diperiksa oleh petugas firma yang memperjualbelikan manusia itu, mereka ditolak untuk diberangkatkan ke Deli. Alasannya, karena pegawai itu mencela wajah mereka
yang jelek. Dua diantaranya malah punya cacat di tangannya. Sehingga mereka diusir dan terlunta-lunta di jalanan. Siang hari mereka mengemis, mendatangi pasar-pasar,
mengais-ngais tong sampah seperti kucing pasar demi mendapatkan makanan. Sore sampai malam, mereka duduk di dekat warung atau pinggiran tanah lapang yang
menggelar keramaian. Mereka melakukan itu dengan harapan, melalui pelacuran mereka bisa memperoleh uang untuk biaya pulang ke kampungnya.
“Aku telah bertemu tiga perempuan: Mbok Jati, Mbok Saminah dan Mbok marto. Mereka berasal dari tiga desa berbeda di Pulau Jawa.
Mereka tidak saling mengenal namun nasib buruk mempertemukan mereka di kota yang sama: Semarang. Aku telah bertanya bagaimana
mereka bisa sampai ke Semarang. Dalam bahasa Jawa yang terbata-bata mereka mengatakan, “kemiskinan… kemiskinan… kemiskinan itu…
uang muka… uang muka yang menggiurkan itu…” Ini semua membuat mereka memutuskan meninggalkan desa mereka di Paras, Muntilan, dan
Balapan” BDSHKC:18
Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa kemiskinanlah yang menyebabkan orang-orang Jawa itu bersedia untuk dipekerjakan di Deli.
3.2.2.2 Setelah Menjadi Kuli
Dalam novel BDSHKC, Di Deli, nasib perempuan jauh dari kehidupan yang layak. Kesejahteraan hidup mereka tidak pernah diperhatikan oleh tuan kebun.
Mereka hanya dianggap sebagai perempuan sundal yang suka melacurkan diri. Seperti yang dialami oleh dua orang kuli yang bekerja di perkebunan Bedagei.
Mereka sudah sebulan tidak mendapatkan upah. Tuan Asisten tidak membayar
Universitas Sumatera Utara
dengan alasan tidak ada pekerjaan untuk mereka, kuli-kuli perempuan itu sengaja dibiarkan kelaparan, sehingga ketika mereka tidak sanggup lagi menahan lapar,
dengan terpaksa mereka akan melacurkan diri. Tuan-tuan kebun itu sengaja membiarkan perempuan-perempuan Jawa itu kelaparan hingga mereka kemudian
dijadikan santapan oleh kuli-kuli Cina. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini. “Kuli-kuli perempuan itu tidak bisa mencari kerja di tempat lain karena
masih terikat kontrak dengan perusahaannya. Jadilah, selama sebulan mereka tidak punya pendapatan. Saat lapar sudah tak tertahankan,
mereka memberanikan diri menemui asisten untuk meminta pekerjaan. Hanya dengan demikian mereka bisa mendapatkan upah. Bukankah
mereka bekerja sesuai perintah? Setelah berjongkok beberapa jam di pekarangan rumah asisten, mandor kemudian mendatangani dan
memberitahu kalau asisten tidak mau menerima mereka karena dia tidak ingin mengotori lidahnya dengan berbicara pada mereka. Sebelumnya,
kepada mandor, asisten berkata, “Biarlah mereka mencari beberapa sen dengan cara mereka sendiri. Bukankah mereka bisa melacur? Toh,
masih ada orang-orang Cina di perkebunan.” BDSHKC:147
Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa para tuan kebun itu sengaja memiskinkan kuli-kuli perempuan hanya untuk memuluskan tujuan mereka. Melacur
secara sukarela namun terpaksa demi memenuhi kebutuhan hidup. Biasanya kuli perempuan yang direkrut masih berusia muda dan hampir
semuanya orang Jawa. Walau tidak secara terang-terangan dipaksa melacurkan diri, mereka hanya diberikan sedikit pillihan selain berbuat demikian. Melayani
kebutuhan-kebutuhan seksual dan pelayanan rumah tangga dari para pekerja lelaki dan pihak tuan kebun lebih merupakan keharusan daripada pilihan. Para tuan kebun
selalu mengusahakan agar perempuan tetap tersedia dan bersedia memberikan pelayanan tersebut. Karena kuli-kuli perempuan merupakan bagian dari umpan yang
Universitas Sumatera Utara
digunakan untuk memikat pekerja lelaki ke Deli atau sebagai bagian pelipur lara yang diharapkan untuk mencegah orang-orang Cina melarikan diri dari pekerjaannya di
perkebunan. Perempuan-perempuan Jawa, baik lahir dan batin, sangat menderita.
