dalam korupsi yang dilakukan terdakwa, menjatuhkan pidana yang tidak lebih berat dari ancaman pidana maksimal dalam aturan
pasalnya oleh karena hukum mengatur hanya dikenakan satu aturan pidana yaitu pidana pokok yang paling berat bukan hukuman yang
melewati hukuman maksimalnya. Di dalam putusan lain, mungkin adanya masih adanya kesalahan hakim dalam menjatuhkan
hukuman kepada terdakwa, ternyata kebanyakan hakim dalam memberikan keputusan biasanya dibawah ketentuan pidana
maksimal. Tetapi Hakim Agung Dalam perkara tersebut di atas telah tepat dalam penafsiran mengenai ancaman penjatuhan
hukuman terhadap perbuatan berlanjut yang dilakukan oleh terdakwa.
B. Saran
1. Bahwa perlu ada pengaturan tertulis dalam bentuk peraturan
perundang-undangan yang membahas adanya perbuatan berlanjut dalam Tindak Pidana Khusus terutama di dalam tindak pidana
korupsi itu sendiri. Dan akan lebih baik lagi jika diberikan penjelasan rinci di dalam peraturan tersebut mengenai kata
“perbuatan berlanjut” yang sering digandeng dengan kata “bersama-sama” dalam tindak pidana korupsi didepannya.
2. Di dalam penjatuhan hukuman, seharusnya hakim memperjelas
kedudukan dari perbuatan berlanjut tersebut karena dalam pertimbangan hukum putusan di atas tidak dipertimbangkan secara
Universitas Sumatera Utara
khusus mengenai dimana letak kedudukan perbuatan berlanjut tersebut, apakah hanya sebagai bentuk khusus tindak pidana atau
penjatuhan pidana Straftoemating. Bila dilihat dari beberapa putusan yang berkaitan dengan perbuatan berlanjut pada
kenyataannya jarang sekali hakim dalam mempertimbangankan perbuatan berlanjut juga mempertimbangkan kedudukan dari
perbuatan tersebut. Sehingga hakim diharap harus sebenar- benarnya dan sejelas-jelasnya dalam memberikan dakwaan dan
hukuman terhadap terdakwa yang
“melakukan bersama-sama dan perbuatan berkelanjutan” dalam Tindak Pidana Korupsi.
Universitas Sumatera Utara
BAB II KONSEP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-
SAMA DAN TINDAK PIDANA BERKELANJUTAN DALAM HUKUM PIDANA DAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Tindak Pidana Bersama-sama dan Berkelanjutan Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana KUHP
1. Penyertaan deelneming
Penyertaan deelneming
31
adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut sertaterlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun fisik
dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang yang terlibat dalam kerja sama yang mewujudkan tindak
pidana, perbuatan masing-masing dari mereka berbeda satu dengan lain, demikian juga bisa tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak
pidana maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan yang ada pada masing-masing itu terjalinlah suatu hubungan yang sedemikian rupa
eratnya, di mana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lainnya, yang smuanya mengarah pada satu ialah terwujudnya tindak pidana.
Adapun bentuk-bentuk penyertaan terdapat dan diterangkan dalam Pasal 55 dan 56. Pasal 55 mengenai golongan disebut dengan mededader disebut para
peserta, atau para pembuat, dan Pasal 56 mengenai medeplichtige pembuat pembantu.
Pasal 55 merumuskan sebagai berikut : 1.
Dipidana sebagai pembuat tindak pidana :
31
Adami Chazawi, Percobaan, Penyertaan, Pelajaran Hukum Pidana 3, Penerbit: Rajawali Press, Jakarta, 2002, halaman 73
Universitas Sumatera Utara
a. mereka yang melakukan, yang menyuruh lakukan, dan yang turut
seta melakukan perbuatan; b.
mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,
ancaman atau pemyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan
2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah
yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 merumuskan sebagai berikut : Dipidana sebagai pembantu kejahatan :
1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan
dilakukan; 2.
Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dari kedua Pasal 55 dan 56 tersebut, dapatlah diketahui bahwa menurut KUHP penyertaan itu dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :
32
1. Pertama, kelompok orang-orang yang perbuatannya disebabkan dalam
Pasal 55 ayat 1, yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat mededader, adalah mereka :
a.
yang melakukan plegen, orangnya disebut dengan pembuat pelaksanaan pleger;
b. yang menyuruh melakukan doen plegen, orangnya disebut
dengan pembuat penyuruh doen pleger; c.
yang turut serta melakukan mede plegen, orangnya disebut dengan pembuat peserta mede pleger; dan
d. yang disengaja menganjurkan uitlokken, yang orangnya disebut
dengan pembuat penganjur uitlokker. 2.
Kedua, yakni orang yang disebut dengan pembuat pembantu medeplichtige kejahtan, yang dibedakan menjadi :
a. pemberibantuan pada saat pelaksanaan kejahatan; dan
b. pemberian bantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.
Bila dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, penyertaan deelneming adalah keturutsertaan seseorang atau orang-orang yang terlibat dalam korupsi,
32
Adami Chazawi, Percobaan, Penyertaan, Pelajaran Hukum Pidana 3, Op.Cit, halaman 81
Universitas Sumatera Utara
ataupun yang membantu seseorang dalam melakukan tindak pidana korupsi baik dalam penganjuran untuk melakukan tindak pidana korupsi, atau memberi
pembantuan. Pembantuan diberikan baik dalam bentuk sarana dan prasarana, kesempatan dan pemberianpenyampaian informasi kepada seseorang yang akan
melakukan tindak pidana korupsi. Yang dihukum sebagai orang yang melakukan dapat dibagi atas empat
macam, yaitu sebagai berikut : 1.
Orang yang melakukan pleger.
33
Orang ini ialah seseorang yang sendirian telah berbuat mewujudkan segala anasir atau elemen dari
peristiwa pidana. Dalam peristiwa pidana yang dilakukan dalam jabatan misalnya orang itu harus pula memenuhi elemen status sebagai
pegawai negeri. Kedudukan pleger dalam Pasal 55 KUHP: janggal karena pelaku
bertanggung jawab atas perbuatannya pelaku tunggal dapat dipahami:
34
a. Pasal 55 menyebut siapa-siapa yang disebut sebagai pembuat, jadi
pleger masuk di dalamnya Hazewinkel Suringa. b.
Mereka yang bertanggung jawab adalah yang berkedudukan sebagai pembuat pompe.
2. Orang yang menyuruh melakukan doen pleger.
35
Di sini sedikitnya ada dua orang, yang menyuruh doen pleger dan yang disuruh
33
Adami Chazawi, Op.Cit, halaman 84
34
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Penerbit: PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2012, halaman 206
35
Adami Chazawi, Op.Cit, halaman 87
Universitas Sumatera Utara
pleger. Jadi, bukan orang itu sendiri yang melakukan peristiwa pidana, tetapi ia menyuruh orang lain, meskipun demikian ia
dipandang dan dihukum sebagai orang yang melakukan sendiri atau melakukan peristiwa pidana. Disuruh pleger itu harus hanya
merupakan suatu alat instrument saja, maksudnya ia tidak dapat dihukum karena tidak dipertanggungjawabkan atas perbuatannya
misalnya dalam hal-hal sebagai berikut : a.
Tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut Pasal 44 KUHP, umpamanya A berniat akan membunuh B, tetapi karena tidak
berani melakukan sendiri, telah menyuruh C seorang gila untuk melemparkan granat kepada B, bila C betul-betul telah
melemparkan granat itu, sehingga B mati, maka C tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan
yang dihukum sebagai pembunuh ialah A. b.
