Demokratisasi Liberal Sistem Politik Indonesia

kapitalisme di bidang perburuhan yang mendapatkan legalitas dari negara pemerintah.

IV.1.3.3. Demokratisasi Liberal Sistem Politik Indonesia

Di awal telah dijelaskan, sejak kejatuhan rezim otoriter Soeharto pada tahun 1998, Indonesia mengalami reformasi baik di bidang ekonomi maupun politik. Dalam bidang politik, rakyat Indonesia menjadikan momentum reformasi sebagai suatu era kebebasan politik yang selama 32 tahun diatur secara paksa oleh rezim orde baru. Rezim orde baru secara teknis menggunakan landasan otoriterianisme dalam menyelenggarakan sistem politik di Indonesia demi menjaga stabilitas politik yang bertujuan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Secara yuridis, orde baru memang menganut sistem demokrasi, bahkan diistilahkan dengan demokrasi pancasila. Namun, dalam konteks implementasinya, praktek penyelenggaraan negara sama sekali tidak demokratis. Dalam perpolitikan Indonesia, banyak kebijakan yang dirumuskan oleh pemerintah orde baru pada dasarnya berusaha menjauhkan partisipasi politik dari lembaga-lembaga yang tidak bisa dikontrol pemerintah seperti partai politik, dan menyalurkan aspirasi ke badan-badan perwakilan yang dirancang oleh pemerintah berdasarkan fungsinya seperti Golongan Karya, HKTI Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, PGRI Persatuan Guru Republik Indonesia, dan lain sebagainya. Kebijakan lainnya adalah politik fusi pada tahun 1974. Dalam hal ini, partai-partai politik disederhanakan dengan cara memaksakan partai politik yang ada digabungkan ke dalam dua partai politik. Kebijakan tersebut oleh rezim Soeharto dijadikan sebagai sebuah penarikan pelajaran sejarah atas demokrasi Universitas Sumatera Utara yang ada di Indonesia. yakni demokrasi parlementer 1950-1959 yang menciptakan instabilitas politik hingga era demokrasi terpimpin 1959-1966. Selain itu, eksistensi partai politik semakin terasingkan dengan kebijakan massa mengambang floating mass melalui UU Kepartaian dan Pemilu yang menyatakan bahwa partai politik tidak diperbolehkan mendirikan cabang partai di tingkat kecamatan ke bawah, namun larangan tersebut tidak berlaku bagi golkar. 103 Hal diatas sedikit memberikan gambaran mengenai keadaan politik di Indonesia sebelum era reformasi. Kemudian sebagaimana diterangkan sebelumnya bahwa di saat rakyat Indonesia tengah bereforia atas kebebasannya, IMF sebagai instrumen kapitalisme global telah masuk ke Indonesia pemerintah menawarkan resep untuk pemulihan ekonomi Indonesia yang juga sangat penting Singkatnya, sistem politik yang dikembangkan di era orde baru menghalangi partisipasi rakyat dalam perumusan kebijakan. Pembuat kebijakan berada di tangan segelintir elit dari unsur birokrat, militer. Kondisi tersebut memang dibutuhkan oleh para kapitalis baik asing maupun domestik untuk tumbuhnya kapitalisme —yang hendak sempat dihilangkan pada era Soekarno— dengan merumuskan kebijakan yang kapitalistis bersama segelintir orang saja. Rezim otoriter tersebutlah yang melatarbelakangi rakyat Indonesia merasa bebas baik berbicara maupun berpolitik dengan jatuhnya Soeharto setelah sebelumnya mendapatkan intimidasi politik. Kejatuhan Soeharto menandakan rezim otoriter dan digantikan oleh demokrasi yang telah lama dinantikan oleh rakyat Indonesia. 