Penarikan Garis Pangkal Pantai Di Dalam Hukum Laut Internasional

53 BAB III PENARIKAN GARIS PANGKAL PANTAI INDONESIA

A. Penarikan Garis Pangkal Pantai Di Dalam Hukum Laut Internasional

Negara Kedaulatan Republik Indonesia NKRI adalah suatu negara yang wilayahnya terdiri dari banyak pulau yang tersebar di sepanjang wilayah teritorialnya sehingga disebut sebagai Negara Kepulauan archipelagic state. Awal perjuangan Indonesia dalam memperjuangkan wilayah kepulauannya terdiri dari wilayah pulau-pulau dan perairan di sekitar pulau-pulau tersebut adalah dicetuskannya Deklarasi Djuanda. Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja , adalah deklarasi yang menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Isi dari Deklarasi Juanda sendiri antara lain sebagai berikut : 1. Cara penarikan batas laut wilayah tidak lagi berdasarkan garis pasang surut low water line, tetapi pada sistem penarikan garis lurus straight base line yang diukur dari garis yang menghubungkan titik - titik ujung yang terluar dari pulau-pulau yang termasuk dalam wilayah RI. 2. Penentuan wilayah lebar laut dari 3 mil laut menjadi 12 mil laut. 3. Zona Ekonomi Ekslusif ZEE sebagai rezim Hukum Internasional , di mana batasan nusantara 200 mil yang diukur dari garis pangkal wilayah laut Universitas Sumatera Utara Indonesia. Dengan adanya Deklarasi Juanda, secara yuridis formal, Indonesia menjadi utuh dan tidak terpecah lagi. Sebelum Deklarasi Djuanda, wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939TZMKO 1939. Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut. Ketentuan ini membuat Indonesia bukan sebagai negara kesatuan, karena pada setiap wilayah laut terdapat laut bebas yang berada di luar wilayah yurisdiksi nasional. Deklarasi Djuanda menyatakan bahwa Indonesia menganut prinsip-prinsip negara kepulauan Archipelagic State yang pada saat itu mendapat pertentangan besar dari beberapa negara, sehingga laut-laut antar pulau pun merupakan wilayah Republik Indonesia dan bukan kawasan bebas. Deklarasi Djuanda Deklarasi ini diratifikasi melalui Undang-Undang No. 4PRP1960 tentang Perairan Indonesia. 55 Akibatnya luas wilayah Republik Indonesia berganda 2,5 kali lipat dari 2.027.087 km² menjadi 5.193.250 km² dengan pengecualian Irian Jaya yang walaupun wilayah Indonesia tapi waktu itu belum diakui secara internasional. Berdasarkan perhitungan 196 garis batas lurus straight baselines dari titik pulau terluar kecuali Irian Jaya , terciptalah garis maya batas mengelilingi RI sepanjang 8.069,8 mil laut . 55 Joenil Kahar, “ Penyelesaian Batas Maritim NKRI” dalam Pikiran Rakyat Cyber Media tanggal 3 Januari 2004, hlm. 1. Universitas Sumatera Utara Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya pada tahun 1982 deklarasi ini dapat diterima dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB ke-III Tahun 1982 United Nations Convention On The Law of The SeaUNCLOS 1982. Selanjutnya deklarasi ini dipertegas kembali dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. 56 Indonesia juga telah memiliki berbagai ketentuan yang mengacu kepada perbatasan maritim Indonesia. Berikut Undang-Undang dan Peraturan yang telah mengacu pada Konvensi Hukum Laut Internasional: 1. Undang-Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan atas UNCLOS 1982 Pada tanggal 31 Desember 1985 pemerintah mengeluarkan Undang- Undang No. 17 tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea Konvensi PBB tentang Hukum Laut untuk meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut pada tahun 1982. Menurut UNCLOS, Indonesia berhak untuk menetapkan batas-batas terluar dari berbagai zona maritim dengan batas- batas maksimum ditetapkan sebagai berikut:  Laut Teritorial sebagai bagian dari wilayah negara : 12 mil-laut;  Zona Tambahan dimana negara memiliki yurisdiksi khusus : 24 mil-laut;  Zona Ekonomi Eksklusif : 200 mil-laut, dan  Landas Kontinen : antara 200 – 350 mil-laut atau sampai dengan 100 mil- laut dari isobath kedalaman 2.500 meter. 56 Danang sucahyo, Garis Pangkal Lurus Kepulauan, http:danangsucahyo.blogspot.com201301garis-pangkal-lurus-kepulauan.html, di akses pada tanggal 19 Juni 2014 jam 15:12. Universitas Sumatera Utara Pada ZEE dan Landas Kontinen, Indonesia memiliki hak-hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber kekayaan alamnya. Di samping itu, sebagai suatu negara kepulauan Indonesia juga berhak untuk menetapkan perairan kepulauan pada sisi dalam dari garis-garis pangkal kepulauannya dan perairan pedalaman pada perairan kepulauannya. Berbagai zona maritim tersebut harus diukur dari garis- garis pangkal atau garis-garis dasar yang akan menjadi acuan dalam penarikan garis batas. 2. Undang-Undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Pada tanggal 8 Agustus 1996, Pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, yang lebih mempertegas batas-batas terluar outer limit kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia di laut, juga memberikan dasar dalam penetapan garis batas boundary dengan negara negara tetangga yang berbatasan, baik dengan negara-negara yang pantainya berhadapan maupun yang berdampingan dengan Indonesia. Pada dasarnya Undang-undang ini memuat ketentuan-ketentuan dasar tentang hak dan kewajiban negara di laut yang disesuaikan dengan status hukum dari berbagai zona maritim, sebagaimana diatur dalarn UNCLOS. Batas terluar laut teritorial Indonesia tetap menganut batas maksimum 12 mil laut, dan garis pangkal yang dipakai sebagai titik tolak pengukurannya tidak berbeda dengan pengaturan dalam Undang-Undang No. 4Prp. tahun 1960 yang disesuaikan dengan ketentuan baru sebagaimana diatur dalam UNCLOS. Universitas Sumatera Utara 3. Peraturan Pemerintah, No. 61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna, diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia Untuk memenuhi ketentuan dalam Pasal 6 ayat 2 dan ayat 3 Undang- undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia yang menentukan bahwa Daftar Koordinat tersebut harus didepositkan di Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Undang-undang No. 6 tahun 1996 tersebut kemudian dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 61 tahun 1998 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna, yang kemudian dicabut dan digantikan dengan Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, dengan melampirkan daftar koordinat geografis titik-titik garis pangkal kepulauan Indonesia. Daftar koordinat ini tidak dimasukkan sebagai ketentuan dalam batang tubuh Peraturan Pemerintah ini dengan tujuan agar perubahan atau pembaharuan updating data dapat dilakukan dengan tidak perlu mengubah ketentuan dalam batang tubuh Peraturan Pemerintah ini. Lampiran-lampiran tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. Selain itu terdapat pula beberapa Undang-Undang yang dikeluarkan sebelum Indonesia meratifikasi UNCLOS pada tahun 1985 yang belum diubah yaitu: a Undang-undang No. 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia Universitas Sumatera Utara Undang-Undang ini dibuat berdasarkan ketentuan Konvensi Jenewa tentang Landas Kontinen tahun 1958 yang menganut penetapan batas terluar landas kontinen berbeda dengan UNCLOS. Dengan demikian perlu diadakan perubahan terhadap Undang-Undang ini dengan menyesuaikan sebagaimana mestinya ketentuan tentang batas terluar landas kontinen. b Undang-undang No. 5 tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Menurut Undang-Undang ini di Zona Ekonomi Eksklusif, Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam hayati dengan mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi. Batas terluar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ditetapkan sejauh 200 mil-laut. Sampai saat ini Indonesia belum mengumumkan zona tambahannya maupun memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penetapan batas terluar, maupun tentang penetapan garis batas pada zona tambahan yang tumpang tindih atau yang berbatasan dengan zona tambahan negara lain. Badan Pembinaan Hukum Nasional dari Departemen Kehakiman dan HAM pernah melakukan pengkajian dan menghasilkan suatu naskah akademik dan RUU tentang Zona Tambahan, namun sampai saat ini belum menjadi Undang-Undang. Menurut ketentuan Pasal 47 ayat 8 dan 9 dari UNCLOS, garis-garis pangkal yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut harus dicantumkan dalam peta atau peta-peta dengan skala atau skala-skala yang Universitas Sumatera Utara memadai untuk menegaskan posisinya. Sebagai gantinya dapat dibuat daftar koordinat geografis titik-titik yang secara jelas memerinci datum geodetik. 