Hakim juga menetapkan masa penahanan yang telah dijalankan Terdakwa akan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa, dan
memerintahkan supaya Terdakwa tetap ditahan dalam Rumah Tahanan Negara; Menetapkan seluruh barang-barang bukti dikembalikan kepada Penuntut
Umum untuk kepentingan perkara lain dan membebankan Termohon KasasiTerdakwa tersebut untuk membayar baiay perkara dalam semua tingkat
pengadilan dan dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp. 2.500-, dua ribu lima ratus rupiah.
2. Tentang Putusan
Seperti terlihat dari putusan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 996 KPid2006 yang menganut bahwa perbuatan berlanjut merupakan bentuk khusus
dari tindak pidana, secara tegas hakim menyatakan bahwa soal perbuatan berlanjut Voortgezette
handeling hanya
mengenai soal
penjatuhan hukuman
straftoemating. Adanya indikasi bahwa Putusan Mahkamah Agung tersebut menganut
aliran bahwa perbuatan berlanjut merupakan salah satu bentuk khusus dari tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dari amar putusan mengenai kualifikasi tindak
pidana yakni adanya penambahan kalimat
“yang dilakukan secara berlanjut yang merupakan beberapa perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan
berlanjut” dibelakang tindak pidana pokok yang terbukti.
Indikasi ini dapat dilihat dari bentuk atau kualifikasi amar putusan Mahkamah Agung tersebut karena dalam pertimbangan hukum putusan-putusan
tersebut tidak dipertimbangkan secara khusus mengenai dimana letak kedudukan
Universitas Sumatera Utara
perbuatan berlanjut tersebut, apakah sebagai bentuk khusus tindak pidana atau penjatuhan pidana Straftoemating. Hal ini juga terlihat dari putusan-putusan
pengadilan di bawahnya, bukan merupakan suatu kelaziman jika Hakim dalam putusannya mempertimbangkan tentang kedudukan perbuatan berlanjut tersebut,
jarang sekali Hakim dalam mempertimbangankan terbukti tidaknya perbuatan berlanjut mempertimbangkan pula kedudukannya . Bila dikatikan dengan Pasal 64
ayat 1 KUHP yang di dakwakan hakim agung kepada terdakwa terlihat hanya sebagai sekedar penjatuhan pidana straftoemating semata.
Dengan demikian melihat konstruksi yuridis perbuatan berlanjut maka terlihat perbuatan berlanjut bukan merupakan suatu hal yang sederhana dan
mudah dibuktikan. Dengan kata lain perbuatan berlanjut merupakan hal yang kompleks dan membutuhkan pembuktian yang cermat untuk 3 unsurnya tersebut.
Dimana hampir semua unsur dari adanya perbuatan berlanjut secara teoritis tidak memiliki pengaturan yang jelas, misalnya mengenai pengertian dari satu
keputusan kehendak, mengenai tenggang waktu. Adapun 3 tiga unsur yang dimaksud dalam perbuatan berkleanjutan
adalah sebagai berikut :
70
2. harus ada satu keputusan kehendak;
3. masing-masing perbuatan harus sejenis;
4. tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.
70
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Op.Cit, halaman 181
Universitas Sumatera Utara
Akan tetapi disisi lain, apabila kita memperhatikan kalimat penutup dari ketentuan Pasal 64 ayat 1 KUHP, yakni hanya dikenakan satu aturan pidana, jika
berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat, penjatuhan pidana dengan sistem absorpsi maka dari hal tersebut terlihat
pada pokoknya, terbukti adanya perbuatan berlanjut tidak dapat dijadikan dasar untuk memperberat dalam penjatuhan pidana.
Hakim Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 996 KPid2006 di atas setelah adanya pembuktian mengenai perbuatan berlanjut dalam korupsi yang
dilakukan terdakwa, menjatuhkan pidana yang tidak lebih berat dari ancaman pidana maksimal dalam aturan pasalnya oleh karena hukum mengatur hanya
dikenakan satu aturan pidana yaitu pidana pokok yang paling berat bukan hukuman yang melewati hukuman maksimalnya. Di dalam putusan lain, mungkin
adanya masih adanya kesalahan hakim dalam menjatuhkan hukuman kepada terdakwa, ternyata kebanyakan hakim dalam memberikan keputusan biasanya
dibawah ketentuan pidana maksimal. Tetapi Hakim Agung Dalam perkara tersebut di atas telah tepat dalam penafsiran mengenai ancaman penjatuhan
hukuman terhadap perbuatan berlanjut yang dilakukan oleh terdakwa. Penuntut Umum pada dakwaannya dalam kerangka untuk memperberat
kualitas dari tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa berdasarkan ketentuan- ketentuan Pasal 64 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP jika
ingin digunakan bisa oleh dipastikan tidak akan tercapai, sehingga terlihat aturan ini sedikit mempersulit pembuktian dakwaan Penuntut Umum dalam perkara di
atas.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian konsepsi awal yang harus dipegang adalah adanya perbuatan berlanjut tidak mempunyai korelasi dengan penjatuhan pidana lebih
berat dari ancaman pidananya, kecuali yang diatur dalam Pasal 64 ayat 3 KUHP. Sehingga dalam tindak pidana korupsi, terutama pada Putusan Hakim diatas dapat
dilihat bahwa ancaman pidana dari perbuatan berlanjut tidak melebihi dari ancaman pokok dari tindak pidana yang dijatuhkan tersebut. Hal ini dapat kita
lihat dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal Pasal 364 pencurian ringan, 373 penggelapan ringan, 379 penipuan ringan, dan 407
ayat 1 perusakan barang ringan yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut dikenakan aturan pidana untuk kejahatan biasa, berarti yang dikenakan adalah
Pasal 362 pencurian, 372 Penggelapan, 378 Penipuan atau 406 Perusakan barang.
