Definisi Operasional Sistematika Penulisan

I.7.1. Marhaenisme

Marhaenisme adalah azas atau landasan yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang didalam segala halnya menyelamatkan marhaen. Teori marhaenisme berwujud pada cara perjuangan dan azas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme.

I.7.2. Kapitalisme Global

Kapitalisme global adalah sistem atau tatanan sosial kemasyarakatan yang didominasi oleh para pemilik modal, dimana mekanisme harga pasar menjadi cara pemecahan masalah yang utama dalam menentukan produksi, konsumsi dan produksi yang kini telah menguasai seluruh jagat perekonomian dunia tanpa kenal batas.

I.8. Definisi Operasional

Dalam penelitian ini maka variabel yang akan diteliti adalah relevansi teori marhaenisme dalam menjawab tantangan zaman di era kapitalisme global yaitu : a. Penilaian kritis Marhaenisme terhadap kapitalisme global b. Gambaran Cita-cita masyarakat Marhaenisme I.9. Metodologi Penelitian I.9.1. Jenis Penelitian Berdasarkan metode yang dipakai maka penelitian ini menggunakan penelitian deskriptif. Langkah yang diambil oleh peneliti yaitu terlebih dahulu dengan mendeskripsikan dinamika Marhaenisme yakni sejarah kemunculan Marhaenisme itu sendiri yang dirumuskan oleh Soekarno serta beberapa tafsiran mengenai teori Marhaenisme. Selanjutnya sama halnya dengan Marhaenisme, Universitas Sumatera Utara kapitalisme global perlu juga dideskripsikan sepak terjangnya di Indonesia. Kemudian rumusan Marhaenisme yang sesuai dengan tafsiran Soekarno sebagai pencetus digunakan untuk menganalisis, menilai secara normatif-ideologis, mempertentangkan serta menjadi ideologi alternatif dari kapitalisme global.

I.9.2. Teknik Pengumpulan Data

Data atau informasi, keterangan-keterangan atau fakta-fakta yang diperlukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan sumber data yang berasal dari buku-buku yang memuat tulisan-tulisan dan pidato-pidato Soekarno, dan buku-buku, jurnal, tabloid, dan literatur lain yang berkaitan dengan penelitian ini.

I.9.3. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan analisa kualitatif. Dalam konteks ini teori Marhaenisme digunakan untuk menganalisis dengan menggunakan pendekatan filsafat dari tafsiran Marhaenisme menurut Soekarno. Hal tersebut karena banyaknya interpretasi mengenai Marhaenisme, maka rumusan Marhaenisme Soekarno yang dijadikan sebagai pisau analisis berdasarkan tulisan-tulisan dan pidato-pidato Bung Karno sendiri dan tafsiran-tafsiran lain, yakni dari beberapa partai politik yang berasaskan Marhaenisme sejauh memperkaya pemahaman tentang Marhaenisme sesuai dengan yang disepakati oleh pencetusnya sendiri yaitu Bung Karno. Kemudian dari Marhaenisme digunakan Pendekatan filsafat untuk menganalisis, menilai secara kritis kapitalisme global terutama dalam beberapa aspek umum dan Universitas Sumatera Utara mendasar seperti dalam bidang ekonomi dan politik. Setelah itu, dilanjutkan dengan resolusi dari analisis tersebut berupa gambaran cita-cita masyarakat Marhaenisme. Gambaran tersebut agar lebih konkret akan ditunjang oleh kebijakan-kebijakan Soekarno terutama dalam bidang politik dan ekonomi, ketika Soekarno menjabat sebagai Preside Republik Indonesia.

I.10. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan latar belakang masalah, pokok permasalahan yang akan dibahas dan tujuan mengapa diadakan penelitian ini dan metode penelitian serta kerangka teori yang akan menjadi landasan pembahasan masalah. BAB II : DINAMIKA MARHAENISME Bab ini berisikan perkembangan teori Mahaenisme serta tafsirannya, baik yang telah dikembangkan oleh Bung Karno sebagai perumus maupun yang ditafsirkan oleh partai-partai politik yang berasaskan Marhaenisme. BAB III : SEJARAH KAPITALISME GLOBAL DI INDONESIA Bab ini akan mendeskripsikan sepak terjang kapitalisme di Indonesia mulai dari konteks kemunculannya hingga mengalami metamorfosis menjadi bentuk mutakhirnya saat ini yaitu neoliberalisme. BAB IV : ANALISA DATA Universitas Sumatera Utara Bab ini akan memuat analisa terhadap data penelitian yakni relevansi teori marhaenisme dalam menjawab tantangan zaman di era kapitalisme global. Dalam konteks ini pendekatan filsafat dari teori Marhaenisme digunakan untuk menganalisis, menilai serta mempertentangkannya dengan kapitalisme global. Setelah itu, akan dideskripsikan gambaran cita-cita masyarakat menurut marhaenisme. BAB V : PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dari hasil-hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya, serta berisi saran-saran yang nantinya berguna bagi penulis. Universitas Sumatera Utara

BAB II DINAMIKA MARHAENISME

II.1. Marhaenisme : Teori Politik Soekarno Akan lebih baik atau lebih tepat jika mempelajarai suatu teori dengan memperhatikan latar belakang munculnya teori tersebut, termasuk dalam situasi yang bagaimana sehingga pencipta suatu teori mencetuskan teorinya. Maka, Marhaenisme sebagai hasil rumusan teori Bung Karno, perlu dikaji konteks kemunculannya karena teori tersebut bukan semata-mata hasil pemikiran Bung Karno yang bersifat reflektif-rasional saja. Dalam melahirkan teori tersebut penghayatan dan emosi Bung Karno sungguh-sungguh hadir. Sudah menjadi hukum psikologis bahwa apa pun pandangan hidupfilsafat dari seseorang juga ditentukan oleh pengalaman hidupnya pada masa yang telah lewat. Demikian pula ketika mengamati warna teori politik—Marhaenisme— Bung Karno, maka perlu diperhatikan juga sejarah hidup Bung Karno. Soekarno dilahirkan pada 6 Juni 1901 di Surabaya. Di masa dewasa Soekarno akrab disapa Bung Karno. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, anak dari Raden Hardjodikromo. Ibunya bernama Idayu Nyoman Rai. Dari gelar raden yang ada depan nama ayahnya, jelas menunjukkan bahwa Soekarno masih berdarah ningrat. Ketika masa kanak-kanak, Soekarno tidak hanya diasuh oleh kedua orangtuanya, tetapi juga oleh pembantu rumah tangganya, seorang dari desa, yang dipercaya oleh ibunya untuk mengasuh Soekarno. Dari pembantunya tersebut Universitas Sumatera Utara yang bernama Sarinah 33 Dari ibunya yang berdarah Bali, Soekarno mungkin telah mewarisi citra rasa kesenian yang lebih bergairah dari pada yang bisa Soekarno jumpai di Jawa, tempat orang lebih memikirkan bagaimana untuk mengawetkan dan mengasihi suatu tradisi kebudayaan yang sangat halus daripada melakukan pembaruan dan eksperimentasi. Sedangkan dari ayahnya, Soekarno memperoleh pengetahuan mistik Jawa, suatu pengetahuan yang membuat orang menjadi sadar akan kebutuhan suatu penataan yang teratur atas alam. , Soekarno mendapatkan kasih sayang yang utuh dari seorang perempuan. Sarinah juga menanamkan pengaruh pada Soekarno untuk belajar mencintai rakyat jelata. 34 Pada tahun 1916, setelah menyelesaikan dua tahun sekolah dasar Belanda pada ELS Europeesche Lagere School = Sekolah Dasar Eropa di Mojokerto, Soekarno melalui jasa teman baik teman ayahnya, yaitu Haji Oemar Said Tjokroaminoto, mendaftarkan diri pada HBS Hoogere Burger School = Sekolah Tinggi Warganegara atau Sekolah Menengah Belanda di Surabaya. Selama di Surabaya Soekarno tinggal di rumah Tjokroaminoto. Kejadian tersebut akan membawa arti yang menentukan bagi masa depannya, karena Tjokroaminoto yang menjabat sebagai Ketua Organisasi Massa Sarekat Islam adalah tokoh pusat nasionalisme Indonesia pada waktu itu. Di pemondokannya itulah Soekarno mendapatkan pengalaman pertamanya tentang kegairahan yang mulai mengetuk 33 Nama Sarinah kemudian dilambangkan sebagai wanita Indonesia yang utama. Pada tahun 1960-an, nama ini selanjutnya diabadikan dengan nama Sarinah pada sebuah Toserba toko serba ada bertingkat di Jalan Thamrin, Jakarta. Nama Sarinah ini kemudian juga diangkat menjadi sebuah akronim oleh Soekarno sendiri menjadi “Siapa Anti Indonesia Niscaya Akan Hancur”, sebuah akronim untuk membangkitkan semangat anti kapitalisme dan Imperialisme tahun 1960-an. Ir Soekarno, Sarinah, Jakarta: Inti Idayu Press, 1984, hal. 11. 34 John D. Legge, Soekarno : Sebuah Biografi Politik, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996, hal. 30. Universitas Sumatera Utara hati masyarakat Indonesia akan energi politik yang mulai bangkit guna mempersiapkan perlawanan terorganisasi melawan pemerintah kolonial. Menurut Bernard Dahm, untuk dapat mempelajari Soekarno, perlu dimengerti mitologi Jawa. Mitologi tersebut tercermin dalam cerita-cerita wayang. Dalam mitologi tersebut juga memuat kepercayaan tentang Ratu Adil dan Ramalan Jayabaya. Frustasi, harapan, dan kedatangan juru selamat merupakan intisari dari konsep kepercayaan tersebut. Frustasi dialami akibat penindasan, penjajahan, kezaliman, dan angan- angan yang kuat tentang perubahan zaman yang diidam-idamkan. Perubahan zaman tersebut akan datang bersamaan dengan kehadiran seorang Ratu Adil yang akan menjadi juru selamat dari segala macam bentuk kesengsaraan dan penderitaan akibat penindasan. Mitos tersebut mempercayai berlakunya semacam perputaran sejarah cyclical movement of history yang tidak dapat dielakkan oleh suatu bangsa dalam proses perkembangannya. Demikian Soekarno dan jutaan masyarakat Indonesia, terutama masyarakat Jawa, berpegang pada mitos tersebut, dan Jayabaya, Raja Kediri, dianggap sebagai sumber utama pencetus mitos tersebut. 35 35 Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1980, hal 115. Sifat tidak mengenal kompromi terhadap musuh luar atau asing jelas ditunjukkan oleh sikap anti kolonialis dan anti imperialis dari Soekarno yang keras. Sedangkan sikap bersedia kompromi yang dimiliki oleh Soekarno terlihat dari usahanya untuk bekerja sama dengan yang segolongan dengan dirinya yaitu yang sama-sama menentang penjajahan asing. Universitas Sumatera Utara Melalui caranya sendiri, Soekarno mengumpulkan ide-ide atau aliran- aliran yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, kemudian diolahnya sendiri menjadi ide baru yang dianggapnya bisa diterima oleh semua pihak. Proses semacam ini di dalam ilmu pengetahuan sosial disebut sebagai “sinkretisme” Jawa, yaitu proses menerima dan mengubah unsur-unsur yang berbeda-beda menjadi suatu yang dikehendaki oleh yang membuat proses tersebut. Dalam usahanya mempertemukan ide-ide yang berlainan ke dalam sebuah landasan yang sama, Soekarno di satu pihak mengemukakan segi-segi dari suatu ide atau aliran politik yang memungkinkan untuk diterima oleh ide-ide lain, sedangkan di pihak lain, Soekarno membuka segi-segi tertentu dari ide-ide itu sendiri yang penempatannya ide-ide lain ke dalamnya bisa diterima pula. Diharapkan ide-ide tersebut saling mengisi, memberi, dan menerima. 36 Pertama, adalah cita-citanya tentang persatuan nasional. Soekarno sangat menaruh perhatian terhadap kepentingan bersama sebagai hal yang paling pokok. Ketika Soekarno untuk pertama kali merumuskan pikiran melalui tulisannya Begitu juga dalam merumuskan konsep Marhaenisme. Kata Marhaen dicetuskan oleh Soekarno dalam rangka mempersatukan seluruh kalangan masyarakat Indonesia yang pada saat itu terkotak-kotak pada berbagai jenis identitas, baik dari segi, pekerjaan, ras, agama, suku, golongan, asalkan mereka tersebut miskin dan sengsara. Maka mereka adalah kaum marhaen yang ditindas oleh sistem kapitalisme dan imperialisme. Dari banyak pemikiran Soekarno tersebut, John D. Legge mencoba merangkum beberapa segi khas dari pemikiran Soekarno. 36 Ibid, hal. 118-119. Universitas Sumatera Utara “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” pada tahun 1926, Soekarno telah melihat keadaan yang memungkinkan lahirnya perpecahan di antara kekuatan- kekuatan pergerakan pada waktu itu. Soekarno menganalisis kekuatan-kekuatan yang ada pada waktu itu, yaitu kekuatan nasionalis, Islam, dan Marxis. Maka Soekarno sampai pada suatu kesimpulan bahwa ketiga kekuatan yang ada itu haruslah bersatu. Tentang hal tersebut Soekarno menulis : “Dengan jalan yang jauh kurang sempurna, kita mencoba membuktikan, bahwa faham Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme itu dalam neger jajahan pada beberapa bagian menutupi satu sama lain. dengan jalan yang jauh kurang sempurna kita menunjukkan teladan pemimpin-pemimpin di negeri lain. tetapi yakin bahwa pemimpin-pemimpin Indonesia insyaf, bahwa persatuan lah yang membawa kita kearah kebesaran dan kemerdekaan. Dan kita yakin pula, bahwa walaupun pikiran kita tidak mencocoki semua kemauan dari masing-masing pihak, ia menunjukkan bahwa persatuan itu bisa tercapai. Sekarang tinggal menetapkan saja organisasinya, bagaimana persatuan itu bisa berdiri; tinggal mencari organisatornya saja, yang menjadi mahatma persatuan itu”. 37 Setelah membentuk partai berasaskan nasionalisme, Soekarno melangkah untuk menata kehidupan organisasi politik pergerakan pada waktu itu, karena usaha tersebut merupakan bagian penting dari cita-citanya. Ketika usahanya berhasil membentuk Permufakatan Perhimpunan Politik kebangsaan Indonesia PPPKI, nampaknya Soekarno mengandalkan organisasi tersebut sebagai suatu Pada masa berikutnya, setelah memperoleh kesempatan dengan penampilannya sebagai pembentuk dan pimpinan PNI Partai Nasional Indonesia sejak tahun 1927, Soekarno berusaha merealisasikan ide tersebut dengan berbagai langkah yang diambilnya. Sebagai langkah awal, maka dimulainya dengan menempatkan PNI sebagai suatu partai yang dapat menerima semua aliran di dalam tubuhnya; semua orang dari aliran manapun dan agama apa pun dapat menjadi anggota. PNI berasaskan nasionalisme Indonesia. 37 Ir. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi. Jakarta : Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964, hal. 22. Universitas Sumatera Utara alat perjuangan yang efektif untuk mempersatukan semua kekuatan baik yang non koooperatif maupun yang kooperatif. Kedua, desakannya untuk menjalankan sikap non kooperatif bukan hanya sebagai taktik, tetapi merupakan hal yang prinsipil. Soekarno menegaskan betapa sia-sianya sikap lunak yang moderat, sebab tidak mungkin ditempuh dengan imperialisme. Akibat wajar dari sikap tersebut adalah suatu rencana untuk memobilisasi rakyat guna melaksanakan perjuangan tersebut. Pendirian PNI dan sepak terjangnya setelah berdirinya partai tersebut merupakan realisasi dari rencana Soekarno. 38 Keempat, pengungkapan pidato dan tulisan Soekarno sangat menarik bagi para pendengar dan pembaca dari kalangan Jawa. Salah satu wujudnya yang khas seperti pada tahun 1928 dan 1929 adalah ramalan Soekarno mengenai kebangkitan Jepang dan pecahnya perang Pasifik, sehingga memungkinkan Indonesia mendapatkan kemerdekaannya di kemudian hari. Ini merupakan ramalan yang cerdik dengan daya tarik khusus karena langsung dikaitkan dengan harapan tradisional yang diramalkan jayabaya. Ketiga, konsep mengenai Marhaenisme. Soekarno menegaskan bahwa Marhaenisme sebagai teori politik sekaligus teori perjuangan sangatlah relevan digunakan sepanjang kapitalisme sekalipun dalam berbagai wujud masih bercokol di bumi. Dalam konteks ini, Marxisme telah memberikan kepada Soekarno alat yang paling sistematis dalam analisis sosial dalam dalam pengkajiannya tentang sifat kekuasaan kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme. 39 38 John D. Legge, Op.Cit., hal. 121-122. 39 Ibid, hal. 123. Universitas Sumatera Utara Baskara T. Wardaya, dalam bukunya Bung Karno Menggugat, dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G30S mengatakan sifat-sifat menonjol dari Soekarno antara lain: Pertama, anti imperialisme. 40 40 Baskara T. Wardaya, S.J., Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 Hingga G30S. Yogyakarta : Galang Press, 2006, hal. 39-50. Sebagai sistem politik, imperialisme akan berakhir ketika sebuah wilayahnya yang dijajah menjadi merdeka. Tetapi sebagai sebuah sistem ekonomi, imperialisme dapat berlangsung terus bahkan ketika negara terjajah itu sudah merdeka secara politis. Imperialisme adalah sebuah hasrat berkuasa, yang antara lain terwujud dalam sebuah sistem yang memerintah atau mengatur ekonomi dan mengatur negara lain. Kedua, anti-elitisme. Menurut Soekarno, elitisme mendorong sekelompok orang merasa diri memiliki status sosial politik yang lebih tinggi dari orang lain, terutama rakyat kebanyakan. Elitisme tersebut tidak kalah berbahaya dengan imperialisme, karena melalui sistem feodal yang ada elitisme bisa dipraktekkan oleh tokoh-tokoh pribumi terhadap rakyat negeri sendiri. Lebih dari itu, elitisme dapat menjadi penghambat sikap-sikap demokratis masyarakat modern yang dicita-citakan bagi Indonesia merdeka. Ketiga, taktik non kooperasi. Sebenarnya sampai pada pertengahan tahun 1921 Soekarno masih mengharapkan adanya kerja sama dengan pemerintah Kolonial Belanda. Soekarno masih berharap bahwa pemerintah Belanda bersedia membantu memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia, sebelum negeri jajahan tersebut benar-benar mandiri. Tetapi, pada tahun 1923 Soekarno mulai meninggalkan posisi moderat dan mengambil langkah non kooperasi, menolak kerja sama dengan pemerintah kolonial. Universitas Sumatera Utara Keempat, menggalang persatuan. Kepada para aktivis nasionalis Soekarno menegaskan bahwa tidak ada halangan bagi kaum nasionalis bekerja sama dengan aktivis Islam dan marxis, dan juga sebaliknya. Kelima, ketika pada 29 Desember 1929 Soekarno ditangkap dan 29 Agustus 1930 disidangkan oleh pemerintah kolonial, Soekarno justru memanfaatkan kesempatan di persidangan. Dalam pledoinya yang terkenal yang berjudul Indonesia Menggugat dengan tegas Soekarno menyatakan perlawanannya terhadap kolonialis. Meskipun dipenjara berkali-kali, Soekarno sama sekali tidak jera untuk berpolitik maupun untuk menentang ketidakadilan kolonialisme. Menurut Bernard Dahm dalam Baskara T. Wardaya, S.J., mengatakan bahwa yang menjadi pesan pokok Soekarno, bahwa Soekarno tetap mempunyai prinsip yang sama, di satu pihak, melawan imperialisme sampai keakar-akarnya, dan di lain pihak, membangun suatu tatanan baru dengan menyatukan berbagai ideologi yang berbeda ke dalam suatu kesatuan yang harmonis. Conference of the New Emerging Force Conefo yang direncanakan berlangsung pada 1966 tetapi batal dilaksanakan, karena pada tahun-tahun setelah G30S1965 posisi Soekarno mulai goyah juga dimaksudkan sebagai upaya untuk menyatukan berbagai kekuatan dunia guna melawan imperialisme – kapitalisme. Kemenangan atas imperialisme, menurut Soekarno, akan melapangkan bagi lahirnya perdamaian abadi di dalam masyarakat yang bebas dari penindasan manusia. 41 41 Ibid, hal. 69-70. Lihat juga pidato Soekarno di hadapan Sidang Umum PBB ke XV,30 September 1960 dalam Tudjuh Bahan Pokok Indoktrinasi, Jakarta: Departemen Penerangan RI, 1965. Universitas Sumatera Utara Cita-cita Soekarno untuk memperjuangkan masyarakat yang bebas dari kapitalisme dan imperialisme secara konsisten terus dilakukan oleh Soekarno hingga akhir kekuasaannya. Kenyataan Indonesia setelah merdeka masyarakat yang dicita-citakan belum tercapai. Kapitalisme masih berurat akar kuat dalam masyarakat Indonesia. Dan ini merupakan kesulitan Soekarno di satu pihak, kondisi masyarakat yang dicita-citakan belum tercapai, di pihak lain “Partai Marhaen” yang seharusnya memegang kendali pemerintahan Indonesia, boleh dikatakan tidak mampu mendominasi kekuatan politik di Indonesia dengan sendirinya yang dimaksudkan Partai Marhaen disini yaitu PNI, Partindo, dan beberapa partai kecil lain yang berasaskan Marhaenisme. Meskipun tidak diragukan bahwa sebagian besar partai yang ada setelah kemerdekaan Indonesia memiliki semangat nasionalisme yang tinggi, tetapi hal tersebut bukan merupakan jaminan bagi Soekarno untuk dapat digerakkan dan diarahkan dalam rangka terwujudnya Sosialisme Indonesia yang membebaskan kaum marhaen dari penderitaan dan kemiskinan. Bahkan dari beberapa partai pada masa Demokrasi Terpimpin ada yang dibubarkan oleh Soekarno yakni Masyumi dan PSI dan ada satu lagi yang dibekukan yaitu Murba. Menurut beberapa kalangan menilai bahwa representasi kekuatan marhaenis tunggal yang dapat menguasai pemerintahan Indonesia yaitu terletak di tangan Soekarno pribadi, sebagai Presiden Republik Indonesia, dan secara penuh kekuasaannya baru terlaksana sesuai dengan UUD 1945 setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Di dalam partai yang berasaskan Marhaenisme seperti di dalam PNI pun ternyata banyak didapatkan orang-orang yang disebut oleh Soekarno sebagai Universitas Sumatera Utara “marhaenis gadungan”. Artinya orang-orang yang tidak sepaham dalam memperjuangkan cita-cita masyarakat marhaenis sesuai dengan garis kebijaksanaan atau tafsiran pencetusnya, yaitu Bung Karno. Atas persetujuan Soekarno, banyak dari orang-orang tersebut, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah, yang dipecat dari keanggotaan partainya dengan indikasi sebagai marhaenis gadungan. 42 Tuduhan Soekarno tersebut berangkat dari ketidakharmonisan hubungannya dengan pimpinan PNI saat itu yang dikatakannya cenderung konservatif dan kompromistis. Sekalipun telah memenangkan Pemilihan Umum pada tahun 1955, sepak terjang PNI justru semakin kendur dan meninggalkan wataknya sebagai partai nasionalis radikal yang berasaskan Marhaenisme. Hal tersebut ditandai dari banyaknya kebijakan politik Soekarno yang tidak sejalan dengan keputusan DPP PNI. DPP PNI cenderung berhati-hati dalam menentukan sikap politik. Bahkan cenderung berskap ambivalen terhadap konsep ideologi politik Bung Karno yang lebih progresif-revolusioner. Perbedaan karakteristik tersebut tampak pada akhir tahun 1958. ketika itu, PNI mencoba memobilisasi partai-partai lain ke dalam “Front Pancasila” untuk mempertahankan Parlemen. Walaupun pada akhirnya gagal karena PNI sendiri mengalami keragu-raguan. 43 Pada tahun 1959, ketika Soekarno mencetuskan Demokrasi Terpimpin untuk menggantikan Demokrasi Liberal yang justru menyebabkan kekisruhan politik, sejumlah Ormas Front Marhaenis mendukung konsepsi Soekarno tersebut. 42 Nazaruddin Syamsuddin, PNI dan Kepolitikannya, Jakarta: Rajawali, 1984. 43 Front Pancasila adalah organisasi taktis yang dibentuk oleh PNI untuk membangun koalisi dengan lawan-lawan politiknya guna menentang pembubaran Parlemen. Achmad Suhawi, Gymnastik Politik Nasionalis Radikal : Fluktuasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia. Jakarta : Rajawali Press, 2009, hal. 93. Universitas Sumatera Utara Namun Demokrasi Terpimpin justru ditentang oleh DPP PNI. Hal tersebut juga menyebabkan terjadinya perpecahan di tubuh PNI itu sendiri. Banyak oknum di dalam tubuh PNI yang berpikiran sempit mengenai sifat nasionalisme PNI. Secara historis, karena kebutuhan sesaat untuk mendapatkan pendukung dalam jumlah besar, PNI ternyata kemudian menjadi tempat penampungan atau menyelamatkan diri bagi mereka yang mempunyai latar belakang pendukung Belanda atau bala tentara fasis Jepang di masa lalu, terutama para pamong praja dan pegawai negeri. Agar kedudukannya yang dijabat dalam struktur pemerintahan tidak diganti, maka mereka masuk PNI, yang pada kenyataannya memang melindungi mereka. Hal tersebut juga sekaligus menjadi penjelasan mengapa banyak anggota PNI yang berasal dari pamong praja atau birokrasi. Selain itu, akibat bermacam-macamnya sifat atau watak di dalam kepemimpinan PNI – adanya tokoh-tokoh yang berhaluan nasionalis radikal seperti Mangunsarkoro, Dr. AK Gani, Dr. Isa dan Mr. Sartono; adanya tokoh- tokoh yang dikenal berkemampuan sebagai administrator, seperti Mr. Wilopo, Usep Ranuwijaya, S.H.; adanya tokoh-tokoh yang mewakili kaum birokrat pamong praja, seperti Sanusi Harjadinata, Hadi Subeno, Osa Maliki; adanya tokoh-tokoh yang berhaluan kiri seperti Mr. Ali Sastroamodjojo, Mr. Sunario, Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo – ternyata yang membuat warna politik PNI menjadi kurang jelas. Selain itu terdapat organisasi yang mencoba menginterpretasikan pikiran- pikiran Bung Karno termasuk Marhaenisme yang dibentuk oleh kelompok- kelompok konservatif dari unsur-unsur partai Murba, SOKSI dan IPKI dengan “Angkatan Darat” di belakang layar. Organisasi tersebut bernama Badan Universitas Sumatera Utara Pendukung Soekarnoisme BPS. BPS mencoba memberikan interpretasi terhadap pikiran-pikiran Soekarno tersebut agar tidak radikal serta lebih anti komunis melalui berbagai media massa. Tindakan dan cara-cara BPS tersebut terindikasi dibiayai oleh CIA sehingga dibubarkan pada tahun 1964. 44 Oleh karena itu, dalam menggalang kekuatan yang revolusioner seperti yang dicita-citakan dalam Marhaenisme, Soekarno berpaling ke partai-partai lain yang menunjukkan sikap progresif-revolusioner, terutama dari PKI Partai Komunis Indonesia. Dalam amanatnya pada gemblengan Pendidikan Kader Pelopor marhaenis pada tanggal 24 dan 25 Maret 1965 di Jakarta, secara berulang- ulang Soekarno menandaskan bahwa orang-orang marhaenis tidak hanya terdapat di dalam barisan PNIFront Marhaenis, melainkan juga terdapat dalam barisan partai-partai lain. Dalam pidato itu juga Soekarno menegaskan kalau diantara kalangan marhaenis ada yang tidak menyetujui kesatuan dan persatuan Marhaenisme yang bersifat progresif-revolusioner, orang tersebut adalah marhaenis gadungan. Yang dimaksudkan Soekarno dengan persatuan dan kesatuan tersebut adalah persatuan dalam Nasakom Nasionalis-agama- komunis. 45 Dari pemikiran tersebut jelas bahwa Soekarno ingin merangkul sekaligus melindungi golongan Komunis, karena di dalam golongan Komunis Soekarno mendapatkan sejumlah jutaan golongan marhaen dan marhaenis sesuai dengan kriterianya. Dukungan dari segenap lapisan masyarakat dan partai politik yang memiliki unsur-unsur Marhaenisme tersebut penting bagi Soekarno dalam rangka 44 Ibid., hal. 103. 45 Ir. Soekarno, Marhaenisme Adalah Teori Perjuangan dalam Pedoman Pokok Pelaksanaan Deklarasi Marhaenis, Jakarta: Departemen Penerangan dan Propaganda DPP Partai Nasional Indonesia, 1965, hal. 32-33. Universitas Sumatera Utara mencapai langkah selanjutnya yaitu menghapuskan kapitalisme dan imperialisme di Indonesia bahkan di dunia. Langkah pertama, Indonesia merdeka, telah tercapai. Maka langkah selanjutnya yaitu pengisisan kemerdekaan agar yang berkuasa di dalam pemerintahan Republik Indonesia adalah semacam satu partai federasi yang berasaskan Marhaenisme. Sejak Demokrasi Terpimpin, tidak dapat diragukan hangatnya perhatian Soekarno terhadap PKI. Ketika PKI dimusuhi oleh berbagai kekuatan politik di Indonesia seperti TNI Tentara Nasional Indonesia, partai-partai berbasiskan agama, serta komprador asing, Soekarno menjalankan peranannya sebagai pelindung PKI. Namun, kedekatan tersebut justru membuat cita-cita Soekarno terusik bahkan buyar setelah peristiwa G30S1965 meletus yang mengakibatkan terjadinya krisis politik diikuti krisis ekonomi. Secara massif kekuatan-kekuatan marhaenis dan kekuatan pro pemerintahan Soekarno dimusnahkan dengan berbagai cara seperti: pembunuhan, penangkapan seseorang yang diduga terlibat G30S 1965 tanpa proses peradilan yang adil, dan lain sebagainya yang disinyalir sebagai kudeta merangkak terhadap pemerintahan Soekarno.

II.2. Marhaenisme: Marxisme yang Dipraktekkan di Indonesia