57 UU No. 17 Tahun 1985 mengamanatkan perlunya penanganan secara serius penataan batas-batas maritime dengan Negara-negara tetangga. Di laut Indonesia berbatasan dengan 10 sepuluh Negara, yakni India, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, dan Timor Leste. Batas-batas maritim yang harus diselesaikan, meliputi : a. Laut Teritorial Laut teritorial adalah wilayah kedaulatan suatu Negara pantai, meliputi rung udara serta dasar laut dan tanah di bawahnya, lebarnya tidak melebihi 12 mil laut diukur dari garis pangkal b. Zona Tambahan Di luar laut teritorial terdapat laut-laut dimana Indonesia mempunyai hak-hak berdaulat dan kewenangan-kewenangan tertentu. Di Zona tambahan, yaitu sampai batas 12 mil laut di luar laut territorial atau 24 mil laut diukur dari garis pangkal, Indonesia juga dapat melaksanakan kewenangan-kewenangan tertentu untuk mengontrol pelanggaran terhadap aturan-aturan di bidang bea cukaipabean, keuangan, karantina kesehatan, pengawasan imigrasi, dan menjamin pelaksanaan hokum di wilayahnya H. Djalal, 2003. c. Zona Ekonomi Eksklusif 57 Eleveners, Dasar Hukum Pengaturan Wilayah Negara Di Laut, http:eleveners.wordpress.com20100119dasar-hukum-pengaturan-wilayah-negara-di-laut, di akses pada tanggal 23 Juni 2014 jam 15:32. Universitas Sumatera Utara Zona Ekonomi Eksklusif ZEE adalah suatu daerah di luar dan berdampingan dengan laut teritorial, lebar zona ini tidak lebih 200 mil laut dari garis pangkal. Di ZEE Indonesia memiliki hak berdaulat atas eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam, baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi ekonomi zona tersebut, seperti energi dari air, arus dan angin. d. Landasan Kontinen Landasan kontinen continental shelf pada awalnya merupakan istilah geologi. Istilah ini merujuk pada fakta geologis bahwa daratan pantai akan menurun ke bawah laut dengan kemiringan kecil hingga di suatu tempat tertentu menurun secara terjal ke dasar laut. Bagian tanah dasar laut dengan kemiringan kecil tersebut merupakan landasan kontinen. Sedangkan bagian atas dasar tanah dengan kemiringan curam merupakan lereng kontinen. 58 Dalam menetapkan batas maritim wilayah laut suatu negara perlu diperhatikan dasar-dasar atau prinsip-prinsip yang dikenal dalam hukum laut internasional dengan memperhatikan kondisi geografis negara, kondisi khusus, dan fatktor sejarah. Berdasarkan tujuan penerapannya, Konvensi Hukum Laut 1982 mengenal tiga macam garis pangkal, yaitu: garis pangkal biasa, Garis pangkal lurus, dan garis Pangkal lurus kepulauan. Pedoman penetapan masing- masing garis pangkal tersebut adalah sebagai berikut: 58 Ardi Kadjun, Batas-Batas Wilayah Perairan Indonesia, http:ardikadjun- ceritaapasaja.blogspot.com201305batas-batas-wilayah-perairan-Indonesia.html, di akses pada tanggal 20 juni 2014 jam 10:13. Universitas Sumatera Utara 1. Garis Pangkal Biasa Normal Baseline Garis Pangkal Biasa adalah garis pangkal yang ditarik untuk menghubungkan titik-titik pertemuan antara lautan dan daratan dengan mengikuti konfigurasi pantai pada waktu air surut terendah. Dengan kata lain, garis pangkal ditarik dengan cara mengikuti titik-titik pertemuan antara air laut dengan daratan pada waktu air surut terendah. Penetapan Garis Pangkal Biasa untuk tujuan pengukuran wilayah laut kewenangan provinsi dapat dilakukan secara analogi dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 , yaitu sebagai berikut: a. Garis Pangkal Biasa adalah garis air rendah dengan mengikuti konfigurasi pantai; b. Apabila terdapat gugusan karang di hadapan daratan utama suatu propinsi mak a garis pangkal dapat ditarik melalui gugusan karang tersebut dengan syarat telah ada instalasi yang dibangun di atas karang tersebut. 2. Garis Pangkal Lurus Straight Baseline Garis Pangkal Lurus adalah garis ke daratan atau pada muara sungai atau selat yang lebarnya tidak lebih dari 12 mil. a. Garis Pangkal Lurus ditarik tanpa menyimpang terlalu jauh dari arah umum pantai yang bersangkutan; b. Garis Pangkal Lurus tidak dapat ditarik dari gugusan karang yang pangkal yang ditarik dari ujung ke ujung untuk menghubungkan titik-titik terluar dari satu pulau atau untuk menghubungkan dua pulau atau lebih. Garis Pangkal Lurus berfungsi sebagai garis penutup pada kedua tepi dari mulut teluk atau kedua tepi dari Universitas Sumatera Utara muara sungai. c. Garis Pangkal Lurus dapat ditarik pada lokasi-lokasi pantai yang menjorok tenggelam pada waktu pasang naik, kecuali apabila telah ada instalasi yang dibangun secara permanen diatas karang tersebut. 3. Garis Pangkal Kepulauan Archipelagic Baseline Garis Pangkal Kepulauan adalah gabungan dari seluruh garis pangkal lurus yang ditarik untuk menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau yang terluar yang membentuk sebuah kepulauan. Penetapan Garis Pangkal Kepulauan dapat dilakukan secara analogi dengan ketentuan Konvensi Hukum Laut 1982 Article 47, yaitu sebagai berikut: a. Garis Pangkal Kepulauan dapat diterapkan pada provinsi-provinsi yang berbentuk kepulauan. Garis Pangkal Kepulauan ditarik untuk menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar pada waktu air surut terendah; b. Garis Pangkal Kepulauan tidak dapat melampaui panjang maksimum, yaitu 12 mil; c. Garis Pangkal Kepulauan tidak dapat ditarik menyimpang terlalu jauh dari arah umum bentuk kepulauan; d. Garis Pangkal Kepulauan tidak dapat ditarik dari gugusan karang yang tenggelam pada waktu pasang naik, kecuali apabila telah ada instalasi yang dibangun diatas karang tersebut. 59 59 Lovely, HukumLaut, http:lovelycules.blogspot.com201112hukum-laut.html, di akses pada tanggal 19 Juni 2014 jam 15:41. Universitas Sumatera Utara Menurut UNCLOS 1982, Indonesia harus membuat peta garis batas, yang memuat koordinat garis dasar sebagai titik ditariknya garis pangkal kepulauan Indonesia, oleh karena itu Pemerintah Indonesia menerbitkan PP No. 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia. Garis pangkal lurus kepulauan diatur dalam Pasal 3 ayat 1-7, yaitu: 1 Di antara pulau-pulau terluar, dan karang kering terluar kepulauan Indonesia, garis pangkal untuk mengukur lebar laut teritorial adalah Garis Pangkal Lurus Kepulauan. 2 Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar pada Garis Air Rendah pada titik terluar pulau terluar, dan karang kering terluar yang satu dengan titik terluar pada Garis Air Rendah pada titik terluar pulau terluar, karang kering terluar yang lainnya yang berdampingan. 3 Panjang Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 tidak boleh melebihi 100 seratus mil laut, kecuali bahwa 3 tiga per seratus dari jumlah keseluruhan Garis Pangkal Lurus Kepulauan dapat melebihi kepanjangan tersebut, hingga maksimum 125 seratus dua puluh lima mil laut. 4 Penarikan Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dan ayat 3 dilakukan dengan tidak terlalu jauh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 5 Penarikan Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 dapat dilakukan dengan memanfaatkan titik-titik terluar pada Garis Air Rendah pada setiap elevasi surut yang di atasnya terdapat suar atau instalasi Universitas Sumatera Utara serupa yang secara permanen berada di atas permukaan air atau elevasi surut yang sebagian atau seluruhnya terletak pada suatu jarak yang tidak melebihi lebar laut teritorial dari Garis Air Rendah pulau terdekat. 6 Perairan yang terletak pada sisi dalam Garis Pangkal Lurus Kepulauan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah Perairan Kepulauan dan perairan yang terletak pada sisi luar Garis Pangkal Lurus Kepulauan tersebut adalah Laut Teritorial. 7 Daftar Titik-titik Koordinat Geografis yang ditetapkan dengan lintang dan bujur geografis, memiliki arti dan peran yang sangat penting untuk penarikan garis pangkal kepulauan Indonesia, dari garis pangkal kepulauan Indonesia inilah selanjutnya antara lain dapat diukur lebar laut teritorial Indonesia 12 mil laut. Meskipun pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4211, namun berdasarkan keputusan The International Court of Justice ICJ pada tanggal 17 Desember 2002 yang menyatakan bahwa Kedaulatan atas Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan dimiliki oleh Malaysia, meskipun secara hukum kita hanya punya hak berdaulat di sana. Disamping itu, sebagai akibat dari diakuinya oleh Majelis Permusyarakatan Rakyat Republik Indonesia atas hasil pelaksanaan penentuan pendapat yang diselenggarakan di Timor Timur tanggal 30 Agustus 1999 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa sesuai dengan persetujuan antara Republik Indonesia Universitas Sumatera Utara dengan Republik Portugal mengenai masalah Timor Timur. Serta tidak berlakunya lagi Ketetapan Majelis Permusyarakatan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIMPR1978 tentang Pengukuhan Penyatuan Wilayah Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia mengalami perubahan terutama pada bagian lampirannya. Sehingga ditetapkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2008 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

B. Penarikan Garis Pangkal Pantai Indonesia