Tawakkal NILAI SOSIOLOGIS “SAYEMBARA BOHONG”

lviii dengan yang membangkang, maka keadilan Ilahi yang sempurna tentunya lebih menolak penyamaan antara si zalim dengan yang dizalimi, antara pembunuh dan terbunuh, antara yang taat dan yang melakukan maksiat, antara mukmin dengan kafir, dan antara orang baik dan orang jahat. Allah swt. berfirman: “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka. Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah pula Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” Shad: 27-28 Namun kita tidak mendapati keadilan sempurna di dunia. Belum ada balasan yang setimpal atas semua perbuatan manusia yang baik maupun buruk. Dengan logika keadilan Ilahi yang tak mungkin diragukan, kita beriman bahwa penghitungan dan balasan amal yang seadil-adilnya itu akan kita temui di hari akhir sebagaimana diinformasikan oleh semua Rasul a.s. sebagai orang-orang yang dipilih oleh Allah SWT untuk menyampaikan firmannya kepada seluruh umat manusia.

3.2 Tawakkal

Tawakkal adalah pohon yang baik yang tidak berbuah kecuali buah yang baik dalam diri maupun kehidupan. Kehidupan pribadi yang berimbas pada kehidupan bermasyarakat atau berorganisasi. Di antara buah sikap tawakkal, yaitu: Pertama, As-Sakinah wa at-thuma’ninah Ketenangan dan ketentraman. lix Buah yang pertama dari pohon tawakkal ini adalah ketenangan jiwa dan ketentraman hati yang dirasakan oleh orang yang bertawakkal kepada Rabb-nya. Ia rasakan itu memenuhi seluruh relung jiwanya, ia merasa aman ketika orang lain takut, merasa tenang ketika mereka berguncang, merasa yakin saat mereka bimbang, tsabat saat orang lain goyah, penuh harap sementara mereka hilang asa, dan menikmati perasaan ridha saat orang lain diracuni murka. Ia tak ubahnya seperti prajurit yang berlindung di benteng yang amat kokoh, menyediakan makanan, tempat istirahat, perbekalan dan senjata lengkap. Dari dalam benteng itu ia bisa melihat namun tak terlihat, menembak tanpa tertembak, semua kejadian di luar benteng tidak menggentarkannya sama sekali baik teriakan ataupun gemuruh senjata. Inilah keadaan yang dirasakan Nabi Musa alaihissalam ketika sahabat- sahabatnya berkata: “Kita pasti terkejar” Nabi Musa menjawab: “Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”. Asy- Syuara 26: 62. Keadaan ini juga dirasakan oleh Nabi Muhammad saw ketika ia berkata kepada Abu Bakar di gua Tsaur: “Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” At-Taubah 9: 40. Seperti yang dialami pula oleh Ibrahim alaihissalam saat dilemparkan ke dalam api, ia tidak meminta tolong kepada manusia, jin atau malaikat, ucapan yang keluar dari mulutnya hanyalah: lx “Cukuplah Allah untukku dan Dia sebaik-baik pelindung.” Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa Abdullah bin Abbas ra berkata: . “Hasbunallahu wa ni’mal wakil” adalah ucapan yang dikatakan oleh Nabi Ibrahim ketika dilemparkan ke dalam api, juga diucapkan oleh Nabi Muhammad saw saat manusia berkata kepadanya: “Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah Sebaik-baik Pelindung”. Ali imran 3: 173. Sakinah dan Thuma-ninah bersama Allah juga dirasakan oleh Hajar ibunda Ismail alaihimassalam tatkala Ibrahim al-Khalil meninggalkannya di lembah tandus Makkah tanpa memberi alasan yang jelas. “Apakah Allah yang memerintahkanmu meninggalkan kami? Ibrahim menjawab: “Ya”. Hajar berkata: “Kalau begitu, Dia tak kan membiarkan kami.” Kedua, Al-Quwwah kekuatan Buah kedua yang pasti dirasakan oleh mu’min yang bertawakkal adalah kekuatan mental yang membaja terutama ketika tengah menghadapi tantangan yang amat berat. . “Siapa yang ingin bahagia menjadi orang yang paling kuat hendaklah ia bertawakkal kepada Allah.” Hadits dha’if diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam At- Tawakkul dan Makarim Al-Akhlaq hlm 18 no 5, juga oleh Al-Bahaqi dalam Az- lxi Zuhd: 2463 no 986 dari Ibnu Abbas. Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa pada sanadnya ada perawi yang matruk yang tidak dipakai oleh para ahli hadits dan ada pula yang dituduh berdusta. Al-Qaradhawi dalam bukunya At-tawakkul mengatakan: Cukuplah ini menjadi ucapan salah seorang ulama salaf Hal ini dapat kita lihat dari sikap para nabi, diantaranya adalah Nabi Nuh as ketika menghadapi ancaman kaumnya: “Dan bacakanIah kepada mereka berita penting tentang Nuh di waktu dia berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal bersamaku dan peringatanku kepadamu dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku bertawakal, karena itu bulatkanlah keputusanmu dan kumpulkanlah sekutu- sekutumu untuk membinasakanku. Kemudian janganlah keputusanmu itu dirahasiakan, lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Jika kamu berpaling dari peringatanku, aku tidak meminta upah sedikitpun dari padamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri kepada- Nya.” Yunus 10: 71-72. Nabi Hud as: “Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian sembahan kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu.” Huud menjawab: “Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian bahwa sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan dari selain-Nya, sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dia-lah yang memegang ubun-ubunnya. Sesungguhnya Tuhanku di atas jalan yang lurus.” Hud 11: 54-56. Nabi Syuaib as: “Pemuka-pemuka dari kaum Syu’aib yang menyombongkan diri berkata: “Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, atau kamu kembali kepada agama kami”. berkata Syu’aib: “Dan Apakah kamu akan mengusir kami, kendatipun Kami tidak menyukainya?” Sungguh kami mengada-adakan kebohongan yang benar terhadap Allah, jika kami kembali kepada agamamu, sesudah Allah melepaskan Kami dari padanya. Dan tidaklah patut kami kembali kepadanya, kecuali jika Allah, Tuhan kami menghendakinya. Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakkal. Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum lxii kami dengan hak adil dan Engkaulah pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.” Al- A’raf 7: 88-89. Lebih agung lagi adalah kekuatan Rasulullah saw tatkala beliau menggali khandak di tengah kepungan pasukan sekutu. Betapa tidak, saat itu Rasulullah saw menjanjikan para sahabatnya dengan penaklukan Yaman, Kisra dan Kaisar. Kekuatan jiwa yang membuat orang-orang munafik menuduh Rasulullah dan para sahabat ngawur dan ghurur: “Dan ingatlah ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya berkata:”Allah dan Rasul-Nya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya.” Al-Ahzab 33: 12. Ketiga, Al-Izzah Kemulian Buah ketiga dari tawakkal adalah izzah -terhormat, mulya- yang diraih oleh orang yang bertawakkal kepada Allah. Izzah yang mengangkatnya ke tempat yang mulia, mengantarnya menjadi raja besar tanpa perlu singgasana dan mahkota, raja mulia meski tanpa prajurit atau pengikut. Izzah yang merupakan kurnia Al-Aziz subhanahu wata’ala. “Dan bertawakkallah kepada Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” Asy-Syuara 26: 217. Orang yang bertawakkal adalah raja, tapi bukan raja di dunia. Raja dunia selalu merasa butuh terhadap pengikut dan para pembantu, seperti juga perasaan takut mereka akan kehilangan kekuasaannya baik oleh makar internal maupun serangan lxiii dari luar, atau oleh kematian yang sewaktu-waktu datang. Sedangkan kemuliaan dan kerajaan bagi orang yang bertawakkal tidak demikian, ia hanya membutuhkan Allah saja, hatinya hanya bergantung