Telah melakukan perbuatan itu karena terpaksa oleh kekuasaan yang tidak dapat dihindarkan overmacht menurut Pasal 48,
umpamanya A berniat membakar rumah B dan dengabn menodong memakai pistol menyuruh C supaya membakar rumah itu. Jika C
membakar rumah itu, ia tidak dapat dihukum karena dipaksa, sedangkan A meskipun tidak membakar sendiri, dihukum sebagai
pembakar. c.
Telah melakukan perbuatan itu atas perintah jabatan yang tidak sah menurut Pasal 51, misalnya seorang Isnpektur Polisi mau
Universitas Sumatera Utara
membalas dendam pada seorang musuhnya dengan memasukkan orang itu dalam kamar tahanan. Ia menyuruh B seorang agen polisi
di bawah perintahnya supaya menangkap dan memasukkan dalam tahanan orang tersebut, ia tidak dapat dihukum atas merampas
kemerdekaan orang karena ia menyangka perintah itu sah, sedangkan yang dihukum sebagai perampas kemerdekaan ialah
tetap si Inspektur Polisi. d.
Telah melakukan perbuatan itu dengan tidak ada kesalahan sama sekali, misalnya A berniat akan mencuri sepeda motor yang sedang
ditaruh di muka kantor pajak. Ia tidak berani menjalankan sendiri, tetapi ia menunggu di tempat yang agak jauh minta tolong kepada
B untuk mengambil sepeda itu dengan mengatakan bahwa sepeda itu miliknya. Jika B memenuhi permintaan itu, ia tidak
dipersalahkan mencuri, karena dengan elemen sengaja tidak ada. Yang dihukum sebagai pencuri tetap A.
3. Orang yang turut melakukan medepleger.
36
Turut melakukan dalam arti kata, bersama-sama melakukan. Sedikit-dikitnya harus ada dua
orang, ialah orang yang melakukan pleger dan orang yang turut serta melakukan medepleger peristiwa pidana. Di sini diminta, bahwa
kedua orang itu semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen dari peristiwa pidana itu. Tidak boleh
misalnya hanya melakukan perbautan persiapan saja atau perbuatan
36
Adami Chazawi, Op.Cit, halaman 99
Universitas Sumatera Utara
yang sifatnya hanya menolong, sebab jika demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk medepleger, tetapi dihukum sebagai
membantu melakukan medeplichtige tersebut dalam Pasal 56. 4.
Orang yang dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, memakai kekerasan, dan sebagainya. Dengan sengaja membujuk melakukan
perbuatan itu uitlokker.
37
Orang itu harus sengaja membujuk orang lain, sedangkan membujuknya harus memakai salah satu dari jalan-
jalan seperti dengan pemberian, salah memakai kekuasaan, dan sebagainya. Yang disebutkan dalam pasal itu, artinya tidak boleh
memakai jalan lain. Disini sama halnya dengan suruh melakukan sedikit-dikitnya harus ada dua orang ialah orang yang membujuk dan
yang dibujuk, hanya bedanya pada membujuk melakukan, orang yang dibujuk itu dapat dihukum juga sebagai pleger, sedangkan pada suruh
melakukan, orang yang disuruh itu tidak dapat dihukum. Penganjuran
uitloken mirip
dengan menyuruh
melakukan doenplegen, yaitu melalui perbuatan orang lain sebagai perantara.
Namun perbedaannya terletak pada :
38
a. pada penganjuran, menggerakkan dengan sarana-sarana tertentu
limitatif yang tersebut dalam undang-undang KUHP, sedangkan menyuruhlakukan menggerakannya dengan sarana yang tidak
ditentukan;
b. pada penganjuran, pembuat materiil dapat dipertanggungjawabkan,
sedang dalam
menyuruh pembuat
materiil tidak
dapat dipertanggungjawabkan.
37
Adami Chazawi, Op.Cit, halaman 112
38
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Op.Cit, halaman 209
Universitas Sumatera Utara
2. Perbarengan Tindak Pidana Concursus atau Samenloop dan
Perbuatan Berlanjut voortgezette Handeling
Pada dasarnya yang dimaksud dengan perbarengan ialah terjadinya dua
atau lebih tindak pidana oleh satu orang dimana tindak pidana yang dilakukan pertama kali belum dijatuhi pidana, atau antara tindak pidana yang awal dengan
tindak pidana berikutnya belum dibatasi oleh suatu putusan hakim.
39
Pada penggulangannya juga terdapat lebih dari suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
satu orang. Perbedaan pokoknya ialah bahwa pada penggulangan tindak pidana yang dilakukan pertama atau lebih awal telah diputus oleh hakim dengan
memidana pada si pembuat, bahkan telah dijalaninya baik sebagian atau seluruhnya. Sedangkan pada perbarengan syarat seperti pada penggulangan
tidaklah diperlukan, karena syarat perbarengan adalah bahwa perbuatan yang pertama dan perbuatan pidana yang dilakukan kemudian belum dijatuhi
vonishukuman oleh hakim. Sebagaimana yang kita ketahui, perbarengan merupakan permasalahan
yang berkaitan dengan pemberian pidana. Dalam ajaran umum tentang pembarengan dibicarakan maksimal ancaman pidana yang hendak diterapkan
dalam hal :
40
1. Beberapa pembuatan pidana yang dilakukan harus diadili pada
waktu yang sama atau secara bertahap. Bentuk berbarengan jangan dicampur aduk dengan residif. Ada perbarengan dimana dilakukan
beberapa perbuatan pidana sebelum salah satu perbuatan pidana itu
39
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Op.Cit ,halaman 109
40
D.Shcaffmeister, dkk, Hukum Pidana, Penerbit: PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, halaman 175
Universitas Sumatera Utara
diajukan ke pengadilan. Tidaklah penting apakah perbuatan- perbuatan pidana itu diajukan ke pengadilan pada waktu yang sama
atau bertahap Pasal 71 KUHP . Residif memiliki kesamaan dengan perberengan karena dalam
residif dilakukan beberapa perbuatan pidana. Yang khusus dari residif, yaitu setelah si pelaku diadili karena melakukan perbuatan
pidana, yang bersangkutan melakukan suatu perbuatan pidana lagi. Adanya perbarengan apabila ada beberapa perbuatan pidana
yang dilakukan dan di antara beberapa perbuatan pidana itu si pembuat tidak diadili bertalian dengan salah satu perbuatan
pidana yang dilakuakan itu. Adanya residif apabila ada beberapa perbuatan pidana. Setelah si epmbuat diadili karena ia melakukan
perbuatan pidana lagi. 2.
Ada beberapa perbuatan yang dalam kehidupan sehari-hari dipandang sebagai satu kesatuan, tetapi termasuk ke dalam
beberapa perbuatan pidana sehingga merupakan beberapa perbuatan yang diancam dengan pidana. Sebagai contoh, di
indonesia mengendarai kendaraan di sebelah kanan jalan catatan: di belanda orang berkendaraan di sebelah kanan jalan, dan karena
kealpaan bisa mengakibatkan orang lain meninggal dunia.
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan lebih dari satu tindak pidana yang dilakukan oleh saru orang ini, UTRECHT 1965:197 mengemukakan tentang 3 tiga kemungkinan
yang terjadi, yaitu :
41
a. Terjadinya perbarengan, dalam hal apabila dalam waktu antara
dilakukannya dua tindak pidana tidak telah ditetapkan satu pidana karena tindak pidana yang paling awal di antara kedua tindak pidana
itu. Dalam hal ini, dua atau lebih tindak pidana itu akan diberkas dan diperiksa dalam satu perkara dan kepada si pembuat akan dijatuhkan
satu pidana, dan oleh karenanya praktis di sini tidak ada pemberatan pidana, yang terjadi justru peringanan pidana, karena dari beberapa
tindak pidana itu tidak dipidana sendiri-sendiri dan menjadi suatu total yang besar, tetapi cukup dengan satu pidana saja tanpa
memperhitungkan pidana sepenuhnya sesuai dengan yang diancamkan pada masing-masing tindak pidana.
b. Apabila tindak pidana yang lebih awal telah diputus dengan memidana
pada si pembuat oleh hakim dengan putusan yang telah menjadi tetap, maka di sini terdapat penggulangan. Pada pemidanaan si pembuat
karena tindak pidana yang kedua ini terjadi penggulangan, dan di sini terdapat pemberatan pidana dengan sepertiganya.
c. Dalam hal tindak pidana yang dilakukan pertama kali telah dijatuhkan
pidana pada si pembuatnya, namun putusan itu belum mempunyai kekuatan hukum pasti, maka di sini tidak terjadi perbarengan maupun
penggulangan, melainkan tiap-tiap tindak pidana itu dijatuhkan sendiri- sendiri sesuai dengan pidana maksimum masing-masing yang
diancamkan pada beberapa tindak pidana tersebut.
Dalam hal kemungkinan yang pertama dimana terjadi perbarengan dan disana tidak terjadi pemberatan tetapi justru terdapat adanya peringanan terhadap
pemidanaan atau penjatuhan pidananya. Akan tetapi pemberlakuan terdapat hal- hal yang demikian tersebut tidaklah mencakup keseluruhan tindak pidana, hanya
dapat diberlakukan terhadap tindak pidana tertentu saja atau biasa dijatuhkan terhadap tindak pidana sejenis. Apabila sudah berlainan tindak pidana yang
dilakukan, maka dapat menjadi pemberat terhadap penjatuhan pidananya. Hal ini
41
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan Ajaran Kausalitas,
Penerbit : PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, halaman 110
Universitas Sumatera Utara
dikarenakan akan dipilih pidana yang paling berat ancaman hukumannya dari perbuatan pidana yang dilakukan oleh si pelaku.
Jadi apakah perbarengan ini merupakan dasar pemberat pidana atau peringanan pidana, bergantung pada hal yang menjadi dasar pandangannya
terhadap peristiwa konkret tertentu, tidak bersifat general untuk segala kejadian. Bila semata-mata dilihat dari pandangan bahwa hanya dijatuhkan satu pidana
kemudian dapat diperberat dengan sepertiga ancaman pidana yang terberat, tanpa melihat di sana ada beberapa tindak pidana, maka di sini perbarengan dapat
dianggap sebagai alasan pemberatan pidana. Akan tetapi apabila dilihat semata- mata ada beberapa tindak pidana, tetapi hanya dijatuhkan satu pidana saja yakni
terhadap aturan pidana yang terberat ancaman pidananya, walaupun dapat ditambah sepertiga dari yang terberat seperti Pasal 65 maka tampaknya pada
perbarengan tidak ada pemberatan pidana. Contoh orang yang dua kali melakukan pembunuhan yang masing-masing diancam pidana penjara maksimum 15 lima
belas tahun, yang artinya untuk dua kali pembunuhan itu dapat dijatuhi pidana penjara dua kali masing-masing 15 lima belas tahun, sehingga berjumlah 30
tiga puluh tahun. Namun karena ketentuan perbarengan dia tidak dijatuhi pidana penjara dua kali sehingga berjumlah 30 tiga puluh tahun, tapi satu kali
maksimum 20 tahun 15 tahun ditambah sepertiga. Berbeda dengan pengulangan yang tidak mengatur mengenai ketentuan
umumnya, hal perbarengan dimuat ketentuan umumnya yakni dalam Bab VI Pasal 63-71 KUHP. Ketentuan mengenai perbarengan pada dasarnya ialah suatu
ketentuan mengenai bagaimana cara menyelesaikan perkara dan menjatuhkan
Universitas Sumatera Utara
pidana sistem panjatuhan pidana dalam hal apabila satu orang telah melakukan lebih dari satu tindak pidana di mana semua tindak pidana itu belum diperiksa dan
diputus oleh pengadilan. Konkretnya ketentuan perbarengan itu mengatur dan menentukan mengenai : a. cara menyidangkan atau memeriksa menyelesaikan
perkara; dan b cara atau sistem penjatuhan pidananya terhadap satu orang pembuat yang telah melakukan tindak pidana lebih dari satu yang semuanya
belum diperiksa dan diputus oleh pengadilan. KUHP mengatur perbarengan tindak pidana dalam Bab VI Pasal 63-71.
Dalam rumusan pasal maupun dalam Bab IX, KUHP tidak memberikan defenisipengertian perberengan tindak pidana concursus ini. Namun demikian,
dari rumusan pasal-pasalnya, dapat diperoleh pengertian dan sistem pemberian pidana bagi concursus sebagai berikut :
A. Perbarengan Peraturan Concursus Idealis atau Eendaadse
Samenloop
Apa yang disebut eendaadse samenloop atau concursus idealis atau samenloop van strafbepalingen di atas, oleh pembentuk undang-undang telah
diatur di dalam Pasal 63 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berbunyi :
42
“Valt een in meer dan eene strafbepaling, dan wordt slechts eene dier bepalingen toegepast, bij verschil die daarbij de zwaarste hoofdstraf is
gesteld”.
42
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Op.Cit, halaman 667
Universitas Sumatera Utara
yang artinya : “Apabila suatu prilaku itu termasuk ke dalam lebih dari pada satu ketentuan pidana, maka hanyalah salah satu dari ketentuan-ketentuan pidana
tersebut yang diberlakukan, dan apabila terdapat perbedaan, maka yang diberlakukan adalah ketentuan pidana yang mempunyai ancaman hukuman pokok
yang ter berat”.
Tim penerjemah Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman telah menerjemahkan rumusan Pasal 63 ayat 1 KUHP tersebut dengan
rumusan yang berbunyi : “Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka
yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang
paling berat”. Rumusan Pasal 63 ayat 1 KUHP di atas tampaknya sangat sederhana, akan
tetapi dari hal-hal yang dituliskan di atas akan diketahui, bahwa pemberian arti kepada ketentuan yang telah diatur di dalamnya itu tidaklah semudah yang
diperkirakan orang. Kesulitan mengenai pemberian arti kepada ketentuan yang telah diatur di
dalam Pasal 63 ayat 1 KUHP itu justru terletak pada penafsiran perkataan feit yang terdapat di dalam rumusan Pasal 63 ayat 1 KUHP itu sendiri.
Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus idealis adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat,
43
sedangkan keetntuan-ketentuan yang lain tidak diperhatikan. Misalnya terjadi pemerkosaan
43
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Op.Cit, halaman 179
Universitas Sumatera Utara
di jalan umum, maka pelaku dapat diancam dengan pidana penjara selama 12 tahun menurut Pasal 285, dan pidana penajara 2 tahun 8 bulan menurut Pasal 281.
Dengan menggunakan sistem absorbsi, maka akan diambil pidana yang terberat, yaitu 12 tahun penjara.
Dalam Pasal 63 ayat 2 terkandung adagium lex specialis derogat legi generali aturan undang-undang yang khusus meniadakan aturan yang umum.
Jadi misalkan ada seorang ibu melakukan aborsipengguguran kandungan, maka dia dapat diancam dengan Pasal 338 tentang pembunuhan dengan pidana penjara
15 tahun. Namun, karena Pasal 341 telah mengatur secara khusus tentang tindak pidana ibu yang membunuh anaknya aborsi, maka dalam hal ini tidak berlaku
sistem absorbsi. Ibu tersebut hanya diancam dengan Pasal 341 disebabkan pengaturan yang lebih khusus tersebut.
B. Meerdaadse Samenloop Atau Concursus Realis