Implementasi Konsep Neoliberalisme di Indonesia

Jika melihat kasus Indonesia di era Soeharto, rezim otoriter saat itu memang dibutuhkan pada awal-awal proses kapitalisme berkembang yakni sejak dikeluarkannya UU PMA tahun 1967. Proses perumusan kebijakan yang mendukung kapitalisasi dibutuhkan oleh para kapitalis baik asing maupun domestik dengan sedikit orang saja dan memiliki kewenangan mutlak. Namun setelah kapitalisme semakin matang, terutama telah menguasai pasar di Indonesia, maka rezim otoriter justru menjadi penghambat karena intervensi dan kebijakan yang sentralistik. Sementara kapitalisme membutuhkan pasar yang bebas dari pemerintah dan segala macam restriksi. Oleh karena itu, rezim otoriter Soeharto pun harus ditumbangkan dengan melancarkan isu demokratisasi.

IV.1.3.2. Implementasi Konsep Neoliberalisme di Indonesia

Di sisi lain, pada saat itu, Jatuhnya rezim otoriter Suharto disambut dengan gegap-gempita masyarakat luas. Seluruh masyarakat menyambut dengan gembira turunnya Suharto dan mengharapkan angin demokratisasi segera berhembus. Namun sebelum tata cara dan sistem demokrasi itu dibangun, International Monetery Fund IMF telah menyusup masuk ke Indonesia sebagai “dokter” yang membawa resep penyelesaian krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Sebelum pemilu tahun 1999 dibangun infrastruktur dan mekanisme sistemnya, Structural and Adjustment Programme SAP IMF telah mempersiapkan tata cata, aturan main, kebijakan, dan sistem liberalisasi ekonomi di Indonesia. 51 butir Letter of Intent LoI antara pemerintah Indonesia dengan IMF adalah bentuk intervensi instrumen kapitalisme global tersebut untuk menguasai ekonomi dan politik negara Indonesia. Upaya pemulihan tersebut pada dasarnya merupakan kewajiban Universitas Sumatera Utara untuk semakin menjalankan konsep yang dikenal saat ini sebagai neoliberalisme 96 Ada lima kerangka utama neoliberalisme yang berkembang dan diterapkan di berbagai negara, terutama negara-negara berkembang yang sedang dalam proses demokratisasi seperti Indonesia dewasa ini, antara lain: pasar bebas, pembatasan anggaran belanja publik, deregulasi, privatisasi, dan menghapuskan konsep barang publik. . Neoliberalisme adalah konsep paling mutakhir dari kapitalisme global, dan dominasi agendanya harus dipahami dalam konteks sejarah kapitalisme. Dalam kasus Indonesia, kapitalisme dahulu pernah mengambil bentuk penjajahan fisik kolonialisme. Dalam perspektif Marhaenisme, konsep tersebut diistilahkan oleh Soekarno sebagai bentuk penjajahan gaya baru atau Neo-kolonialisme Nekolim. 97

1. Pasar Bebas Free Market

Dalam konsep pasar bebas, swasta dibebaskan dari keterikatannya terhadap negara dan tanggung jawab atas permasalahan sosial yang terjadi karena aktivitas perusahaan mereka. Pengurangan tingkat upah dengan menghapus serikat-serikat pekerja dan memotong hak-hak buruh. Harga dibiarkan bergerak tanpa intervensi pemerintah. Kebebasan total di dalam perpindahan modal, barang, dan jasa. Para pengusung pasar bebas senantiasa menyatakan bahwa pasar yang tidak diatur adalah jalan terbaik untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan memberikan keuntungan bagi setiap orang. 2. Pembatasan Anggaran Belanja Publik 96 Ibid, hal. 24. 97 Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia, Apa Neoliberalisme itu? Definisi Singkat Bagi Aktivis, dikutip dari situs http;www.rumahkiri.com pada tanggal 12 April 2010 pukul 14.24 wib. Universitas Sumatera Utara Anggaran publik seperti kesehatan, pendidikan, pemenuhan air bersih, listrik, jalan umum, fasilitas umum, dan bantuan untuk orang miskin harus dikurangi dan dibatasi sehingga tidak membebani Anggaran Pendapatan Belanja Negara APBN. Pandangan tersebut sama saja dengan mengurangi peranan pemerintah dalam perekonomian dan pemenuhan kebutuhan publik. 3. Deregulasi Hambatan-hambatan atau restriksi-restriksi untuk masuk pasar harus dihilangkan, supaya pasar menjadi kian kompetitif. Penerapannya dilakukan dengan mengurangi segala bentuk regulasi negara terhadap kebebasan ekonomi, karena regulasi selalu mengurangi keuntungan kapitalis, termasuk regulasi mengenai analisa dampak lingkungan, ataupun aturan keselamatan kerja dan sebagainya. Dalam rangka itu pula, setiap kebijakan pemerintah yang menghambat pemasukan modal asing harus disingkirkan. 4. Privatisasi Perusahaan-perusahaan milik negara yang bernaung di bawah Badan Usaha Milik Negara BUMN seyogyanya dijual kepada swasta baik domestik maupun asing. Privatisasi meliputi perbankan, industri strategis, perkeretaapian dan transportasi umum, PLN, Sekolah dan Universitas, Rumah Sakit Umum, bahkan air. Privatisasi itu, meski dilakukan dengan alasan “persaingan bebas” yang dibungkus rapi demi efisiensi dan mengurangi korupsi, namun kenyataannya berakibat pada konsentrasi kapital di tangan sedikit orang dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal atas kebutuhan dasar mereka. Privatisasi BUMN, atau lebih tepatnya kapitalisasi BUMN yang disemangati oleh nilai-nilai kapitalisme, di dalamnya bertentangan dengan prinsip-prinsip untuk kepentingan Universitas Sumatera Utara umum, karena tujuan utamanya adalah keuntungan sebesar-besarnya bagi pemilik modal. 5. Menghapuskan Konsep Barang Publik Pemindahan tanggung jawab pengadaan barang dan layanan publik dari tangan negara menjadi tanggung jawab individu. Dengan kata lain, masyarakat harus menemukan sendiri solusi dalam pemenuhan kebutuhan hidup mereka akan barang-barang publik. Kebijakan-kebijakan pasar bebas, pembatasan anggaran belanja publik, deregulasi, privatisasi, dan penghapusan konsep barang publik tersebut menjadi garis-garis besar daripada upaya pemulihan ekonomi yang disarankan oleh IMF kepada pemerintah Indonesia. Selebihnya adalah memasuki ranah politik dan lain- lain yang nanti akan dibahas pada bagian selanjutnya. Berkaitan dengan pasar bebas, Indonesia saat ini telah menjadi anggota organisasi perdagangan dunia World Trade Organization WTO. Sebagai konsekuensi dari keanggotaan WTO, maka Indonesia harus menerapkan konsep perdagangan sesuai dengan kebijakan WTO. Kebijakan WTO tersebut berlaku secara global, bersifat mengikat secara hukum, dan diimplementasikan di negara- negara sedang berkembang melalui LoI dan SAP dibawah kendali IMF dan Bank Dunia. Kasus di Indonesia saat ini yang akan dibahas berkaitan dengan pasar bebas adalah terkait dengan bidang ketenagakerjaan dan agraria. Rekson Silaban mencatat beberapa masalah utama perburuhan pasca reformasi yaitu masalah pengangguran dan berimplikasi pada meningkatnya jumlah pekerja sektor informal, masalah pendidikan dan komposisi, sistem pengupahan, praktek outsourcing dan kontrak, masalah sistem pengawasan tenaga Universitas Sumatera Utara kerja, dan masalah jaminan sosial tenaga kerja. 98 Outsourcing merupakan bentuk nyata dari prinsip fleksibilitas pasar kerja dan dapat ditemukan dihampir seluruh bagian dalam rangkaian proses produksi. Dalam konteks ini, ada mekanisme baru dalam sistem perburuhan yaitu outsourcing sebagai bentuk baru dalam efesiensi dan menekan biaya produksi. 99 Selain itu outsoursing juga didefinisikan sebagai pengalihan sebagian atau seluruh pekerjaan dan atau wewenang kepada pihak lain guna mendukung strategi pemakaian jasa outsourcing baik pribadi, perusahaan divisi ataupun sebuah unit dalam perusahaan. 100 98 Rekson Silaban, Reposisi Gerakan Buruh, Peta Jalan Gerakan Buruh Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, hal. 48. 99 Ibid, hal. 71. 100 Komang Priambudi, Outsourcing Versus Serikat Kerja. Jakarta. Alihdaya Publishing, 2008, hal. 12. Praktek outsourcing tersebut kini mendapat tentangan oleh gerakan buruh di Indonesia. Apalagi setelah disahkannya UU No. 13 Tahun 2003, praktek sistem kerja kontrak semakin merajarela. Nyaris semua perusahaan memberlakukannya dalam bentuk kontrak kerja yang pendek dan outsourcing. Di bidang agraria, meskipun sudah ada kebijakan yang mengatur perihal Agraria yakni UU No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau dikenal sebagai UUPA 1960, namun sampai saat ini, kebijakan tersebut belum pernah diimpelementasikan secara menyeluruh dan konsisten oleh pemerintah Indonesia. Di era reformasi sekarang ini ada istilah “free land market”. Istilah tersebut merupakan suatu pemikiran yang menekankan pentingnya pasar tanah yang terbuka dan bebas. Dapat dikatakan pemikiran tersebut sebagai penyebab kebijakan UUPA 1960 belum diimplementasikan. Universitas Sumatera Utara Malahan kebijakan UUPA 1960 hendak dibajak oleh berbagai kebijakan sektoral seperti UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan lain-lain. Selain itu di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono SBY, juga ada upaya pemerintah untuk merevisi dan mengamandemen UUPA 1960 dengan alasan guna menopang iklim investasi. Terdapat juga beberapa kebijakan pemerintah SBY yang dirumuskan antara lain, Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum, banyak dikenal sebagai “Perpres Pro Penggusuran” yang kemudian direvisi menjadi Perpres No. 65 tahun 2005. Serta beberapa kebijakan lain yang keseluruhan kebijakan tersebut mendapat penolakan dari rakyat terutama dari kalangan petani. Dengan menerapkan kebijakan UU No. 13 Tahun 2003 di sektor perburuhan, UU No. 41 tahun 1999, Perpres No. 36 tahun 2005 di sektor agraria, maka secara nyata pemerintah juga telah menerapkan kebijakan yang deregulatif karena pemerintah memberikan kebebasan ekonomi kepada kapitalis untuk mengatur pola kerja sesuai kehendaknya atas nama efisiensi dan mengurangi biaya produksi serta menciptakan suatu transaksi jual beli pasar atas tanah sumber-sumber agraria dengan menghilangkan berbagai restriksi dan hambatan- hambatan yakni tanggung jawab dan penguasaan negara atas dasar kepentingan umum. Selain itu, masih banyak bentuk-bentuk hilangnya tanggung jawab negara pemerintah atas penyelenggaraan pemerintahan. Dalam hal subsidi rakyat, pemerintah telah beberapa kali mengeluarkan kebijakan untuk pembatasan subsidi, antara lain subsidi terhadap harga BBM Bahan Bakar Minyak, Subsidi listrik, dan lain sebagainya mulai dari masa pemerintahan Gusdur hingga SBY. Universitas Sumatera Utara Kemudian dalam konteks kebijakan privatisasi, sejumlah Badan Usaha Milik Negara BUMN telah dijual kepemilikannya hingga mayoritas dimiliki oleh swasta domestik ataupun asing. BUMN tersebut antara lain berada di sektor kelistrikan PLN, air PAM, Pertambangan minyak negara Pertamina, dan lain sebagainya. Bahkan sektor pendidikan pun terutama pendidikan tinggi tidak luput dari kebijakan privatisasi dengan menerapkan konsep Badan Hukum Milik Negara di sejumlah perguruan tinggi negeri. Penerapan kebijakan dari konsep neoliberalisme tersebut dalam perekonomian Indonesia secara garis besar yang menjadi sorotan adalah mengenai peran negara dan lembaga-lembaga internasional. Dari sisi praktek penyelenggaraan negara, neoliberalisme di era kapitalisme global ini menghendaki negara agar menanggalkan “kedaulatan” sebagian atau secara keseluruhan. Dalam perspektif Marhaenisme, neoliberalisme sebagai suatu bentuk mutakhir kapitalisme global merupakan kelanjutan dari bentuk sebelumnya yang pernah melakukan penjajahan secara fisik imperialisme dan kolonialisme. Dalam artian, sifat dan dasarnya sama yakni mempengaruhi atau menguasai ekonomi negeri lain. 101 101 Ir. Soekarno, Indonesia Menggugat : Pidato Pembelaan di Depan Pengadilan Kolonial Bandung, 1930. Jakarta : Inti Idayu Press, 1985, hal. 14-15 Namun yang menjadi perbedaan mendasar adalah pada peran negara terutama pada negara-negara berkembang serta peran sejumlah lembaga internasional dan perusahaan-perusahaan multinasional sebagai agen kapitalisme bukan lagi negara nasional nation state terutama negara-negara maju kapitalis. Universitas Sumatera Utara Sebagaimana diterangkan sebelumnya, bahwa kapitalisme akan membutuhkan landasan yang bersifat liberalistis manakala sistem tersebut sedang menaik atau mengalami pertumbuhan. Sebaliknya, jika kapitalisme sedang menurun krisis, maka kapitalisme membutuhkan landasan yang otoriter bahkan diktator untuk mempertahankan dan memproteksi diri. Soekarno pernah mencontohkan beberapa negara kapitalis yang menganut kedua sistem tersebut baik kapitalisme dengan landasan liberal maupun kapitalisme dengan landasan otoriter. Yakni kapitalisme yang berkembang di Amerika Serikat dan Jerman pada tahun 1940-an. Dikatakan Soekarno bahwa, setelah melewati masa-masa krisis pada akhir tahun 1930-an, Amerika Serikat tumbuh menjadi raksasa baru dalam jagat perekonomian dunia karena tumbuh pesatnya kapitalisme mereka. Maka kebijakan pemerintah Amerika pun bersifat liberalistis yang artinya membutuhkan kebebasan. Alasan tersebut lah yang membuat Presiden AS saat itu F.D. Roosevelt mengemukakan “the four freedom of Roosevelt”, yakni empat kebebasan bebas berpendapat, bebas beragama sesuai keyakinan, bebas dari kemiskinan, dan bebas dari rasa takut. Sementara, di Jerman dikatakannya kapitalisme sedang menurun, kesakitan, atau mengalami krisis akibat kekalahan perang. Maka, pemerintah Jerman saat itu yang dipimpin oleh Hitler menerapkan landasan otoriter untuk memproteksi sekaligus membangun kembali ekonomi mereka yang hancur dilanda krisis. 102 Untuk kasus Indonesia, jika menggunakan analisis tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sebelum reformasi bergulir atau tepatnya pada masa orde 102 Ir. Soekarno, Shaping and Reshaping : Menggalang Massa Aksi Revolusioner Menuju Masyarakat adil dan Makmur. Jakarta : Cipta Lestari, 1999. hal. 40-41. Universitas Sumatera Utara baru, kecenderungan ekonomi politik Indonesia adalah kapitalisme yang dilandasi sistem otoriter. Berbagai kebijakan negara yang protektif diterapkan atas nama pembangunan ekonomi. Logika yang dipakai pada masa itu adalah stabilitas politik akan diikuti oleh stabilitas ekonomi. Namun ketika kapitalisme tersebut semakin terjamin dan matang, maka perlulah kiranya rezim otoriter tersebut digantikan kepada landasan liberal. Di masa pertumbuhan kapitalisme global dewasa ini agar semakin matang dan berkembang pesat, paham tersebut menghendaki mekanisme atau cara produksi yang bebas dari hambatan-hambatan di pasar. Hambatan-hambatan tersebut tentunya berasal dari negara pemerintah sebagai otoritas publik yang memiliki hak untuk mengintervensi aktivitas ekonomi maupun politik warga negaranya atas nama kepentingan umum. Intervensi tersebut dapat berupa kebijakan regulatif, peraturan-peraturan, serta penguasaan terhadap sumber daya alam maupun manusia. Misalnya untuk kasus outsourcing di sektor perburuhan. Dengan dikeluarkannya UU No. 13 Tahun 2003, pemerintah telah melegalkan praktek kapitalisme yang eksplotatif, yakni penindasan terhadap kaum buruh. Praktek outsourcing dikatakan menindas kaum buruh karena praktek tersebut merupakan wujud baru mekanisme dalam proses produksi. Salah satu tujuan outsourcing yaitu untuk efisiensi dan mengurangi biaya produksi. Nilai surplus merupakan keuntungan yang telah dipersiapkan atau sudah direkayasa dalam sistem outsourcing melalui perjanjian kerja. Ada kepentingan pemilik modal yang mendominasi dalam mekanisme tersebut. Pendek kata, dalam mengakumulasikan modalnya, mekanisme outsourcing merupakan wujud baru dalam praktek Universitas Sumatera Utara kapitalisme di bidang perburuhan yang mendapatkan legalitas dari negara pemerintah.

IV.1.3.3. Demokratisasi Liberal Sistem Politik Indonesia