BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana diketahui bersama menurut pandangan doktrin, pada asasnya ketentuan Hukum Pidana dapat diklasifikasikan menjadi Hukum Pidana Umum
ius commune dan Hukum Pidana Khusus ius singulare, ius speciale, atau bijzonder strafrecht. Ketentuan Hukum Pidana Umum dimaksudkan berlaku
secara umum seperti termaktub dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, sedangkan ketentuan Hukum Pidana Khusus menurut Pompe
1
, A. Nolten, Sudarto, dan E.Y. Kanter diartikan sebagai ketentuan hukum pidana yang
mengatur mengenai kekhususan subjeknya dan perbuatan yang khusus bijzondelijk feiten.
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yag berbeda dengan hukum
pidana umum, seperti adanya penyimpangan hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur. Karena itu tindak pidana korupsi secara langsung maupun
tidak langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan roda perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan
sebagaimana mestinya sehingga lambat laun akan membawa dampak adanya peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
2
1
Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya, Penerbit : PT. Alumni, Bandung, 2007, halaman 1
2
Dengan tolak ukur bahwasanya tindak pidana korupsi bersifat tindak pidana yang luar biasa extra ordinary crimes karena bersifat sistemik, endemik yang berdampak luar biasa
systematic and widespread yang tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga melanggar hak sosial dan ekonomi masyarakat luas sehingga penindakannya perlu upaya comprehensive extra
Universitas Sumatera Utara
Lord Acton pernah membuat ungkapan yang menghubungkan antara “korupsi” dengan “kekuasaan”, yakni “Power tends to corrupt, and absolut
power corrupts absolutely” bahwa kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut.
3
Artinya, kekuasaan adalah bagian yang sangat rentan terhadap penyakit korupsi. Secara tidak langsung hal
ini mengisyaratkan bahwa kekuasaan dapat dijadikan sebagai sarana yang dapat mempermudah bagi pemangkunya untuk menjelma menjadi seorang koruptor.
Permasalahan korupsi juga merupakan bagian dari persoalan hukum, sebab melalui hukum, korupsi diharapkan dapat diberantas. Hukum itu sendiri
menurut Hamaker dirumuskan sebagai suatu refleksi dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, hukum tidak terlepas dalam kehidupan
masyarakat. Sedangkan Roscoe Pound menegaskan “law is a tool of social
engineering” atau hukum sebagai alat mengatur dan mengelola masyarakat. Dengan kata lain, hukum harus mengarahkan menuju masyarakat yang lebih
ordinary measure sehingga banyak peraturan, lembaga dan komisi yang telah dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia seperti Era Presiden Soekarno 1945-1965 adalah Peraturan
Penguasa Militer No. PRTPM061957, Peraturan Pemberatasan Korupsi Penguasa Perang Pusat No. PrtPerpu0131958 dan UU No. 24Prp1960, kemudian pada Era Presiden Soeharto Orde
Baru berupa Keppres No. 228 Tahun 1967 tanggal 2 Desember 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi, Keppres No. 12 Tahun 1970 tanggal 31 Januari 1970 tentang
Pembentukan Komisi Empat, UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Inpres No. 9 Tahun 1977 tentang Pembentuka Tim Operasi Tertib Kewibawaan dan
Pemberantasan Korupsi Tahun 1982, kemudian pada Era Presiden BJ Habibie berupa TAP MPR No. XIMPR1998 tentang Pemerintah yang bersih dan bebas KKN, Keppres No. 27 Tahun 1998
dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, berikutnya pada Era Presiden Abdurrahman Wahid adalah Keppres No. 127 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi
Pengawasan Kekayaan Pejabat Negara KPKPN, Keppres No. 44 Tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman dan PP No. 19 Tahun 2000 Pembentukan Tim Gabungan Tindak Pidana
Pemberantasan Korupsi TGPTPK, pada Era Presiden Megawati Soekarno Putri adalah UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi KPK seta pada Era Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono adalah Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2004 tanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, Keppres No. 11 Tahun 2005 tanggal
2 Mei 2005 tentang Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Timtas Tipikor.
3
Ermansyah Djaja, Memberantas Korupsi bersama KPK, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, halaman 1
Universitas Sumatera Utara
baik.
4
Sudikno Mertokusumo mengartikan hukum sebagai kumpulan peraturan atau kaedah, mempunyai isi yang bersifat umum dan normatif. Umum karena
berlaku bagi setiap orang dan normatif karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan serta menetukan bagaimana cara
melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah.
5
Tindak pidana korupsi telah menjadi permasalahan serius di Indonesia, karena telah merebak ke segala bidang dan sektor kehidupan masyarakat secara
meluas dan sistematis.
6
Korupsi adalah wujud nyata pelanggaran terhadap hak- hak sosial masyarakat mulai endemis dan sistematis. Korupsi juga dilakukan oleh
pejabat atau
mantan kepala
pemerintahan pada
masa kepemerintahankepemimpinannya bahkan setelah tidak menjabat high profile
crime dan sebagian besar hasil korupsi tersebut disimpan diluar negeri.
7
Korupsi juga salah satu akar permasalahan yang memperburuk roda perekonomian yang
menyebabkan krisis ekonomi yang terjadi di negara ini dan menghambat jalannya sistem hukum yang dimanfaatkan undang-undang.
Korupsi tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang merugikan keuangan danatau perekonomian negara saja, tetapi juga sepatutnya dilihat sebagai sesuatu
yang melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Oleh karena itu, terdapat cukup alasan yang rasional untuk
mengkatagorikan korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa extraordinary
4
Firman Wijaya, Peradilan Korupsi Teori dan Praktik, Penaku berkerjasama dengan Maharani Pres, Jakarta, 2008, halaman 1
5
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberti, Jogjakarta, 1995, halaman 41
6
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Paragraf ke-2
7
Frans H. Winata, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Kompas, Jakarta, 2009, halaman 289
Universitas Sumatera Utara
crime dan dengan menggunakan instrumen-instrumen hukum yang luar biasa pula extraordinary instrument.
8
Marwan Effendy mengemukakan bahwa korupsi semakin terpola dan sistematis, lingkupnya juga telah menyentuh ke seluruh aspek kehidupan
masyarakat dan lintas batas negara. Atas dasar hal tersebut, korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai extraordinary crime saja, tetapi juga sebagai
kejahatan transnasional.
9
Korupsi dalam praktik pelaksanaannya sangat erat kaitannya dengan keuangan negara. Keuangan negara dalam arti luas meliputu APBN, APBD,
keuangan negara pada Perkebunan Nusantara, dan sebagainya. Keuangan negara dalam arti sempit hanya meliputi setiap badan hukum yang berwenang mengelola
dan mempertanggungjawabkan keuangan negara.
10
Korupsi adalah bagian dari aktivitas-aktivitas buruk yang menjauhkan negara ini dari pemerintahan yang
bersih, jujur dan jauh dari rasa keadilan. Dengan kata lain, korupsi telah menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Korupsi juga selalu mendapatkan perhatian yang lebih dibanndingkan dengan tindak pidana lainnya di berbagai belahan dunia. Fenomena ini dapat
dimaklumi mengingat dampak negatif yang ditimbulkan dan menyentuh berbagai bidang kehidupan. Korupsi merupakan masalah serius, tindak pidana ini dapat
membahayakan stabilitas
dan keamanan
masyarakat, membahayakan
pembangunan sosial ekonomi, dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai
8
Elwi Danil, Korupsi : Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya. PT. Rajagrafindo, Jakarta, 2011, halaman ; 76
9
Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi, Indonesia Lawyers Club ILC, Surabaya, 2010, halaman 4
10
Adrian Sutedi, Hukum Keuangan Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, halaman 10
Universitas Sumatera Utara
demokratis dan moralitas karena lambat laun perbuatan ini seakan menjadi sebuah budaya tersendiri. Korupsi merupakan ancaman terhadap cita-cita menuju
masyarakat adil dan makmur.
11
Berbagai peraturan perundang-undangan yang lahir dengan maksud untuk memberantas korupsi telah diterbitkan, namun praktik korupsi masih terus
berulang dan semakin kompleks dalam realisasinya. Bahkan hal ini diperparah lagi dengan korupsi yang dilakukan aparat penegak hukum yang seharusnya
bertugas memberantas korupsi dan menegakkan peraturan yang berlaku. Pasal 32 UU PTPK secara harafiah sudah mengatur bahwa kalau tidak ada
bukti adanya “perbuatan melawan hukum” namun kerugian Negara secara nyata telah ada maka penyidik harus melimpahkan kepada jaksa Negara untuk
dilakukan gugatan perdata. Sebaliknya dapat dipahami bahwa bila bukti adanya “perbuatan melawan hukum” telah cukup dan kerugian Negara itu belum terjadi
tetapi berpotensi terjadi,
12
maka seburuk-buruknya bila tidak dituntut dengan pasal 2 ayat 1 UU PTPK, pelakunya harus dituntut dengan Pasal 15 UU PTPK
yaitu “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”. Di dalam Tindak Pidana Korupsi, kita mengenal adanya bersama-sama
melakukan atau yang disebut penyertaan deelneming, yang mana didalam
11
Korupsi yang terjadi di lingkungan peradilan mengakibatkan lembaga peradilan menjadi tidak independen dan tidak imparsial, sehingga timbul ketidakpastian hukum,
ketidakmandirian lembaga peradilan dan isntitusi hukum polisi, jaksa penuntut umum, advokat dan hakim kemudian selanjutnya inilah yang disebut sebagai judicial corruption, Frans H.
Winarta, Opcit, halaman 289-290
12
http:www.bogorplus.comindex.phpartikel5396-delik-percobaan-cukup-untuk- menindak-korupsi.html, diakses pada tanggal 9 Maret 2013.
Universitas Sumatera Utara
penjatuhan putusan korupsi yang dilakukan bersama-sama itu terkait dengan adanya perbuatan berkelanjutan. Sehingga sering ditemukan adanya putusan
hakim yang memvonis “bersama-sama melakukan dan perbuatan atau pidana berkelanjutan” di dalam kasus korupsi. Hal ini dapat kita lihat memalui kasus
pidana kasasi dengan nomer register 996KPid2006. Doktrin hukum pidana sudah dahulu mengatur dengan apa yang dinamakan sebagai perbuatan pidana
berlanjut concursus. Pengertian dari concursus berlanjut adalah suatu perbuatan
yang dilakukan secara berulang-ulang atau berangsur-angsur dimana perbuatan itu sejenis berhubungan dan dilihat dalam satu perbuatan.
Batasan waktu yang terciri dalam concursus berlanjut adalah dibatasi pada putusan hakim in kracht. Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut
menggunakan sistem absorbs, yaitu hanya dikenakan ancaman terberat. Dan apabila berbeda-beda, maka dikenakan ketentuan pidana pokok yang terberat.
Sebagaimana yang kita ketahui hakim merupakan salah satu aparat penegak hukum memiliki kewenangan dalam menjatuhkan hukuman atau
pemidaan seadil-adilnya sesuai dengan rasa keadilan yang hidup di dalam suatu masyarakat. Tetapi masih saja menjadi pertanyaan besar bagi beberapa orang
mengenai keadilan hakim dari vonis ataupun penjatuhan hukum didalam korupsi tersebut, misalnya saja penjatuhan pidana tindak pidana korupsi yang dilakukan
secara bersama-sama dan berkelanjutan, mulai timbul pertanyaan apakah sudah tepat hakim menjatuhkan vonis mengenai perkara tersebut, sesuai sebagaimana
yang diketahui bahwa pidana berkelanjutan concursus haruslah dijatuhkan
Universitas Sumatera Utara
hukuman pidana yang terberat dari perbuatan-perbuatan pidana yang dilakukan khususnya di dalam Tindak Pidana Korupsi.
B. Perumusan Masalah