Walaupun begitu, tuan kebun menanggapi hal itu bukan sesuatu yang serius. Mereka menganggap bahwa, kuli-kuli perempuan itu pada dasarnya adalah pelacur dan sejak
dari tanah asalnya, perempuan-perempuan Jawa memiliki sifat dasar untuk melacurkan sendiri. Oleh karena itu, setiap tahunnya ratusan perempuan muda yang
telah direkrut sebagai kuli kontrak menghidupi diri mereka sendiri dengan melayani para penghuni bujangan yang berjumlah besar di barak-barak kuli Cina dan kuli Jawa.
“Setiap tahun ada ratusan perempuan muda dari Jawa didatangkan ke Deli. Sebagian besar mereka dibeli untuk dikorbankan bagi orang-orang
Cina. Setiap orang yang mengenal Deli tahu, kuli-kuli perempuan Jawa tidak mendapat upah yang cukup untuk makan.
“Seorang tuan kebun pernah mengajakku berkeliling di perkebunannya. Dia membiarkanku melihat rumah-rumah yang disediakannya bagi kuli-
kuli Cina dan kuli-kuli pria dari Jawa. Aku bertanya kepada seorang di antara mereka, “Di mana perempuan-perempuan Jawa tinggal?” tuan
kebun itu menjawab, “Perusahaan tidak memberikan rumah bagi perempuan-perempuan Jawa melainkan merekalah yang harus mencari
sendiri” BDSHKC:146
Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa kuli perempuan selalu mendapatkan ketidakadilan dari para tuan kebun. Mereka tidak diberikan tempat tinggal dan hanya
mendapatkan upah yang sangat kecil. Upah yang sangat kecil ini tentu saja membuat mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup. Kebutuhan hidup di perkebunan
yang sangat mahal hanya bisa mereka hadapi dengan jalan melacurkan diri.
Universitas Sumatera Utara
“Aku mengetahui beberapa perusahaan yang secara rutin memotong upah kuli-kulinya dalam jumlah yang lebih besar lagi. Kuli-kuli
perempuan Jawa hanya menerima 2,20 dolar setelah dipotong sana-sini. Dengan demikian, tidak sampai 7 sen per hari
Mari berhitung Di luar lauk pauk dan sirih, mereka memerlukan 13 sen setiap harinya
untuk makan. Tahukah Anda, harga-harga kebutuhan begitu mahal di perkebunan. Aku telah menghitung. Setiap kuli perempuan
membutuhkan 15 sen untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Kenyataan yang ada menunjukkan, seorang kuli Jawa tidak pernah bisa mencukupi
keperluan hidupnya sehari-hari.” BDSHKC:133
Kuli perempuan Jawa biasanya dipekerjakan untuk menyortir daun tembakau yang telah dipanen. Selintas, pekerjaan itu tampaknya tidak membuat badan letih
namun membuat urat-urat menjadi tegang. Pekerjaan menyortir ini membutuhkan ketelitian yang tinggi. Sepanjang hari kuli-kuli perempuan itu harus
mengelompokkan daun-daun tembakau berdasarkan warnanya, kuning, kuning muda, kuning tua, juga dari panjang dan lebarnya serta kerataannya. Bila ada yang salah
memilah, hasil kerja mereka akan ditolak dan dikembalikan. Itu berarti upah mereka yang sudah sangat kecil akan lebih menyusut lagi. Selain di bangsal penyortiran, kuli-
kuli perempuan juga ditempatkan di bagian lain. Beberapa ditugaskan untuk menyapu dan membersihkan pekarangan kantor utama. Ada juga yang ditugaskan mengeruk
kerikil di sungai dan mengosongkan tong-tong tinja di rumah tuan-tuan kebun. Begitulah pekerjaan mereka sehari-hari, memikul tugas yang berat, namun tidak
mendapatkan upah yang seharusnya. Di Deli, kuli kontrak akhirnya menjadi suatu istilah yang menunjukkan betapa
parahnya kehidupan manusia. Kontrak yang selalu mengikat menjadikan hidup mereka selalu diwarnai ketidakadilan. Kondisi dalam perkebunan memperlihatkan
Universitas Sumatera Utara
dengan jelas ketimpangan kesejahteraan antara tuan kebun dengan para kuli kontrak. Upah yang tidak sesuai dengan pekerjaan yang mereka terima pun kerapkali
dimanipulasi oleh potongan-potongan yang wajib mereka bayar. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.
“Upah kuli dibayar setelah dipotong sana-sini. Kuli dikenakan potongan biaya membersihkan lahan; bayaran pembelian peralatan yang
digunakan atau pergantian alat yang rusak; cicilan persekot uang saat meneken kontrak; biaya pengeluaran perusahaan berupa upah tukang
cukur, juru masak, dan penjaga bangsal dan kongsi.” BDSHKC:137
Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa upah yang mereka terima tentunya akan bertambah kecil setelah potongan-potongan tersebut, sehingga membuat
kehidupan mereka bertambah melarat. Apalagi upah yang selama ini mereka terima pun adalah merupakan rekayasa dari tuan kebun.
“Di atas segalanya, upah kuli dibayar dengan ringgit. Kuli-kuli tentu tidak perlu tahu kalau ringgit yang mereka terima sesungguhnya adalah
ringgit murahan. Jangan dikira itu pasmat, ringgit Betawi yang berlaku di Jawa yang nilainya setara dengan rijksdaalder atau 2,50 gulden itu.
Ringgit yang dipakai di Deli adalah ringgit merikaan, biasa juga disebut ringgit meriam, ringgit janik, atau ringgit burung. Harganya lebih
murah, berkisar 1,86-1,90 gulden. Banyak kuli meneken kontrak karena tidak mengerti perbedaan ini. Bila digaji 6 ringgit sebulan, mereka
menduga akan mendapatkan 15 gulden. Kenyataannya hanya 7 gulden BDSHKC:137
Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa upah yang didapatkan kuli setelah bekerja berat pun ternyata merupakan tipuan dari tuan kebun. Hal ini dilakukan oleh
tuan kebun tentunya demi keuntungan mereka sendiri. Gajian di perkebunan dilakukan dalam dua tahap, yakni hari gajian kecil dan
hari gajian besar. Hari gajian kecil dilakukan pada pertengahan bulan, setiap tanggal
Universitas Sumatera Utara
15 atau 16, sedangkan hari gajian besar dilakukan pada tanggal 1 di awal bulan. Seperti namanya, upah yang dibayar pada hari gajian besar pun lebih besar daripada
gajian kecil. Setiap awal bulan setelah masa gajian besar para tuan kebun selalu
mengadakan perhelatan besar. Mereka membuka perjudian dan pelacuran secara besar-besaran. Para kuli kontrak itu sengaja mereka biarkan terpikat ke dalam
perjudian masuk ke dalam bilik-bilik pelacuran dan rumah yang menjual candu agar kuli menghabiskan upah yang telah dibayarkan, sehingga harus meminjam uang
kepada mandor perkebunan dengan bunga yang mencekik. Dengan begitu kuli-kuli akan terjerat oleh hutang yang tidak dapat terbayarkan sehingga mau tidak mau
mereka harus memperpanjang kontrak kerja. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.
“… Selain membuka kedai kelontong yang melayani kebutuhan kuli- kuli sehari-hari, mereka menjual opium, mengelola rumah gadai,
menjadi bandar judi dan membangun barak-barak pelacuran. Serangkaian bisnis yang dikelola para pemuka Cina ini disahkan masuk
ke perkebunan. Tujuannya, membuat kuli-kuli terus hidup dalam kemelaratan. Dengan begitu, kuli-kuli tidak akan berdaya menolak
perpanjangan kontrak yang disodorkan.” BDSHKC:169
Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa tuan kebun sengaja membuka perjudian dan prostitusi secara besar-besaran pada saat masa gajian besar dan masa
berakhirnya kontrak kuli-kuli demi upaya untuk kembali memiskinkan mereka. Tujuannya adalah agar mereka secara sukarela kembali memperpanjang kontrak.
Tidak seorang pun kuli yang bisa menikmati kesenangan dari peraturan kontrak yang mengikat mereka. Mereka tahu, hidup di perkebunan sangat menderita
Universitas Sumatera Utara
dan selalu kekurangan uang. Hanya keterikatan pada kontrak yang membuat mereka bertahan menghadapi penderitaan. Untuk keluar dari perkebunan, setiap kuli harus
mengantongi surat tanda sudah berhenti bekerja. Tanpa surat itu, kuli tidak bisa meninggalkan perkebunan. Kalaupun meninggalkannya, mereka dapat ditangkap
karena dianggap gelandangan. Maka, ketika tiba masa kontrak kerja kuli itu berakhir, para pengusaha perkebunan pun akan melakukan berbagai cara untuk menahan
mereka agar bersedia untuk memperpanjang kontrak. “Tidak biasa kuli-kuli membayangkan suasana itu. Perjudian dan
pelacuran begitu meriah sepanjang masa sibuk itu. Pengusaha membangun tenda-tenda prostitusi di tanah-tanah kosong perkebunan,
bersebelahan dengan tenda-tenda rombongan hiburan wayang yang sengaja diundang untuk mengadakan pertunjukan setiap hari.
Tidak biasa pula, tandil dan mandor bersikap ramah kepada kuli-kuli. Tandil dan mandor mendapat kredit dari perusahaan dalam jumlah tak
terbatas untuk disalurkan kepada kuli-kuli yang berniat meminjam uang. Persyaratan pun muncul, uang yang dipinjamkan itu akan dibayar
sebelum kontrak kerja kuli benar-benar berakhir.
“Perjudian… perempuan bebas… pertunjukan wayang… Semua disediakan untuk kebutuhan kuli-kuli. Dalam keadaan seperti ini, berapa
banyak kekuatan kuli-kuli untuk mampu menolak godaan sementara uang begitu mudah mereka dapatkan?
Tidak perlu dijawab. Kuli-kuli berjudi sepuas hati. Dari waktu ke waktu, pertunjukan wayang dan perempuan-perempuan bebas itu telah menyita
perhatian sekaligus uang mereka.” BDSHKC:218
Cara-cara yang dipakai oleh tuan kebun ini pun terbukti sukses. Adanya perjudian dan pelacuran itu telah membantu tuan kebun untuk mendapatkan kulinya
kembali. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini. “Kini, delapan belas tahun sudah berlalu. sepanjang itu dia
menghabiskan hari-harinya di perkebunan dengan pekerjaan yang selalu sama dan berulang-ulang. Urat-urat yang menonjol di otot-ototnya
menunjukkan semua itu. Delapan belas tahun dia bekerja di bawah siraman matahari tropis namun dia tidak punya simpanan uang untuk
Universitas Sumatera Utara
pulang atau berganti pekerjaan. Semua uangnya habis dilahap meja judi, pipa candu, dan pelacuran.” BDSHKC:110
Selain kemiskinan, ketidakadilan sosial adalah contoh yang paling jelas dalam kekerasan tidak langsung. Dalam novel BDSHKC jelas terlihat adanya ketidakadilan
dalam hal pembagian upah. Penerimaan upah yang rendah ini menyebabkan kesehatan kuli juga semakin rendah. Kemiskinan yang menimpa para kuli kontrak
membuat mereka sering diserang berbagai penyakit. Sipilis adalah penyakit yang sering menjangkiti tubuh kuli-kuli itu. Maraknya pelacuran atau prostitusi membuat
penyebaran penyakit kelamin itu semakin cepat berkembang. Hal ini tentu saja bukan hal yang perlu dipusingkan oleh para tuan kebun. Mereka tidak begitu perduli dengan
perawatan medis yang seharusnya diterima kuli-kuli yang sakit. Rumah sakit memang didirikan di setiap perkebunan, namun, bangunan yang disebut oleh tuan kebun itu
sebagai rumah sakit sangat tidak layak dijadikan tempat untuk merawat orang yang sedang sakit. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.
“Di perkebunan itu ada sebuah bangunan, bangunan kecil yang tidak lebih besar dari sebuah kandang kuda. Dari letaknya yang di pinggir
kebun dan tempat tidak terurus, menunjukkan betapa letaknya tidak pentingnya keberadaan bangunan itu.” BDSHKC:200
Selanjutnya juga dapat dilihat pada kutipan berikut ini. “Di salah satu bagian perkebunan, dia mendapati sebuah bangunan kecil,
tepatnya sebuah bilik berlantai tanah. Sebuah pintu tampak tertutup dari luar bilik dengan gerendel yang kokoh mengunci. Di dekat ada jendela
kecil yang bertelari. Penuh rasa ingin tahu, kontrolir mendekat ke bilik itu yang ternyata… rumah sakit perkebunan” BDSHKC:202
Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa begitu tidak pedulinya tuan kebun pada sarana kesehatan kuli-kulinya. Seharusnya setiap kuli atau buruh wajib
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan jaminan kesehatan dari majikannya, namun hal itu tidak pernah berlaku di Deli. Para tuan kebun itu justru menganggap bahwa kuli yang sakit tidak akan
memberi keuntungan dan hanya akan merepotkan mereka. Sehingga kuli-kuli yang sakit akan sengaja mereka biarkan sampai mati di rumah sakit itu tanpa ada
perawatan medis. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini. “Temanku, si kontrolir itu, masuk ke dalam bangunan itu. Pada sebuah
ruangan yang berterali, dia mendapati seorang perempuan Jawa terbaring di atas papan kayu beralaskan goni tanpa bantal. Bau busuk
tercium dari tempatnya. Dia kotor dan tidak dimandikan. Kotoran dan air kencing menumpuk. Menggenang di bawah badannya. Di pantat
kirinnya ada luka, disebabkan telentang berkepanjangan. Seluruh kulit di bagian belakang kaki kanannya terkelupas hingga terbentuk luka-luka.
Lukanya menunjukkan kalau sedikit pun dia tidak pernah diobati.” BDSHKC:200
Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa ketidakadilan selalu menjadi hal yang biasa di Deli. Penindasan dan penderitaan yang dialami oleh kuli-kuli kontrak
itu akan selalu terjadi di Deli. Deli yang kaya dan terkenal dengan tanah penghasil dolar itu ternyata ada karena hasil menghisap darah dan keringat kuli.
“Sekitar 40 orang kuli, pria dan wanita, diangkat dalam kondisi sangat buruk. Mereka sangat miskin, memiliki pakaian buruk dan selalu
diserang penyakit. Mereka merasa takut pada orang lain dan berharap tidak dikembalikan lagi sebagai kuli. 40 orang Jawa-pria dan wanita-itu
kembali dari Deli, tanah yang menghasilkan uang jutaan berlimpah- limpah.” BDSHKC: 243
3.2.3 Kekerasan Represif