Partai Indonesia Marhaenisme: Suatu Asas Dalam Partai-Partai Politik

1. Kedaulatan rakyat marhaen menjadi dasar dari: A. Perjuangan kebangsaan menghendaki paham gotong-royong, yaitu paham asasi dari kaum marhaen yang terdapat di Indonesia. Dalam segala hal harus ada mufakat dan persamaan hak di lapangan politik, ekonomi, dan sosial, berarti harus ada demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan demokrasi sosial. Demokrasi politik mengakui hak yang sama bagi tiap-tiap warga negara untuk ikut menentukan haluan dan susunan negara. Demokrasi ekonomi mengakui hak-hak tiap orang untuk hidup sama makmur dengan yang lain dan tidak menghendaki pemerasan satu terhadap yang lain. Demokrasi sosial mengakui hak tiap-tiap morang untuk mendapatkan penghargaan yang sama dalam segala lapangan. B. Perjuangan sedunia Marhaenisme menuju kepada terleburnya penjajahan dan penindasan dalam segala lapangan anti imperialisme. paham Marhaenisme dalam hubungan internasional mengadakan perjuangan radikal menentang kapitalisme di dunia, sehingga tersusunlah suatu masyarakat bangsa-bangsa sedunia yang bebas dari penjajahan dan penindasan dalam segala lapangan. 2. Untuk mencapai maksudnya, maka kedaulatan rakyat marhaen menuntut suatu pemerintahan kerakyatan sebagai satu-satunya bentuk pemerintahan. Karena apabila hanya rakyat marhaen, ialah rakyat yang terbanyak dan yang berdaulat, barulah kita mencapai suatu negara yang adil dan makmur. 3. Kedaulatan rakyat marhaen menghendaki susunan masyarakat gotong-royong masyarakat kolektivis yang berdasarkan keadilan sosial dan bersendikan perikemanusiaan. Masyarakat gotong-royong yan dikehendaki Marhaenisme adalah masyarakat sosialis yang sesuai dengan jiwa rakyat marhaen di Indonesia dan tidak bertentangan dengan sifat ketimuran kita. a. Tidak menghendaki hak milik pribadi privaat eigendom atas alat-alat produksi yang vital. b. Tidak menghendaki adanya kaum modal yang memeras kaum marhaen. c. Alat-alat produksi yang vital itu dijadikan hak milik negara supaya terjamin penghidupan sosial rakyat marhaen . 57

II.3.3. Partai Indonesia

Partai Indonesia Partindo didirikan pada 1 Mei 1931, dengan ketua sementaranya Sartono. Tujuan dari partai tersebut dinyatakan dalam pengertian- pengertian yang sangat luas tetapi cukup untuk menunjukkan bahwa partai tersebut menganggap bahwa dirinya sebagai ahli waris PNI Partai Nasional IndonesiaFront Marhaenis dan berhak menuntut kesetiaan dari anggota PNI, sebuah partai yang telah membubarkan diri pada 25 April 1931. Usia Partindo pun tidak bertahan lama. Setelah melihat bahwa situasinya tidak menguntungkan, maka pada pertengahan November 1936, partai tersebut dibubarkan oleh Sartono. 57 Ibid, hal. 114. Universitas Sumatera Utara Uraian tentang Marhaenisme secara rinci dijelaskan oleh Partindo dalam sembilan tesis Marhaenismenya, yang dihasilkan dari konferensi partai pada tahun 1933 di Yogyakarta. sembilan tesis tersebut di kemudian hari juga masih dijadikan pedoman oleh Partindo yang didirikan pada akhir tahun 1950-an, bahkan oleh pendirinya, Asmara Hadi, dilengkapi dengan suatu uraian penjelasan. Kesembilan tesis tersebut antara lain: 1. Marhaenisme, yaitu sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. 2. Marhaen yaitu kaum proletar Indonesia, kaum tani Indonesia yang melarat dan kaum melarat Indonesia yang lain-lain. 3. Partindo memakai perkataan Marhaen, dan tidak proletar, oleh karena perkataan proletar sudah termaktub di dalam perkataan Marhaen, dan oleh perkataan proletar itu bisa juga diartikan bahwa kaum tani dan lain-lain kaum yang melarat tidak termaktub didalamnya. 4. Karena Partindo berkeyakinan, bahwa didalam perjuangan, kaum melarat Indonesia lain- lain itu yang harus menjadi elemen-elemennya bagian-bagiannya, maka Partindo memakai perkataan Marhaen itu. 5. Didalam perjuangan Marhaen itu maka Partindo berkeyakinan, bahwa kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali. 6. Marhaenisme adalah azas yang menghendaki susunan masyarakat dan susunan negeri yang didalam segala halnya menyelamatkan marhaen. 7. Marhaenisme adalah pula cara perjuangan untuk mencapai susunan masyarakat dan susunan negeri yang demikian itu, yang oleh karenanya, harus suatu cara perjuangan yang revolusioner. 8. Jadi marhaenisme adalah cara perjuangan dan azas yang menghendaki hilangnya tiap-tiap kapitalisme dan imperialisme. 9. Marhaenis adalah tiap-tiap orang bangsa Indonesia, yang menjalankan Marhaenisme. 58 Menurut Asmara Hadi, antara sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi, keduanya tidak dapat dipisahkan. Artinya perjuangan untuk melaksanakan Marhaenisme terjadi melalui dua fase: fase sosio-nasionalisme dan fase sosio- demokrasi. Fase pertama berlaku pada zaman penjajahan sedang fase kedua pada zaman setelah Indonesia merdeka. Adapun yang dimaksud denan sosio-demokrasi oleh partai tersebut yaitu adanya demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Kaum marhaen di dalam Indonesia merdeka bukan saja harus berkuasa di dalam lapangan politik, tetapi juga harus berkuasa di dalam lapangan ekonomi. Kaum 58 Ir. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi. Jilid I. Jakarta : Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964, hal. 285. Universitas Sumatera Utara marhaen bukan saja harus berkuasa menentukan undang-undang adan aturan pemerintahan, tetapi juga harus berkuasa menentukan aturan ekonomi, aturan produksi, dan aturan distribusi. jadi sosio-demokrasi adalah demokrasinya kaum marhaen yang membuat kaum marhaen berkuasa dan leluasa membangunkan sosialisme di dalam Indonesia merdeka. Untuk membangun masyarakat marhaen, Partindo menyadari fungsi dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Parlemen sebagai forum untuk memperjuangkan undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah yang menguntungkan kaum marhaen. tetapi yang terpenting adalah menyusun massa aksi di luar parlemen karena hal ini dapat mencegah tumbuhnya sistem kapitalisme di dalam Indonesia dan untuk membangunkan sistem sosialisme menurut teori Marhaenisme. Dalam sistem sosialisme tersebut, segala alat-alat produksi menjadi kepunyaan seluruh masyarakat, tiap orang mempunyai pekerjaan dan wajib bekerja, pembagian rezeki seadil mungkin sehingga tiap orang mendapat menurut keperluannya atau hajatnya. Mekanisme tersebut bertujuan mengubah seluruh masyarakat. Itulan sebabnya, mengapa Marhaenisme adalah asas perjuangan yang radikal. Dan Marhaenisme juga merupakan asas perjuangan yang revolusioner karena ingin cepat-cepat sampai ke sosialisme. Karena Partindo berkeyakinan bahwa Marhaenisme adalah marxisme yang diterapkan di Indonesia, maka sebagai marxisme diperlukan atau merupakan syarat mutlak bagi Marhaenisme yaitu adanya perjuangan kelas: “Nasionalisme kaum marhaen lain isinya dengan nasionalisme kaum borjuis atau nasionalisme kaum feodal. Sosio-nasionalisme, nasionalisme kaum marhaen adalah nasionalisme yang antiimperialisme, antifeodalisme, dan antikapitalisme. Sosio nasionalisme adalah nasionalisme yang mengandung perjuangan kelas yang laten Universitas Sumatera Utara terhadap kelas borjuis dan kelas feodal bangsa sendiri, dan terutama sekali perjuangan yang sadar terhadap kelas kapitalis internasional yang menjalankan imperialisme.” 59 59 Asmara Hadi, Marhaenisme Adjaran Bung Karno, Jakarta: Koleksi Perpustakaan Nasional, hal. 52. Dari ketiga partai yang berasaskan Marhaenisme tersebut dapat dilihat adanya persamaan-persamaan dalam merumuskan gambaran masyarakat marhaenis yang mereka cita-citakan. Persamaan-persamaan tersebut antara lain yaitu i cita-cita untuk membentuk masyarakat sosialis Indonesia yang meniadakan sistem kapitalisme dan imperialisme, ii menolak adanya hak milik pribadi atas alat-alat produksi yang vital, iii supaya alat-alat produksi yang vital tersebut dijadikan hak milik negara, iv keinginan agar rakyat marhaen memegang kendali pemerintahan, v mengusahakan agar ciri-ciri masyarakat marhaenis adalah gotong-royong yang artinya adalah tiap-tiap orang di dalamnya dapat hidup sama makmur dengan yang lain, atau dengan kata lain sama rasa sama rata, vi mengadakan perjuangan nasional menentang kapitalisme dan imperialisme; perjuangan tersebut merupakan perjuangan rakyat marhaen di seluruh dunia agar suatu masyarakat bangsa-bangsa sedunia bebas dari penjajahan dan penindasan dalam segala lapangan. Universitas Sumatera Utara

BAB III SEJARAH KAPITALISME GLOBAL DI INDONESIA

III.1. Kedatangan Imperialisme dan Kolonialisme di Indonesia Perkembangan kapitalisme di Indonesia sehingga terintegrasi dalam kapitalisme global seperti saat ini, bersesuaian dengan fase perkembangan dari kapitalisme itu sendiri. Yakni dimulai sejak bercokolnya sistem imperialisme di Indonesia. Keadaan ekonomi Indonesia saat ini tidak bisa dilepaskan dari era perdagangan rempah-rempah dengan armada dagang Eropa; masa penyerahan paksa dengan VOC; masa tanam paksa; pengembangan industri gula beserta perkebunan tebu yang menjadi sektor enclave, masuknya perusahaan minyak asing sejak akhir abad 19; berkembangnya industri perbankan sejak pertengahan abad 19 dan seterusnya. Sebelumnya di Eropa pada abad 16-18, paham Merkantilisme menjadi praktek nyata dalam pergaulan hidup bangsa-bangsa Eropa. Merkantilisme adalah paham yang ditandai dengan adanya campur tangan pemerintah secara ketat dan menyeluruh dalam kehidupan perekonomian guna memupuk kekayaan logam mulia sebanyak-banyaknya sebagai standar dan ukuran kekayaan yang dimiliki, kesejahteraan dan kekuasaan negara tersebut. Menurut Gilpin, Merkantilisme melihat perekonomian internasional sebagai arena konflik antara kepentingan nasional yang bertentangan daripada sebagai wilayah kerjasama dan saling menguntungkan. Persaingan ekonomi antar negara dapat mengambil dua bentuk yang berbeda. Pertama adalah merkantilisme bertahan atau ramah adalah negara memelihara kepentingan ekonomi nasionalnya Universitas Sumatera Utara sebab hal tersebut merupakan unsur penting dalam keamanan nasionalnya, kebijakan seperti itu tidak memiliki dampak negatif pada negara lain. Yang kedua adalah merkantilisme agresif atau jahat yaitu negara-negara berupaya mengeksploitasi perekonomian internasional melalui kebijakan ekspansi. Sebagai contoh, imperalisme kekuatan kolonial bangsa Eropa di Asia dan Afrika. Merkantilisme dengan demikian melihat kekuatan ekonomi dan kekuatan politik militer sebagai tujuan yang saling melengkapi, bukan saling bersaing, dalam lingkaran arus balik positif. Pencapaian kekuatan ekonomi mendukung pengembangan kekuatan politik dan militer negara dan kekuatan politik dapat meningkatkan dan memperkuat ekonomi negara. Kaum merkantilis menyatakan bahwa perekonomian seharusnya tunduk pada tujuan utama peningkatan kekuatan negara, politik harus di utamakan daripada ekonomi. Tetapi isi dari kebijakan- kebijakan spesifik yang direkomendasikan untuk menjalankan tujuan tersebut telah berubah sepanjang waktu. Ringkasnya, merkantilisme mengganggap perekonomian tunduk pada komunitas politik dan khususnya pemerintah. Aktivitas ekonomi di lihat dalam konteks yang lebih besar atas peningkatan kekuatan negara. Kekayaan dan kekuasaan adalah tujuan yang saling melengkapi bukan saling bertentangan. Ketika kepentingan ekonomi dan keamanan pecah, kepentingan keamanan mendapat prioritas. 60 Hal tersebut yang juga menyebabkan kedatangan orang-orang Eropa di Asia Tenggara, pada awal abad XVI, yang dipandang sebagai titik penentu, meski 60 Robert A. Isaak, Ekonomi Politik Internasional. Terj. Oleh Muhadi Sugiono. Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1995, hal. 104. Universitas Sumatera Utara tidak sepenuhnya benar. 61 Disamping untuk kepentingan ekonomi, Portugis masuk ke Indonesia dengan membawa misi Kristenisasi. Misi tersebut dilakukan secara teratur oleh para misionaris di kawasan timur Indonesia. Selain bangsa Portugis, Nusantara juga kedatangan bangsa Belanda dengan persenjataan, kapal-kapal, pengorganisasian, dan dukungan keuangan yang lebih baik daripada Portugis. Lebih daripada itu, Belanda melakukan apa yang tidak pernah dijalankan oleh Portugis yaitu mendirikan tempat berpijak yang tetap di Jawa. Hal tersebut Eropa bukanlah kawasan paling maju pada awal abad XV, justru kekuatan yang berkembang di dunia pada saat itu adalah Islam. Pada tahun 1453, orang-orang Turki sudah berhasil menaklukan Konstatinopel. Akan tetapi, orang-orang Eropa, khususnya bangsa Portugis, telah mencapai kemajuan yang sangat baik di bidang pengetahuan geografi dan astronomi. Kemajuan tersebut membawa mereka terlibat dalam petualangan mengarungi samudera, meski petualangan tersebut lebih terdorong oleh kebutuhan untuk memperoleh monopoli atas rempah-rempah yang sangat mereka butuhkan. Sebab selama musim dingin tidak ada satu cara pun yang bisa digunakan untuk mempertahankan semua hewan ternak agar bisa tetap hidup, kecuali harus disembelih terlebih dahulu dan dagingnya diawetkan. Untuk mengawetkan diperlukan garam dan rempah-rempah yang diimpor dari Indonesia. Rempah- rempah seperti cengkeh, lada, bunga, dan buah pala dihasilkan oleh Indonesia Bagian Timur. Jadi, kawasan tersebut yang menjadi tujuan utama Portugis. Walaupun pada waktu itu Portugis belum memperoleh gambaran mengenai letak kepulauan rempah yang menjadi tempat tujuan mereka. 61 Acmad Suhawi. Gimnastik Politik Nasionalis Radikal : Fluktuasi Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia. Jakarta : Rajawali Press, 2009, hal. 27. Universitas Sumatera Utara membuat Belanda menjadi suatu kekuatan penjajah yang memiliki pangkalan di pulau Jawa. 62 Masuknya Belanda ke Indonesia, menurut M.C. Ricklefs, didorong oleh adanya perang kemerdekaan antara Belanda melawan Spanyol pada 1560-an dan baru berakhir pada tahun 1648. Perang kemerdekaan yang disertai oleh persatuan antara raja Spanyol dengan raja Portugal tersebut telah mengacaukan jalur perdagangan orang-orang Belanda yang biasa bertindak sebagai perantara dalam penjualan rempah-rempah secara eceran dari Portugal ke Eropa Utara. Atas dasar kejadian tersebut, mereka memiliki keinginan untuk mengapalkan sendiri rempah- rempah yang dibawa oleh Portugis dari Asia. Sementara perang antara Belanda dengan Spanyol telah menjadikan negeri Belanda sebagai masyarakat Calvinis yang makin homogen akibat perpindahan penduduk selama perang. Oleh karena itu, selain masalah keuntungan ekonomi, bangsa Belanda membawa misi agama Kristen ke Indonesia. Bahkan, penduduk dari pulau yang sudah dibaptis oleh para misionaris Portugis dan Spanyol kemudian dimasukkan ke dalam KristenCalvinis oleh Kompeni Belanda. 