Analisis semiotika foto berita headline koran Tempo

(1)

ANALISIS SEMIOTIKA FOTO BERITA HEADLINE KORAN TEMPO Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana S1 Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh:

Angga Rizal Nurhuda

NIM: 105051101998

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, November 2009


(3)

ABSTRAK

ANGGA RIZAL NURHUDA

Analisis Semiotika Foto Berita Headline Koran Tempo.

Foto Jurnalistik atau Foto Berita merupakan salah satu media penyampai berita melalui bentuk visual yang juga sebagai kombinasi dari kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi. Headline atau berita utama adalah berita yang menurut penilaian redaksi suratkabar merupakan berita penting dari semua berita yang disajikan suratkabar pada hari itu. Karena itu, untuk headline

diberikan tempat utama, yang mudah dibaca, yaitu halaman satu atau halaman pertama dan bagian atas yang paling kiri, Headline biasanya terdiri dari 3, 4 atau 5 kolom

Bagaimana Koran Tempo mengemas foto berita yang juga menjadi sebuah foto headline? Makna apa yang terkandung dari foto berita headline koran

Tempo?

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Adapun subjek penelitian adalah foto-foto yang menjadi headline pada Koran Tempo pada bulan desember 2008 sampai bulan januari 2009. Sedangkan objek penelitian ini ialah foto-foto yang diambil dengan menggunakan purposive sampling, yaitu metode penetapan sampel dengan berdasarkan pada kriteria-kriteria tertentu.

Penelitian ini menggunakan analisis semiotika, yaitu dengan semiotika Roland Barthes yang mengacu terhadap dua tanda (konotasi dan denotasi) untuk memahami makna yang terkandung di dalam foto-foto yang menjadi headline

pada Koran Tempo bulan desember 2008 sampai bulan januari 2009.

Media massa pada dasarnya sangat sulit bersikap netral karena mereka dihantui oleh berbagai kepentingan. Belum lagi aspek ideologi. Berbagai kepentingan, baik bisnis maupun politik sangat berpengaruh pada saat pembingkaian peristiwa tertentu.

Koran Tempo merupakan salah satu media massa cetak yang terbit setiap harinya. Dalam penerbitannya Koran Tempo hampir selalu menyertakan foto berita berdasarkan permasalahan atau peristiwa berbeda-beda yang akan diangkat. Foto-foto berita pada Koran Tempo, terlebih foto yang menjadi headline

seringkali menampilkan foto-foto yang menarik, kuat dan memiliki relevansi dengan berita yang ditulis.

Dari empat foto sampel yang dianalisis, tidak semuanya memiliki keenam prosedur semiotika konotasi roland barthez tetapi ada beberapa prosedur yang lebih ditonjolkan seperti Trick Effect, Object, Photogenia. Hal ini terlihat pada cropping sebagian foto dan manipulasi foto, objek utama yang ditonjolkan, cara fotografer mengambil gambar, serta keterangan foto yang bersifat mengarahkan pembaca.


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil alamin Segala puji dan syukur penulis panjatkan bagi Allah Swt Tuhan semesta alam, atas limpahan karunia dan ridho-Nya yang tidak pernah putus memberikan nikmat dan barakah-Nya kepada seluruh makhluk-Nya. Shalawat serta salam senantiasa kita curahkan kepada Rasulullah Saw yang telah membawa ummatnya dari jalan kesesatan menuju jalan kebenaran. Penulis bersyukur setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya penulis pun dapat menyelesaikan karya ilmiah ini untuk mencapai gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I). Dalam penyusunan karya ilmiah ini tentu penulis menemui beberapa hambatan maupun rintangan, namun Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan karya ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan, namun penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembacanya. Tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, penulis tidak akan dapat menyelesaikan karya ini dengan baik. Maka dari itu pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. H. Arief Subhan M.A. Sebagai Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi serta sebagai Dosen pembimbing atas penulisan skripsi ini serta para Pembantu Dekan; Pudek I, Pudek II dan Pudek III.

2. Drs. Suhaimi, M.Si. Sebagai Ketua Konsentrasi Jurnalistik, dan Dra. Rubiyanah, M.A. Sebagai Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik yang telah


(5)

banyak memberikan pengarahan dan bantuan kepada penulis selama kuliah.

3. Para dewan sidang yang terhormat, Drs. Study Rizal LK, MA selaku ketua sidang, Rubiyanah, MA selaku sekertaris sidang, Dra. Asriati Jamil, M.Hum dan Drs. Suhaimi, M.Si selaku penguji 1 dan penguji 2. 4. Seluruh Dosen, Karyawan, dan Staf Fakultas Dakwah dan

Komunikasi, yang telah banyak membantu penulis selama proses perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Secara khusus kepada kedua orang tua penulis, Moch. Dawam dan Siti Suyanti yang selalu memberikan kasih sayang berlimpah dan tidak akan pernah bisa terbalas, terima kasih ayah dan bunda. Hanya Doa penulis kepada Allah SWT semoga ridho-Nya selalu menyertai ayah dan bunda Tercinta.

6. Kedua Adik penulis, Nurul Laily Mariani Fadjrin dan Bunga Ayu Lestari.

7. Untuk Yikki Arstania, terima kasih atas semua motivasi, dukungan dan doa serta semangat yang selalu diberikan.

8. Seluruh staf dan karyawan PT. Tempo Inti Media, Khususnya Rully Kesuma selaku narasumber yang telah memberikan banyak masukan kepada penulis.

9. Keluarga Besar Komunitas Mahasiswa Fotografi (KMF) KALACITRA; Andikey, Sinden, Metal, Ghoib, Apo, Meler, DJ, Liga, Hilma, Ardi, Chris, Zukie, Agin, Kikim, Sobok, Elisha, Jose, Didik, Temon dan seluruh saudaraku yang berdarah Kalacitra.


(6)

10.Teman-teman BATIK Group; Arifin, Aris, Alfan, Tedi, Ihsan, Fikka, Feby, Nia, Irma, Haia, Yefhi, Emi, Maya & Nissa serta teman-teman seperjuangan lainnya di konsentrasi Jurnalistik 2005 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Kalian telah banyak memberikan kenangan, suka maupun duka kita bersama-sama selama kuliah di Fakultas Dakwah dan Komunikasi.

11.Keluarga Besar Jurnalistik, dari angkatan pertama (2004) hingga saat kini. Penulis sangat bangga dan bahagia menjadi bagian dari sejarah Jurnalistik di kampus yang kita banggakan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

12.Teman-teman Basecamp, Karang Taruna IKRAM, Sellon band, d’Move band dan juga d’Bojez band serta Metamorfosis lanjutan dari band penulis yang terbaru.

Akhirnya penulis hanya mampu mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Semoga Allah Swt semakin menambah Rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Penulis mohon maaf bila terdapat kesalahan dalam penulisan karya ilmiah ini, Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk para pembacanya. Amiiiin.

Wassalam Jakarta, November 2009


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK... i

KATA PENGANTAR... ii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Metodolgi Penelitian... 6

F. Tinjauan Kepustakaan... 10

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI A. Pengertian Fotografi dan Foto Berita... 13

B. Pengertian Headline ... 18

C. Fungsi Headline... 21

D. Pengertian Semiotika ... 23

BAB III GAMBARAN UMUM A. Sejarah Serta Perkembangan Koran Tempo ... 41

B. Visi dan Misi ... 44

C. Struktur Redaksi Koran Tempo ... 45

D. Prestasi ... 46

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA A. Analisis Data 1 ... 49

B. Analisis Data 2 ... 55

C. Analisis Data 3……… ... 60

D. Analisis Data 4... ... 64

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 68

B. Saran-saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 72 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 ... 27

Gambar 2 ... 29

Gambar 3 ... 49

Gambar 4 ... 55

Gambar 5 ... 60


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Fotografi adalah seni atau proses atau metode untuk menghasilkan gambar atau foto dari suatu obyek dengan merekam pantulan cahaya yang mengenai obyek tersebut pada media yang peka cahaya melalui sebuah alat yang biasa disebut kamera.

Fotografi memiliki banyak cabang atau kekhususan, diantaranya: fotografi jurnalistik, fotografi potret, fotografi alam, fotografi seni murni dan lain lain.

Fotografi jurnalistik atau foto jurnalistik adalah kombinasi dari kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi. Foto Jurnalistik merupakan salah satu media penyampai berita melalui bentuk visual yang juga sebagai kombinasi dari kata dan gambar yang menghasilkan satu kesatuan komunikasi.1 Sedangkan pengertian foto jurnalistik secara universal adalah gambar-gambar yang dihasilkan lewat proses fotografis dengan maksud menyampaikan suatu pesan, informasi, cerita tentang suatu peristiwa yang menarik bagi publik dan diserbarluaskan lewat media massa. Ciri-ciri foto jurnalistik adalah memiliki nilai berita atau menjadi berita itu sendiri, melengkapi suatu berita /artikel, dimuat dalam suatu media.

Melalui sebuah foto, kita juga dapat mensyiarkan ajaran agama Islam dalam bentuk pesan visual. Maka dari itu, foto jurnalistik tidak dapat

1


(10)

diabaikan begitu saja dalam sebuah penyajian berita. Banyak media massa, terutama media cetak dan online, menyadari hal itu dengan selalu melengkapi berita yang disajikan dengan sebuah foto atau lebih.

Foto-foto yang dimuat di suratkabar atau majalah merupakan visualisasi dari suatu kejadian adalah berita. Foto untuk para pers biasanya disebut foto jurnalistik. Foto-foto yang ditampilkan untuk pemberitaan, tidak hanya untuk berita tulis saja. Akan tetapi foto-foto yang disajikan itu sudah menjadi berita. Sedangkan fungsi foto pada berita sebagaimana halnya pada

headline yaitu: menarik perhatian pembaca, menceritakan isinya, memberi mutu pada berita, membuat suratkabar atau majalah lebih menarik. Karena foto adalah bentuk komunikasi visual, maka secara langsung dia menyentuh perasaan sehingga mempercepat terbentuknya pendapat umum.2

Namun terkadang kerap kali terjadi perbedaan persepsi antar penikmat foto atau khalayak terhadap sebuah foto. Perbedaan tersebut wajar terjadi, karena tiap-tiap individu memiliki pendapat sendiri terhadap sebuah foto berdasarkan latarbelakang individu tersebut. Hal ini menjadi masalah apabila khalayak tidak menerima pesan yang sampaikan fotografer, bahkan terjadi kesalahan pemahaman terhadap foto berita yang dianggap menyesatkan.

Berita yang disusun dalam benak manusia bukan merupakan peristiwa manusia. Berita adalah peristiwa itu sendiri. Berita merupakan usaha rekonstruksi kerangka peristiwa yang terjadi. Berita dalam konteks komunikasi massa, lebih merupakan inti yang disesuaikan dengan kerangka

2


(11)

acuan yang dipertimbangkan agar peristiwa itu memiliki makna bagi para pembacanya.

