Nasionalisasi Aset dan Perusahaan-Perusahaan Asing

mengusir imperialis Belanda. Dapat dikatakan, perjuangan dalam merebut Irian Barat adalah yang paling berat yakni sejak perundingan-perundingan tahun 1946- 1949, pemutusan hubungan diplomatik dengan Belanda, hingga diwacanakan dalam lembaga-lembaga internasional seperti KAA, PBB, dan sebagainya. Namun upaya tersebut tidak menggoyahkan imperialis Belanda untuk angkat kaki dari Irian Barat. Maka, politik konfrontasi adalah jalan terakhir yang memang harus ditempuh. Terkait dengan konfrontasi Malaysia, Bung Karno juga memberikan seruan untuk mengerahkan kekuatan dan membantu perjuangan rakyat di wilayah Kalimantan Utara dengan jargon Dwikora Dwi Komando Rakyat. Konfrontasi dengan Malaysia dipicu oleh pembentukan Federasi Malaysia secara sepihak oleh Inggris dan Komprador dalam negeri Malaysia pada tahun 1961. Bahkan semakin berlanjut pada keputusan ditetapkannya Malaysia sebagai anggota Dewan Keaman tidak tetap PBB pada tahun 1963. Menurut Soekarno, eksistensi Federasi Malaysia mengancam kedaulatan NKRI karena pembentukannya yang tidak demokratis terutama tidak melibatkan rakyat di wilayah Kalimantan Utara. Malaysia merupakan federasi neo-kolonialisme yang disokong oleh negara-negara Blok Barat terutama Inggris. Singkatnya, sikap konfrontasi ditunjukkan pada segala sesuatu yang berwatak imperialisme dan kolonialisme, demi stabilitas politik yang menjamin terwujudnya masyarakat adil dan makmur.

IV.2.2.4. Nasionalisasi Aset dan Perusahaan-Perusahaan Asing

Untuk menerapkan demokrasi ekonomi, dalam Marhaenisme, Soekarno tidak menghendaki dihapuskannya hak milik pribadi. Usahanya untuk Universitas Sumatera Utara membangun masyarakat sosialis Indonesia tidak jatuh sampai ke langkah-langkah yang ekstrim melainkan cukup moderat. Hal terpenting dalam masyarakat sosialisme Indonesia di masa yang akan datang tidak diperkenankannya sistem kapitalisme, termasuk dalam usahanya membendung sistem tersebut, yaitu melalui penyitaan terhadap semua perusahaan besar. Hanya pemerintahlah yang boleh memiliki semua perusahaan besar yang vital dan menguasai hajat hidup oranh banyak. Namun yang terpenting hasil produksi dari seluruh perusahaan tersebut digunakan untuk kepentingan seluruh rakyat, dan tidak memberi kesempatan kepada setiap orang untuk memiliki kekayaan secara berlebihan. Konsep tersebut diimplementasikan oleh Soekarno melalui Undang Undang No. 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi perusahaan Belanda. Nasionalisasi meliputi perusahaan keuangan, perdagangan, pertambangan, pertanian, perkebunan, dan lain sebagainya. Namun peraturan tersebut tidak mencakup perusahaan tambang minyak Belanda atau milik asing lainnya. Implementasi tersebut pun awalnya sebagai tindakan yang dinilainya revolusioner dalam menghadapi imperialis Belanda dalam rangka pembebasan Irian Barat. Terkait dengan nasionalisasi perusahaan Belanda tersebut, Soekarno berkata bahwa: “Pengambilalihan perusahaan-perusahaan Belanda dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat adalah satu langkah yang amat penting sekali. Tetapi belum semua modal Belanda diambil alih, belum semua perusahaan Belanda yang dinasionalisir. Padahal sikap Belanda dalam hal Irian Barat tetap membandel Dan bahwa jika Belanda dalam hal Irian Barat tetap membandel, jika mereka dalam persoalan klaim nasional kita tetap berkepala batu, maka semua modal Belanda, termasuk yang berada dalam perusahaan- perusahaan campuran, akan habis tamat riwayatnya sama sekali di bumi Indonesia” 118 118 Ir. Soekarno, Penemuan Kembali Revolusi Kita dalam Tudjuh Bahan Pokok Indoktrinasi. Jakarta : Departemen Penerangan RI, 1965, hal. 69-70. Universitas Sumatera Utara Akan tetapi upaya Soekarno untuk melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda bukan semata-mata karena reaksi sentimen atas konflik Irian Barat. Akan tetapi kepada persoalan pokoknya bahwa segala upaya yang berusaha mencengkeram kembali Indonesia dengan praktek kapitalisme, imperialisme, dan kolonialisme, maka bukan hanya modal Belanda saja, akan tetapi seluruh modal swasta baik domestik maupun asing akan dinasionalisasi juga. Dalam hal ini Soekarno mengatakan : “Terhadap modal asing yang bukan Belanda ditegaskan bahwa mereka harus mentaati ketentuan-ketentuan Republik. Jangan mereka menjalankan peranan negative. Jangan mereka mencoba-coba memperdayakan Republik. Jangan mereka membantu gelap- gelapan kepada kontra revolusi, jangan mereka menjalankan sabotase-sabotase ekonomi”. 119 Setelah alat-alat produksi vital dikuasai negara, sehingga perusahaan- perusahaan yang dinasionalisasi menjadi milik negara, maka agar penguasaannya efektif, produktif, dan tidak jatuh kepada penyelewengan kekuasaan, maka dibentuk dewan-dewan yang menjadi pimpinan perusahaan untuk mempertinggi hasil produksi dan untuk mengawasi tindakan korupsi. Salah satunya adalah Dewan Produksi Nasional yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No. 4 tahun Kebijakan nasionalisasi itu sendiri pun pada prakteknya sebagai bagian dari upaya penguasaan alat-alat produksi yang vital oleh negara agar dapat didistribusikan kepada rakyat secara merata. Dalam ekonomi liberal, hanya orang yang memiliki modal kapitalis yang dapat memiliki alat-alat produksi dan dioperasikannya demi keuntungan dirinya sendiri. Maka, penerapak kebijakan nasionalisasi itu juga sebagai langkah konkret mewujudkan ekonomi terpimpin. 119 Ibid, hal. 70. Universitas Sumatera Utara 1964. Upaya tersebut menurut Soekarno adalah sesuai dengan tuntutan buruh dan seluruh rakyat serta sesuai dengan tugas dari perusahaan negara tersebut.

IV.2.3.5. Reforma Agraria Land Reform