103 Kuskrido Ambardi, Mengungkap Politik Kartel : Studi Tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi. Jakarta: KPG, 2009, hal. 89. Universitas Sumatera Utara berkaitan dengan bidang politik melalui seperangkat kebijakan yang tertuang dalam Letter of Intent LoI. Sebagaimana yang dikemukakan oleh para kalangan mainstreams yang disoroti dalam bidang politik Indonesia adalah, demokratisasi dan otonomi daerah, reformasi birokrasi, dan pemerintahan yang baik dan bersih. Orde baru dinilai terlalu dominan di sektor ekonomi dalam bentuk campur tangan pemerintah di pasar dan sektor publik serta kebijakan yang terpusat atau sentralistik akibat rezim yang otoriter, maka harus dilakukan demokratisasi terutama pada sistem politik dan pemberian hak otonom kepada daerah. Selanjutnya, birokrasi di Indonesia terlalu berbelit-belit, lambat dan tidak efisien, hal tersebut menghambat aktivitas ekonomi terutama produktivitas perekonomian nasional, jalan keluarnya adalah reformasi birokrasi. Dan terakhir bobroknya moral aparat pemerintah yang dinilai menjalankan praktek KKN Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, maka harus diciptakan pemerintahan yang baik dan bersih. Demokrasi di Indonesia era reformasi dalam konteks kepartaiannya, menganut sistem multi partai. Konsekuensinya adalah tumbuhnya partai-partai politik dalam jumlah yang banyak. Kondisi tersebut pun mirip dengan demokrasi yang pernah dianut di Indonesia pada dekade 1950-an. Alhasil, Indonesia telah menyelenggarakan Pemilihan umum selama tiga kali sejak era reformasi, yakni pemilu yang diselenggarakan tahun 1999 diikuti oleh 48 partai politik, pemilu tahun 2004 yang diikuti oleh 24 partai politik, dan pemilu tahun 2009 yang diikuti oleh 38 partai politik. Namun di sisi lain, sejalan dengan proses demokratisasi yang terjadi dalam sistem politik Indonesia tersebut, banyak terjadi intrik-intrik politik terutama yang Universitas Sumatera Utara dilakukan oleh partai-partai politik dalam rangka perebutan kekuasaan. Partai- partai politik tersebut memang memiliki ideologi atau platform politik yang berbeda-beda. Akan tetapi hal tersebut dewasa ini sedikit demi sedikit tereduksi oleh kepentingan partai politik itu sendiri. Kepentingan partai politik tersebut bukan semata-mata demi kepentingan konstituennya akan tetapi demi membangun partainya menjadi lebih mapan dan besar. Kepentingan tersebut yang mempertemukan partai-partai politik dan juga yang menimbulkan intrik-intrik politik, bukan berdasarkan kepada ideologi atau platform politik. Sebagai contoh adalah dalam setiap pemilu 1999, 2004,2009, partai- partai politik saling menawarkan konsep-konsep masing-masing yang bersifat ideologis, yang akan mereka terapkan bila mereka terpilih sebagai pemenang pemilu dan menduduki kekuasaan. Namun ketika mereka telah duduk dalam kursi kekuasaan, perbedaan tersebut nampak hilang dalam suatu bentuk koalisi. Koalisi tersebutlah yang mempertemukan partai-partai politik, akan tetapi bukan koalisi yang bersifat ideologis melainkan karena faktor kepentingan. Dewasa ini hal tersebut diistilahkan sebagai kartelisasi politik. 104 104 Kuskrido Ambardi menunjukkan adanya lima ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia, yakni 1 hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu koalisi partai; 2 sikap permisif dalam pembentukan koalisi; 3 tiadanya oposisi; 4 hasil-hasil pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan 5 kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Ibid, hal. 3. Selain itu, perubahan yang terjadi pada proses pemilu, yakni tidak hanya pemilihan untuk calon legislatif DPR dan DPD, akan tetapi dilakukan