Berita dalam kapasitasnya sebagai pembentuk dan dinamisator pengolahan interpretasi atas peristiwa manusia, menjadi hal yang sangat penting dalam proses pembentukan konstruk sosial. Berita, pada titik tertentu, sangat mempengaruhi manusia merumuskan pandangannya tentang dunia. Pandangan terhadap dunia adalah bingkai yang dibuat oleh manusia untuk menggambarkan tentang apa dan bagaimana dunia dipahami. Berbagai pengalaman hidup manusia dimaknai dalam bingkai tersebut. Tanpa adanya bingkai yang jelas, kejadian, peristiwa dan pengalaman manusia akan terlihat “kacau” dan chaos. Bingkai pengalaman dapat dilihat sebagai “skenario awal” yang memposisikan setiap pengalaman dan peristiwa dalam plot cerita yang kurang lebih runtut, rasional dan sistematis.

Dalam pemberitaan, terutama pemilihan headline media dituntut untuk bersikap adil dan netral serta objektif. Namun pada kenyataan tidak selalu demikian. Sangat banyak peristiwa yang sebenarnya sangat krusial namun media cenderung mengabaikannya. Sebagai contoh kasus model Indonesia, Manohara Odelia Pinot yang cenderung dibesar-besarkan namun pada saat bersamaan terjadi penertiban PKL yang menyebabkan meninggalnya anak kecil. Dalam kasus ini tersirat ada suatu kepentingan baik politis maupun strategis bagi suatu media.

Media massa pada dasarnya sangat sulit bersikap netral karena mereka dihantui oleh berbagai kepentingan. Belum lagi aspek ideologi. Berbagai


(12)

kepentingan, baik bisnis maupun politik sangat berpengaruh pada saat pembingkaian peristiwa tertentu.

Koran Tempo merupakan salahsatu suratkabar yang menyajikan foto berita pada setiap penerbitannya. Dalam penempatan foto berita, Koran Tempo

memiliki pertimbangan tertentu pada penyajiaannya dalam bentuk foto berita, karena bukan hal yang sederhana ketika suatu media yakni Koran Tempo

memutuskan untuk menampilkan foto berita dalam setiap pemberitaanya. Koran Tempo sebagai media yang menjadi tolak ukur media di Indonesia, ternyata cukup hati-hati dalam menempatkan diri di benak orang. Profesionalisme yang harus terus dianut oleh seluruh jajaran Koran Tempo

membuat mereka memiliki tempat istemewa di hati pembaca dan pelanggan setianya, termasuk pemunculan foto atau gambar pada headline suratkabar ini. Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis bermaksud melakukan penelitian dengan judul: ANALISIS SEMIOTIKA FOTO BERITA HEADLINE KORAN TEMPO.


(13)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar penelitian ini lebih terarah dan tidak melebar, maka yang diteliti dalam penelitian ini terbatas pada makna-makna yang terkandung di dalam empat foto berita Headline Koran Tempo edisi bulan Desember 2008 – Januari 2009.

.

Berdasarkan pembatasan masalah yang tertulis diatas, maka perumusan masalah penelitian ini adalah:

1. Apa makna denotasi pada foto berita di Headline dalam Koran Tempo? 2. Apa makna Konotasi pada foto berita di Headline dalam Koran Tempo? 3. Mitos apa yang terdapat pada pada foto berita di Headline dalam Koran

Tempo?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini memberi pengetahuan mengenai makna dalam sebuah foto dan untuk mengatasi salah membaca pesan dari foto berita.

Tujuan khusus dari penelitian ini mendeskripsikan dan menganalisa beberapa permasalahan, sebagai berikut:

1. Makna denotasi yang terkandung pada foto berita di Headline dalam Koran Tempo?

2. Makna Konotasi yang terkandung pada foto berita di Headline dalam Koran Tempo?


(14)

D.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran mengenai dunia fotografi khususnya fotografi jurnalistik/foto berita kepada mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik khususnya dan kepada setiap orang yang ingin dan sedang terjun di dalam bidang fotografi jurnalistik. Selain itu, memberikan gambaran mengenai cara membaca makna dan menerapkan ilmu tanda yaitu semiotika dalam membaca makna dalam foto/gambar dalam sebuah foto berita agar mereka lebih kritis dan aktif dalam memaknai foto berita di media massa.

2. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan gambaran tahapan yang perlu diperhatikan sebelum membuat sebuah foto berita dan tahapan dalam membaca makna yang terkandung didalam foto berita khususnya menggunakan ilmu semiotika.

E. Metodologi Penelitian

Metode penelitian ini adalah paradigma interpretatif, dimana pemaknaan hanya terjadi pada konsep mental pada tiap-tiap individu, sebab penelitian ini bersifat subjektif. Penelitian kualitatif biasanya digunakan dalam ilmu pengetahuan sosial yang berhubungan dan berinteraksi langsung dengan manusia dan dalam proses pemaknaan tidak lepas dari unsur subjektifitas.


(15)

Pendekatan subjektif mengasumsikan bahwa3: ”pengetahuan tidak mempunyai sifat objektif dan tetap, tetapi bersifat enterpretatif.

Penelitian ini mendasarkan diri kepada hal-hal yang bersifat diskursif, seperti transkrip dokumen, catatan lapangan, hasil wawancara, dokumen-dokumen tertulis dan data nondiskursif (seperti candi, monumen, arsitektur, foto, musik, video, gerakan-gerakan tari, fashion dan hidangan makanan tersaji dalam suatu food festival). Pijakan analisis dan penarikan kesimpulan dalam penelitian komunikasi kualitatif adalah kategori-kategori substansif dari makna-makna atau lebih tepatnya adalah interpretasi-interpretasi terhadap gejala yang diteliti.4

1. Subjek, Objek dan Tempat Penelitian

Yang menjadi subjek penelitian adalah Koran Tempo. Sedangkan, objek penelitian ini ialah foto-foto berita Headline pada Koran Tempo.

Tempat pengambilan data dalam penelitian ini akan dilaksanakan di Kantor redaksi koran Tempo, Kebayoran Centre Blok A11-A15, Jalan Kebayoran Baru-Mayestik, Jakarta 12240, Indonesia.

2. Sampel Sumber Data

Dalam penarikan sample, peneliti menggunakan tekhnik pengambilan sampel purposive sampling. Seperti yang dikutip oleh Fatimah dalam skripsinya yang berjudul Makna Foto Berita Perjalanan Ibadah Haji (Analisis Semiotika Karya Zarqani Maksum Pada Galeri Foto Antara.co.id), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa purposive

3

Dedy Mulyana, Metodelogi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002) h.

4

Parwito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, (Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara, 2007), h. 37-38.


(16)

sampling yaitu metode penetapan sampel dengan berdasarkan pada kriteria-kriteria tertentu. Sample yang diambil mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Juga, dipilih secara sengaja oleh peneliti.

Sample sumber data yang dipilih oleh peneliti ialah empat foto

Headline Koran Tempo edisi bulan Desember 2008 – Januari 2009. 3. Teknik Pengumpulan Data

a. Observasi

Karl Weick mendefinisikan observasi sebagai pemilihan, pengubahan, pencatatan dan pengoden serangkian perilaku.5 Menurut Indriantoro dan Supomo, observasi adalah proses pencatatan pola perilaku subjek (orang), objek (benda-benda) atau kejadian yang sistematik tanpa adanya pertnyaan atau komunikasi dengan individu-individu. Data yang dikumpulkan pada umumnya tidak terdistorsi, lebih akurat dan rinci, serta bebas dari respon bias.6 Dalam penelitian ini, peneliti melakukan pengamatan dengan melihat langsung serta mencermati setiap tanda-tanda pada objek penelitian yakni empat foto headline pada Koran Tempo edisi bulan desember 2008 sampai januari 2009.

b. Dokumentasi

Dokumen adalah resepresentasi dari arsip. Dokumen adalah rekaman peristiwa yang lebih dekat dengan percakapan.7

5

Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: Rosdakarya, 2005), h. 83.

6

Rosady Ruslan, Metode Penelitian Public Relation dan Komunikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 34.

7

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), h. 97.


(17)

Dokumentasi adalah penelitian mengumpulkan, membaca dan mempelajari berbagai bentuk data tertulis (buku, majalah, atau jurnal) yang terdapat di perpustakaan, internet atau instansi lain yang dapat dijadikan analisis dalam penelitian ini. Dokumen-dokumen yang ada kemudian dipelajari untuk memperoleh data dan informasi dalam penelitian ini. Peneliti mengumpulkan data yang berhubungan dengan penelitian berupa empatt foto headline

Koran Tempo. c. Wawancara

Wawancara (interview) merupakan alat pengumpulan data yang sangat penting dlam penelitian komunikasi kualitatif yang melibatkan manusia sebagai subjek (pelaku atau aktor).8 Wawancara adalah salah satu faktor penting dalam menggali informasi dari narasumber.9 Dalam penelitian ini dilakukan wawancara mendalam (in-depth interview), yaitu wawancara yang bersifat terstruktur dan mendetail.10 Dalam hal ini, wawancara langsung dan mendalam dilakukan kepada Rully Kesuma yang menjabat redaktur foto Koran Tempo.

4. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis semiotika, yaitu dengan semiotika Roland Barthes yang mengacu terhadap dua tanda (konotasi dan

8

Parwito, Penelitian Komunikasi Kualitatif, h. 132. 9

http://www.deptan.go.id/pusdatin/statistik/metodologi/3_wawancara.pdf. diakses pada 17 Juli 2009

10


(18)

denotasi) untuk memahami makna yang terkandung di dalam foto-foto yang menjadi sample dalam penelitian ini.

F. Tinjauan Kepustakaan

Foto berita merupakan salah satu pokok penting dari sebuah berita. Yurnaldi mengatakan dalam buku Jurnalistik Siap Pakai, bahwa foto-foto jurnalistik sangat penting dan perlu dalam dunia media cetak. Karena foto membuat segar halaman surat kabar, menolong mata pembaca untuk melihat hal-hal menarik, memisahkan dua berita agar tidak monoton. Penelitian dengan subjek foto berita pernah dilakukan oleh Septian Ermawan, mahasiswa IISIP Jakarta, pada tahun 2008. Judul penelitiannya ialah Penyajian foto Headline suratkabar Republika edisi juli-desember 2007 dilihat dari nilai berita, syarat foto berita dan syarat caption.

Selain itu, skripsi lain yang juga meneliti foto berita dan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes disusun oleh Fatimah Thamrin, mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi Jakarta pada tahun 2008, berjudul Makna Foto Berita Perjalanan Ibadah Haji (Analisis Semiotika Karya Zarqoni Maksum Pada Galeri Foto Antara.co.id)”.


(19)

G. Sistematika Penulisan

Bab I: Pendahuluan, yang terdiri dari Latar Belakang, yaitu penjabaran masalah yang dibahas dalam penelitian ini dan seberapa pentingnya penelitian foto jurnalistik/foto berita yang diteliti menggunakan analisis semiotika dan terdapat di Headline Koran

Tempo untuk dibahas. Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Kepustakaan dan Sistematika Penulisan.

Bab II: Menjabarkan isi penelitian yang didapatkan dari hasil studi pustaka dan teori yang digunakan dalam penelitian ini. Yaitu, pengertian fotografi jurnalistik, pengertian Headline, pengertian semiotika serta bagaimana membaca makna yang terdapat dalam foto/gambar menggunakan analisis semiotika, terutama menggunakan teori semiotika Roland Barthes.

Bab III: Membahas profil Koran Tempo yang sekarang merupakan surat kabar besar nasional. Sejarah berdirinya Koran Tempo, perjalanannya hingga bertahan sampai sekarang dan memiliki banyak divisi di dalamnya. Seberapa besar pengaruh Headline

Koran Tempo dalam setiap berita yang dipublikasikan dan disebarkan kepada masyarakat.

Bab IV: Bagian analisis data tentang makna yang terkandung dari foto jurnalistik di Headline Koran Tempo bulan Desember 2008 – Januari 2009 dengan menggunakan semiotika Roland Barthes.


(20)

Bab V: Merupakan penutup, yaitu kesimpulan dari hasil penelitian serta saran-saran untuk memajukan para fotografer maupun yang ingin menjadi fotografer dalam penyajian atau pengambilan foto agar tidak sembarang dan memiliki konsep yang matang dalam pengambilan sebuah foto.


(21)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Fotografi dan Foto Berita

Kata fotografi (Inggris: Photography; Belanda: Fotografic) berasal dari bahasa Yunani, dari kata phos artinya cahaya dan graph yang berarti menulis atau menggambar. Jadi, secara harfiah, fotografi berarti menggambar dengan bantuan cahaya.11 Foto yaitu cahaya dan grafi ialah tulisan.

Foto adalah suatu pesan yang dibentuk oleh sumber emisi, saluran transmisi dan titik resepsi. Struktur sebuah foto bukanlah sebuah struktur yang terisolasi, karena selalu berada dalam komunikasi dengan struktur lain, yakni teks tertulis, judul, keterangan, artikel, yang selalu mengiringi foto. Dengan demikian pesan keseluruhannya dibentuk oleh ko-operasi dua struktur yang berbeda.12

Foto merupakan sinonim potret. Arti harfiahnya ialah gambar yang dibuat dengan kamera dan peralatan fotografi lainnya. Fotografi dapat menjadi media komunikasi. Foto harus dibedakan menjadi banyak kategori dengan tujuan untuk mempermudah pembuatan dan pemanfaatannya, sesuai dengan standar kualitas bagi masing-masing keperluan.13

Fotografi pada umumnya dipandang sebagai suatu proses teknologi yang memungkinan kita membekukan waktu, gerak atau peristiwa yang terdapat dalam

11

M. Mudaris, Jurnalistik Foto, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996), h. 7.

12

Ajidarma Gumira Seno, Kisah Mata, Fotografi, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h. 27.

13

F. Rahardi, Panduan Lengkap Menulis Artikel, Features, (Depok: Kawan Pustaka, 2006), h. 83.


(22)

kenyataan tri-matra. Dengan bantuan bahan peka cahaya (film dan kertas) mengubahnya menjadi kenyataan dwi-matra, baik secara monochrome (hitam-putih) ataupun berwarna (di kertas atau bahan transparan). Dengan demikian, sebuah foto pada dasarnya adalah wujud satu moment dari satu atau serangkaian gerak.14

Suatu foto yang baik adalah sama dengan seribu kata, dan dengan demikian foto menjadi suatu alat yang essensial dalam pewartaan kantor berita atau media cetak. Kualitas sebuah foto tergantung dari kualitas si pengambil gambar; subjek foto tergantung dari penggunaan kameranya secara penuh daya angan-angan atau imajinatif. Terlebih-lebih, sebuah gambar harus menangkap

action penting, pada saat yang menentukan, sebagaimana dikatakan oleh fotografer termashur Henri Cartier-Bresson.15

Foto berita ialah dibuat oleh seorang wartawan foto, dengan menggunakan kamera foto, berupa gambar. Disusun berdasarkan kaidah-kaidah fotografi serta kaidah-kaidah jurnalistik. Foto berita adalah fakta objektif karena kamera foto tidak dapat berbohong dalam membuat gambar.16

Menurut Oscar Motullah dalam makalahnya “suatu pendekatan visual dengan suara hati”, foto jurnalistik adalah suatu medium sajian untuk menyampaikan beragam bukti visual atas suatu peristiwa pada masyarakat seluas-luasnya, bahkan hingga kerak dibalik peristiwa tersebut, tentu dalam tempo yangsesingkat-singkatnya. Melihat foto jurnalistik sebagai kajian artinya memasuki matra yang memiliki tradisi kuat tentang proses sesuatu yang

14

Ed Zoelverdi, Mat Kodak, (Jakarta: PT. Temprint, 1985), h. 76. 15

LKBN Antara, Sebuah Pedoman untuk Pewarta Kantor Berita (Jakarta, PT. Sinar Hudaya), h. 115

16


(23)

dikomunikasikan, dalam hal ini yang bernilai berita kepada orang lain atau khalayak lain dalam masyarakat17.

Wilson Hick, redaktur senior majalah Life (1937-1950) dalam buku world and Pictures (New York, Harper dan Brother, Arno Press 1952, 1972), foto jurnalistik adalah media komunikasi verbal dan visual yang hadir bersamaan18.

Henri Cartier-Bresson, salah satu pendiri agen foto terkemuka Magnum

yang terkenal dengan teori “Decisive Moment” menjabarkan, foto jurnalistik berkisah dengan sebuah gambar, melaporkannya dengan sebuah kamera, merekamnya dalam waktu, yang seluruhnya berlangsung seketika saat suatu citra tersebut mengungkap sebuah cerita19.

Secara umum foto berita atau foto jurnalistik adalah merupakan gabungan medium visual dan medium verbal yang artinya foto dilengkapi dengan tulisan yang mengantar dari isi foto itu sendiri20

Secara umum foto berita atau foto jurnalistik adalah merupakan gabungan medium visual dan medium verbal yang artinya foto dilengkapi dengan tulisan yang mengantar dari isi foto itu sendiri21.

Jenis-jenis foto jurnalistik dapat diketahui melalui kategori yang dibuat Badan Foto Jurnalistik Dunia (World Press Photo Foundation) pada lomba foto tahunan yang diselenggarakan bagi wartawan seluruh dunia kategori itu adalah sebagai berikut:22

17

Makalalah Seminar Fotografi oleh Eddy Hasby (artikel pada www.tribunkaltim.co.id) 18

ibid 19

ibid 20

Wawancara langsung dengan Rully Kesuma, redaktur foto Koran Tempo. 21

Wawancara langsung dengan Rully Kesuma, Redaktur Foto Koran Tempo. 22

Audy Alwi Mirza, Foto Jurnalistik Metode Memotret dan Mengirim Foto ke Media Massa (Jakarta, Bumi Aksara, 2004) h. 7-9


(24)

a. Spot Photo

Foto spot adalah foto yang dibuat pada peristiwa yang tidak terduga yang langsung diambil oleh fotografer di tempat kejadian. Misalnya, foto kecelakaan, kebakaran, perkelahian, dan perang. Karena dibuat dari peristiwa yang jarang terjadi serta menampilkan konflik dan ketegangan, maka foto spot harus segera disiarkan. Dalam hal ini, keberanian seorang fotografer sangat dibutuhkan. Selain itu, keberuntunganpun menjadi patokan utama dalam hal posisi dan keberadaannya.

b. General News Photo

General News Photo Adalah yang diabadikan dari peristiwa-peristiwa yang terjadwal, rutin, dan biasa. Temanya bisa bermacam-macam, yaitu, politik, ekonomi dan humor. Contohnya, presiden membuka pameran foto, pertunjukan badut di suatu acara, dan lain-lain. c. People in the News Photo

People in the News Photo Adalah foto tentang orang atau masyarakat dalam suatu berita. Yang ditampilkan adalah sosok orang pada berita itu. Bisa kelucuannya, nasib, dan lain sebagainya. Tokoh-tokoh dalam foto ini bisa tokoh yang populer dan bisa juga tidak, akan tetapi kemudian menjadi populer karena foto tersebut di publikasikan. Contohnya, foto Juned, korban kecelakaan peristiwa tabrakan kereta api Bintaro.


(25)

d. Daily Life Photo

Daily Life Photo Adalah foto tentang kehidupan sehari-hari manusia dipandang dari segi kemanusiaannya. Misalnya, foto seorang pengemis di depan sebuah Universitas.

e. Portrait

Portrait Adalah foto yang menampilkan wajah seseorang secara

close up. Ditampilkan karena ada kekhasan pada wajah yang dimiliki atau kekhasan lainnya.

f. Sport Photo

Sport Photo Adalah foto yang dibuat dari peristiwa olahraga. Karena olahraga berlangsung pada jarak tertentu antara atlet dengan penonton dan fotigrafer, dalam pembuatan foto olehraga diperlukan perlengkapan yang memadai, misalnya lensa yang panjang, serta kamera yang menggunakan motor drive. Menampilkan gerakan dan ekspresi atlet, serta hal lain yang menyangkut olahraga.

g. Science and Technology Photo

Secience and Technology Photo Adalah foto yang diambil dari peristiwa-peristiwa yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini, dalam pemotretan tertentu membutuhkan perlengkapan khusus, misalnya lensa mikro atau film x-ray , misalnya untuk pemotretan organ di dalam tubuh.

h. Art and Culture Photo

Art and Culture Photo Adalah foto yang dibuat dari peristiwa seni dan budaya. Misalnya, pertunjukan artis di atas panggung.


(26)

i. Social and Environmant

Adalah foto-foto tentang kehidupan sosial masyarakat serta lingkungan hidupnya. Misalnya, foto asap buangan kendaraan di jalan.

B. Pengertian Headline

Headline menurut Kurniawan Junaedhie merupakan berita utama atau lebih populer dengan istilah Headline News adalah yang dianggap layak dipasang di halaman depan, dengan judul yang merangsang perhatian dan menggunakan tipe huruf yang relatif besar. Pendeknya berita yang istemewa.23

Sementara Onong Uchjana Efendy mengatakan,” Headline News atau berita utama adalah berita suratkabar, majalah, radio atau televisi, yang dinilai terpenting untuk suatu masa penyiaran.24

Menurut A.M. Hoeta Soehoet pengertian berita utama adalah :

Berita Utama adalah berita yang menurut penilaian redaksi suratkabar merupakan berita penting dari semua berita yang disajikan suratkabar pada hari itu. Karena itu, untuk Headline diberikan tempat utama, yang mudah dibaca, yaitu halaman satu atau halaman pertama dan bagian atas yang paling kiri, Headline

biasanya terdiri dari 3, 4 atau 5 kolom.25

Berdasarkan isinya headline dapat dikelompokkan ke dalam 2 kategori yaitu langsung dan tidak langsung. Headline langsung bersifat informatif dan terus terang. Headline seperti ini cenderung menggunakan daya tarik rasional. Daya tarik rasional membangkitkan kepentingan diri audience. Daya tarik rasional menunjukkan bahwa produk tersebut akan menghasilkan manfaat yang dikatakan.

