xxvii Pandangan diatas sebenarnya bukan tidak ada keuntungannya. Sebab, analisis
karya sastra, dengan demikian tidak lagi membutuhkan berbagai pengetahuan lain sebagai referensi, misalnya dari referensi sosiologi, fsikologi, filsafat, dan lain-lain.
Namun, penekanan pada sifat otonomi karya sastra dewasa ini dipandang orang sebagai kelemahan aliran strukturalisme dan kajian struktural. Hal ini disebabkan
sebuah karya sastra tidak mungkin dipisahkan sama sekali dari latar belakang sosial budaya dan latar belakang sejarahnya.
Melepaskan karya sastra dari latar belakang sosial dan budaya dan sejarahnya. Akan menyebabkan karya itu menjadi kurang bermakna, atau paling tidak maknanya
menjadi sangat terbatas, atau bahkan makna menjadi sulit untuk ditafsirkan. Hal itu berarti karya sastra kurang berarti dan kurang bermanfaat bagi kehidupan. Oleh
karena itu, analisis struktural sebaiknya dilengkapi dengan analisis yang lain, dalam hal ini dikaitkan pada keadaan sosial budaya secara luas.
1.7.2. Sosiologi Sastra
Membicarakan sosiologi sastra adalah membicaralan sampai dimana hubungan antara sosiologi dengan sastra, dan membicaraakan hasil karya sastra yang
relevan. Sastra tercipta untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfatkan manusia dalam suatu masyrakat. Sebagai sesuatu yang perlu dinikmati, karya sastra harus
mengandung keindahan yang berasal dari keorisinalitasan sehingga dapat memenuhi dan memuaskan kehausan estetis masyarakat penikmatnya. Sebagi sesuatu yang perlu
dipahami, karya sastra memendam kompleksitas yang dapat dimengerti dengan usaha-usaha yang sungguh-sungguh dan teliti oleh masyrakat pembacanya. Dengan
xxviii demikian, untuk mengungkapkan kandungan karaya sastra dibutuhkan kepekaan yang
luar biasa. Sebagai sesutau yang perlu dimanfaatkan, karya sastra mengandung nilai berharga yang dapat dipergunakan untuk kesejahteraan manusia.
Banyak kenyataan sosial yang dihadapi manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Kenyataan sosial itu dapat berupa tantangan dalam mempertahankan
hidup, kebahagiaan dalam situasi keberhasilan, frustasi dalam situasi kegagalan, kesedihan dalam suasana kemalangan dan lain sebagainya. Kenyataan sosial tersebut
muncul akibat hubungan antar manusia, hubungan antara masyarakat dan hubungan antar peristiwa dalam batin seseorang.
Hal di atas senada dengan apa yang disampaikan oleh Damoncy 1984:4-5 bahwa :
“Kenyataan sosial itu mendapatkan perhatian sang pengarang, baik karena dia menyaksikannya maupun karena dia mengalaminya sendiri. Dengan
demikian, sastra melalui pengarang, merefleksikan gambaran kehidupan. Namun, tujuan utama sang pengarang bukanlah hanya menampilkan
kenyataan sosial atau gambaran kehidupan, melainkan dia hendak menjadikan sastra sebagai resep kehidupan yang mampu menangkal penyakit dan manjur
sebagai obat penyembuh. Sastra menjadi peralatan kehidupan manusia. Sastra dengan demikian berperan sebagai : 1. Pelipur lara, 2. Ungkapan kekesalan, 3.
kritik sosial dan 4. Nasihat.”
Secara sosiologi sastra adalah strategi sikap untuk menghadapi situasi yang dialami mausia demi mengembangkan kemasyarakatan atau kesejahteraan manusia
itu sendiri sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Dengan demikian, pengarang merupakan ahli strategi.
Pengarang harus mampu menilai sesuatu dengan tepat dan teliti. Pengarang tidak akan dapat mengetahui dan mengantisipasi masa depan dengan tepat, apa yang
xxix akan memberikan harapan dan apa yang akan menyuguhkan ancaman, apabila dia
tidak mengetahui keadaan sesuatu dengan jelas. Dengan demikian, seorang ahli strategi yang bijaksana tidak akan puas dengan strategi yang hanya memuaskan
dirinya sendiri. Pengarang akan waspada terhadap ancaman atau bahaya yang sewaktu-waktu dapat menghadang.
Dari uraian di atas dapat dilihat tiga aspek yang saling berhubungan yaitu hubungan antar sastrawan, sastra dan masyarakat. Hubungan itu bersifat sosial dan
tertuang dalam suatu karya sastra sebagai sarana penghubung antar sastrawan, sastra dan masyarakat pembaca. Dengan demikian, pembicaraan ini bersifat sosiologi atau
yang disebut sosiologi sastra. Secara singkat dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra adalah studi sosiologi
terhadap karya sastra yang membicarakan hubungan dan pengaruh timbal balik antar sastrawan, sastra dan masyarakat, dengan menitikberatkan pada realitas dan gejala
nilai-nilai soisologis yang ada di antara ketiganya. Dengan batasan seperti itu tampaklah kecenderungan kearah relasi antara kenyataan kehidupan dalam
masyarakat yang dirujuk karya sastra tersebut. Serta sikap budaya dengan kreativitas pengarang sebagai seorang anggota masyarakat.
Untuk mengetahui sikap dan perilaku seseorang di dalam suatu masyarakat tertentu, apabila didaerah yang belum dikenal seseorang, maka seseorang itu dapat
membaca atau menganalisis karya sastra. Sebab, karya sastra semacam itu akan membicarakan suatu gambaran tentang sikap perilaku masyarakat, melukiskan sikap
dan perilaku suatu masyarakat pada zamannya. Atau dengan kata lain, karya sastra merupakan pencerminan masyarakat pada zamannya.
xxx Sebagai ungkapan pribadi pengarang, juga dikemukakan Sumardjo 1986:3
yakni : “sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran,
penasaran, ide, semangat, dan keyakinan yang dapat membangkitkan gairah pembaca melalui bahasa”
Berdasarkan pendapat tersebut, penulis menganggap dari suatu sisi bahwa benar karya sastra merupakan individual pengarang dan karena itu tidak harus
mencerminkan keadaan suatu masyarakat pada zamannya. Kalaupun sastra melukiskan keadaan suatu masyarakat, hal itu karena telah menjadi persoalan pribadi
pengarang. Akan tetapi, dari sisi lain, benar bahwa karya sastra merupakan pencerminan suatu masyarakat pada zamannya.
Dengan demikian jelaslah bahwa sosiologi dapat dijadikan sebagai salah satu pendekatan sastra, sebab antar sosiologi dan sastra saling menguntungkan. Hanya
pelu disadari bahwa karya sastra bukanlah merupakan cermin yang didahului pikiran masyarakat zamannya, melainkan karya sastra hanyalah cerminan masyarakat
zamannya. Hal ini merupakan bahwa kehadiran sastra mempunyai peranan dalam
membentuk struktur masyarakat. Pengarang dan karyanya merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka membicarakan sebuah karya sastra. Di satu sisi
pengarang adalah anggota dari kelompok masyarakat yang hidup ditengah-tengah kelompok masyarakat tersebut.
Sumardjo juga menekankan, bahwa kehadiran karya sastra merupakan salah satu wujud pelestarian dari keadaan sosio-kultur suatu masyarakat dimana ia tercipta.
xxxi Lebih jauh lagi Yakob Sumardjo mengatakan bahwa “karya sastra menampilkan
wajah kultur zamannya, tetapi sifat-sifat sastra juga ditentukan oleh masyarakat”. Pendapat sumardjo diatas didukung pula oleh Semi 1989:54 yang
mengatakan bahwa: a.
Konteks sosial yakni yang menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalam faktor-
faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya.
b. Sastra sebagai cermin masyarakat yang telaah adalah sampai sejauh
mana sastra dianggap sebagi cerminan keadaan masyarakat. c.
Sosial sastra dalam hal ini ditelaah sampai berada jauh dari nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan sampai berapa jauh pula sastra dapat
berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembacanya.
Sosiologi pada sisi lain sebagai ilmu yang berbicara tentang aspek-aspek kemasyarakatan selalu dapat dimanfaatkan untuk pembicaraan sebuah cipta sastra,
nilai-nilai sosiologis dalam sebuah karya sastra dapat terwujud untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam.
Banyak hal-hal yang menjadi fokus pengamatan seorang sastrawan dalam kehidupan pribadinya, lingkungan serta harapan-harapannya menjadi hal yang
menarik dalam penelitian sebuah cipta sastra. Kompleks permasalahan itu merupakan hadiah seorang pengarang yang dapat memperluas wawasan pemikiran anggota
masyarakat. Dengan menggambarkan fenomena dari hasil pengamatan pengarang, masyarakat pembacanya memperoleh hal yang bermakna dalam hidupnya.
Pengarang sendiri mendapat sumber dalam aspek-aspek yang membangun keutuhan sebuah ceruita adalah menyangkut perwatakan tokoh-tokohnya. Tokoh yang
berpikiran primitif akan bertindak sebagai manusia yang modern yang serba luwes.
xxxii Ciri-ciri perwatakan seorang tokoh selalu berkaitan dengan pengarang,
lingkungan dimana dia hidup. Demikian juga menyangkut tipe orang atau tokohnya. Biasanya dalam setiap cerita selalu terdapat beberapa tokoh, dalam hal inilah
pengetahuan sosiologi berperan menggunakan isi sebuah karya sastra. Hal di atas didukung oleh pernyataan Damono 1981:178 yang mengatakan :
“bahwa sosiologi sastra diaplikasi pada tulisan-tulisan para kritikus sejarawan sastra menaruh perhatian utama pada cara atau keadaan seseorang pengarang
dipengaruhi kelas sosialnya, ideologi sosialnya, kondisi ekonominya, profesinya, dan pembaca”
Warren dalam Damono,1996:84 mengklasifikasikan sastra menjadi : Pertama, sosiologi pengarang yang memasalahkan sstatus sosial, ideology sosial, dan
lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra. Kedua, sosiologi karya sastra yang memasalahkan karyanya sendiri; menjadi pokok
penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Ketiga, sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial
karya sastra. Ian Watt dalam Darmono, 1996:3-4 melihat hubugan timbal balik antara
sastrawan, sastra dan masyarakatnya. Oleh sebab itu, telaah sosiologi suatu karya sastra akan mencakup tiga hal yaitu : pertama, konteks sosial pengarang yaitu
menyangkut posisi sosial yang mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya. Kedua, sastra sebagai cermin masyarakat
yaitu menyangkut sejauh mana sastra dianggap sebagi pencerminan keadaan masyarakat. Ketiga, fungsi sosial sastra yaitu sampai berapa jauh nilai sastra
xxxiii berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra berfungsi sebagai
alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca.
1.8. Metode Penelitian 1.8.1.