Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.... Selanjutnya dalam Pasal 3 UU PTPK, menyatakan :
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara.... Defenisi yuridis dalam UU PTPK tersebut merupakan batasan formal yang
ditetapkan oleh badan atau lembaga formal yang memiliki wewenang untuk itu disuatu negara. Oleh karena itu, batas-batas tindak pidana korupsi sangat sulit
dirumuskan dan tergantung pada kebiasaan maupun undang-undang domestik suatu negara.
17
2. Pengertian Tindak Pidana Berkelanjutan dalam Hukum Pidana
Tindakan yang berkelanjutan voortgezzette handeling, oleh pembentuk undang-undang telah diatur di dalam Pasal 64 ayat 1 KUHP, yang rumusannya
berbunyi :
18
“Staan meerdere feiten, ofschoon elk op zich misdrijf of overtreding opleverende, in zoodaning verband, dat zij moeten worden beschouwd als eene
voortgezette handeling, dan wordt slechts eene straafbepaling toegepast, bij verschil die
waarbij de zwaarste hoofdstraf is gesteld”.
17
http:id.shvoong.comlaw-and-politicslaw2027081, Opcit
18
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Penerbit : PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2011, halaman 706
Universitas Sumatera Utara
yang artinya : “Apabila antara beberapa perilaku itu terdapat hubungan yang sedemikian rupa, sehingga perilaku-perilaku tersebut harus dianggap sebagai
suatu tindakan yang berlanjut, walaupun tiap-tiap perilaku itu masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, maka diberlakukanlah hanya satu
ketentuan pidana saja, dan apabila terdapat perbedaan, maka yang diberlakukan adalah ketentuan pidana yang mempunyai ancaman hukuman pokok yang
terberat.” Berbeda dengan kenyataan yang terdapat di dalam Memorie van
Toelichting, dimana pembentuk undang-undang telah berbicara mengenai apa yang disebut voortgezet misdrijf dan voortgezette overtreding, maka di dalam
rumusan ketentuan pidana menurut Pasal 64 ayat 1 KUHP di atas, pembentuk undang-undang telah berbicara mengenai beberapa perilaku yang seolah-olah
berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi yang karena terdapat suatu hubungan yang demikian rupa, maka perilaku-perilaku tersebut harus dianggap sebagai satu
tindakan yang berlanjut.
19
Itu berarti bahwa tiap-tiap perilaku itu harus dituduhkan secara sendiri- sendiri dan harus dibuktikan pula secara sendiri-sendiri. Tiap-tiap perilaku itu
dapat mempunyai locus delicti-nya sendiri, tempus delicti-nya sendiri dan dapat mempunyai verjaringstermijn-nya sendiri.
Dalam MvT Memorie van Toelichting, kriteria “perbuatan-perbuatan itu ada hubungan sedemikain rupa sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan
berlanjut” adalah :
19
Noyon-Langemeijer, Het Wetboek I , Dalam P.A.F. Lamintang, Ibid, halaman 706
Universitas Sumatera Utara
1. harus ada satu keputusan kehendak;
2. masing-masing perbuatan harus sejenis;
3. tenggang waktu antara perbuatan-perbuatan itu tidak terlalu lama.
Sistem pemberian pidana bagi perbuatan berlanjut sebagaimana yang telah dikemukakan diatas adalah menggunakan sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan
satu aturan pidana terberat, dan bilamana berbeda-beda, maka dikenaan ketentuan yang memuat pidana pokok yang terberat.
Pasal 64 ayat 2 merupakan ketentuan khusus dalam hal pemalsuan dan perusakan mata uang, sedangkan Pasal 64 ayat 3 merupakan ketentuan khusus
dalam hal kejahatan-kejahatan ringan yang terdapat dalam Pasal 364 pencurian ringan, Pasal 373 penggelapan ringan, Pasal 407 ayat 1 perusakan barang
ringan, yang dilakukan sebagai perbuatan berlanjut. Beberapa orang penulis berpendapat, bahwa di dalam perilaku-perilaku
berkelanjutantindak pidana berkelanjutan sebagaimana dimaksud di atas bukan
tidak mungkin dapat terjadi adanya suatu keturutsertaan atau deelneming.
Mengenai kemungkinan
adanya suatu
deelneming atau
suatu keturutsertaan di dalam perilaku-perilaku seperti dimaksud di atas, Profesor
Simons berpendapat antara lain :
20
“Naar mijne zienswijze is dus bij toepassing van art. 56 slecht van eene quaestie van straftoemeting sprake en niet van het vormen van een delict,
met al de gevolgen daaraan ten opzichte van de plaats van het strafbare feit, de deelneming, de verjaring enz. verbonden”.
20
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,Op.Cit, halaman 707
Universitas Sumatera Utara
yang artinya : “Menurut cara pengelihatan saya, pemberlakuan Pasal 64 KUHP itu hanya berkenaan dengan masalah penjatuhan hukuman dan bukan
dengan masalah pembentukan satu tindak pidana dengan segala akibatnya yakni yang berkenaan dengan tempat terjadinya tindak pidana, dengan keikutsertaan,
dengan masalah kadaluwarsa dan lain- lain”.
Adapun pendapat yang sama dari Profesor van Hattum yang mengatakan, anatara lain :
21
“Dat art. 56 slechts een voorschrift van straftoemeting bevat en geenzins een veelheid van delicten wettelijk tot eenheid vormt is van grote betekenis
voor de locus delicti, voor de verjaring, voor de deelneming”. yang artinya : “Bahwa Pasal 64 KUHP itu hanya memuat suatu peraturan
mengenai penjatuhan hukuman dan bukan mengatur masalah pembentukan sejumlah tindak pidana menjadi satu keseluruhan menurut undang-undang, hal
mana mempunyai arti yang sangat penting bagi lembaga-lembaga locus delicti, ka
darluwarsa dan keikutsertaan.”
3. Putusan Mahkamah Agung Nomor Register 996 KPid2006.