23

Kurniawan Junaedhie, Ensiklopedi Pers Indonesia, (Gramedia Pustaka Utama, 1991), h.257

24

Onong Uchjana Effendy, Dimensi-dimensiKomunikasi, ( Bandung: Mandar Maju, 1981), h.160

25

A.M. Hoeta Soehoet, Dasar-dasar Jurnalistik, (Jakarta: Yayasan Kampus Tercinta IISIP, 2003), h.78


(27)

Contohnya adalah headline yang menunjukkan kualitas, nilai ekonomis, manfaat, atau kinerja suatu produk. Ditinjau dari segi demografis dan psikografis, tampaknya audience pada kebudayaan industrial paling respontif terhadap

headline ini.

Headline tidak langsung tidak seselektif headline langsung dalam memberi informasi. Headline jenis ini cenderung menggunakan daya tarik emosional. Daya tarik emosional mencoba membangkitkan emosi positif atau negatif yang akan memotivasi pembelian. Dalam hal ini headline memiliki asosiasi yang unik bagi audience yang secara emosional mampu mendorong munculnya suatu image yang baik mengenai produk yang diiklankan. Hal itu dapat dicapai dengan menggunakan daya tarik negatif seperti rasa takut, rasa bersalah, dan malu agar orang berhenti melakukan hal yang seharusnya tidak mereka lakukan. Selain itu, juga dapat digunakan daya tarik emosional yang positif seperti humor, cinta, kebanggaan, dan kebahagiaan.

Berdasarkan bentuknya headline dikelompokkan ke dalam 6 kategori, diantaranya sebagai berikut26:

1. headline berita menyatakan suatu berita (“Krisis Multifungsi Segera Selesai …”);

2. headline pertanyaan biasanya mengajukan pertanyaan problematik (“Saban Bulan Mengganggu Sampeyan?”);

3. headline narasi menceritakan sesuatu peristiwa yang mengesankan (“Permen Yang Terlalu Enak Buat Anak Kecil …”);

26

Pranata, Moeljadi. Apakah Desain Komunikasi Visual Itu?, (Surabaya: Fakultas Seni dan Desain UK Petra, 2000). h. 76-79


(28)

4. headline perintah biasanya mensugesti audiens untuk melakukan sesuatu tindakan (“Jangan Membeli Sebelum Anda Mencoba Ketiganya …”);

5. headline cara 1–2–3 berisi kiat untuk mengatasi persoalan (“12 Cara Untuk Mengurangi Pajak Penghasilan Anda”)

6. headline bagaimana–apa–mengapa mengungkapkan rangkaian kejadian sebab-akibat (“Mengapa Mereka Tidak dapat Berhenti Membeli”).

Merancang sebuah headline bukan pekerjaan yang sekedar mengandalkan akal sehat, pikiran kritis, kreativitas, atau intuisi. Secara teknis headline dituntut untuk mudah dimengerti pada saat dibaca sekilas, serta dapat berkomunikasi secara cepat dengan ide yang tepat pula. Suatu penelitian mengenai dua versi iklan yang sama – dengan elemen-elemen iklan yang sama persis namun dengan

headline yang berbeda, telah menimbulkan reaksi audiens secara berbeda pula. Untuk menulis headline dibutuhkan waktu berhari-hari. Dalam hari-hari yang dihabiskan untuk ‘mengkuatirkan perkataan’ itu barangkali telah dihasilkan puluhan, atau bahkan ratusan headline, dan desainer harus memilih satu diantaranya yang dianggap paling tepat. Tapi, pilihan ini belum tentu sesuai dengan kebutuhan audience.

Pada prinsipnya, perancangan headline idealnya berpihak pada karakteristik dan kebutuhan target audiens. Untuk itu, desainer tidak dapat sekedar mengandalkan kreativitas. Eksplorasi kreatif barangkali mampu menghasilkan


(29)

suatu headline yang unik dan menarik, namun hal ini belum cukup memberikan jaminan bahwa audience bersedia melanjutkan ketertarikannya itu.

Sesungguhnya, apapun isi dan bentuknya, headline harus mampu mengemban fungsinya secara optimal. Sebuah headline yang bagus akan mampu menghentikan audience, menerangkan produk dan merk, serta memulai penjualan dengan menarik perhatian audiens ke arah bodycopy.

C. FUNGSI HEADLINE27

Pada dasarnya, headline yang bagus akan menarik perhatian audience

yang memiliki prospek; headline tidak akan menarik perhatian mereka yang tidak berkepentingan dengan produk. Sebuah headline yang bagus akan memilih target

audience -nya dengan membicarakan kesenangan mereka.

Headline berfungsi untuk menghentikan audience. Salah satu cara untuk menghentikannya adalah dengan melalui pesan yang menantang. Teknik ini akan semakin memiliki pengaruh jika mengundang audience untuk berpartisipasi dalam mengembangkan pesan, atau dipaksa untuk membaca dan menemukan jawabannya. Untuk itu, pesan yang agak tidak sesuai dengan yang diyakini audiens merupakan penarik perhatian yang paling berharga.

Headline juga berfungsi untuk menerangkan produk dan merk. Untuk itu,

headline mengemban tugas untuk menjawab pertanyaan: “Apa kebaikan merk itu?” Satu dari tantangan terbaik dalam perancangan headline ialah menciptakan memori, bahwa merk yang ditawarkan merupakan yang terbaik untuk jenis produk itu. Sehubungan dengan itu, dibutuhkan kunci verbal sebagai pengingat dan

27


(30)

pemandu identitas sesuatu merk. Kunci verbal yang bagus antara lain ditunjukkan oleh headline 7-Up yang memberitakan bahwa 7-Up bukanlah minuman cola dengan “The Un-Cola ”.

Fungsi lain dari headline yang bagus adalah untuk mengenalkan ide yang hendak dijual. Hal ini dapat dilakukan jika iklan akan dibarengi dengan perencanaan penjualan, strategi pemasaran, atau strategi promosi yang unik. Contoh headline ini antara lain dapat dilihat pada Sprite dengan headline “Ku Tahu Yang Ku Mau”. Akhirnya, headline yang bagus akan mengajak audience

untuk membaca bodycopy. Hal ini bukanlah hal yang mudah, sebab riset telah menunjukkan bahwa hanya 20% mereka yang membaca headline meneruskan untuk membaca bodycopy. Idealnya, setiap target audience yang membaca

headline melanjutkannya membaca bodycopy. Jika hal ini tidak terjadi, headline

dipastikan belum berfungsi secara baik; headline hanya berfungsi untuk menarik perhatian, tetapi tidak mampu mengikat perhatian.

Headline dapat diartikan sebagai berita utama. Secara bahasa head berarti kepala. Line berarti garis. Jadi dapat diartikan kepala garis atau kepala berita. Dalam media cetak, headline merupakan berita yang paling banyak dibaca dan menarik perhatian. Jika peristiwa itu dijadikan headline maka pihak terkait atau khalayak menganggapnya sebagai peristiwa penting. Di sinilah media sangat berperan membentuk opini publik (public opinion).

Headline yang peneliti maksud adalah berita utama yang ditempatkan pada halaman depan surat kabar yang diteliti. Hal ini menjadi pertimbangan karena headline yang berada pada halaman depan adalah peristiwa yang dianggap penting oleh pemilik dan orang-orang yang berada di media tersebut.


(31)

Grand, M. Hyde dalam bukunya The Journalitic Writing, mengatakan bahwa judul dalam sebuah surat kabar dapat dinamakan headline. Sedangkan dalam Majalah disebut heading atau titles.

Terdapat dua pengertian tentang headline. Headline sebagai judul berita. Dan headline sebagai berita utama yang ditonjolkan. Cirinya menggunakan huruf lebih besar dibanding dengan yang lain528.

D. Pengertian Semiotika

Secara etimologis semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti penafsir tanda atau tanda dimana sesuatu dikenal. Semiotika ialah ilmu tentang tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi. Semiotika ialah cabang ilmu dari filsafat yang mempelajari “tanda” dan biasa disebut filsafat penanda. Semiotika adalah teori dan analisis berbagai tanda dan pemaknaan. Menurut Umberto Eco, tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuau yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain.29 Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.30 Semiotika adalah ilmu yang secara sistematis mempelajari tanda-tanda, lambang-lambang, sistem-sistemnya dan prosesnya.31 Pada dasarnya para ahli semiotik melihat kehidupan sosial dan budaya sebagai pemaknaan, bukan sebagai hakikat esensial objek.32

28

http://homework-uin.blogspot.com/2009/07/perbandingan-berita-headline-pada.html

diakses pada 17 Juli 2009. 29

Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004) h. 95. 30

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi,(Bandung: Rosdakarya, 2006)h. 15. 31

Puji Santosa, Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra, (Bandung: Angkasa, 1931), h. 3.

32

Untung Yuwono dan Christomy. T, Semiotika Budaya, (Depok: Universitas Indonesia, 2004), h. 77-78


(32)

Secara terminologis, menurut Umberto Eco, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda.

Van Zoest mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.

Batasan yang lebih jelas dikemukakan oleh Preminger, yaitu, semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti.33

Menurut Pateda, Semiotika ada sembilan macam, yaitu:

1. Semiotik analitik, yakni semiotik yang menganalisa sistem tanda. Pierce mengatakan bahwa semiotik berobjekan tanda dan menganalisisnya menjadi ide, objek dan makna.

2. Semiotik deskriptif, yaitu semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang dapat kita alami sekarang, meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti yang disaksikan sekarang. Misalnya, langit mendung menandakan akan turun hujan, dari dahulu hingga sekarang tetap saja seperti itu. Namun, dengan majunya teknologi, pengetahuan dan seni, telah banyak tanda yang diciptakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhannya.

3. Semiotik faunal (zoosemiotic), yaitu semiotik yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Hewan biasanya menghasilkan tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya, tetapi sering juga menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan oleh manusia. Misalnya, seekor ayam betina yang berkotek-kotek menandakan ayam itu telah bertelur atau ada sesuatu yang ia takuti. Tanda yang dihasilkan oleh hewan ini, menjadi perhatian orang yang bergerak dalam bidang semiotik faunal.

33


(33)

4. Semiotik cultural, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu. Telah diketahui bahwa masyarakat sebagai makhluk sosial memiliki sistem budaya tertentu yang telah turun-temurun dipertahankan dan dihormati. Budaya yang terdapat dalam masyarakat yang juga merupakan sistem itu, menggunakan tanda-tanda tertentu yangmembedakannya dengan masyarakat yang lain.

5. Semiotik naratif, yakni semiotik yang menelaah sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore). Itu sebabnya Greimas (1987) memulai pembahasannya tentang nilai-nilai kultural ketika ia membahas persoalan semiotik naratif.