Selanjutnya jika kita mengkonsepsikan perbuatan berlanjut adalah bentuk khusus dari tindak pidana, maka perbuatan berlanjut dalam hal ini konstruksi
hukumnya sama dengan percobaan dan penyertaan dalam tindak pidana, yakni terkualifikasi sebagai unsur-unsur yang menyatu dengan tindak pidana pokok
yang didakwakan. Oleh karena menyatu dengan unsur tindak pidana pokok dalam dakwaan,
maka Penuntut Umum dalam dakwaannya dan Hakim dalam putusannya harus menguraikan dan mempertimbangkan dengan cermat dan jelas mengenai terbukti
tidaknya perbuatan berlanjut tersebut. Dan yang harus digaris bawahi oleh karena kedudukan unsur perbuatan berlanjut adalah sama dengan kedudukan unsur-unsur
tindak pidana pokok maka apabila unsur perbuatan berlanjut tidak terbukti
Universitas Sumatera Utara
dipersidangan konsekuensi yuridisnya seharusnya tindak pidana yang di dakwakan juga tidak terbukti, karena hal ini juga berlaku dalam hal terjadi
percobaan dan penyertaan dalam tindak pidana, apabila percobaan Pasal 53 KUHP dan penyertaan Pasal 55, 56 KUHP tidak terbukti maka tindak pidana
yang menjadi pokok dakwaan harus juga dinyatakan tidak terbukti. Contoh kasus misalnya; Terdakwa telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana koruspi dakwaan Pokok, tetapi ternyata tindak pidana korupsi tersebut tidak terkualifikasi sebagai perbuatan
berlanjut, jika Hakim berpendirian perbuatan berlanjut adalah bentuk khusus dari tindak pidana, maka nyata tindak pidana korupsi tersebut seharusnya tidak
terbukti dan Terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan. Tetapi dilain pihak apabila ternyata unsur-unsur tindak pidana dan unsur
perbuatan berlanjut tersebut terbukti maka Hakim tidak dapat menjatuhkan pidana melebihi ancaman pidana dari pasal yang didakwakan memperberat pidana
melebihi ancaman pidananya. Dengan demikian nyata penerapan aturan perbuatan berlanjut sebagai
bentuk khusus dari tindak pidana dalam praktek pengadilan sangat tidak berimbang peran dan kedudukannya, yakni jika terbukti tidak berkorelasi dengan
pemberatan penjatuhan pidana kecuali yang diatur dalam Pasal 64 ayat 3 KUHP tetapi jika perbuatan berlanjut tidak terbukti maka dakwaan tidak terbukti
pula, terdakwa harus dibebaskan dan dalam tataran lebih luas hal ini dapat menafikan rasa keadilan dan kemanfaatan.
Universitas Sumatera Utara
Lain halnya jika perbuatan berlanjut tersebut dalam konsep sebagai sistem pengenaan pidana semata Straftoemating, maka ketentuan perbuatan berlanjut
tersebut hanya merupakan pedoman pegangan bagi Hakim dalam penjatuhan pidana. Dimana sesuai dengan ketentuan Pasal 64 ayat 1 KUHP, penjatuhan
pidana terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana yang dilakukan secara berlanjut adalah dengan menggunakan sistem absorpsi yakni hanya dikenakan
satu aturan pidana, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat
Konsekuesi dari perbuatan berlanjut sebatas pedoman penjatuhan pidana maka Penuntut Umum tetap harus menguraikan adanya perbuatan berlanjut dalam
dakwaannya dan Hakim dalam putusannya tetap harus mempertimbangkan ada tidaknya perbuatan berlanjut tersebut, tetapi dalam konsepsi ini ada hal yang
menguntungkan yakni pembuktian terpenuhi atau tidaknya perbuatan berlanjut tidak berpengaruh pada pembuktian unsur-unsur tindak pidana pokok yang
didakwakan tetapi hanya berpengaruh pada masalah pengenaan pidana yang dijatuhkan semata.