juga proses pemilihan secara langsung untuk menentukan presiden dan wakil presiden sejak tahun 2004. Dalam konteks ini agaknya, konsep demokrasi di Indonesia secara keseluruhan hampir meniru gaya demokrasi di Amerika Serikat. Universitas Sumatera Utara Pemilihan Presiden dan wakil presiden tersebut juga dapat dijadikan sebagai sarana persaingan antar partai politik sekaligus juga sarana pengakomodasian kepentingan partai politik. Kemudian, sebagai konsekuensi diterapkannya otonomi daerah maka pusat harus melimpahkan kekuasaannya kepada daerah desentralisasi. Untuk menentukan orang-orang yang duduk dalam kekuasaan eksekutif di daerah, maka diselenggarakan pemilihan umum kepada daerah Pemilukada. Arena tersebut pun hanya menjadi sarana perebutan kekuasaan semata. Buktinya adalah sejak digelarnya pemilukada tahun 2005, dari penyelenggaraan itu sendiri, banyak terjadi kecurangan atau pelanggaran dalam proses pemilu yang menggunakan rakyat sebagai alat pemberontakan. Jika dikaitkan lagi dengan biaya yang dikeluarkan untuk penyelenggaraan pemilu tersebut, maka akan ditemukan angka yang fantastis yang dikucurkan dari dana rakyat APBN. Untuk pemilu tahun 2004, biaya pemilu ditaksir mencapai tujuh triliun rupiah, dan terakhir pemilu tahun 2009, penyelenggaraanya mencapai dua puluh satu triliun rupiah. 105 Tidak sampai disitu saja kondisi tersebut kemudian membentuk sikap apatis dari rakyat terutama dalam urusan politik. Sikap tersebut ditunjukkan dari menurunnya angka partisipasi politik rakyat untuk menggunakan hak pilihnya dalam setiap penyelenggaraan pemilu mulai dari tahun 1999, 2004, dan 2009. terakhir pada pemilu 2009, angka golput golongan putih atau orang yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 40 dari jumlah keseluruhan rakyat Indonesia. Beberapa kalangan menilai bahwa demokrasi yang dijalankan di 105 Sidik Pramono, Anggaran Demokrasi : Berapa Harga Pemilu Kita? Dalam Kompas, kamis, 13 November 2008. Kolom Pemilu 2009, hal. 5. Universitas Sumatera Utara Indonesia selama reformasi hanyalah bersifat prosedural belaka tanpa melihat substansi dari demokrasi itu sendiri. 106 Demokrasi yang berlangsung sejak tahun 1999 memiliki kesamaan dan perbedaan dengan proses demokrasi yang berlangsung di Indonesia pada dekade 1950-an. Kesamaan tersebut terletak pada landasan yang dibangun untuk jalannya proses demokratisasi yakni liberalisme. Perbedaannya adalah pada saat itu Indonesia menganut sistem parlementer sedangkan saat ini menganut presidensial dengan multipartai. Sistem liberalisme berasal dari negara-negara yang menjalankan praktek kapitalisme yang sedang tumbuh. pendek kata, politik liberalisme merupakan falsafah politik dari kapitalisme yang sedang tumbuh. Beberapa hal yang digambarkan diatas merupakan wujud serta dampak dari proses demokratisasi yang tengah diselenggarakan di Indonesia. Rakyat memiliki akses politik yang luas tanpa takut diintimidasi oleh rezim yang berkuasa. Namun ada beberapa hal yang menjadi realitas negatif akibat dari proses demokratisasi di era reformasi tersebut. 107 Namun demokrasi semacam ini hanyalah menimbulkan pertentangan- pertentangan disana sini karena adanya polarisasi kepentingan yang sangat ekstrim akibat bertaburannya partai-partai politik. Dalam konteks ini, Soekarno menunjukkan carut marutnya perpolitikan Indonesia akibat tarik menarik kepentingan di parlemen dan di kabinet yang mengakibatkan instabilitas politik pada dekade 1950-an. Hal yang substansial, demokrasi sebagai alat untuk 106 KPU dan Pemilu 2009 dalam Kompas, Jumat, 28 November 2008, kolom tajuk rencana, hal. 4. 107 Ir. Soekarno, Op.Cit., hal. 33 Universitas Sumatera Utara membangun suatu masyarakat yang adil dan makmur tentu saja menjadi hilang maknanya dan tidak terealisasi dalam implementasinya. 108 Kedua, proses demokratisasi menghendaki adanya kebebasan berpolitik sehingga tumbuh partai-partai politik serta pemilu yang luber langsung, umum, bebas, rahasia serta jujur dan adil. Namun faktanya partai-partai politik bersikap oligarkis dengan memanfaatkan kekuasaan hanya untuk kepentingan partai atau kelompoknya. Banyaknya partai politik pun membuat kepentingan-kepentingan umum terpolarisasi menjadi kepentingan antar kelompok. Faktor kepentinganlah yang memisahkan dan mempertemukan partai politik bukan karena ideologi yang mereka usung. Watak tersebut jelas lahir dari sistem liberalisme yang Gambaran mengenai penyelenggaraan demokrasi pasca reformasi diatas cukup jelas mengindikasikan bahwa landasan tersebut dibangun dengan landasan liberalisme, dalam konteks ini landasan tersebut digunakan demi kepentingan kapitalisme bukan kepentingan rakyat Indonesia kebanyakan marhaen. Indikasi tersebut antara lain: Pertama, keterlibatan pihak asing kapitalis internasional dalam proses perumusan arah kebijakan negara untuk melewati krisis ekonomi dan politik di awal reformasi yakni intervensi IMF International Monetery Fund melalui Letter of Intent LoI dan Structural and Adjusment Programme SAP. Dalam garis besar, isu yang diusung untuk pemulihan politik di Indonesia adalah demokratisasi, otonomi daerah, reformasi birokrasi, dan pemerintahan yang baik dan bersih. 108 Ir. Soekarno, Penemuan Kembali Revolusi Kita The Rediscovery of Our Revolution, Pidato Presiden Republik Indonesia Pada hari Proklamasi Tanggal 17 Agustus 1959 dalam Tudjuh Bahan Pokok Indoktrinasi. Jakarta : Departemen Penerangan RI, 1964, hal. 34. Universitas Sumatera Utara menumbuhkan sikap reformis dan kompromis. 109 Ketiga, yakni rakyat yang memegang kedaulatan atas sistem demokrasi berlandaskan liberal tersebut nampaknya hanyalah digunakan sebagai alat menuju kekuasaan. Yang diuntungkan dari sistem tersebut adalah para pemburu rente Selain itu, pelaksanaan pemilu yang diselenggarakan sejak 1999 kemudian pada 2004 dikembangkan mekanismenya menjadi pemilu yang langsung dipilih rakyat hingga 2009 hanyalah bersifat prosedural belaka tanpa menghasilkan hal yang berguna sesuai tujuan demokrasi itu sendiri. Konsep tersebut tidak lain hanyalah tiruan atas gaya demokrasi di Amerika Serikat, konsep di Amerika Serikat itu sendiri tumbuh atas tuntutan sistem kapitalisme. Biaya besar yang dikorbankan demi menjalankan demokratisasi tersebut sama sekali bertolak belakang dengan output yang dihasilkan seperti perebutan kepentingan antar elit, intrik politik, KKN, dan lain sebagainya. 110 Setelah panjang lebar diuraikan bagaimana analisis teori Marhaenisme terhadap sistem yang kini bercokol di Indonesia, yakni kapitalisme yang telah berkembang seiring perkembangan zaman hingga mampu menembus pagar-pagar batas teritorial antar negara. Maka, perlulah ada suatu resolusi atas analisis , kapitalis domestik ataupun asing, birokrat, dan lain-lain. Pada intinya, paham demokrasi yang liberal sama sekali tidak mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat marhaen sebagaimana dicita-citakan dalam konsep demokrasi itu sendiri.

IV.2. Gambaran Cita-Cita Masyarakat Marhaenisme