6. Semiotik natural, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda dihasilkan oleh alam. Air sungai keruh menandakan di hulu telah turun hujan dan daun pohon-pohonan yang menguning lalu gugur. Alam yang tidak bersahabat dengan manusia, misalnya banjir atau tanah longsor, sebenarnya memberikan tanda kepada manusia bahwa manusia telah merusak alam.

7. Semiotik normative, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu lintas.

8. Semiotik sosial, yakni semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambing, baik lambing yang berwujud kata maupun yang berwujud kalimat. Buku Halliday (1978) itu sendiri berjudul Language Social Semiotic. Dengan kata lain, semiotik sosial menelaah tanda yang terdapat pada bahasa.


(34)

9. Semiotik Sruktural, yaitu semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa. 34

Selain itu terdapat aliran semiotik konotasi yang dipelopori oleh Roland Barthes dimana pada waktu menelaah sistem tanda tidak berpegang pada makna primer, tetapi mereka berusaha mendapatkannya melalui makna konotasi. Barthes menyatakan bahwa ada dua sistem pemaknaan tanda: denotasi dan konotasi. Semiotika Barthes dinamakan semiotik konotasi ialah untuk membedakan semiotik linguistic yang dirintis oleh mentornya, Saussure.35

Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang mempunyai logika independent yang sangat menarik, berkaitan dengan maksud, keinginan, maupun tujuan manusis. Bagi Freud, strukturnya adalah psyche; bagi Marx, strukturnya adalah ekonomi; bagi Barthes, strukturnya ialah gambar; dan bagi Saussure, strukturnya adalah bahasa. Kesemuanya itu mendahului subjek manusia individual atau human agent dan menentukan apa yang akan dilakukan manusia pada semua keadaan.36

Dalam pemikiran Saussure yang paling penting dalam konteks semiotik adalah pandangannya mengenai tanda. Saussure memusatkan perhatian pada sifat dan perilaku tanda linguistik. Di dalamnya terdapat pokok-pokok pikiran yang nantinya memberi bentuk pada tradisi pengkajian tanda di Eropa, yang kemudian dikenal dengan istilah Semiologi (Ilmu tentang Tanda). Menurutnya, definisi tanda linguistik merupakan entitas dua sisi (dyad) yang bersifat arbitrer

34

Alex Sobur, Analisis Teks Media, h. 100-102. 35

ST. Sunardi, Semiotika Negativa, ( Yogyakarta: Kanal, 2002), h. 155. 36


(35)

(berdasarkan kesepakatan). Sisi pertama disebutnya dengan penanda (signifier)

yaitu aspek material dari sebuah tanda, sebagaimana kita menangkap bunyi pada saat orang berbicara. Bunyi tersebut berasal dari getaran pita suara (yang tentu saja bersifat material). Penanda verbal tersebut disebut Saussure sebagai “citra bunyi (sound image)”. Sisi kedua dari tanda -yaitu sisi yang diwakili secara material oleh penanda- disebut sebagai petanda (signified) yang merupakan konsep mental.37

Jadi, tanda menurut Saussure ada tiga. :

- Signifier (penanda), yaitu aspek material, wujud fisik dari tanda itu sendiri, bunyi atau coretan bermakna, misalnya: tulisan dikertas dan suara diudara.

- Signified (petanda), yaitu pikiran atau konsep yang direpresentasikan atau konsep sesuatu dari signifier.

- Hubungan antara keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan

Sign, yaitu upaya dalam memberi makna terhadap dunia.

Gambar 1. Asosiasi signifier dan signified

37

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 46-47.

SIGN

signified


(36)

Tanda menurut Saussure ialah hasil asosiasi antara signified (petanda) dan

signifier (penanda). Hubungan keduanya digambarkan dengan dua anak panah. Sebagai contoh: kata ‘laki-laki’ (yang terdapat di pintu WC) adalah terdiri dari:

- penanda: kata ‘laki-laki’

- petanda: sebuah ruang wc yang digunakan hanya untuk manusia berjenis kelamin laki-laki.38

Saussure mengibaratkan tanda, penanda, dan petanda seperti lembaran kertas; satu sisi kertas adalah penanda, sisi lainnya adalah petanda, dan kertas itu sendiri adalah tanda. Kita tidak dapat memisahkan penanda dan petanda dari tanda itu sendiri. Sebagai contoh, penyebutan kata arbor (sejenis pohon, Terj.) adalah tanda yang mengandung konsep “pohon (tree)” dan bukan ide keseluruhan dari

“arbor” itu sendiri, namun karena asosiasi terhadap “arbor” sebagai bentuk pohon telah menjadi konvensi publik, telah mengakibatkan konsep ide panca indera kita secara tak langsung menyatakan bahwa bagian ide tersebut menjadi konsep keseluruhan. 39

Tanda terdapat dimana-mana; kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, film, bangunan atau nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda.40

Untuk membahas semiotika gambar, pendekatan struktural Roland Barthes, pakar semiotika asal Prancis, tentang gambar memadai untuk melihat feomena gambar dalam teknologi komunikasi baru zaman sekarang. Fenomena gambar (mass image) tetap menarik perhatian kita sampai sekarang dan bahkan

38

Pappilon Manurung, Editor: M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi, h. 45-46.

39

Ferdinand de Saussure, A Course In General Linguistics, (New York: Mc. Graw-Hill, 1966).

40


(37)

masih menjadi perdebatan teoritis. Gambar sudah menjadi menu harian kita. Dilihat dari sisi ini. Perhatian Barthes pada fenomena gambar dapat kita tempatkan dalam satu garis dengan kritik budaya media (culture industry).41 Menurut Thomas, dalam semiotik sebuah teks merepresentasikan sebuah rangkaian koheren dari signifiers.42

Barthes menggunakan istilah orders of signification. First order of signification adalah denotasi, sedangkan konotasi adalah second order of signification. Tatanan yang pertama mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang disebut makna denotasi. Kemudian dari tanda tersebut muncul pemaknaan lain, sebuah konsep mental lain yang melekat pada tanda (penanda). Pemakaian baru inilah yang kemudian menjadi konotasi.43

Barthes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja:

Gambar 2. Peta Tanda Roland Barthes

Sumber: Paul Cobley & Litza Janz. 1999. Introducing Semiotics. NY: Totem Books, hlm. 51.

41

ST. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 156. 42

Pappilon Manurung, Editor: M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi, h. 39.

43

Ibid., h. 57.

1. signifier 2. signified (penanda) (petanda)

3. denotative sign (tanda denotative)

4. CONNOTATIVE SIGNIFIER 5. CONNOTATIVE SIGNIFIED (PENANDA KONOTATIF) (PETANDA KONOTATIF)


(38)

Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya. Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif.44

Barthes membedakan dua macam itu karena ia akan mencari batasan antara pesan denotatif dan konotatif. Untuk menciptakan sebuah semiotika konotasi gambar, kedua pesan ini harus dibedakan terlebih dahulu karena sistem konotasi sebagai semiotik tingkat dua dibangun di atas sistem denotatif. Dalam gambar atau foto, pesan denotasi adalah pesan yang disampaikan secara keseluruhan dan pesan konotasi adalah pesan yang dihasilkan oleh unsur-unsur gambar dalam foto.45 Sebagai contoh: secara denotatif, Babi adalah nama sejenis binatang, namun secara konotatif “babi” dapat diasosiasikan dengan hal lain, seperti: polisi yang korup, tentara yang kejam, dan lain sebagainya.

Denotasi merupakan tingkat makna lapisan pertama yang deskriptif dan literal serta dipahami oleh hampir semua anggota suatu kebudayaan tertentu tanpa harus melakukan penafsiran terhadap tanda denotatif tersebut, tanda disebut juga sebagai analogon. Pada tingkat makna lapisan kedua, yakni konotasi, makna tercipta dengan cara menghubungkan penanda-petanda dengan aspek kebudayaan

44

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 69. 45


(39)

yang lebih luas: keyakinan-keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi-ideologi suatu formasi sosial tertentu.46

Barthes menyebut realitas dalam foto yang kita alami sebagai real unreality. Disebut unreality karena apa yang dihadirkan sudah lewat (temporal anteriority), tidak pernah dapat memenuhi kategori here-now, sekarang disini; dan disebut real karena fotografi tidak menghadirkan ilusi melainkan presence secara spasial. Kategori ini merupakan pengalaman orang modern (yang hidup dalam

mass image) akan realitas. Foto berita menurut Barthes ialah meliputi pesan tanpa kode (message without a code) dan juga sekaligus pesan dengan kode (message with a code). Foto berita yang pada hakikatnya merupakan representasi sempurna atau analogon dari relitas yang sebenarnya (denotasi) ternyata sampai pada pembaca sudah dalam bentuk konotasi dan mitos. Barthes mengajukan sebuah hipotesis bahwa dalam foto beritapun rupanya (a strong probability) terdapat konotasi. Akan tetapi konotasi ini tidak terdapat pada tahap pesan itu sendiri melainkan pada tahap proses produksi foto. Disamping itu, konotasi muncul karena foto berita akan dibaca oleh publik dengan kode mereka. Dua hal inilah yang memungkinkan foto berita mempunyai konotasi atau mengandung kode.47

Pengertian kode (code) di dalam strukturalisme dan semiotik adalah sistem yang memungkinkan manusia untuk memandang entitas-entitas tertentu sebagai tanda-tanda menjadi sesuatu yang dapat dimaknai. Umberto Eco menyebut kode sebagai aturan yang menjadi tanda tampilan yang konkrit dalam sistem komunikasi.48

46

Pappilon Manurung, Editor: M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi, h. 57-58.

47

ST. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 163-164. 48


(40)

Dalam foto berita, Barthes tidak membicarakan pentingnya “kode” dalam membaca tulisan pada foto berita, dengan asumsi bahwa kita hanya membaca berita dalam bahasa yang sudah kita kuasai. Berkaitan dengn foto berita, Barthes masih memperhatikan hubungan antara posisi teks dan kaitannya dengan

signification yang dihasilkan. Seperti kita maklumi, sebuah foto berita dijelaskan oleh berbagai teks, ada yang berupa caption, headline, artikel atau gabuangan dari ketiganya. Adapun arti dari caption ialah mengulangi saja denotasi, oleh karena itu kurang menghasilkan efek konotatif bila dibandingkan dengan teks dalam

headline atau artikel.49 Menurutnya foto berita umumnya bersifat not arbitrary,

unmotivated, dokumenter (historis) dan tujuan utamanya untuk membuktikan sesuatu fakta atau kenyataan kepada publik, sehingga aspek verisme (gambaran sepersis mungkin) tanpa rekayasa maupun manipulasi subjek maupun peristiwa menjadi sangat penting. Sedangkan caption atau keterangan foto hanya berfungsi sebatas sebagai penambat (anchorage) dan pemancar (relay) belaka.

Dalam “The Photographic Message”, Barthes mengajukan tiga tahapan dalam membaca foto yang bersifat konseptual/diskursif, yaitu: perseptif, konotasi kognitif, dan etis-ideologis.

1) Tahap Perseptif adalah tahap transformasi gambar ke kategori verbal atau verbalisasi gambar yang bersifat imajinatif.

2) Tahap Konotasi Kognitif adalah tahap pengumpulan dan upaya menghubungkan unsur-unsur “historis” dari analogon (denotasi) ke dalam imajinasi paradigmatik. Dengan demikian pengetahuan kultural sangat menentukan.

49


(41)

3) Tahap Etis-Ideologis adalah tahap pengumpulan berbagai penanda yang siap “dikalimatkan” sehingga motifnya dapat ditentukan.50

Ketiga tahap di atas tersebut merupakan tahapan-tahapan konseptual atau diskursif untuk menentukan wacana suatu foto dan ideologi atau moralitas yang berkaitan. Dengan demikian objektifitas pesan foto dapat diamati dan diukur.

Foto ibarat kata kerja tanpa kata dasar (infinity), dalam “The Photographic Message” Barthes menyebutkan enam prosedur atau kemungkinan untuk mempengaruhi gambar sebagai analogon. Analogon yaitu apa yang dihasilkan dalam menulis dengan bahasa gambar, menulis dengan bahasa foto berarti sebuah kegiatan intervensi pada tingkat kode. Menurut Barthes, citra pesan ikonik/iconic message (yang dapat kita lihat, baik berupa adegan/scene, lanskep, atau realitas harfiah yang terekam) dapat dibedakan lagi dalam dua tataran, yaitu:

a. Pesan harfiah/pesan ikonik tak berkode (non-coded iconic message), sebagai sebuah analogon yang berada pada tataran denotasi citra yang berfungsi menaturalkan pesan simbolik.

b. Pesan simbolik/pesan ikonik berkode (coded iconic message), sebagai analogon yang berada pada tataran konotasi yang keberadaannya didasarkan atas kode budaya tertentu atau familiaritas terhadap streotip tertentu. Pada tataran ini, Barthes mengemukakan enam prosedur konotasi citra –khususnya menyangkut fotografi untuk membangkitkan konotasi dalam proses produksi foto menurut Roland Barthes. Prosedur-prosedur tersebut

50


(42)

terbagi dalam dua bagian besar, yaitu konotasi yang diproduksi melalui modifikasi atau intervensi langsung terhadap realita itu sendiri (Trick Effect, Pose dan Objects) dan konotasi yang diproduksi melalui wilayah estetis foto (Photogenia, Aestheticism dan Syntax), yaitu:

Trick Effect ialah manipulasi gambar secara artifisial. • Pose ialah posisi, ekspresi, sikap dan gaya subjek foto. • Object ialah penentuan point of interest gambar/ foto.

Photogenia ialah teknik pemotretan dalam pengambilan gambar (misalnya: lighting, exposure, bluring, panning, angle

dan lainnya). 51

Aestethism yaitu format gambar atau estetika komposisi gambar secara keseluruhan dan dapat menimbulkan makna konotasi.

Sintaksis yaitu rangkaian cerita dari isi foto/ gambar, yang biasanya berada pada caption dalam foto berita dan dapat membatasi serta menimbulkan makna konotasi. Fungsi caption

ialah:

Fungsi Penambat/ Pembatasan(anchorage) agar pokok pikiran dari pesan dapat dibatasi sesuai dengan maksud penyampaiannya.

Fungsi Pemancar/ Percepatan (relay) agar langsung dipahami maksud dari pesan yang disampaikan.52

51


(43)

John Fiske (1990) menjelaskan masalah denotasi dan konotasi dengan menggunakan contoh fotografi. Menurut Fiske, denotasi ialah apa yang difoto yang memunculkan pertanyaan ‘ini foto apa’ , sedangkan konotasi adalah bagaimana ini bisa difoto? atau menitikberatkan pertanyaan ‘mengapa fotonya ditampilkan dengan cara seperti itu?’.53 Atau dengan kata lain, denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap objek; sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.54

Mitos menurut Roland Barthes bukanlah mitos seperti apa yang kita pahami selama ini. Mitos bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden, ahistoris, dan irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita kubur. Tetapi mitos menurut Barthes adalah sebuah ilmu tentang tanda. Menurut Barthes, mitos adalah type of speech (tipe wicara atau gaya bicara) seseorang. Mitos digunakan orang untuk mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam dirinya. Orang mungkin tidak sadar ketika segala kebiasaan dan tindakannya ternyata dapat dibaca orang lain. Dengan menggunakan analisis mitos, kita dapat mengetahui makna-makna yang tersimpan dalam sebuah bahasa atau benda (gambar).Roland Barthes pernah mengatakan, ”Apa yang tidak kita katakan dengan lisan, sebenarnya tubuh kita sudah mengatakannya”. Pernyataan itu mengindikasikan signifikansi bahasa simbolik manusia. Dalam kehidupan ini, manusia selain dibekali kemampuan berbahasa juga dibekali kemampuan interpretasi terhadap bahasa itu sendiri. Bahasa, dalam hal ini, tidak hanya

52

Ibid, h. 174. 53

Pappilon Manurung, Editor: M. Antonius Birowo, Metodologi Penelitian Komunikasi, h. 58.

54


(44)

terfokus pada bahasa verbal atau bahasa nonverbal manusia, tetapi juga pada bahasa-bahasa simbolik suatu benda (seperti gambar) atau gerakan-gerakan tertentu. 55

Sebagai sistem semiotik, mitos dapat diuraikan ke dalam tiga unsur yaitu;

signifier, signified dan sign. Barthes menggunakan istilah berbeda untuk tiga unsur tersebut yaitu form, concept dan signification.56 Form/penanda merupakan subyek, concept/petanda adalah obyek dan signification/tanda merupakan hasil perpaduan dari keduanya. Dalam semiotika tingkat pertama (linguistik), penanda diganti dengan sebutan makna, pertanda sebagai konsep, dan tanda tetap disebut tanda. Sedangkan dalam mitos, penanda dianggap bentuk, pertanda tetap sebagai konsep, dan tanda diganti dengan penandaan. Proses simbolisasi seperti itu bertujuan mempermudah kita dalam membedakan antara linguistik dan mitos dalam semiotika.57 Menurut Fiske, mitos (myth) adalah bagaimana menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. Mitos merupakan produk kelas sosial yang mempunyai suatu dominasi. Menurut Susilo, mitos adalah suatu wahana dimana suatu ideologi berwujud. Menurut Van Zoest, ideologi adalah sesuatu yang abstrak. Ideologi harus dapat diceritakan, cerita itulah yang dinamakan mitos (myth).58

Menurut Barthes mitos memiliki empat ciri, yaitu:

1. Distorsif. Hubungan antara form dan concept bersifat distorsif dan deformatif. concept mendistorsi form sehingga makna pada sistem

55

Alex Sobur, Analisis Teks Media. 56

Ibid. 57

Media Indonesia, Bedah Buku: Belajar Membedah Mitos (Mitologi karya Roland Barthes), Minggu, 25 Maret 2007).

58


(45)

tingkat pertama bukan lagi merupakan makna yang menunjuk pada fakta yang sebenarnya.

2. Intensional. Mitos tidak ada begitu saja. Mitos sengaja diciptakan, dikonstruksikan oleh budaya masyarakatnya dengan maksud tertentu.

3. Statement of fact. Mitos menaturalisasikan pesan sehingga kita menerimanya sebagai sebuah kebenaran yang tidak perlu diperdebatkan lagi. Sesuatu yang terletak secara alami dalam nalar awam.

4. \Motivasional. Menurut Barthes, bentuk mitos mengandung motivasi. Mitos diciptakan dengan melakukan seleksi terhadap berbagai kemungkinan konsep yang akan digunakan.59

Salah satu contoh mitos yang diangkat Barthes dalam buku Mitologi ialah permainan gulat. Mitos gulat, menurut Barthes, merupakan sebuah bentuk profesionalisme dan keadilan sebuah permainan. Mungkin kita sering menonton pertunjukan gulat. Seperti realitasnya, gulat merupakan sebuah permainan rekayasa yang menghibur penonton dengan sajian kekerasan. Biasanya, seorang penonton akan puas dengan ajang balas dendam dalam gulat tersebut. Contoh, ketika si A, misalnya, dipukul dan tidak membalas, penonton akan mencemoohnya. Mitos gulat merupakan profesionalisme dan keadilan. Hal itu ditunjukkan ketika salah satu lawan menyerah dan tidak berdaya, secara otomatis, sang pemenang akan menghentikan pukulan atau kuncian tangan dan kakinya

59

http://astaganaga.multiply.com/journal/item/5?&item_id=5&view:replies=threaded diakses pada 17 Juli 2009.


(46)

karena melihat sang lawan sudah tidak berdaya dan mengaku kalah. Di situlah mitos gulat itu terungkap.60

Ketika mempertimbangkan sebuah berita atau laporan, akan menjadi jelas bahwa tanda linguistik, visual dan jenis tanda lain mengenai bagaimana berita itu direpresentasikan (seperti tata letak / lay out, rubrikasi, dsb) tidaklah sesederhana mendenotasikan sesuatu hal, tetapi juga menciptakan tingkat konotasi yang dilampirkan pada tanda. Barthes menyebutkan bahwa membagi tanda denotasi dan konotasi sebagai penciptaan mitos. Pada dasarnya semua hal dapat menjadi mitos; satu mitos timbul untuk sementara waktu dan tenggelam untuk waktu yang lain karena digantikan oleh berbagai mitos lain. Mitos menjadi pegangan atas tanda yang hadir.61

Jadi, dalam penelitian semiotik tentang foto berita headline surat kabar Kompas ini

,

penulis menggunakan analisis semiotika untuk menjadi titik berdiri penelitian dengan mengacu kepada makna denotasi dan konotasi yang mengacu kepada nam prosedur yang dikemukakan oleh Roland Barthes, sehingga penulis dapat mengetahui makna denotasi dan konotasi yang ada di dalam foto-foto yang diteliti.

E. Definisi Istilah Penelitian

Sebagai acuan dalam penelitian ini, maka dibuatlah definisi istilah penelitian ini agar memperjelas keterkaitan antara landasan teori dalam Bab II dengan analisis data yang ditulis dalam Bab IV. Perumusannya meliputi empat

60

Media Indonesia, Bedah Buku: Belajar Membedah Mitos (Mitologi karya Roland Barthes), Minggu, 25 Maret 2007.

61

http://abunavis.wordpress.com/2007/12/31/mitos-dan-bahasa-media-mengenal-semiotika-roland-barthes diakses pada 17 Juli 2009.


(47)

pokok pembahasan, yang pertama adalah memabaca makna didalam gambar/foto menggunakan analisis semiotika, yang kedua mengenai foto berita dan perbedaanya dengan fotografi jurnalistik, yang ketiga adalah menjelaskan secara singkat tentang Headline, dan yang terakhir adalah tentang Headline Koran Tempo.

1. Analisis Semiotika

Semiotika adalah ilmu yang membahas segala hal tentang tanda (sign) sebagai tindak komunikasi, dari cara berfungsinya hingga pengirimannya dan penerimaannta oleh mereka yang mempergunakan. Analisis semiotika yang digunakan didalam penelitian ini untuk mecari pemahaman makna denotasi (signifier/form), konotasi (signified/concept) dan mitos (myth/signification) berdasarkan pndapat Roland Barthes. Makna denotasi ialah penjelasan terhadap penanda atau aspek material/fisik dari foto. Makna konotasi ialah penjelasan terhadap petanda atau pikiran atau konsep dari foto. Sedangkan mitos menurut Roland Barthes ialah ilmu tentang tanda dan merupakan hubungan antara keberadaan fisik tanda (denotasi) dan konsep mental (konotasi).

2. Foto Berita

Foto berita adalah foto yang mengandung unsur-unsur berita (5W+1H) dan memiliki nilai berita layaknya sebuah berita tulis. fotografi jurnalistik memiliki arti yang sama, perbedaannya hanyalah istilah fotografi jurnalistik bersal dari bahasa Inggris, yaitu Photography Journalism yang lebih sering digunakan oleh pewarta foto diseluruh dunia, sedangkan foto berita berasal dari bahasa Indonesia. Dalam penelitian ini diambil lima foto-foto dari foto berita headline


(48)

3. Headline (Kepala Berita)

Headline dapat diartikan sebagai berita utama. Secara bahasa head berarti kepala. Line berarti garis. Jadi dapat diartikan kepala garis atau kepala berita. Dalam media cetak, headline merupakan berita yang paling banyak dibaca dan menarik perhatian. Jika peristiwa itu dijadikan headline maka pihak terkait atau khalayak menganggapnya sebagai peristiwa penting. Di sinilah media sangat berperan membentuk opini publik (public opinion).

4. Headline koran Tempo

Headline yang peneliti maksud adalah berita utama yang ditempatkan pada halaman depan Koran Tempo yang diteliti. Hal ini menjadi pertimbangan karena

headline yang berada pada halaman depan adalah sikap yang diambil atas peristiwa yang dianggap penting oleh pemilik dan orang-orang yang berada di media tersebut.


(49)

BAB III

PROFIL KORAN TEMPO

A. Sejarah serta Perkembangan Koran Tempo

Tempo lahir dan besar pada zaman Orde Baru, disokong oleh perusahaan yang juga dibesarkan pada masa Orde Baru tahun 1971, tetapi Orde Baru juga yang mematikannya.62 Tempo lahir dan mati di masa Orde Baru, beberapa pendiri Tempo adalah aktivis mahasiswa tahun 1965/1966 yang ikut menggulingkan Soekarno. Tempo luput dari pembredalan dua kali pada masa Orde Baru, tahun 1974 dan 1978. Tahun 1982, terjadi Insiden Lapangan Banteng, menjelang Pemilu 1982 dan dianggap oleh pemerintah mengganggu keamanan. Untuk itu Goenawan Mohammad harus menandatangani kesepakatan dengan Departemen Penerangan untuk tidak meliput isu-isu yang sensitif, termasuk yang menyangkut keluarga Cendana.

Tempo merupakan bagian dari kelas menengah Orde Baru, untuk itu

Tempo merupakan fondasi ekonomi yang menyokong Orde Baru. Periode ketika

Tempo berjaya ialah pada dekade 1980-an, di mana anggaran belanja iklan perusahaan banyak masuk ke media cetak. Jumlahnya mencapai 50 % dari total belanja iklan tersebut. Inilah yang pada akhirnya membuat gaji para wartawan

Tempo mencapai puncaknya. Setelah perpindahan Tempo dari kawasan Senen ke kawasan Kuningan pada tahun 1986, setahun kemudian terjadi eksodus puluhan wartawannya. Mereka keluar dari Tempo untuk mendirikan Majalah

62http://www.kompas.com/kompas-cetak/0509/17/pustaka/2053888.htm,

artikel berjudul

“Enak dibaca, tetapi Ini Sejarah dari Atas” karya Ignatius Haryanto, diakses pada 9 September 2009


(50)

Editor, keluarnya mereka dikarenakan Tempo telah berubah menjadi institusi bisnis, bukan lagi institusi perjuangan dan manajemen sering kali membela pemilik modal dan tidak lagi menganggap wartawan sebagai aset berharga.

“Dunia media sangatlah dinamis karena ia juga mewakili dinamika dalam masyarakat secara mikro. Kantor Tempo pertama di Senen banyak menyimpan memori. Kehangatan ruang seperti bedeng justru menimbulkan suasana egaliter; pintu penghubung ruangan yang mirip pintu bar di film-film koboi; perilaku para kolumnis yang kocak-kocak, seperti misalnya: tulisan Ong Hok Ham yang sulit diedit karena satu halaman ketik ketinggalan di rumahnya, atau Abdurrachman Wahid yang bisa menghabiskan dua nasi bungkus sebelum mulai mengetik kolomnya di Kantor Tempo; dan perilaku para wartawannya sendiri yang memang jahil, menyiasati waktu-waktu krisis saat deadline. Situasi ini bergeser ketika kemudian Tempo pindah dari suasana pasar ke situasi perkantoran modern di kawasan Kuningan.”63

Majalah Tempo adalah majalah berita mingguan Indonesia yang umumnya meliput berita dan politik. Edisi pertama Tempo diterbitkan pada Maret 1971 yang merupakan majalah pertama dan tidak memiliki afiliasi dengan pemerintah. Majalah ini pernah dilarang oleh pemerintah pada tahun 1982 dan 21 Juni 1994, Tempo kembali beredar pada 6 Oktober 1998. Tempo juga menerbitkan majalah dalam bahasa Inggris sejak 12 September 2000 yang bernama Tempo Magazine dan pada 2 April 2001 Tempo juga menerbitkan

Koran Tempo. Pelarangan terbit Majalah Tempo pada 1994 bersama dengan

Editor dan Detik, tidak pernah jelas penyebabnya. Tapi banyak orang yakin

63


(51)

bahwa Menteri Penerangan saat itu, Harmoko, mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Tempo karena laporan majalah ini tentang impor kapal perang dari Jerman, laporan ini dianggap membahayakan stabilitas negara. Laporan utama membahas keberatan pihak militer terhadap impor oleh Menristek BJ Habibie. Sekelompok wartawan juga kecewa pada sikap Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) karena menyetujui pembredelan Tempo, Editor dan

Detik yang kemudian mendirikan Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI).

Koran Tempo adalah sebuah koran berbahasa Indonesia yang terbit di Indonesia, pemiliknya adalah PT Tempo Inti Media Harian. Tempo sebelumnya dikenal dengan Majalah Tempo. Dalam proses pendiriannya Koran Tempo

melakukan penjualan saham kepada publik sebanyak 17,6 persen dari dana tersebut hingga akhirnya koran ini bisa beroperasi. Koran Tempo pertama kali diterbitkan di Jakarta, 2 April 2001 dengan sirkulasi sebesar 100.000 setiap hari.64 Pertimbangan mendirikan Koran Tempo secara teknis ialah untuk mewadahi bahan-bahan berita Majalah Tempo yang terbuang percuma, secara idealis Koran Tempo mencoba memunculkan sesuatu yang baru dan berbeda dengan surat kabar lainnya.

Idealisme Koran Tempo sendiri ialah menjadi media massa cetak yang mampu mendorong masyarakat menjadi kritis dalam menerima informasi.

Market reader Koran Tempo ialah masyarakat kelas menengah ke atas yang secara ekonomi berkecukupan dan memiliki pendidikan tinggi. Motto yang dianut Koran Tempo adalah “to be concise”, yaitu memberitakan sebuah peristiwa dengan ringkas padat dan jelas sesuai dengan 5 W + 1 H. Motto ini

64


(52)

juga yang mendasari desain Koran Tempo yang pendek dan berita tidak bersambung dari satu halaman lain ke halaman lainnya. Pertimbangan lain adalah waktu pembaca surat kabar yang relatif pendek.

Saat ini Tempo memiliki labelnya sebagai koran kompak, sebuah pergeseran konsep surat kabar harian broadsheet menjadi format tabloid lima kolom yang lebih mungil dan ringkas. Harus diakui bahwa Tempo adalah sebuah sekolah jurnalisme dalam praktik di Indonesia yang alumninya diakui di mana-mana. Sebutlah nama-nama petinggi media di Indonesia saat ini, banyak di antaranya adalah alumni Tempo. Kalau menyebut majalah berita, sukar menyebut media mana pun yang tak ada alumni Tempo di dalamnya.

B. Visi dan Misi Tempo Inti Media Visi Tempo Inti Media

Menjadi acuan dalam proses meningkatkan kebebasan rakyat untuk berpikir dan mengutarakan pendapat serta membangun suatu masyarakat yang menghargai kecerdasan dan perbedaan pendapat.65

Misi Tempo Inti Media

1. Menyumbangkan kepada masyarakat suatu produk multimedia yang enampung dan menyalurkan secara adil suara yang berbeda-beda

2. Sebuah produk multimedia yang mandir, bebas dari tekanan kekuasaan modal dan politik

65


(53)

3. Terus-menerus meningkatkan apresiasi terhadap ide-ide baru, bahasa, dan tampilan visual yang baik

4. Sebuah karya yang bermutu tinggi dan berpegang pada kode etik

5. Menjadikan tempat kerja yang mencerminkan Indonesia yang beragam sesuai kemajuan jaman

6. Sebuah proses kerja yang menghargai kemitraan dari semua sektor

7. Menjadi lahan yang subur bagi kegiatan-kegiatan untuk memperkaya khasanah artistik dan intelektual

C. Struktur Redaksi Koran Tempo

Penerbit : PT Tempo Inti Media Harian

Corporate Chief Editor : Bambang Harymurti Pemimpin Redaksi : S Malela Mahargasari. PJ. Redaktur Eksekutif : Gendur Sudarsono

Redaktur Senior : Diah Purnomowati, Fikri Jufri, Goenawan Mohammad, Leila S. Chudori, Putu Setia, Yusril Djalinus

Corporate Secretary : Rustam F. Mandayun

Redaktur Utama : Burhan Solihin, Purwanto Setiadi, Wicaksono

Sekretaris Redaksi : Dyah Irawati Hapsari Direktur Utama : Bambang Harymurti


(54)

D. Prestasi.

1. 1971 Edisi perdana TEMPO dapat menjual 20.000 kopi 2. 1977 Penjualan mencapai 47.000 kopi

3. 1988 Penjualan mencapai 166.000 kopi

4. 1991 Menjadi satu-satunya jurnalis dari Indonesia yang meliput perang Teluk dari Bagdad, Irak.

5. 1993 Penjualan mencapai 200.000 kopi.

6. 1996 Reporter TEMPO, Ahmad Taufik menerima anugerah S Tasrieb Award.

7. 1997 Reporter Bina Bektiati menerima penghargaan US Woman Journalist Award.

8. 1998 Penjualan pada edisi perdana TEMPO pasca dibreidel mencapai 150.000 kopi.

9. 1998 Goenawan Mohamad menerima CPJ Award.

10.2000 Media pertama yang mengungkap sengketa Buloggate, sedangkan yang lain hanya mengutip dari TEMPO.

11.2002 Hasil Survey AC Nielsen, MBM paling banyak pembacanya.

12.2002 Rommy Fibri menerima penghargaan sebagai Nominee dari Internasional Federation of Journalist (IFJ) & European Union (EU) di Belgia.

13.2003 Karaniya Dharmasaputra mendapat penghargaan dari AJI (Aliansi Jurnalistik Independent) untuk tulisannya mengenai Investasi Buloggate II. 14.2003 Rommy F & Maria H menerima penghargaan Apresiasi Jurnalis

Jakarta dalam peringatan 9 tahun AJI.

15.2003 Merupakan media yang paling komprehensif mengangkat isu illegal logging periode 2002-2003 dari GreenCom & Inform (TWI, Walhi, Telapak, WWF, Kemala, AMAN, TNC, FFI, BLI, CI).

16.2003 Karaniya Dharmasaputra menerima penghargaan M. Hatta Award atas kinerjanya memberantas korupsi.


(55)

17.2004 Penghargaan kepada wartawan Tempo (Nezar Patria) : Tolerance Prize dari International Federation Of Journalists atas pemberitaannya mengenai Aceh.

PENGHARGAAN

1. 1986 Best Cover-Asia Publishing Congress, Singapore.

2. 1989 Second Best Cover-Asia Publishing Congress, Hongkong. 3. 1989 Best Article, 25th National Health Day Award.

4. 1990 Best Outdoor Ad, Citra Mara Award, Indonesia. 5. 1991 Best Photo, Adinegoro Award, Indonesia.

6. 1999 Best Foreign Series Foster, 7th International Printed Graphic Art, Pakistan.

7. 1999 The Most Read News Magazine, AC Nielsen.

8. 1999 The Most Satisfactory News Magazine, Frontier Penghargaan. 9. 1999 The Most Recognized Magazine, AMI.

10.1999 The Most Popular Brand News Magazine, Mars- Frontier- SWA. 11.1999 The Most Read Magazine by Indonesian Bussinessmen, IPSOS-RSL

(Hongkong) Asian Businessman Readership Survey.

12. 2002 Penghargaan Index Customer Satisfaction Award – Frontier.

13.2004 Penghargaan Medal Of Honor dari Missouri School Of Journalism Amerika Serikat.

14.2004 Penghargaan Dewan Pers: Koran Tempo sebagai Harian yang pemberitaannya paling berimbang dan Harian kedua terbaik secara umum. 15.Dan sebagainya.


(56)

BAB IV

TEMUAN DAN ANALISIS DATA

Untuk menemukan makna yang terkandung dalam foto sample, peneliti memaparkan hasil penelitian secara naratif dalam tiga bahasan yaitu, denotasi analogon, konotasi citra dan mitos.

Makna Denotasi adalah makna lapisan pertama yang deskriptif dan literal serta dipahami oleh setiap manusia tanpa harus melakukan penafsiran terlebih dahulu karena makna tersebut tampak secara jelas.

Makna Konotasi adalah makna yang tercipta dengan cara menghubungkan penanda-petanda dengan aspek kebudayaan yang lebih luas: keyakinan-keyakinan, sikap memotret, kerangka kerja, dan ideology-ideologi suatu informasi sosial tertentu. Makna Konotasi mengacu pada enam prosedur, yaitu Trick effect, pose, pemilihan objek, photogenia, Aestheiscism dan Syntax.

Mitos menurut Roland Barthes bukanlah mitos seperti apa yang kita pahami selama ini. Mitos bukanlah sesuatu yang tidak masuk akal, transenden, ahistoris, dan irasional. Anggapan seperti itu, mulai sekarang hendaknya kita kubur. Tetapi mitos menurut Barthes adalah sebuah ilmu tentang tanda. Menurut Barthes, mitos adalah type of speech (tipe wicara atau gaya bicara) seseorang. Mitos digunakan orang untuk mengungkapkan sesuatu yang tersimpan dalam dirinya. Mitos adalah naratif yang di konstruksikan dengan wacana diaklektis dan eksposisi, mitos bersifat irasional dan intuitif bukan uraian filosof yang sistematis.


(1)

http://www.deptan.go.id/pusdatin/statistik/metodologi/3_wawancara.pdf. diakses pada 17 Juli 2009


(2)

(3)

Laporan wawancara langsung dengan Rully Kesuma, redaktur foto Koran

Tempo. Selasa, 10 November 2009 pukul 13.30 WIB di Kantor redaksi Koran

Tempo, Kebayoran Centre Blok A11-A15, Jalan Kebayoran Baru-Mayestik, Jakarta 12240.

1. Apa pengertian foto berita menurut Koran Tempo?

Jawab: Kalau secara umum foto berita atau foto jurnalistik adalah merupakan gabungan medium visual dan medium verbal yang artinya foto dilengkapi dengan tulisan yang mengantar dari isi foto itu sendiri...foto itu harus kuat jika berdiri sendiri (tanpa teks/keterangan foto)

2. Bagaimana foto yang baik menurut Koran Tempo?

Jawab: salahsatu syarat foto yang baik itu harus dramatis, artinya orang begitu melihat langsung bisa merasakan. Foto-foto dramatis akan lebih kuat meskipun tanpa keterangan foto.

3. Apakah ada proses editing atau pun cropping pada foto berita di Koran

Tempo?

Jawab : Editing hanya sebatas warna atau pencahayaan, tapi bukan menambah yang tidak ada atau pun mengurangi yang ada. Proses cropping pasti ada dan hanya sebatas kewajaran. Terkadang ada beberapa bagian yang dihilangkan untuk kebutuhan tipografi berkaitan dengan lay out atau desain.


(4)

4. Bagaimana proses pemilihan sebuah foto berita menjadi sebuah foto

headline di Koran Tempo?

Jawab: Pada dasarnya kita memilih foto yang terbaik. Meskipun redaktur memiliki ”kekuasaan dalam masalah foto”, namun tetap saja akan melalui beberapa proses. Setelah redaktur foto memilih foto kemudian didiskusikan dengan redaktur eksekutif dan juga dengan bagian desain (design), kira-kira foto seperti apa yang nanti akan ditampilkan, bagian yang bagaimana yang tidak boleh ditampilkan, bagian mana yang harus dipotong/crop. Semua akan melalui diskusi yang ”alot” namun bisa juga fleksibel.

5. Bagaimana proses pemilihan judul headline di Koran Tempo?

Jawab : Judul bisa dimainkan, tapi foto kita agak terbatas.... Pemilihan judul tidak hanya sekedar memberikan informasi foto, namun satu langkah lebih maju yakni terkait dengan Isu atau kritik dari suatu peristiwa.

6. Dalam menentukan angle dalam suatu foto, apakah secara tidak langsung ideologi Koran Tempo mempengaruhi foto tersebut?

Jawab: tidak semuanya seperti itu, namun semuanya tetap akan berkaitan dengan kebijakan redaksional dari Koran Tempo dan biasanya mereke (fotografer) sudah paham atas kebijakan redaksi dari Tempo itu sendiri.

7. Dari segi foto berita apakah Koran Tempo berusaha untuk menampilkan foto yang berbeda pada surat kabar lainnya?


(5)

Jawab: semua media pasti ingin beda dan menampilkan foto yang paling baik. Kita selaku media berusaha dengan sebaik mungkin untuk memanjakan atau men-servis pembacanya dengan foto, berita dan informasi yang baik.

8. Bagaimana penggunaan caption atau keterangan foto pada Koran Tempo? Jawab : Ada yang sederhana maupun yang lengkap.... pemberian keterangan foto/caption tergantung dari kekuatan foto itu sendiri maupun dari kebutuhan lay out atau desain, namun lebih bagus menggunakan keterangan foto berdasarkan 5w+1h.

9. Secara Umum, bagaimana pendapat Koran Tempo tentang perang Israel-Palestina?

Jawab : Secara umum kita mengecam serang Israel terhadap Palestina. Dan secara umum kita sangat mendukung adanya negara Palestina yang mandiri, bebas dari tekanan dan bisa menentukan hidupnya sendiri. Berita tentang ketidakadilan itu kita coba ungkapan melalui tulisan, walaupun apakah membawa hasil atau tidak.


(6)

Dokumentasi saat melakukan wawancara langsung dengan Rully Kesuma, Redaktur foto Koran Tempo.


Dokumen yang terkait

Analisis semiotik foto berita headline pemilukada Banten 2011 di Koran Tangsel Pos

1 11 94

Semiotik Ilustrasi Ratu Atut Dalam Kasus Korupsi Pada Headline Koran Harian Tempo Tahun 2013

0 10 123

Analisis Semiotika Foto Headline Pada Harian Pagi Radar Bandung

8 89 150

Analisis Foto Berita Headline Di Harian Umum Bandung Ekspres Di Tinjau Dari Syarat Nilai Foto Berita

0 15 157

POLITIK KEKUASAAN KPK dan POLRI (Analisis Semiotika Foto-Foto Headline Perseteruan KPK dan Polri dalam Tiga Surat Kabar Nasional: Kompas, Koran Tempo, dan Media Indonesia edisi Rabu, 1 Agustus 2012).

0 6 16

SKRIPSI POLITIK KEKUASAAN KPK dan POLRI (Analisis Semiotika Foto-Foto Headline Perseteruan KPK dan Polri dalam Tiga Surat Kabar Nasional: Kompas, Koran Tempo, dan Media Indonesia edisi Rabu, 1 Agustus 2012).

0 4 13

PENDAHULUAN POLITIK KEKUASAAN KPK dan POLRI (Analisis Semiotika Foto-Foto Headline Perseteruan KPK dan Polri dalam Tiga Surat Kabar Nasional: Kompas, Koran Tempo, dan Media Indonesia edisi Rabu, 1 Agustus 2012).

0 3 47

KESIMPULAN DAN SARAN POLITIK KEKUASAAN KPK dan POLRI (Analisis Semiotika Foto-Foto Headline Perseteruan KPK dan Polri dalam Tiga Surat Kabar Nasional: Kompas, Koran Tempo, dan Media Indonesia edisi Rabu, 1 Agustus 2012).

0 4 14

BAB I PENDAHULUAN SEMIOTIKA FOTO JURNALISTIK TENTANG BANJIR (Analisis Semiotika Pierce dalam Foto-Foto Jurnalistik tentang Bencana Alam Banjir di Jakarta pada Surat Kabar Harian Koran Tempo).

0 2 20

PENUTUP SEMIOTIKA FOTO JURNALISTIK TENTANG BANJIR (Analisis Semiotika Pierce dalam Foto-Foto Jurnalistik tentang Bencana Alam Banjir di Jakarta pada Surat Kabar Harian Koran Tempo).

0 7 16