BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur’an yang secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah swt yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan pun
sejak manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat menandingi Al-Qur’an, bacaan sempurna lagi mulia. Tiada bacaan semacam
Al-Qur’an yang dibaca oleh ratusan juta orang yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh
orang dewasa, remaja, dan anak-anak. Bahkan orientalis H.A.R. Gibb sebagaimana yang dikuti oleh M. Quraish Shihab pernah menulis bahwa tidak ada
seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan “alat” bernada nyaring yang demikian mampu dan berani, serta demikian luas getaran jiwa yang
diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad saw Al-Qur’an.
1
Allah swt berfirman dalam surat Al-‘Alaq ayat 1-5 yang berbunyi:
“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu
lah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.
1
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, Bandung: Mizan, 1998, cet. Ke-7, h. 3
Mengapa iqra’ merupakan perintah pertama yang ditujukan kepada Nabi, padahal beliau seorang ummi yang tidak pandai membaca dan menulis? Kata
iqra’ terambil dari akar kata yang berarti “menghimpun”, sehingga tidak selalu harus diartikan “membaca teks tertulis dengan aksara tertentu”. Dari menghimpun
lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca, baik tertulis maupun tidak.
2
Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah cirri-ciri sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri sendiri, yang tertulis dan
tidak tertulis. Alhasil objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.
3
Meski demikian, penting juga memiliki kemampuan membaca teks tertulis khususnya teks Al-Qur’an yang memang banyak keutamaannya jika
dibaca baik mengerti ataupun tidak akan maknanya. Tidak sedikit keterangan-keterangan yang menyatakan keutamaan
membaca Al-Qur’an, di antaranya firman Allah swt dalam surat Faathir ayat 29- 30 yang berbunyi:
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat serta menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami
anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah
menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” Q.S.
Faathir: 29-30.
4
Belajar membaca Al-Qur’an seharusnya dimulai sejak usia dini yaitu masa kanak-kanak. Sebab, pada usia ini potensi anak sangat bagus dalam menerima
pelajaran. Maka tidak heran jika masyarakat Indonesia terdahulu, terutama yang
2
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat... h. 5
3
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat... h. 5
4
M. Shahib Thahar, Al-Qur’an dan Terjemahan, Jakarta: PT. Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2007.
muslim, mengajarkan putera-puterinya membaca Al-Qur’an pada usia kanak- kanak. Tradisi seperti ini pun masih berkembang saat ini terutama di pedesaan
yang sering disebut “Mengaji Al-Qur’an”.
5
Namun menurut Prof. Dr. Djalaludin, belakangan ini kemampuan membaca Al-Qur’an secara kuantitas dikalangan umat Islam semakin menurun.
Keadaan ini kian hari semakin memprihatinkan khususnya di kalangan remaja. Kondisi ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya orientasi
berpikir masyarakat kita yang mengarah kepada pemikiran pengetahuan praktis dan dapat menunjang kehidupan duniawi. Maka tidak aneh jika pengajaran
membaca Al-Qur’an kalah bersaing dengan pengetahuan lainnya. Selain itu, kesempatan yang jarang, metode yang berangsur kurang diminati, dan aksara
bahasa Arab yang dianggap sulit, turut menjadi faktor penyebab menurunnya kuantitas umat Islam yang mampu membaca Al-Qur’an.
6
Para ulama terdahulu telah membuktikan betapa pentingnya belajar membaca Al-Qur’an sejak usia dini. Sehingga mereka mampu menghafal
keseluruhan isi Al-Qur’an pada usia yang sangat muda. Imam Syafi’i mampu menghafal Al-Qur’an pada usia tujuh tahun, Ibnu Sina pada usia sepuluh tahun,
dan Sahl bin Abdullah At-Tustari mampu menghafalnya pada usia enam atau tujuh tahun.
7
Meskipun mempelajari ilmu tajwid sebagai disiplin ilmu adalah fardhu kifayah atau kewajiban kolektif, namun hukum membaca Al-Qur’an dengan
memakai aturan-aturan hukum tajwid ialah fardhu ‘ain. Hal ini tidaklah bertentangan dengan firman Allah swt., pada surat Al-Muzammil ayat 4 yang
berbunyi “...wa rattilil qur’ana tartiilaa” “…Dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil”.
8
Meski demikian, bukan berarti kita enggan membaca Al-Qur’an dengan dalih belum menguasai ilmu tajwid. Tetapi kita dituntut untuk terus
mempelajarinya hingga sampai pada tahap mampu.
5
Djalaludin, Metode Tunjuk Silang Belajar Membaca Al-Qur’an, Jakarta: Kalam Mulia, 2004, cet. Ke-6, h. 3.
6
Djalaludin, Metode Tunjuk Silang Belajar Membaca Al-Qur’an... h. 4-7.
7
M. Nur Abduh Hafizh, Mendidik Anak Bersama Rosulullah, Bandung: Al Bayan, 1997, cet. Ke-1, h. 145.
8
Acep Iim Abdurohim, Pedoman Ilmu Tajwid Lengkap, Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2004, cet. Ke-10, h. 2-6.
Sedemikian pentingnya membaca Al-Qur’an, sehingga sudah saatnya pihak-pihak yang terkait membuka mata untuk berperan aktif dalam memberantas
buta aksara Al-Qur’an. Kemudian muncul pertanyaan, siapakah yang berperan aktif dalam mengatasi kesulitan membaca Al-Qur’an setelah diketahui betapa
pentingnya kemampuan tersebut dimiliki setiap muslim? Untuk menjawab pertanyaant ersebut, penulis mengutip sabda Rosulullah saw., yang berbunyi :
ْﻦَﻋ ﻲِﺑَأ
ِﺪْﺒَﻋ ِﻦَﻤْﺣﱠﺮﻟا
ْﻦَﻋ َنﺎَﻤْﺜُﻋ
ِﻦْﺑ َنﺎﱠﻔَﻋ
ﱠنَأ َلﻮُﺳَر
ِﮫﱠﻠﻟا ﱠﻠَﺻ
ﻰ ُﮫﱠﻠﻟا
ِﮫْﯿَﻠَﻋ َﻢﱠﻠَﺳَو
َلﺎَﻗ ْﻢُﻛُﺮْﯿَﺧ
ْﻦَﻣ َﻢﱠﻠَﻌَﺗ
َنآْﺮُﻘْﻟا ُﮫَﻤﱠﻠَﻋَو
“Dari Abi Abdirahman dari Utsman bin ‘Affan Rasulullah saw bersabda: Sebaik-baik di antara kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan
mengajarkannya” HR. Imam At-Turmudzi
9
Dari sabda nabi di atas, secara eksplisit dapat dipetik kesimpulan bahwa yang sudah lebih dahulu mampu membaca Al-Qur’an, maka dia harus
mengajarkannya kepada yang belum memiliki kemampuan tersebut. Karena memang biasanya yang memberikan pelajaran adalah orang yang lebih tahu atau
mampu terlebih dahulu daripada orang yang diajarkan. Memang jawaban ini belum sepenuhnya menjawab pertanyaan di atas karena masih menyisakan
pertanyaan, siapa atau profesi apa atau lembaga apa yang harus berperan aktif dalam mengentas buta huruf Al-Qur’an?
Seseorang dapat menerima pelajaran dari setiap yang ada di sekitarnya atau di mana ia berada. Dia dapat belajar dari keluarga, sekolah, bahkan
masyarakat. Ketiga komponen tersebut saling berkaitan dan saling mendukung satu sama lain. Namun, dalam tulisan yang sederhana ini penulis berusaha fokus
hanya pada lingkungan sekolah yang merupakan lembaga terbaik yang dapat membantu remaja pada masa yang sensitif. Sekolah adalah lembaga penting yang
memikul tanggung jawab yang berat. Sekolah tidak hanya berkewajiban menyampaikan ilmu, tetapi juga berkewajiban mendidik mental dan akhlak
anak.
10
Maka tidak berlebihan jika baik tidaknya seseorang dapat dilihat di mana ia bersekolah.
Di dalam sekolah pun banyak komponen yang mendukung berhasil atau tidaknya proses pembelajaran. Salah satunya adalah guru yang merupakan bagian
9
Imam Turmudzi, Sunan At-Turmuzi, Juz X, Bairut: Daarul Fikri, 1994, h. 149.
10
Ibrahim Amini, Agar Tak Salah Mendidik, Jakarta: Al-Huda, 2006, cet. Ke-1, h. 115.
komponen terpenting yang berperan aktif di sekolah. Dalam hal membaca Al-Qur’an, tentu guru agama Islam bertanggung jawab akan hal tersebut, meski
harus bekerja sama dengan pihak-pihak lain yang terkait. Sebab, mereka juga yang berkewajiban menyampaikan pesan-pesan agama yang sekurang-kurangnya
meliputi tiga aspek, yaitu aspek iman yang meliputi seluruh rukun iman, aspek ibadah yang meliputi rukun Islam, dan aspek akhlak. Dengan demikian, guru
agama Islam yang bertanggung jawab penuh atas kemampuan siswanya dalam hal membaca Al-Qur’an. Paling tidak mereka yang bertugas membina dan memantau
perkembangan anak didikinya dalam kemampuan membaca Al-Qur’an. Selain itu, guru agama Islam juga harus berusaha mengubah pandangan
sebagian orang seperti Mochtar Buchori yang dikutip oleh H. Muhaimin yang menilai bahwa pendidikan agama masih gagal dikarenakan hanya memperhatikan
aspek kognitif, dengan mengabaikan aspek afektif dan konatif-volatif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama.
11
Terkait dengan permasalahan di atas, penulis mendapati beberapa permasalahan berkaitan dengan apa yang telah penulis paparkan terdahulu ketika
penulis melakukan Praktik Profesi Keguruan Terpadu PPKT selama kurang lebih empat bulan berada di SMP Negeri 17 Tangerang Selatan. Adapun
permasalahan yang penulis temui di lapangan dan akan penulis angkat ke dalam karya tulis ini ialah tidak sedikitnya siswa-siswi yang belum mampu atau belum
lancar dalam membaca Al-Qur’an. Ada di antara mereka yang sudah duduk di kelas VIII, itu artinya sudah kurang lebih dua semester mereka bertatap muka
dengan guru agama Islam pada proses pembelajaran. Sehingga penulis ingin meneliti lebih dalam lagi mengenai peranan guru agama Islam di SMP Negeri 17
Tangerang Selatan dalam mengatasi kesulitan siswa dalam membaca Al-Qur’an, sehingga diperoleh informasi yang jelas tentang sejauh mana peranan guru agama
Islam dalam mengatasi kesulitan siswa membaca Al-Qur’an. Sebab, salah satu indikator keberhasilan pendidikan agama Islam di sekolah adalah siswa mampu
membaca kitab Al-Qur’an dan berusaha memahaminya.
12
11
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah, dan Perguruan Tinggi, Jakarta: Rajawali Pers, 2009, cet. Ke-1, h. 23.
12
Sahilun A. Nasir, Peranan Pendidikan Agama terhadap Pemecahan Problema Remaja, Jakarta: Kalam Mulia, 2002, cet. Ke-2, h. 52
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis melakukan penelitian yang lebih mendalam dan menuangkannya ke dalam bentuk skripsi yang berjudul
“Peranan Guru Agama Islam dalam Mengatasi Kesulitan Siswa Membaca Al-Qur’an Studi Kasus di SMP Negeri 17 Tangerang Selatan”.
B. Identifikasi Masalah