kepada-Nya, tidak mengharap selain rahmat-Nya, dan tidak takut kecuali kepada azab-Nya. Suatu hari, salah seorang khalifah berkata kepada seorang ulama salaf: “Sampaikan keperluan duniamu, kami akan penuhi untukmu.” Dengan penuh izzah sang alim menjawab: “Aku tidak memintanya dunia kepada Allah, bagaimana mungkin aku memintanya kepada makhluk?” Memang, ia tidak meminta dunia kepada Allah, yang dimintanya jauh lebih mulia dari dunia… itulah ridha dan surga-Nya. Izzah itu tidak dapat dicari dengan mengetuk pintu para penguasa, ia hanya dapat diraih dengan mengetuk satu-satunya pintu.. pintu Al-’Aziz: “Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.” Fathir 35: 10 Izzah seorang mu’min adalah ketika ia tsiqah kepada Al-Maula subhanahu wata’ala, ketika ia menang atas hawa nafsunya, dan saat ia selamat dari semua penghalang menuju jalan petunjuk-Nya. Syiar mereka adalah: . lxiv “Merasa cukup bersama Allah, mengangkat keinginan dari selain Allah, dan menjaga pakaian iman agar tidak dikotori oleh kecondongan duniawi dan sifat rakus kepada selain karunia Allah.” Keempat, Al-Ridha Ridha Rela Diantara buah tawakkal adalah ridha. Dengannya dada menjadi lapang, hatipun bertambah luas. Ulama berkata: . “Kapanpun engkau ridha Allah sebagai wakil pelindung, akan engkau temukan jalan menuju semua kebaikan.” Ibnul Qayyim mengutip ucapan gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: . “Sesuatu yang ditakdirkan itu dikelilingi oleh dua perkara: tawakkal sebelumnya dan ridha sesudahnya. Siapa yang bertawakkal kepada Allah sebelum berbuat dan ridha dengan ketentuan Allah setelahnya berarti ia telah menjalankan ubudiyah kepada Allah.” Kelima, Al-amal Optimisme Buah tawakkal yang lain adalah harapan yang tak pernah padam dalam menyambut masa depan betapapun pahitnya realita yang dihadapi. Di hati orang yang bertawakkal kepada Allah tidak ada celah bagi putus asa, karena ia adalah sifat kekufuran dan kesesatan. “Ibrahim berkata: “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat.” Al-Hijr 15: 56 lxv “Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.” Yusuf 12: 87. Nabi Ya’qub as tidak pernah berputus asa mencari Yusuf anaknya meskipun waktu penantiannya begitu lama, berpuluh tahun tanpa ada berita tentangnya. “Mudah-mudahan Allah mendatangkan mereka semuanya kepadaku; sesungguhnya Dia-lah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” Yusuf 12: 83. Dalam Hikayat Seribu Masalah penggambaran tentang tawakkal sebagai sifat dari seorang Muslim terlihat ketika Abdullah bin Salam bertanya kepada Muhammad tentang bagaimana manusia menghadapi segala ketentuan yang telah digariskan atau ditentukan oleh Allah SWT. Nabi Muhammad menjelaskan bahwa: Ada lima perkara daripada syariat Islam menerima cubaan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Pertama As-Sakinah wa at-thuma’ninah, kedua al quwwah, ketiga al izza, keempat al ridha, kelima al amal. Kelima perkara ini hendaklah kamu amalkan dalam hidup kamu bila hendak mendapat ketenangan dalam hidup hai Abdullah bin Salam. Abdullah bin Salam terdiam seribu bahasa…. Hikayat Seribu Masalah:35 Orang yang bertawakkal kepada Allah amat yakin bahwa segala kekuasaan dan rencana berada di Tangan-Nya, Dia berbuat sesuai Kehendak-Nya, memutuskan menurut iradah-Nya, mencabut kekuasaan dari siapa saja yang Dia kehendaki, memberi kekuasaan kepada yang Ia kehendaki. Jika Dia menghendaki yang miskin bisa menjadi kaya dan sebaliknya, yang lemah dijadkan-Nya kuat dan sebaliknya, yang sulit jadi mudah, yang sakit segera sembuh, yang hina menjadi mulia dan sebaliknya. Semua itu dilakukan-Nya dengan sebab yang terlihat atau tanpa sebab sama sekali, tidak ada yang mustahil bagi-Nya. lxvi

3.3 Silaturahim