63 62 Ibid, hal. 28. 63 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Terj. Dharmono Hardjowidjono, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995, hal. 35. Keinginan orang Belanda untuk mengapalkan sendiri rempah-rempah dari Asia, pada awalnya, menghadapi suatu kendala, karena orang Portugis merahasiakan rincian jalur pelayaran ke Asia. Kesulitan tersebut terpecahkan ketika orang Belanda yang bekerja kepada orang Portugis bernama Jan Huygen van Linschoten menerbitkan buku berjudul “Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien” Catatan Perjalanan ke Timur atau Hindia Portugis. Universitas Sumatera Utara Di tahun 1595, ekspedisi Belanda yang pertama diberangkatkan di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dan tiba di Banten pada Juni 1596. Akan tetapi, setelah terlibat konflik dengan Portugis dan penduduk pribumi, mereka kemudian pergi meninggalkan Banten dengan menyusuri pantai utara pulau Jawa. Kemudian, sebanyak 22 kapal milik lima perusahaan ekspedisi yang berbeda kembali mengadakan pelayaran pada tahun 1598. Ekspedisi tersebut kembali ke Belanda dengan membawa banyak rempah-rempah sehingga menghasilkan keuntungan 400 . 64 Besarnya keuntungan menarik minat para pedagang Belanda untuk melakukan hal serupa. Pada bulan Maret 1602, perusahaan-perusahaan ekspedisi tersebut bergabung membentuk “Vereeniging de Oost Indische Compagnie” VOC : Perserikatan Maskapai Hindia Timur. Pada mulanya, VOC melakukan perniagaan biasa dengan para penduduk di beberapa wilayah pelabuhan Nusantara namun berangsur-angsur memiliki kekuatan monopoli di sebagian wilayah pada awal abad 17, baik karena kekuatan ekonomi armada dan modalnya maupun kekuatan militernya karena dipersenjatai dan memiliki pasukan tentara. Sejak akhir abad ke-17, VOC menguasai perdagangan monopolistik atas beberapa komoditi terutama rempah-rempah di hampir semua wilayah perdagangan Nusantara. 65 64 Achmad Suhawi, Op.Cit., hal. 30. 65 Awalil Rizky, dan Nasyith Majidi, Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia. Jakarta : E Publishing, 2008, hal. 276. Dilihat dari segi teknis produksi, VOC tidak melakukan perubahan yang berarti dalam tatanan agraris nusantara, begitu pula dengan banyak aspek perekonomian lainnya. Universitas Sumatera Utara Pengecualian tidak mengintervensi produksi hanya terjadi di sedikit wilayah seperti Maluku dan kabupaten Priangan, dimana ada kewajiban dan larangan menanam komoditi tertentu. Secara keseluruhan, VOC lebih berupaya memperoleh memaksakan hak pembelian dan penjualan tunggal saja monopoli. 66 66 Ibid, hal. 277. Bagaimana pun, perdagangan paksa selama kurang dari satu abad membuat VOC tumbuh menjadi korporasi raksasa pertama di dunia. Hal tersebut antara lain ditandai oleh : kepemilikan atas ratusan kapal dagang dan kapal perang, puluhan ribu karyawan, dan ribuan pasukan. Semuanya dimungkinkan karena surplus ekonomi yang dihasilkannya begitu besar. Dengan ongkos yang besar saja, para pemilik saham di Belanda masih mendapatkan keuntungan yang besar, begitu pula dengan pajak yang diterima oleh kerajaan Belanda. Namun yang mengalami kerugian besar adalah jutaan rakyat Indonesia yang terpaksa menjual murah hasil produksinya dan membeli dengan biaya tinggi produk milik VOC. Ditambah lagi aturan-aturan sepihak yang dibuat oleh VOC agar rakyat Indonesia menanam jenis tanaman tertentu yang dikehendaki oleh VOC. VOC kemudian memang bubar dan dinyatakan “bangkrut” pada tahun 1799. Namun, hal tersebut lebih karena soal teknis manajemen dan keuangan internalnya, bukan karena tidak besarnya surplus yang diambil dari nusantara. Penderitaan rakyat Indonesia serta kegemilangan perusahaan VOC milik Belanda tersebut dalam meraup untung besar merupakan cerminan imperialisme kuno yang menjadi cikal-bakal kapitalisme di Indonesia. Soekarno menuliskan dalam Pledoinya yang berjudul “Indonesia Menggugat” pada tahun 1930 bahwa: Universitas Sumatera Utara “Begitulah gambaran imperialisme tua dari Oost Indische Compagnie. Sesudah Oost Indische Compagnie pada kira-kira tahun 1800 mati, maka tidak ikut mati sistem mengaut untung yang bersendi pada paksaan. Malahan…. sesudah habis zaman komisi-komisi dan pemerintahan Inggris yang mengisi tahun-tahun 1800-1830; sesudah habis zaman “tergoyang-goyang” antara idelogi tua dan idelogi baru, sebagai yang disebar-sebarkan oleh revolusi Perancis; sesudah habis “tijdvak van den twijfel” ini, maka datanglah sistem kerja paksa yang lebih kejam lagi, lebih mengungkung lagi, lebih memutuskan nafas lagi, — yakni sistem kerja paksa dari cultuurstelsel, yang sebagai cambuk jatuh diatas pundak dan belakangnya rakyat kami Juga cultuurstelsel ini, tuan-tuan hakim, tidak usah kami beberkan panjang lebar kekejamannya; juga cultuurstelsel ini sudah diakui jahatnya oleh hampir setiap kaum yang mengalaminya dan oleh kaum terpelajar yang mempelajari riwayatnya”. 67 Sebagai contoh, pemerintah Hindia Belanda menjalankan sistem Cultuurstelsel tanam paksa di banyak wilayah, terutama di pulau Jawa. Istilah Menurut Bung Karno, sekalipun imperialisme kuno di Indonesia telah tumbang seiring dengan bubarnya VOC serta ditambah lagi dengan revolusi yang terjadi di Perancis dan Inggris dengan membawa perubahan radikal dalam konteks ekonomi dan politik, namun tetap saja sistem imperialisme – kapitalisme tersebut tidak mati. Bahkan mengalami metamorfosis dari sebelumnya yang bersifat merkantilis ke bentuk yang lebih modern dengan strategi pasar internasional. Dimana kekejaman dan penindasan yang dilakukan semakin menunjukkan watak imperialisme yang eksploitatif dan ekspansif. Hal tersebut nampak dari diambil alihnya segala aset VOC oleh kerajaan Belanda dan membentuk pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia. Wilayah yang telah dikuasai VOC kemudian bahkan diperluas sejak 1817 dan dikelola secara lebih baik bagi sumber suprlus ekonomi Belanda. Sejak awal abad 19 itu pula, perekonomian nusantara semakin banyak mengalami diversifikasi dan semakin terkait dengan pasaran internasional tidak hanya bertumpu pada komoditi rempah-rempah saja. 67 Ir. Soekarno, Indonesia Menggugat : Pidato Pembelaan di Depan Pengadilan Kolonial Bandung 1930. Jakarta : Inti Idayu Press, 1985, hal. 33-34. Universitas Sumatera Utara Cultuurstelsel itu sendiri sebenarnya hanya berarti “sistem pembudidayaan”, namun dikenal luas sebagai tanam paksa oleh sejarahwan dan bangsa Indonesia karena sifat memaksa dan eksploitatifnya. Rakyat dipaksa untuk menanam seperlima hingga separuh dari tanah mereka tergantung wilayahnya dengan tanaman ekspor yang ditetapkan oleh pemerintah Kolonial Belanda. Tanaman yang utama adalah : tebu, indigo, teh, kopi, lada, kayumanis, dan tembakau. Petani memang diberi upah namun secara sepihak oleh Belanda atau agen penguasa lokal yang ditunjuk. Selain itu, bagian tanah yang ditanami dengan komoditi pilihan sendiri pun masih dikenakan pajak. Dalam pidato “Indonesia Menggugat”, Soekarno memberikan gambaran mengenai penderitaan rakyat Indonesia akibat sistem Cultuurstelsel tersebut dengan mengutip pendapat beberapa pemikir dari Belanda. Soekarno berkata: “Jadi sistem ini tidak hanya bersendikan paksaan; paksaan itu, di dalam dua puluh tahun pertama yang gelap dari jangka waktu yang dibicarakan disini, lebih berat dari beban contingenten, yang penagihannya terutama diserahkan kepada kepala-kepala bumiputera. Cultuurstelsel menjadi lebih berat oleh kegiatan ambtenar Eropa: ini berarti bertambah beratnya tekanan sistem itu dan berarti pula perbaikan teknis dan keuntungan besar. Tidak ada tanaman yang begitu menjadi gangguan seperti nila, tatkala nila ini dalam tahun 1830 dengan cara yang sembrono dimasukkan di tanah Priangan, maka tanaman itu sungguh- sungguh menjadi bencana bagi penduduk… Sampai-sampai tahun 1866 masih ada daerah-daerah, di mana si penanam kopi mendapat 4 sampai dengan 5 sen sehari, sedang ia memerlukan 30 sen buat hidup. Di dalam perkebunan nila kerap kali dibayarkan f 8 setahun… di dalam perkebunan kopi ada pembayaran f 4,50 setahun buat satu keluarga, jadi 90 sen buat satu orang…Penulis itu juga melihat di tanah Priangan orang-orang kelaparan seperti kerangka kurusnya terhuyung-huyung sepanjang jalan. Beberapa orang begitu letih, sehingga mereka tidak bisa makan makanan yang diberikan kepada mereka sebagai persekot; mereka meninggal…Di sini kita melihat suatu bangsa yang tidak secara undang-undang hidup dalam perbudakan tapi secara kenyataan. Ketakutan kepada kepala- kepalanya telah merasuk ke dalam jiwa mereka; Kepala-kepala itu belajar pula takut kepada kaum penjajah. Segala keberanian dan semangat merdeka yang tadinya masih hidup dalam hati sanubari bangsa Jawa, kini hilang lenyap oleh laku pebuatan Kompeni yang kasar dan kesalahan yang jelek dari Van den Bosch ialah, bahwa ia menghisap lagi rakyat yang sudah rusak itu, penghisapan yang pada hakikatnya sama betul dengan sistem kompeni. Malahan lebih jahat dan lebih salah lagi Kompeni tidak harus memikul tanggung jawab dan tidak pernah mau memikul tanggung jawab itu. Kompeni berdagang dengan cara-cara orang dagang yang keras… Benar VOC dan Cultuurstelsel jahat, benar VOC dan Cultuurstelsel suatu bencana bagi rakyat Indonesia, benar VOC dan Cultuurstelsel memasukkan rakyat Indonesia ke dalam kesengsaraan dan kehinaan… Universitas Sumatera Utara kejahatan VOC dan kejahatan Cultuurstelsel adalah kejahatan kuno, tetapi hati nasional tak gampang melupakannya”. 68 Kebijakan penjajahan Belanda mengalami perubahan arah yang mendasar pada awal abad XX. Kebijakan tersebut dinamakan “Politik Etis”. Politik etis berakar pada masalah sosial dan keuntungan ekonomi. Menurut Nagazumi sebagaimana dikutip oleh Ahcmad Suhawi, politik etis yang dicanangkan oleh Belanda memiliki tujuan ganda, di satu pihak ingin meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi, sedangkan di pihak lain berharap dapat menumbuhkan otonomi dan desentralisasi politik di Hindia Timur Belanda secara bertahap. 69 Memang selama masa kapitalisme liberal 1870-1900, pihak swasta memainkan pengaruh yang sangat besar terhadap kebijakan penjajahan Belanda. Kalangan industrialis Belanda mulai melihat Indonesia sebagai pasar yang potensial jika standar hidupnya ditingkatkan. Kapitalis Belanda maupun kapitalis internasional juga melihat peluang investasi dan eksploitasi bahan mentah, khususnya di daerah luar Jawa. Kaum liberal Belanda sendiri, sebagai pencetus ide politik etis, sempat menghadapi suatu dilema. Sebab di satu sisi mereka ingin membebaskan Indonesia dari Cultuurstelsel, tetapi tidak ingin kehilangan keuntungan yang diperoleh Belanda dari Jawa. 70 68 Ibid, hal. 34-37. 69 Achmad Suhawi, Op.Cit., hal. 33. 70 Penghapusan sistem tanam paksa diikuti oleh masuknya modal swasta Belanda sejak tahun 1870. modal itu diinvestasikan ke dalam sektor-sektor perkebunan besar di Jawa dan Sumatera. Seluruhnya berorientasi ekspor, dan menciptakan sektor-sektor enclave yang hampir tidak berkaitan dengan dinamika ekonomi penduduk lokal. Awalil Rizky, dan Nasyith Majidi, Op.Cit., hal. 277. Namun, mereka merasakan adanya kebutuhan terhadap tenaga kerja bagi perusahaan-perusahaan modern. Atas dasar kepentingan tersebut, maka perusahaan-perusahaan swasta mendukung Universitas Sumatera Utara keterlibatan penjajah yang semakin intensif untuk mencapai ketenteraman, keadilan, modernitas, dan kesejahteraan. Selain itu, munculnya politik etis didorong oleh adanya kekhawatiran terhadap pecahnya perlawanan rakyat di tanah jajahan yang bisa membuat perekonomian Belanda bangkrut. Sebab, meletusnya perang Diponegoro telah mengakibatkan masalah ekonomi bagi Belanda. Perubahan sifat imperialisme yang semakin internasionalistik di era tersebut dicatat oleh Soekarno sebagai pengedukan kekayaan Indonesia sampai habis untuk dibawa ke luar Indonesia. Sebab modal yang masuk bukan hanya modal dari Belanda saja akibat diterapkannya politik pintu terbuka. Modal Amerika, modal Inggris, modal Jepang, dan lain-lain masuk ke dalam Indonesia untuk berpartisipasi dalam rangka pengedukan kekayaan Indonesia tersebut. Mulai dari tahu 1900 hingga tahun 1920-an, Soekarno mencatat modal Belanda saja yang masuk mencapai 4 miliar rupiah dengan keuntungan rata-rata pertahunnya adalah 10 . Jika ditambah modal asing lainnya maka modal tersebut mencapai 6 miliar rupiah dengan keuntungan yang sama bahkan hingga mencapai keuntungan 35 . 71 Di dalam negeri Hindia Belanda, krisis dialami akibat merosotnya sejumlah harga barang yang akan diekspor ke luar negeri terutama adalah Menjelang tahun 1930, kapitalisme mengalami krisis yang hebat secara tiba-tiba. Walaupun optimisme akibat pertumbuhan pesat ekonomi dunia juga dirasakan di Indonesia Hindia Belanda, namun semuanya hancur akibat krisis yang berlangsung selama bertahun-tahun tersebut. 71 Ir. Soekarno, Op.Cit., hal. 46-47. Universitas Sumatera Utara komoditi gula. Pada abad ke-19, hasil ekspor yang terbesar adalah gula dan kopi,khususnya dari Jawa. Bahkan terdapat istilah, “gula adalah laut tempat pulau Jawa mengapung”, untuk menggambarkan betapa pentingnya gula sebagai soko guru kemakmuran ekonomi di pulau Jawa. Tetapi pada abad ke-20, dengan adanya Brazil yang mengembangkan kopi, Filipina serta Kuba yang mengembangkan perkebunan gula, dan dimajukannya pembuatan gula bit di Eropa, nilai gula sebagai komoditas ekspor merosot tajam. Ekspor gula jatuh sama sekali. Bahkan setelah depresi berakhir, gula tidak dapat mengembalikan kedudukannya lagi seperti sebelum 1929. akibat krisis ekonomi kapitalisme dunia, habis juga peran gula sebagai komoditi ekspor Indonesia, bahkan hingga kini. 72 Sejatinya, tidak hanya produk pertanian yang terkena imbas krisis ekonomi. Perdagangan hasil non pertanian pun ikut merasakan kepahitan. Potret tersebut tampak pada para pengusaha batik di Tasikmalaya, Jawa Barat. Pasaran Awal tahun 1930-an, kondisi ekonomi di Indonesia semakin memburuk karena krisis kapitalisme dunia tidak reda-reda. Bagi rakyat, zaman meleset dari kata malaise berarti pemutusan hubungan kerja secara sepihak, pengurangan kesempatan kerja, pemotongan gaji, turunnya harga-harga hasil pertanian, rendahnya upah. Kesemuanya itu merupakan akibat politik ekonomi yang pada satu pihak menjalankan penghematan besar-besaran dan di pihak lain hendak mempertahankan pendapatan ekspor terutama yang diperoleh dari hasil perkebunan, padahal nilai gulden yang dipertahankan mau tidak mau mengurangi daya beli negara-negara pengimpor. 72 Syafaruddin Usman dan Isnawita, Neoliberalisme Mengguncang Indonesia. Jakarta: PT Buku Kita, 2009, hal. 49. Universitas Sumatera Utara batik ikut loyo karena tingkat daya beli masyarakat menurun drastis. Sebagai gambaran, produk domestik bruto per kapita Hindia Belanda pada 1933 merosot sekitar 16 persen di bawah angka rata-rata sebelum 1930. sementara itu, bahan- bahan yang dibutuhkan untuk produksi batik, seperti kain mori cambrics, makin sulit dicari. 73 “Memang, terlihat dengan sekelabatan mata saja, pemasukan barang dari Jepang itu adalah suatu dues ex machina, suatu dewa penolong dari kayangan. Memang terlihat dengan sambil lalu saja marhaen pantas membakar kemenyan untuk mengeramatkan impor dari Jepang itu, ― sebagai tanda terima kasih. Memang seolah-olah marhaen pantas ikut bertampik sorak “Dai Nippon banzai”, — “Jepang yang paling jempol” Tetapi, — tetapi... Apakah benar kita wajib memuji impor dari Jepang ini sampai muluk- muluk, membilang terima kasih diatasnya sampai habis-habisan, mengeramatkan kepadanya sampai semua radikalisme yang ada di dalam dada kita habis kabur ke kayangan? Apakah benar impor dari Jepang itu kita pandang sebagai rahmat bagi marhaen, sehingga pantas kita sokong dan pantas kita aju-ajukan? Sebab, apakah bedanya Kemudian melalui koperasi, Departement van Economische Zaken, departemen baru yang dibentuk pasca depresi mengadakan serangkaian pembicaraan dengan para pengusaha batik pribumi, demi mencari formula yang menguntungkan untuk menghadapi penetrasi modal dan barang asal Jepang. Pasca krisis, Pemerintah Hindia Belanda mulai kewalahan menghadapi penetrasi Jepang terhadap ekonomi Indonesia. Ketika itu, Jepang mulai membanjiri produknya ke pasar Hindia Belanda. Bahkan pada 1946, impor Jepang mencapai 32,5 persen dari nilai total impor Indonesia atau hampir setara dengan dua setengah kali impor negeri Belanda. Hal tersebut dibenarkan oleh Soekarno dalam tulisannya yang berjudul “Impor Dari Japan, Suatu Rachmat Bagi Marhaen?” yang mengkritik pandangan beberapa kaum pergerakan Indonesia saat itu bahwa impor barang dari Jepang merupakan rahmat bagi rakyat karena harganya yang murah di masa krisis ekonomi. Soekarno berkata bahwa : 73 Ibid, hal. 64. Universitas Sumatera Utara hakikat impor dari Twente Belanda dan impor dari Jepang itu? Betul impor dari Jepang itu lebih mjurah lagi daripada impor dari Twente, betul impor dari Jepang itu dirintangi oleh bea-bea sedang impor dari Twente disokong dengan bea-bea, — betul ada beda syariat antara dua macam impor itu —… Tetapi dalam pada itu, awaslah awas, bahwa barang-barang itu adalah barangnya stelsel yang sebenarnya musuh kamu, barangnya stelsel setan yang di dalam hakikatnya tiada maksud lain melainkan mengeksploitasi tiap- tiap sen yang kini masih ada di dalam bahu dan tubuhmu. Awaslah awas, di dalam batin kamu, di dalam politik kamu, di dalam aksi kamu, imperialisme Twente dan imperialisme Jepang haruslah tetap menjadi musuh kamu…”. 74 74 Ir.Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid I. Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964, hal. 237-242. Merangseknya produk-produk Jepang ke tanah air membuat Batavia cepat bereaksi. Impor Jepang dibatasi dengan berbagai persyaratan dan bea masuk yang memberatkan. Pada 1938, posisi Belanda kembali memimpin pasar impor Hindia Belanda. Kondisi ekonomi negeri jajahan Belanda yang paling besar tersebut terasa berat akibat krisis global. Perekonomian yang morat marit membuat rakyat jauh dari sejahtera. Kedatangan Jepang untuk menjajah bangsa Indonesia pada 1942 semula diharapkan mampu membawa angina perubahan. Apalagi Gerakan 3A yang salah satu semboyannya Jepang Cahaya Asia membuat simpati rakyat tertumpu. Janji peningkatan kesejahteraan yang selalu digembar-gemborkan Jepang tidak pernah direalisasikan. Akhirnya berbagai perlawanan bermunculan, karena Jepang justru bertindak sebaliknya dengan memeras rakyat. Rakyat lebih memilih mati berperang daripada mati kelaparan. Kondisi bangsa Indonesia baru memasuki babak anyar setelah perdana Menteri Jepang, Koiso, menjanjikan kemerdekaan. Pernyataan Perdana Menteri Koiso di Parlemen Jepang bahwa Indonesia akan segera diberikan kemerdekaan sedikit banyak mulai memberi harapan baru, tidak terkecuali bagi kondisi ekonomi politik bangsa Indonesia. Universitas Sumatera Utara III.2. Sepak Terjang Kapitalisme Pasca Proklamasi Kemerdekaan Ketika Indonesia merdeka secara politik pada 17 Agustus 1945, pemerintah yang baru terbentuk masih disibukkan untuk mempertahankannya selama bertahun-tahun dari upaya kaum kolonial untuk kembali. Pada saat bersamaan, agenda konsolidasi politik bangsa juga membuat sebagian besar agenda ekonomi terabaikan sampai waktu yang lama. Segala konsep dasar perekonomian termasuk strategi pembangunan industri dan pertanian sebenarnya sudah mulai berhasil dirumuskan, namun terhalang beberapa agenda politik yang lebih mendesak. 75 Selain itu juga, akibat mendapat gempuran melalui agresi militer, posisi NKRI terjepit. Para pemimpin terutama pemerintah Indonesia terdesak untuk mengadakan perjanjian diplomasi dengan Belanda. Peran dan posisi tawar Indonesia pun dalam perundingan sangat lemah. Sehingga dalam perjanjian Linggarjati, wilayah Indonesia menciut menjadi tiga pulau saja. Bahkan setelah mendapat agresi militer II dari pihak Belanda, setelah diadakan perundingan kembali, posisi Indonesia dalam perjanjian Renville pun semakin lemah. Wilayah Pada saat itu juga, Belanda kembali ke Indonesia untuk misi merebut tanah jajahan. Belanda mengupayakan berbagai cara agar negara Indonesia yang baru lahir lekas mati agar dapat dijajah kembali. Upaya tersebut berupa agresi militer yang dipersenjatai lengkap untuk memborbardir segala bentuk perlawanan. Di sisi lain, Belanda juga mengupayakan blokade ekonomi terhadap Indonesia agar perekonomian Indonesia semakin carut marut yang berimbas pada kesejahteraan rakyat yang tidak kunjung tercapai dan semakin kentaranya kesengsaraan rakyat. 75 Awalil Rizky, dan Nasyith Majidi, Op.Cit., hal. 278. Universitas Sumatera Utara kedaulatan atas RI tinggal tiga kota saja. Tentu dampaknya sangat berat bagi rakyat Indonesia secara keseluruhan yang hendak bangkit dari kesengsaraan akibat sistem kapitalisme dan imperialisme. Di bidang ekonomi, akibat blokade ekonominya, pihak Belanda menduga pemerintah RI terancam bangkrut karena kas negara kosong. Dan yang paling menderita adalah petani karena mereka merupakan produsen yang paling banyak menyimpan uang. Nilai mata uang saat itu meskipun pemerintah mengakui tiga mata uang yang sah uang keluaran De Javasche Bank, uang pendudukan Jepang, dan mata uang pemerintah Hindia Belanda, nilainya tergerus akibat blokade ekonomi Belanda. Namun dalam situasi krisis, pemerintah meminta persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat KNIP untuk meminjam uang rakyat. 76 Namun akibat kesepakatan dalam KMB tanggal 27 Desember 1949, Republik Indonesia harus terbebani dengan utang pada Belanda sebagai bekas penjajah. Kesepakatan tersebut tertuang dalam Financial Economic Agreement FINEC. Meskipun baru lahir, RI langsung menanggung utang luar negeri Rp 1,5 milyar dan dalam negeri Rp 2,8 milyar. Akhirnya situasi ekonomi politik dapat diatasi secara perlahan oleh pemerintah Indonesia dengan beberapa kebijakan seperti, kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar KMB, menciptakan mata uang baru Oeang Repoeblik Indonesia ORI, serta mendirikan Bank Negara Indonesia BNI. III.3. Era Ali-Baba Hingga Nasionalisasi 77 76 Syafaruddin Usman dan Isnawita. Neoliberalisme Mengguncang Indonesia. Jakarta : Narasi, 2009, hal. 68. 77 Ibid, hal. 76. Universitas Sumatera Utara Tentu saja kondisi tersebut membuat pemerintah jengkel karena tidak bisa segera membangun seperti negara-negara yang baru merdeka lainnya. Mengangsur utang telah menghilangkan kesempatan Republik Indonesia membiayai pembangunan. Perasaan anti Belanda pun memuncak, sehingga menimbulkan semangat nasionalisme ekonomi anti Belanda dan asing. Maka dicanangkanlah program Benteng yang digagas oleh Sumitro Djojohadikusumo, Menteri Perdagangan dan Perindustrian Kabinet Natsir. Program tersebut bertujuan menciptakan industri impor milik pribumi, memberikan bantuan modal, dan melindungi kepentingan pribumi. Program tersebut untuk menumbuhkan kapitalisme pribumi dengan mengamankan dominasi di bidang impor. Dengan bantuan pemerintah, diharapkan pengusaha pribumi dapat menggusur oligopoli The Big Five yaitu perusahaan dagang Belanda yang terdiri dari Borsumij, Jacobson van den Berg, Geo Wehry, Internatio, dan Lindeteves. Selain itu juga, program Benteng diharapkan dapat menendang perusahaan Inggris seperti Mac Laine Watson. Sedikitnya 700 perusahaan pribumi mendapat kredit usaha melalui program benteng tersebut disertai dengan kebijakan memberi lisensi impor. Dengan mengantongi lisensi tersebut, para pengusaha pribumi mendatangi para pedagang Tionghoa untuk menjual lisensi tersebut. Kerjasama inilah yang kemudian terkenal dengan sebutan sistem Ali-Baba. Ali sebagai idiom untuk pribumi, sedangkan Baba mewakili pedagang Tionghoa. Program untuk mengangkat nasib kaum pribumi tersebut justru berubah menjadi arena korupsi dan kolusi. Universitas Sumatera Utara Akibatnya pemerintah mengalami defisit karena harus membiayai program yang justru dinikmati oleh segelintir orang atau kelompok tersebut saja. Sebagai alternatif pembiayaan, bursa efek dibuka, namun para pengusaha terbiasa dengan kredit Bank yang dananya tentu bersumber dari pemerintah juga. Akhirnya kondisi ekonomi semakin parah ditambah lagi kondisi perpolitikan yang semrawut diatas landasan liberalisme. Banyak terjadi pergolakan daerah dan intrik-intrik politik antar partai politik untuk memperebutkan kekuasaan legislatif maupun eksekutif. Dalam Sembilan bulan, utang pemerintah membengkak tiga kali lipat. Nilai rupiah merosot tiga perempat kali terhadap dolar Amerika. Munculnya importir kecil tanpa pengalaman, yang hanya mengandalkan lisensi, membuat suasana perdagangan dan perbankan bertambah semrawut. 78 Selanjutnya, selain dipicu oleh gagalnya program benteng, kisruh antara Indonesia dan Belanda akibat perebutan Irian Barat membuat pemerintah Meski demikian, Program Benteng berhasil menumbuhkan beberapa perusahaan pribumi, seperti NV. Maskapai Asuransi Indonesia pimpinan VB. Tumbelaka, NV. Indonesia Service Company milik Hasyim Ning, dan NV. Putera Mas Agoes, serta CV. Sjachsam pimpinan Sutan Sjachsam dan NV. Djakarta Lloyd dan PT. Transistor Radio Manufacturing dari Thayeb Gobel. Meskipun ada perusahaan yang bisa dikembangkan, Program Benteng gagal mewujudkan cita- cita mengangkat pengusaha pribumi menggantikan kiprah asing dalam perekonomian nasional karena banyaknya spekulan yang menyalahgunakan fasilitas tersebut. Akhirnya program Benteng tersebut dihentikan pada tahun 1957 atas dasar menghilangkan diskriminasi rasial. 78 Ibid, hal. 80. Universitas Sumatera Utara mengeluarkan Undang-Undang No. 86 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Milik Belanda di Indonesia. Nasionalisasi tersebut bertujuan memberi manfaat pada masyarakat Indonesia serta memperkokoh keamanan dan pertahanan negara. Sejak keluar Undang-undang Nasionalisasi, sejumlah perusahaan Belanda, termasuk perusahaan farmasi dibeslagdisita. Pemerintah mempertimbangkannya karena perusahaan farmasi merupakan cabang produksi yang penting bagi masyarakat dan menguasai hajat hidup orang banyak. Nasionalisasi juga merambah perusahaan listrik dan gas, yang kemudian menjadi PLN Perusahaan Listrik Negara dan Perusahaan Gas Negara. Selain itu, perusahaan penerbangan menjelma menajdi Garuda Indonesia Airways GIA, perusahaan perkebunan dilebur dalam PTPN, perusahaan minyak Belanda menjadi Pertamina. Lebih dari 160 perusahaan Belanda dinasionalisasi pada 1950-an. Namun keuntungan tidak dilimpahkan kepada negara untuk kemamuran rakyat. Namun aset-aset Belanda tersebut diambilalih dan dikelola oleh pihak Tentara Nasional Indonesia yang saat itu menjadi salah satu kekuatan politik di Indonesia. Berdasarkan keputusan Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal A.H. Nasution, tentara ditempatkan di semua perusahaan asing. Kebanyakan mereka berasal dari Korps Polisi Militer dan berpangkat Mayor dengan tujuan mengamankan aset-aset tersebut. Namun justru sebaliknya, para perwira militer tersebut justru melakukan penyelewengan yang mengakibatkan kemunduran di banyak perusahaan tersebut. Nasionalisasi tersebut dapat dikatakan gagal karena manajemen yang tidak baik, sehingga mengganggu produktivitas perusahaan-perusahaan tersebut. Universitas Sumatera Utara III.4. Eksistensi Kapitalisme Pada Masa Demokrasi Terpimpin Segala daya upaya yang dijalankan pemerintah RI demi mengamankan perekonomian dari dominasi kapitalis-kapitalis asing agaknya mengalami hambatan yang kuat. Berbagai upaya mulai dari pemulihan hubungan dengan Belanda melalui finansial ekonomi, program benteng, ali-baba, hingga nasionalisasi aset-aset asing belum mampu menendang dominasi kapitalisme bangsa asing. Segala upaya tersebut mengalami kegagalan yang berujung pada ketidakstabilan baik dalam bidang ekonomi maupun politik. Di bidang ekonomi, ketidakstabilan tersebut ditandai dengan defisit keuangan negara yang mengalami kerugian besar, inflasi yang tinggi, dan lain sebagainya. Di bidang politik, pergolakan-pergolakan daerah mewarnai huru-hara politik Indonesia yang dilandasi oleh praktek separatisme akibat ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat. Selain itu juga, konfrontasi dengan Belanda masih berlangsung di wilayah Indonesia bagian Timur tepatnya dalam rangka pembebasan Irian Barat. Yang paling parah adalah intrik-intrik politik dalam lembaga-lembaga negara baik itu di parlemen, kabinet, maupun antar partai politik demi memperebutkan kekuasaan. Akhirnya, Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959, mengumumkan Dekrit Presiden untuk mengendalikan keadaan negara yang saat itu dalam masa genting. Dekrit tersebut berisi keputusan untuk menetapkan pembubaran konstituante, menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lag bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai tanggal dekrit tersebut, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara 1950, dan terakhir adalah pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. 79 79 Ir. Soekarno, Tudjuh Bahan Pokok Indoktrinasi. Jakarta : Departemen Penerangan RI, 1964, hal. 36. Universitas Sumatera Utara Kemudian dijelaskan oleh Soekarno, dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka landasan demokrasi liberal digantikan oleh landasan demokrasi terpimpin. Munculnya demokrasi terpimpin tidak lepas dari berbagai macam gejolak yang muncul di era demokrasi liberal, terutama arah nasional yang tidak jelas karena lebih banyak perdebatan daripada persatuan dibawah kepemimpinan ideologis dan programatik dalam pembangunan bangsa nation-building. Selain itu juga, kekuatan asing yang hendak menjajah kembali dan kaum reaksioner- konservatif dalam negeri yang melakukan berbagai tindakan dan kegiatan untuk kepentingannya sendiri yang oleh Bung Karno disebut sebagai Nekolim Neo- kolonialisme dan Neo-imperialisme mendasari semangat munculnya demokrasi terpimpin. 80 “ pengambil-alihan perusahaan-perusahaan Belanda dalam rangka perjuangan Irian Barat adalah salah satu langkah yang amat penting sekali. Tetapi belum semua perusahaan Belanda diambil-alih, belum semua perusahaan Belanda dinasionalisasi. Padahal sikap Belanda dalam urusan Irian Barat tetap membandel Saya serukan disini…semua modal Belanda, termasuk yang berada dalam perusahaan-perusahaan campuran, akan habis tamat riwayatnya sama sekali di bumi Indonesia” Dalam konteks ini, Nampak upaya Soekarno untuk menggemakan kembali semangat revolusi untuk mengubah struktur ekonomi yang ada. Nasionalisasi kekayaan alam dan aset-aset nasional dari tangan kapitalis asing bukan hanya belum membawa perbaikan ekonomi, tetapi terhambat oleh keserakahan faksi- faksi politik, terutama TNI-AD. Semboyan “merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional” ditegaskan dan diharapkan akan ditingkatkan dalam prakteknya. Bung Karno menyerukan : 81 80 Nurani Soyomukti, Soekarno dan Nasakom, Yogyakarta : Garasi, 2008, hal. 144. 81 Ir. Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid II. Jakarta : Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1965, hal. 378-379. Universitas Sumatera Utara Mengenai eksistensi kapitalisme dalam masa demokrasi terpimpin tersebut, peran dan kontribusi modal asing sangat dibatasi terkait proyek nasionalisasi yang dicanangkan oleh pemerintah. Selain itu juga, perusahaan- perusahaan asing banyak mengalami kekhawatiran jika perusahaan dan investasi mereka di Indonesia akan dinasionalisasi. Tentang hal tersebut dikatakan dalam manipol :“ Terhadap modal asing yang bukan Belanda ditegaskan bahwa mereka harus mentaati ketentuan-ketentuan Republik. Jangan mereka mencoba-coba memperdayakan Republik. Jangan mereka membantu gelap-gelapan praktek ilegal kepada kontra-revolusi, jangan mereka menjalankan sabotase-sabotase ekonomi.” 82 Untuk mendapatkan dukungan finansial dan menjalin kerjasama intenasional dalam menghadapi kapitalisme Barat, maka pemerintah Soekarno berusaha merangkul Uni-Sovyet yang saat itu juga tengah bertentangan dengan AS dalam Perang Dingin. Tentu kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Uni- Sovyet yang tengah bersaing dengan AS dalam memperebutkan pengaruh dunia dengan membelah dunia menjadi Blok Barat dan Blok Timur. Namun posisi Pada intinya, posisi dan arah kebijakan ekonomi politik Indonesia pada masa demokrasi terpimpin menolak praktek kapitalisme Belanda dan sekutunya. Pada posisi ini, pemerintah RI menilai bahwa peran sekutu Belanda seperti AS, Inggris, Perancis, dan lain-lain, justru ikut meruntuhkan kedaulatan RI melalui sabotase-sabotase pada ekonomi dalam negeri yang mengakibatkan krisis. Di sisi lain juga, mereka turut membiayai militer Belanda yang sedang berkonfrontasi dengan Indonesia dalam masalah Irian Barat. 82 Ir. Soekarno, Tudjuh Bahan Pokok Indoktrinasi, Jakarta : Departemen Penerangan RI, 1964, hal. 18. Universitas Sumatera Utara Indonesia pada saat itu, dikatakan oleh Soekarno tetap menjalankan politik yang bebas dan aktif serta tidak terlibat dalam konstelasi politik dunia dengan mendirikan Gerakan Non-Blok. Terhitung dalam kurun waktu 1954-1962, pemerintah Indonesia mendapatkan bantuan dari Uni-Sovyet sebanyak 368,5 juta dolar AS. Jika ditambah lagi dengan bantuan dari negara-negara Blok Timur lainnya, bantuan tersebut mencapai 640,6 juta dolar AS. Sedangkan bantuan AS terhadap Indonesia hanya mencapai 221,7 juta dolar AS. 83 83 Baskara T. Wardaya, Indonesia Melawan Amerika, Konflik Perang Dingin 1953-1963. Jakarta : Galang Press, 2008, hal. 270. Pengaruhnya dalam ekonomi dalam negeri tentu saja membuat modal dan perusahaan AS yang ada di Indonesia terusik oleh masuknya modal dari Uni- Sovyet. Kemudian dalam hal ideologi, AS menilai Indonesia telah condong ke kiri yang membahayakan eksitensi kapitalisme di Indonesia. Terlebih lagi, AS sedang mengupayakan eksplorasi perusahaannnya untuk menjalankan praktek pertambangan di Irian dan beberapa daerah di Indonesia lainnya. Di saat pemerintahan Soekarno tengah bereuforia dalam politik mercusuarnya seperti membangun kekuatan baru atau New Emerging Forces Nefos yang menelan biaya cukup tinggi sehingga tidak mampu mengantisipasi ulah spekulan dan sabotase ekonomi oleh kapitalis asing, mengakibatkan kondisi ekonomi dalam negeri mengalami krisis akibat inflasi yang tinggi. Infasi dipicu oleh kurs rupiah yang melemah akibat ulah spekulan dan investor-investor Barat yang menarik modalnya dari Indonesia, selain itu juga disebabkan oleh politik konfrontasi dengan Belanda dan Malaysia. Universitas Sumatera Utara Kondisi tersebut semakin diperparah oleh peristiwa G 30 S Gerakan 30 September pada tahun 1965 yang disinyalir oleh Bung Karno sebagai upaya untuk menggulingkan kekuasaannya. Pada pidato 17 Agustus 1966, Soekarno menegaskan bahwa peristiwa G 30 S merupakan upaya dari kaum kontra revolusi untuk menggagalkan revolusi Indonesia. Peristiwa tersebut diduga melibatkan imperialis asing yang ingin merebut kembali Indonesia terutama melalui ekonomi kapitalisme dan oknum-oknum dalam negeri yang menjadi komprador asing tersebut. 84 84 Ir. Soekarno. Amanat Proklamasi 1961-1966. Jakarta : Inti Idayu Press, 1985, Hal. 205. Akhirnya kekuasaan Soekarno pun berakhir dan digantikan oleh Soeharto yang berhasil tampil ke panggung politik nasional melalui Supersemar Surat Perintah 11 Maret. Berakhirnya kekuasaan Soekarno menandai babak baru dalam perjalanan Bangsa Indonesia. Karena di masa pemerintahan Soeharto atau lebih dikenal sebagai orde baru, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Soeharto sangat bertolak belakang dengan kebijakan Soekarno. III.5. Kedigdayaan Kapitalisme Global di Masa Orde Baru Setelah dilantik menjadi Presiden, Soeharto membuat gebrakan dengan tiga kebijakan yang jauh berbeda dengan Soekarno. yakni, mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi dan merangkul Barat. Pada masa Soekarno, Indonesia lebih suka berhubungan dengan Timur, yakni Cina dan Uni- Sovyet, sementara Barat dinilai tidak sesuai dengan amanat konstitusi karena sistem kapitalisme yang mereka anut. Universitas Sumatera Utara Dan di masa Soeharto inilah, kapitalisme global menunjukkan kedigdayaannya melalui instrumen-instrumen dan kebijakan-kebijakan yang dilaksanakan dalam perekonomian Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan upaya Soeharto untuk merangkul kembali instrumen-instrumen kapitalisme global seperti International Monetery Fund IMF dan Bank Dunia yang sempat terputus pada masa Soekarno. Di sisi lain, Soeharto menilai bantuan dari Blok Timur tidak terlalu bisa membantu ekonomi Indonesia. Melalui IMF dan Bank Dunia, Indonesia mendapat pinjaman untuk membiayai defisit. Ketika itu, sumber dana berasal dari pinjaman bilateral, antara lain dari Amerika Serikat yang sangat berhasrat berinvestasi di Indonesia serta melanjutkan proyek eksplorasi perusahaan mereka yang sempat dinasionalisasi dan menarik diri dari Indonesia. Di sektor riil, liberalisasi perdagangan dan investasi dilakukan disertai dengan membuka lebar pintu bagi investor asing. Hal tersebut ditandai dengan munculnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing pada tahun 1967. Perusahaan yang dinasionalisasi pada masa pemerintahan Soekarno juga dikembalikan kepada kapitalis asing. 85 Melalui UU PMA tersebut, maka utang luar negeri dan modal asing masuk ke Indonesia dengan antusias, apalagi dengan jaminan stabilitas politik. Memang di bidang politik Soeharto mengupayakan agar keadaan politik tidak mengganggu kondisi perekonomian seperti yang terjadi di masa pemerintahan Soekarno. kebijakan politik Soeharto ditandai dengan lahirnya Tap MPRS No XXXIII1966 85 Syafaruddin Usman dan Isnawita, Neoliberalisme Mengguncang Indonesia. Jakarta : Narasi, 2009, hal. 98. Universitas Sumatera Utara mengenai larangan terhadap ajaran Marxisme-Leninisme dan Komunisme, serta kebijakan politik fusi terhadap partai-partai politik, dan lain sebagainya. Efek dari UU PMA tersebut juga melahirkan IGGI Inter Governmental Group on Indonesia yang di dalamnya terdapat : Bank Dunia, Asian Development Bank ADB, Jepang, dan Amerika Serikat, yang menjadi forum penting bagi konsultasi dan pencairan utang luar negeri, serta memberi rekomendasi bagi perusahaan swasta asing Multinational CorporationMNC agar berinvestasi di Indonesia. Indonesia terutama sekali diwakili oleh pemerintahnya, yang berarti peran negara amat besar dimana semua proyek utang luar negeri berhubungan dengan pemerintah negara. Sementara itu, selain dengan pemerintah, kebanyakan proyek Penanaman Modal Asing berurusan dengan kaum kapitalis demostik yang sebagian besar merupakan konco kroni politik para penguasa. 86 Proyek penanaman modal asing terbesar bergerak di bidang pengelolaan sumber daya alam dan energi yang sebagiannya melanjutkan usaha terdahulu yang sempat tersendat-sendat karena kebijakan kurang bersahabat di era Soekarno. berbagai kontrak karya yang baru atas migas dan mineral lainnya dibuat, serta proyek kerjasama dengan kapitalis domestik dalam pemungutan hasil hutan dan laut. Ada beberapa proyek penanaman modal asing atau patungan lainnya, terutama yang sama sekali baru, yang orientasi sebagai produsen barang substitusi impor. Dapat dikatakan bahwa proyek utang luar negeri berfungsi memperlancar operasional penanaman modal asing tersebur, dan demi kelancaran bisnis selanjutnya, para kapitalis kroni terlibat hampir di semua sektor. Dapat juga 86 Awalil Rizky dan Nasyith Majidi, Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia. Jakarta : E Publishing Company, 2008, hal. 279. Universitas Sumatera Utara dipahami tentang arti penting infrastruktur jalan, pelabuhan, bandara, pembangkit listrik, dan lain-lain dan ketersediaan sumber daya manusia dengan kualifikasi yang dibutuhkan terutama melalui sarana pendidikan bagi keberlangsungan bisnis kaum kapitalis. Jika dikomparasikan dengan kondisi pasca reformasi, terlihat perbedaan dimana instrumen-instrumen kapitalisme global seperti CGI, IMF, MNC, dan lain-lain mengeluhkan besarnya peran negara dan adanya KKN Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pada masa Soeharto mereka mengoptimalkan kondisi rezim otoriter, yang biasa disebut para kritisi dengan rezim developmentalis repressive. Merundingkan utang dan investasi asing akan jauh lebih mudah dengan pihak yang terbatas, tanpa melibatkan rakyat kebanyakan. Bagi kaum kapitalis asing, masalahnya hanya bagaimana memperhitungkan secara ekonomis, dengan memasukkan unsur KKN sebagai biaya tambahan. Jika hasilnya memberi keuntungan atau surplus yang besar, KKN akan ditoleransi, atau bahkan dimaafkan. Di sisi lain meski partai politik dikotrol ketat dan ormas-ormas diawasi, Soeharto tetap memiliki perhatian khusus pada sektor ekonomi. Dapat dikatakan, sektor ekonomi lah yang dijadikan alasan pemerintah untuk melakukan tindakan represif terhadap kekuatan-kekuatan yang disangka akan mengganggu laju perekonomian. Hasilnya, selama 30 tahun, pertumbuhan ekonomi yang 6-7 persen dapat dipertahankan dan didistribusikan kepada masyarakat walaupun dalam jumlah yang sedikit akibat praktek KKN di jajaran birokrasi pemerintahan. Namun ketika terjadi krisis moneter sejak Juli 1997, disusul dengan demontrasi mahasiswa yang menuntut reformasi total, keadaan tersebut menjadi Universitas Sumatera Utara berubah secara signifikan. Pembangunan ekonomi yang hanya mengejar laju pertumbuhan tersebut tidak mampu menopang fondasi perekonomian Indonesia. faktor ekonomi yang diandalkannya selama 30 tahun untuk meraih dukungan masyarakat tidak berguna lagi. Ambruknya perekonomian Indonesia, ditambah penyakit kronis korupsi, kolusi, dan nepotisme, membuat pemerintah Soeharto kehilangan daya. Modal-modal asing yang banyak ditanam di Indonesia seketika berlarian ke luar dan para investor asing tersebut lebih tertarik mengamankan modalnya di negara lain ketimbang berinvestasi di Indonesia yang mengalami krisis hebat. Dalam konteks ini, investasi membutuhkan syarat stabilitas politik dan stabilitas ekonomi yang kuat. Akhirnya rezim orde baru pun runtuh setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri pada tahun 1998. Runtuhnya rezim orde baru tersebut dimaknai sebagai perubahan arah pembangunan Indonesia di segala bidang kea rah yang demokratis terutama dalam bidang ekonomi dan politik yang dipasung semasa rezim otoriter Soeharto. Perubahan tersebut diartikan sebagai suatu era reformasi Indonesia. Mengenai sepak terjang kapitalisme pasca reformasi di Indonesia akan menjadi kajian utama dalam analisa data yang akan dibahas selanjutnya. Karena penelitian ini mencoba dari sudut pandang Marhaenisme memberikan penilaian kritis terhadap kapitalisme global yang menjadi kebijakan dalam negeri Indonesia pasca reformasi. Universitas Sumatera Utara BAB IV ANALISA DATA

V.1. Penilaian Kritis Marhaenisme Terhadap Kapitalisme Global