Sehingga jika ketentuan perbuatan berlanjut yang didakwakan kepada Terdakwa tidak terbukti tetapi dakwaan pokoknya terbukti maka dakwaan
tersebut haruslah tetap dinyatakan terbukti, apabila dalam kasus Hamdani Amin di atas, bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana korupsi tetapi perbuatan
berlanjutnya tidak dapat diterbuktikan maka terdakwa tetap harus dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi, walaupun tidak ada perbuatan berlanjut
di dalam tindakannya. Akan tetapi pada hasil akhirnya, terdakwa Hamdani Amin
Universitas Sumatera Utara
telah dinyatakan oleh Hakim Mahkamah Agung telah terbukti melakukan perbuatan berkelanjutan yang pidana pokoknya adalah ikut seta dalam perbuatan
Tindak Pidana Korupsi. Lantas bagaimana legalitas dari perbuatan berlanjut yang tidak terbukti
tersebut, apabila terjadi hal yang demikian, maka aturan mengenai perbuatan berlanjut tersebut harus dikesampingkan dan tidak dijadikan dasar bagi Hakim
dalam penjatuhan pidana terhadap terdakwa. Sebagai contoh Hakim dalam putusannya menyatakan sebagai berikut
Menimbang, bahwa dari fakta-fakta tersebut di atas nyata perbuatan terdakwa haruslah dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri-sendiri karena
perbuatan-perbuatan tersebut dihasilkan dari keputusan kehendak yang berbeda- beda dan berdiri sendiri, sehingga tidaklah dapat dikualifikasikan sebagai
perbuatan berlanjut. Menimbang, bahwa dengan demikian ketentuan Pasal 64 Ayat 1 KUHP
tentang pengenaan pidana terhadap perbuatan berlanjut yang ikut didakwakan kepada Terdakwa haruslah dikesampingkan dan tidak dijadikan dasar oleh Majelis
dalam pengenaan atau penjatuhan pidana kepada Terdakwa. Dengan adanya konsepsi perbuatan berlanjut bukan merupakan bentuk
khusus dari tindak pidana tetapi hanya aturan mengenai pengenaan pidana semata maka pembuktian ada tidaknya perbuatan berlanjut seimbang dengan kedudukan
fungsi pengaturan penjatuhan pidananya yang sebenarnya hanya memberikan pengaturan penjatuhan pidana apabila ada perbuatan berlanjut.
Universitas Sumatera Utara
Dalam perkembangan selanjutnya ternyata “perbuatan berlanjut” menurut pembuat undang-undang masih patut diatur, hal ini seperti yang terlihat dari RUU
tentang KUHP yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang- undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, yakni dalam Pasal 138
RUU KUHP dinyatakan : 1.
Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang saling berhubungan sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut
dan diancam dengan ancaman pidana yang sama maka hanya dijatuhkan satu pidana;
2. Jika tindak pidana perbarengan sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 diancam dengan pidana yang berbeda maka hanya dijatuhkan pidana pokok yang terberat;
Ketentuan mengenai penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berlaku juga terhadap tindak pidana pemalsuan atau merusak mata uang dan
menggunakan uang palsu atau uang yang dirusak tersebut. Dari rancangan tersebut terlihat tidak ada perubahan yang mendasar dari perbuatan berlanjut yang
diatur dalam Pasal 64 KUHP, baik itu kualifikasinya maupun sistem pengenaan pidananya yang menggunakan sistem absorpsi, dimana dalam praktek pengadilan
ketentuan Pasal 64 ayat 1 KUHP ini jarang diperhatikan oleh karena kecenderungan Hakim memutus kurang atau dibawah ancaman maksimal pidana.
Hal yang lebih lanjut harus ditelaah oleh hakim adalah dititik beratkan pada pemberlakuan aturan perbuatan berlanjut dalam praktek pengadilan yakni
dikaitkan dengan segi efektifitas dan daya berlakunya ketentuan ini, dan diakhiri
Universitas Sumatera Utara
dengan adanya kekuatan hukum dalam penjatuhan keputusan terkait erat dengan penjatuhan hukuman dalam Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan bersama-sama
dan berkelanjutan. Bila dilihat dalam ketentuan pasal 64 ayat 1 KUHP yang mengatur
tentang pengenaan pidana terhadap perbuatan berlanjut dalam praktek aturannya jarang diperhatikan oleh Hakim, oleh karena Hakim dalam memutus suatu perkara
pidana cenderung pidananya dibawah ancaman pidana maksimal. Hal yang memudahkan, menguntungkan dalam praktek dan memenuhi
rasa keadilan jika perbuatan berlanjut tersebut dikonsepsikan dan dikonstruksikan sebagai aturan pengenaan pidana semata bukan sebagai bentuk khusus dari tindak
pidana oleh karena jika “perbuatan berlanjut” tidak terbukti maka tidak menyebabkan dakwaan tidak terbukti jika ternyata unsur-unsur tindak pidana
pokok yang didakwakan telah terbukti.
Pada putusan perkara ini yang paling diharapkan adalah kebijakan dari Hakim dalam mengadili dan memberikan suatu keputusan yang sebenar-
benarnya dan berkeadilan, sehingga dapat di ikuti oleh hakim-hakim
selanjutnya dalam memutuskan suatu perkara yang berkaitan dengan ikut serta dan perbuatan berkelanjutan dalam Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan