  garis  pangkal  demikian termasuk  pulau  pulau  utama  dan  suatu  daerah  dimana  perbandingan  antara
daerahperairan  dan  daerah  daratan,  termasuk  atol,  adalah  satu  berbanding sembilan dan sembilan berbanding satu.
49
Mochtar  Kusumaatmadja,  Pengantar  Hukum  Internasional,  Bandung:  Bina  Cipta  1982, cet.4, hal. 136-137.
50
Joko Subagyo, Hukum Laut Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hal. 18.
Universitas Sumatera Utara
2. Panjang  garis  pangkal  demikian  tidak  boleh  melebihi  100  mil  lat,  kecuali
bahwa  hingga  3  dari  jumlah  seluruh  pangakal  yang  mengelilingi  setiap kepulauan  dapat  melebihi  kepanjangan  tersebut,  hingga  pada  suatu
perpanjangan maksimum 125 mil laut. 3.
Penarikan garis pangkal demikian tidak boleh menyimpang terlalu jauh dari konfigurasi uum kepulauan tersebut.
4. Garis pangkal demikian tidak boleh ditarik ke dan dari elevasi surut, kecuali
apabila  di  atasnya  telah  dibangun  mercu  suar  atau  instalasi  serupa  yang secara  permanen  berada  di  atas  permukaan  laut  atau  apabila  elevasi  surut
tersebut  terletak  seluruhnya  atau  sebagian  pada  suatu  jarak  yang  tidak melebihi lebar laut teritorial dari pulau yang terdekat.
5. Sistem  garis  pangkal  demikian  tidak  boleh  diterapkan  oleh  suatu  Negara
kepulauan  dengan  cara  yang  demikian  rupa  sehingga  memotong  laut teritorial Negara lain dari laut lepas atau zona ekonomi eksklusif.
6. Apabila suatu bagian perairan kepulauan suatu Negara kepulauan terletak di
antara dua bagian suatu Negara tetangga yang langsung berdampingan, hak- hak  yang  ada  dan  kepentingan-kepentigan  sah  lainnya  yang  dilaksanakan
secara  tradisional  oleh  Negara  tersebut  terakhir  di  perairan  demikian,  serta segala hak yang ditetapkan dalam perjanjian antara  Negara-negara tersebut
akan tetap berlaku dan harus dihormati. 7.
Untuk  maksud  menghitung  perbandingan  perairan  dengan  daratan berdasarkan ketentuan ayat 1, daerah daratan dapat mencakup di dalamnya
perairan  yang  terletak  di  dalam  tebaran  karang,  pulau-pulau  dan  atol,
Universitas Sumatera Utara
termasuk  bagian  plateau  oceanik  yang  bertebing  curam  yang  tertutup  atau hampir tertutup oleh serangkaian pulau batu gamping dan karang kering di
atas permukaan laut yang terletak di sekeliling plateau tersebut. 8.
Garis  pangkal  yang  ditarik  sesuai  dengan  ketentuan  pasal  ini,  harus dicantumkan pada  peta dengan  skala atau skala-skala yang memadai untuk
menegaskan  posisinya.  Sebagai  gantinya,  dapat  dibuat  daftar  koordinat geografis titik-titik yang secara jelas memerinci datum geodetik.
9. Negara  kepulauan  harus  mengumumkan  sebagaimana  mestinya  peta  atau
daftar  koordinat  geografis  demikian  dan  harus  menyerahkan    satu  salinan setiap  peta  atau  daftar  itu  pada  Sekretaris  Jenderal  Perserikatan  Bangsa-
Bangsa. UNCLOS menjadi acuan penyelesaian setiap permasalahan yang berkenaan
dengan  hukum  wilayah  laut.  Namun,  UNCLOS  terakhir  pada  tahun  1982  yang mulai berlaku pada  16 November 1994 tidak mengatur  secara spesifik  mengenai
masalah  reklamasi.  Sehingga,  ketentuan  dan  hukum  yang  ada  dalam  UNCLOS harus diinterpretasikan. Berikut beberapa pasal dalam UNCLOS 1982 yang dapat
diinterpretasikan : Pasal 60 ayat 8 mengemukakan bahwa pulau buatan, instalasi, dan bangunan tidak
mempunyai  status  pulau.  Sehingga,  tidak  mempengaruhi  penetapan  batas  laut territorial,  zona  ekonomi  eksklusif.  Dalam  hal  ini,  reklamasi  dapat  dimasukkan
dalam  pulau  buatan.  Pengukuran  dilakukan  dari  pulau  terluar  yang  alami,  bukan dari  daratan  reklamasi.  Melalui  penafsiran  pasal  ini,  Indonesia  dapat  bernafas
lega.
Universitas Sumatera Utara
Namu n,  ada  pasal  yang  menyebutkan  “untuk  tujuan  deliminasi  laut
territorial, bagian terluar instalasi pelabuhan yang merupakan bagian integral dari pelabuhan dapat diperlakukan sebagai bagian dari pantai”. Berarti, jika reklamasi
pantai  yang  dilakukan  oleh  Singapura  bertujuan  untuk  membangun  struktur seperti yang disebutkan di atas, maka jelas akan mengubah garis pangkal pantai.
Berdasarkan  hal  di  atas,  maka  baik  Indonesia  maupun  Singapura  mempunyai celah
–celah yang bisa menimbulkan perbedaan paham
51
Untuk  mengamankan  kebijakan  pemerintah  menyangkut  wilayah perbatasan, pemerintah mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1973 yang berisi tentang
Landasan  Kontinen  Indonesia,  semua  kekayaan  yang  ada  di  dalam  Landasan Kontinen Indonesia merupakan hak milik pemerintah Indonesia. Tidak hanya itu,
daerah  perbatasan  juga  akan  mulai  diberdayakan,  seperti  Pulau  Batam  yang berbatasan langsung dengan Singapura.
Selat  Singapura  yang    tidak  terlalu  lebar  menjadi  masalah  tersendiri  bagi UU  Nomor  1  Tahun  1973.  Singapura  yang  juga  dikelilingi  pulau-pulau  kecil
disekitarnya  sehingga  didalam  menarik  garis  batas  antara  kedua  negara  perlu ketelitian agar tercapai kesepakatan. Beberapa perundingan telah dilakukan untuk
menyelesaikan  masalah  ini,  kesepakatan  pun  tercapai  pada  Mei  1973,  dengan ditandatanganinya Garis Batas Laut Wilayah di Jakarta. Untuk menetapkan  garis
awal  perbatasan  dan  karena  jarak  Selat  Singapura  yang  sempit,  maka  akhirnya diambil  keputusan  untuk  mengambil  batas  kedua  negara  dari  wilayah  atau  pulau
terdepan masing-masing negara.
51
Sukrisna Aji, Reklamasi Pantai Singapura di Pulau Jorong Sebagai Masalah Perbatasan Indonesia-Singapura, http:sukrisnaaji.blogspot.com201310reklamasi-pantai-Singapura-di-
pulau.html, di akses pada tanggal 27 Mei jam 14:02.
Universitas Sumatera Utara
Disetujuinya  Perjanjian  Penetapan  Perbatasan  Indonesia –Singapura  di
Bagian  Barat  Selat  Singapura.  Sebagai  bentuk  kelanjutan  dari  diplomasi  yang dilakukan pemerintah Indonesia dan Singapura, pada Maret 2009, perjanjian batas
laut  antara  kedua  negara  ditandatangani  di  Jakarta.  Pembicaraan  tentang perjanjian  ini  sudah  dilakukan  sejak  tahun  2005,  untuk  menyelesaikan  batas
wilayah  Indonesia-Singapura  di  bagian  barat  Selat  Singapura,  antara  perairan Tuas  dan  Nipa.  Sedangkan  untuk  wilayah  tengah  dan  timur,  masih  dalam  tahap
penyelesaian,  karena  memerlukan  kajian  yang  lebih  mendalam.  Disetujuinya perjanjian  batas  laut  ini,  diharapkan  dapat  mempertegas  posisi  Pulau  Nipa
sebagai   titik  dasar  yang  digunakan  dalam  pengukuran  batas  maritim  Republik Indonesia dengan Singapura.
Dalam  menetapkan  perjanjian  ini,  pemerintah  Indonesia  menolak mengakui wilayah reklamasi Singapura, dan menggunakan perjanjian tahun 1973
sebagai sumber. Menurut Pasal 60 Ayat 8 UNCLOS disebutkan bahwa, “Pulau
buatan,  instalasi,  dan  bangunan  tidak  mempunyai  status  pulau  dan  laut teritorialnya sendiri, maka kehadirannya tidak memengaruhi penetapan batas laut
teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif, dan landasan kontinen.”
52
Dalam  pemikiran  tentang  kedaulatan  negara  dan  hubungan  antar  negara, sebagaimana  dilukiskan  di  muka  yaitu  ada  kekuasaan  tertinggi  dalam  negara.
Menurut  Prof.  Dr.  Mochtar  Kusumaatmadja,  SH  bahwa  kekuasaan  tertinggi mengandung 2 pembatasan penting dalam dirinya yaitu :
52
M Arief  Fauzi, Konflik Perbatasan Indonesia Singapura, http:marieffauzi.wordpress.com2013 0428konflik-perbatasan-Indonesia-Singapura,  di akses
pada tanggal 27 Mei jam 14:12.
Universitas Sumatera Utara
1.  Kekuasaan  itu  pada  batas-batas  wilayah  negara  yang  memiliki  kekuasaan  itu, dan
2.  Kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain dimulai.
53
Jadi, hukum internasional sebagai hukum yang mengatur hubungan antara subyek-subyek  hukum  internasional,  dengan  ketentuan  melintasi  batas  wilayah
suatu  negara  harus  di  jadikan  pedoman  dan  ikatan  bagi  pencipta  hubungan tersebut. Kedaulatan suatu negara, bukan berati negara itu menutup kemungkinan-
kemungkinan  tunduk  pada  hukum  internasional,  maka  keharusan  bagi  anggota- anggota  masyarakat  Indonesia  memperhatikan  segala  ketentuan  ketentuan  yang
mengatur  hubungan  di  antara  mereka  baik  berasal  dari  kesepakatan  yang  di adakan  maupun  berdasarkan  ketentuan  ketentuan  yang  sudah  ada  sebelum
kesepakatan itu di lakukan dan yang di anggap masih  mengikat dalam pergaulan internasional.
Untuk mempertegas bagian kedaulatan wilayah laut NKRI, berikut adalah dasar hukum terkait kedaulatan wilayah laut Indonesia.
A.  Secara Umum : 1    UU. No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
2    UU. No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation Convention on The Law of The Sea Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum
Laut. 3    UU. No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.
4    UU. No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
53
Mochtar Kusumaatmadja, Loc.cit
Universitas Sumatera Utara
5    PP. No. 47 Tahun 2002 tentang Hak dan Kewajiban Kapal Pesawat Udara Asing dalam melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan melalui alur laut
kepulauan yang ditetapkan. 6    PP No. 38 Tahun 2002 tentang  Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia sebagaimana telah diubah dengan PP. No. 37 Tahun 2008 tentang Perubahan PP No. 38 Tahun 2002 tentang  Daftar Koordinat
Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. B.    Secara Khusus :
Batas Laut Wilayah Teritorial 1    UU. No. 2 Tahun 1971 tentang Perjanjian antara Republik Indonesia dan
Malaysia tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara di Selat Malaka.
2    UU. No. 6 Tahun 1973 tentang Perjanjian antara Indonesia dan Australia mengenai Garis-Garis Batas tertentu antara Indonesia dan Papua Nugini.
3    UU. No. 7 Tahun 1973 tentang Perjanjian antara Indonesia dan Singapura tentang penetapan garis batas laut wilayah kedua negara di selat Singapura.
4    UU. No. 4 Tahun 2010 tentang Perjanjian antara Republik Indonesia dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua
Negara di Bagian Barat Selat Singapura. Batas Wilayah Yurisdiksi
1    UU. No. 18 Tahun 2007 tentang Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Sosialis Vietnam tentang Penetapan
Batas Landas Kontinen tanggal 26 juni 2003.
Universitas Sumatera Utara
2    No. 89 Tahun 1969 tentang Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia tentang Penetapan Garis-Garis Landas
Kontinen Antara Kedua Negara. 3    Keppres No. 42 Tahun 1971 tentang Persetujuan antara Pemerintah Republik
Indonesia dan Pemerintah commonwealth australia tentang Penetapan Batas- Batas Dasar Laut Tertentu.
4    Keppres No. 20 Tahun 1972 5    Keppres No. 21 Tahun 1972
6    Keppres No. 66 Tahun 1972 7    Keppres No. 51 Tahun 1974
8    Keppres No. 1 Tahun 1977 9    Keppres No. 26 Tahun 1977
10  Keppres No. 24 Tahun 1978 11  Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Australia
tentang Penetapan Batas Zona Ekonomi Ekslusif dan Batas Laut Tertentu ditandatangani tanggal 14 maret 1997.
12  Keppres No. 21 Tahun 1992 13  MoU antara Republik Indonesia dan Autralia tentag Pengawasan dan
Pelaksanaan Pengaturan Perikanan Sementara MoU 1981 tentang Provisional Fisheries surveilance and Enforcement Line.
14  Recommendations of Commission on The Limits of The continental shelf in Regard to the Submission made by Indonesia in Respect of The Area north
west of Sumatra on 16 June 2008 Rekomendasi Komisi Batas Landas
Universitas Sumatera Utara
kontinen tentang Submisi yang Disampaikan oleh Indonesia untuk area sebelah Barat Laut Sumatera tertanggal 16 Juni 2008.   Rekomendasi
tersebut disahkan pada tanggal 26 Maret 2011.  Atas dasar hal tersebut luas wilayah yurisdiksi landas kontinen Indonesia bertambah seluas 4.209 km².
Menurut Hukum Laut Internasional, jelas sekali bahwa Pulau Nipa adalah pulau  yang  dimiliki  oleh  Indonesia.  Kepemilikan  Indonesia  atas  pulau  Nipa
mungkin menimbulkan pertanyaan yang cukup mendasar, kenapa Pulau Nipa bisa jatuh  ke  kedaulatan  Indonesia  padahal  letaknya  sendiri  lebih  dekat  ke  negara
Singapura?  Bahkan  sinyal  yang  di  dapat  di  Pulau  Nipa  adalah  sinyal  Singapura. Hal ini memang masuk akal. Tetapi ada hal yang tidak boleh dilupakan, mengenai
batas Pulau Nipa di  Indonesia. Seperti  yang sudah dijelaskan sebelumnya, Pulau Nipa  dulunya  sebelum  bersengketa  adalah  pulau  yang  jelas  milik  Indonesia.
Namun  seiring  berjalannya  waktu,  Singapura  dengan  gencar    mereklamasi  pulau mereka.  Seperti  yang  telah  dibahas  sebelumnya,  pada  awalnya  luas  wilayah
Singapura  hanya  580  km
2
,  dan  pada  tahun  2005  jumlahnya  bertambah  menjadi 699 km
2
. Dengan adanya perubahan ini, otomatis terlihat bahwa Pulau Nipa lebih
dekat dengan Singapura daripada dengan Indonesia itu sendiri. Tetapi Pulau Nipa adalah milik Indonesia dan tidak ada yang boleh merubah hal itu.
Dalam  Bab  IV  Pasal  47  ayat  1  UNCLOS  1982  diatur  mengenai mekanisme  penarikan  garis  pangkal  kepulauan  bagi  negara-negara  kepulauan
archipelagic state, yaitu sebagai berikut: “Suatu  negara  kepulauan  dapat  menarik  garis  pangkal  lurus  kepulauan  yang
menghubungkan  titik-titik  terluar  pulau-pulau  dan  karang-karang  terluar
Universitas Sumatera Utara
kepulauan itu, dengan ketentuan bahwa di dalam garis pangkal demikian termasuk pulau-pulau utama dan suatu daerah dimana perbandingan antara daerah perairan
dan  daerah  daratan,  termasuk  atoll,  adalah  antara  satu  berbanding  satu  dan sembilan berbanding satu.
” Dalam  Bab  II  Pasal  2  ayat  1  dan  2UNCLOS  1982  diatur  mengenai  status
hukum laut teritorial, ruang udara di atas laut teritorial, dan dasar laut serta tanah di bawahnya yaitu sebagai berikut:
1.  Kedaulatan  suatu  negara  pantai,  selain  wilayah  daratan  dan  perairan pedalamannya dan, dalam hal suatu negara kepulauan, perairan kepulauannya,
meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya yang dinamakan laut teritorial.
2.  Kedaulatan  ini  meliputi  ruang  udara  di  atas  laut  teritorial  serta  dasar  laut  dan tanah  di  bawahnya.  Kemudian  dalam  konvensi  ini  diatur  juga  mengenai  lebar
laut  teritorial  dimana  setiap  negara  berhak  menetapkan  lebar  laut  teritorialnya hingga  suatu  batas  yang  tidak  melebihi  12  mil  laut,  diukur  dari  garis  pangkal
yang  ditentukan  dalam  konvensi  Pasal  3.  Konvensi  ini  pun  secara  jelas mengatur  bagaimana  penetapan  garis batas laut teritorial  antara negara-negara
yang  pantainya  berhadapan  atau  berdampingan  satu  sama  lain,  seperti  halnya antara  Indonesia  dengan  Singapura,  yaitu  dalam  hal  pantai  dua  negara  yang
letaknya  berhadapan  atau  berdampingan  satu  sama  lain,  tidak  satupun diantaranya  berhak,  kecuali  ada  persetujuan  sebaliknya  antara  mereka  untuk
menetapkan  batas  taut  teritorialnya  melebihi  garis  tengah  yang  titik-titiknya sama  jaraknya  dari  titik-titik  terdekat  pada  garis-garis  pangkal  darimana  lebar
Universitas Sumatera Utara
laut  teritorial  masing-masing  negara  diukur.  Dengan  demikian  batas  pada perbatasan segmen barat  antara  Negara Indonesia dan Negara Singapura telah
jelas.
54
Tetapi ketentuan di atas tidak berlaku apabila terdapat alasan hak historis atau  keadaan  khusus  lain  yang  menyebabkan  perlunya  menetapkan  batas  laut
teritorial antara kedua negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan di atas.
54
Halima, Perjanjian Perbatasan Laut Indonesia dan Singapura,http:halima1809.blogspot.com2010  04perjanjian-perbatasan-laut-indonesia.html, di
akses pada tanggal 13 Juni 2014.
Universitas Sumatera Utara
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang