45
B. Posisi Ideologi
Ideologi dalam penerjemahan selalu muncul pada proses dan produk
penerjemahan yang keduanya saling berhubungan erat. Sebelum menerjemahkan,
seorang penerjemah harus mengetahui untuk siapa audience design dan untuk tujuan apa needs analysis dia menerjemahkan. Proses ini merupakan salah satu
proses yang tidak dapat diabaikan dalam menerjemahkan karena merupakan proses awal dalam menetukan metode penerjemahan yang akan dan harus
digunakan. Ideologi dalam penerjemahan adalah prinsip atau keyakinan tentang benar-salah correctness atau baik-buruk good or bad translation dalam
sebuah penerjemahan, dalam arti terjemahan seperti apa yang terbaik bagi masyarakat pembaca Bsa atau terjemahan seperti apa yang cocok dan disukai
pembaca sasaran. Sebagian penerjemah menganggap bahwa penerjemahan dikatakan benar
bila teks terjemahan telah menyampaikan pesan teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran secara tepat. Keberterimaan kemudian menjadi sesuatu yang tidak
diperhatikan. Sebagian yang lain menganggap teks terjemahan yang benar adalah teks terjemahan dengan keberterimaan yang tinggi, teks terjemahan yang
memenuhi kaidah-kaidah bahasa sasaran baik kaidah gramatika maupun kaidah kultural.
51
Ada dua ideologi besar di dalam proses penerjemahan yang oleh Venuti 1995 dikemukakan dengan istilah domesticating translation dan foreignizing
translation. Kedua ideologi tersebut akan Penulis paparkan di bawah ini.
51
Benny Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 83.
46
1
Domesticating Translation
Yang pertama adalah ideologi yang mengatakan bahwa terjemahan yang baik adalah terjemahan yang mengacu pada bahasa sasaran. Ideologi ini disebut
lokalisasi atau domestikasi. Jadi, sebuah teks terjemahan dikatakan baik, berterima, dan benar apabila bisa dipahami oleh pembaca bahasa target. Teks
terjemahan tersebut haruslah tidak terdengar seperti teks terjemahan, seakan-akan sebuah karya asli bahasa yang bersangkutan.
52
Dalam kaitan dengan kutub domestikasi ini, seorang penerjemah perlu mengetahui mengapa suatu teks itu diterjemahkan dan apa fungsi dari teks
terjemahan tersebut karena setiap teks yang dihasilkan pasti mempunyai tujuan tertentu dan teks tersebut harus bisa memenuhi tujuan yang akan dituju.
Penerapan ideologi ini akan tampak pada penggunaan metode penerjemahan adaptasi, bebas, idiomatis, dan komunikatif.
Menurut Mazi-Leskovar 2003, seperti yang dikutip Sumardiono, domestikasi atau lokalisasi mengacu pada semua perubahan pada semua tingkat
teks untuk membuat pembaca sasaran yang berasal dari Negara lain atau tinggal di wilayah geografis yang berbeda dengan pengalaman sosio-kultural dan latar
belakang budaya yang berbeda bisa memahami teks terjemahan dengan baik.
52
Kecenderungan seperti ini sudah dicetuskan sebelumnya oleh para pakar teori penerjemahan. Nida dan Taber dalam Hoed secara tegas mengemukakan bahwa penerjemahan
yang baik itu berorientasi pada keberterimaan kebudayaan dalam bahasa pembacanya. Kedua pakar ini menganut dua kutub ideologi yaitu transparansi dan domestication. Ibid, h. 84-85.
47 Perubahan pada teks terjemahan dengan demikian merupakan suatu hal yang
dirasa oleh pengarang sebagai upaya untuk meningkatkat keberterimaan teks.
53
Pada beberapa teks terjemahan novel atau bentuk karya prosa lain, upaya lokalisasi dilakukan antara lain dengan melokalisasi nama-nama tokoh cerita
dengan penggunaan nama dengan pengucapan yang lebih mudah diucapkan pembaca. Pada novel Romeo and Juliet, misalnya, pada versi bahasa Indonesia
diganti dengan Romi dan Yuli. Perubahan ini tentu dimaksudkan tidak saja agar pembaca Indonesia lebih mudah mengucapkannya, tapi juga agar tokoh-tokoh
tersebut terasa lebih dekat dengan kultur pembaca Indonesia. Pada contoh kasus lainnya, misalnya yang dilakukan oleh penerjemah
Slovenia, penerjemah mengubah nama tokoh Tom dengan Tomaz, sebuah nama varian yang terdengar lebih akrab bagi pembaca Slovenian. Penerjemah bahkan
melakukan domestikasi dengan memperpendek judul, dan, selain mengubah nama tokoh-tokoh hero yang lain, menghilangkan sebagian informasi yang dianggap
terlalu detail bagi rata-rata pembaca dan figure-figur politik yang tidak dikenal oleh khalayak Slovenia Mazi-Leskovar, 2003:5.
Pada terjemahan karya sastra tertentu, penerjemah bisa menghubungkan isu sebuah peristiwa atau fenomena sosial tertentu dalam teks bahasa sumber ke
dalam fenomena yang mirip terjadi di dalam masyarakat pembaca bahasa sasaran. Misalnya kasus perbudakan masyarakat Amerika abad 19 dihubungkan dengan
53
Sumardiono, Ideologi Penerjemahan dan Penerjemahan Ideologi teori penerjemahan, Linguistik Penerjemahan, Sekolah Pasca Sarjana UNS, tahun 2007.
48 isu perlakuan majikan terhadap buruh. Di sini penerjemah menunjukan bahwa
perlakuan buruk para majikan pada buruhnya pada dasarnya adalah sama dengan perbudakan yang terjadi pada masyarakat lain. Pengandaian ini akan membuat
pembaca lebih bisa memahami bagaimana situasi masyarakat yang diceritakan di dalam novel dengan membandingkannya dengan situasi riil yang ada dalam
kehidupannya. Ini merupakan alat yang ampuh untuk membawa teks terjemahan lebih dekat kepada pembaca target dengan menggambarkan dua situasi yang mirip
tapi dengan konteks kultural yang berbeda. Lokalisasi bisa dilakukan untuk memenuhi kaidah sopan santun yang
berlaku pasa masyarakat bahasa sasaran. Ada ungkapan-ungkapan tertentu yang kalau diterjemahkan secara harfiah akan menimbulkan ketidakberterimaan secara
kultural pada masyarakat bahasa sasaran. Bila seorang penerjemah menjumpai kasus seperti ini, dia harus dengan pandai berusaha mencari padanan terdekat
tanpa harus melanggar norma yang dituntut masyarakat bahasa sasaran. Lokalisasi mungkin juga dilakukan karena alasan politis atau ideologi.
Penerjemah kadang karena alasan tertentu atau pesan dari pihak tertentu menggunakan penerjemahan sebagai alat untuk mendukung atau menyampaikan
tujuan dari sebuah ideologi yang mereka anut atau yang mereka sukai. Keberadaan ideologi dalam mempengaruhi teks terjemahan dan memberi warna
ideologi penganutnya sudah berlangsung lama.
49
2
Foreignizing Translation
Ideologi ini bermakna bahwa terjemahan yang baik adalah terjemahan yang mengacu pada bahasa sumber atau dengan kata lain teks terjemahan yang
baik adalah teks terjemahan yang masih mempertahankan bentuk-bentuk atau gaya-gaya bahasa sumber termasuk unsur-unsur kulturalnya. Menurut penganut
ini, mempertahankan teks bahasa sumber merupakan simbol kebenaran. Ideologi ini disebut foreignisasi.
Penerjemah sepenuhnya berada di bawah kendali penulis TSu. Di sini yang menonjol adalah suatu aspek kebudayaan asing yang diungkapkan dalam
bahasa pembaca. Sekait dengan Diagram-V dari Newmark, metode yang dipilih biasanya juga metode yang berorientasi pada Bsu, yaitu cenderung menggunakan
jenis penerjemahan kata perkata, harfiah, penerjemahan setia, dan penerjemahan semantik.
Sekait dengan ideologi ini, sebagai ilustrasi eorang penerjemah tidak menerjemahkan kata-kata Mr, Mrs, Mom, Dad dan sejumlah kata asing lainnya
dalam penerjemahan dari bahasa Inggris dengan alasan sapaan seperti itu tidak lagi asing bagi pembaca Indonesia, hal ini merupakan ciri bahwa penerjemah
tersebut penganut ideologi Foreignizing Translation. Alasan lain yang dapat dikemukakan adalah agar anak-anak memperoleh pengetahuan kebudayaan lain.
Seorang penerjemah pada saat tertentu akan berhadapan dengan bentuk atau istilah atau apapun dari teks bahasa sumber yang kemudian memerlukan
pertimbangan khusus apakah ia harus mempertahankan bentuk seperti yang terdapat dalam bahasa sumber karena pertimbangan-pertimbangan tertentu
50 ataukah harus merubah untuk memudahkan pembaca memahami.dengan cara
membuat sesuatu yang lebih dekat dengan khalayak pembaca. Foreignisasi pada konteks penerjemahan adalah upaya mempertahankan
apa yang asing dan tidak lazim pada konteks bacaan pembaca target tapi merupaka hal yang lazim, unik, dan khas dari budaya bahasa sumber Mazi-
Leskovar, 2003:5. Menurut penganut ini, terjemahan yang bagus adalah terjemahan yang tetap mempertahankan gaya, dan cita rasa kultural bahasa
sumber. Mempertahankan apa yang terdapat pada teks bahasa sumber adalah symbol ‘kebenaran’ menurut penganut ini. Menurut Mazi-Leskovar 2003
foreignisasi pada konteks penerjemahan adalah upaya mempertahankan apa yang asing dan tidak lazim pada konteks bacaan pembaca target tapi merupakan hal
yang lazim, unik, dan khas dari budaya bahasa sumber. Dengan paradigma ini , terjemahan yang bagus adalah terjemahan yang tetap mempertahankan gaya, dan
cita rasa kultural bahasa sumber. Kebenaran, menurut paradigma ini, dilakukan dengan mempertahankan apa adanya yang terdapat pada teks bahasa sumber.
Penerjemahan yang ‘benar’, ‘berterima’, dan ‘baik’ adalah yang sesuai dengan selera dan harapan sidang pembaca yang menginginkan kehadiran
kebudayaan bahasa sumber Hoed, 2003:4. Pemakaian kata sapaan system kekerabatan seperti uncle, aunty atau Sir, misalnya, akan membuat pembaca
memahami kultur bahasa sumber dan secara tidak langsung telah belajar kultur bahasa sumber ketika membaca karya terjemahan.
Ketika berhadapan dengan teks atau istilah atau konsep yang sulit ditemukan padanannya dalam bahasa sasaran, seorang penerjemah mempunyai
51 dua pilihan. Apakah ia akan mempertahankan seperti bentuk aslinya dalam bahasa
sumber yang dengan begitu dia mempertahankan keakuratan teks atau ia berusakha menggunakan sesuatu yang sudah dikenali oleh pembaca meskipun
dengan resiko keakuratan penerjemahan menjadi berkurang. Ada berbagai alasan kenapa seorang penerjemah melakukan lokalisasi bisa
karena alasan agar teks terjemahan lebih mudah dipahami oleh khalayak pembaca. Bisa juga seorang penerjemah melakukan strategi lokalisasi karena alasan nilai-
nilai kultural, misalnya karena alasan kesopanan bahasa sasaran yang tidak memungkinkan penerjemah menerjemahkan teks bahasa sumber secara apa
adanya, tapi harus memperhalusnya dengan ungkapan local yang lebih diterima. Alasan lain yang melatarbelakangi proses lokalisasi adalah alasan ideologi atau
alasan politik. Ideology dan politik yang diyakini penerjemah akan ikut mempengaruhi hasil terjemahannya.
Perdebatan mengenai penggunaan domestikasi dan foreignisasi menjadi perhatian para ahli teori penerjemahan sudah sejak lama. Venuti membahas dua
teknik tersebut dalam bukunya, “The Translator Invisibility”, 1995. Venuti melakukan penelitian dalam bidang penerjemahan pada budaya Anglo-Amerika.
Dia menemukan banyak penerbit cenderung menggunakan domestikasi dalam menerjemahkan teks advokasi karena mempermudah pembaca. Kecenderungan
ini dilakukan untuk menjaga eksistensi atau nama si penerjemah di wilayah tersebut.
Menurut Venuti, hal ini membuat penerjemah mendapat pengakuan terhadap eksistensinya, namun di sisi lain adanya etnosentris terhadap nilai
52 budaya bahasa target ibid: 20. Dengan domestikasi cita rasa budaya dalam
bahasa sumber bisa jadi tidak tersampaikan dalam bahasa target. Untuk mencegah terjadinya masalah budaya, Venuti menyarankan penggunaan foreignisasi sebagai
solusi terhadap perselisihan penerjemahan istilah-istilah budaya. Foreignisasi diperkenalkan oleh Schleimacher yang mendefinisikan foreignisasi sebagai, “The
translator .....moves the reader to words the writer” sebagaimana yang dinyatakan dalam Hatim, 2001: 46.
Jika foreignisasi dilakukan dalam penerjemahan, pembaca bahasa sasaran akan merasakan keberadaan si penerjemah dan mereka akan mengatakan bahwa
mereka sedang membaca teks terjemahan, Munday, 2001: 147. Solusi ini akan menjaga reputasi penerjemah dan memperlihatkan peran penting penerjemah,
Venuti 1995. Dari berbagai alasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan domestikasi dan foreignisasi sepenuhnya ada di tangan si penerjemah.
Seorang penerjemah dengan berbagai pertimbangan akan memutuskan ideologi mana yang ia gunakan dalam menerjemahkan teks sumber.
53
BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN