Dalam Perjalanan Menuju Tanah Deli

kehidupan manusia, namun merupakan pelanggaran berat dalam mengekang kebebasan manusia dan kesamaan hak bagi setiap manusia. Seperti yang tercantum dalam pasal 2 dan 7 UDHR The Universal Deklaration of Human Rights Deklarasi semesta tentang hak asasi manusia yang dideklarasikan oleh PBB tanggal 10 Desember 1948. pasal 2 dan 7 itu berbunyi. “Setiap orang mempunyai hak dan kebebasan yang tercantum dalam deklarasi ini tanpa perbedaan apapun, seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama… “ pasal 2, dan “Semua orang adalah sama di depan hukum dan berhak memperoleh perlindungan yang sama dari hukum tanpa dibedakan. Semua orang berhak memperoleh perlindungan yang sama terhadap diskriminasi yang melanggar deklarasi ini dan terhadap hasutan semacam itu.” pasal 7 Kosasih, 2003:47-49 Pengekangan kebebasan dalam berpendapat, bergerak dan kesamaan di depan hukum adalah contoh dari kekerasan represif ini. Kekerasan ini merupakan bentuk kekerasan yang secara tidak langsung dilegalkan oleh pemerintah dengan kedok praktek hukum sehingga mengganggu hak sipil, hak sosial, dan hak politik. Seperti yang dikemukakan oleh Martin 1993:116 bahwa tidak adanya perlindungan bagi para budak menyebabkan mereka tidak bisa membangun kelompok, tidak bisa mempunyai harta milik sendiri, tidak bergerak dan sepenuhnya harus tunduk pada peraturan majikan.

3.2.3.1 Dalam Perjalanan Menuju Tanah Deli

Dalam novel BDSHKC, kehidupan kuli-kuli kontrak pun tidak pernah lepas dari pengekangan hak dan kebebasan. Ketika mereka disebut sebagai orang kontrak Universitas Sumatera Utara yang terikat dengan ikatan kerja itu, maka mereka pun harus bersiap untuk kehilangan hak dan kebebasannya. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini. “Mereka mendapat penamaan baru: orang-orang kontrak-orang yang terampas kemerdekaannya. Mereka, kerumunan pria dan perempuan yang tergadai jiwa dan raga. Setelah meneken secarik kertas itu, seketika tegaslah garis nasib mereka. Mereka adalah budak di satu sisi dan ada majikan di sisi lainnya. Mereka, orang kontrak Orang-orang yang terikat dengan peraturan yang mereka sendiri tidak bisa membacanya.” BDSHKC:19-20 Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa sebutan orang kontrak itu menandai hilangnya sebuah kebebasan. Mereka hanya bisa diam dan patuh terhadap perintah tuan kebun. Ikatan kerja yang tidak mereka ketahui itu membuat mereka terjebak ke dalam lingkaran perbudakan. Seperti yang dikemukakan oleh Camara 2005:31 bahwa tidak seorang pun dilahirkan untuk menjadi budak. Tidak seorang pun berusaha untuk mengalami ketidakadilan, penghinaan, dan ketidakberdayaan restrictions. Karena ketika seseorang dianggap sebagi budak maka kebebasannya sebagai orang yang merdeka akan hilang dengan sendirinya. Perbudakan ini terjadi akibat berlakunya sistem ordonansi kuli koeli ordonantie, yakni suatu kebijakan yang berisi tentang peraturan kuli yang khusus berkaitan dengan kontrak perkebunan dan keperluan pemindahan kuli-kuli ke seberang lautan. Kemudian untuk mencegah terjadinya pelanggaran kontrak, maka diberlakukan pula sanksi pidana poenale sanctie secara keras. Pekerja yang menolak bekerja atau dengan cara lain melanggar aturan-aturan yang telah tercantum di dalam kontrak dapat dijatuhi hukuman kurungan, denda atau kerja paksa. Universitas Sumatera Utara Adanya aturan tersebut hanya menguntungkan tuan kebun di satu pihak, namun menyengsarakan kuli di pihak lainnya. Aturan poenale sanctie ini dijadikan tameng oleh pihak tuan kebun untuk berbuat sewenang-wenang kepada kuli. “Tuan-tuan yang saya hormati,” De Coningh melanjutkan. “Secara moral, sistem kontrak kerja bagi kuli-kuli itu tidak dapat dipertanggungjawabkan apalagi dipertahankan. Poenale sanctie adalah perbudakan yang dibungkus oleh aturan hukum. Demi kepentingan kapitalisme industri perkebunan, perbudakan di Sumatera Timur disahkan oleh hukum. Ini terbukti dari ordonansi kuli dan kontrak kerja yang ditetapkan Gubernur Jenderal itu.” BDSHKC:61 Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa ordonansi kuli itu tidak seharusnya ada. Karena apabila dilihat dari sudut etika dan moral, ordonansi kuli tersebut melegalkan adanya perbudakan. Dengan berlandaskan pada aturan itu, para tuan kebun seolah-olah memiliki hak untuk menguasai sepenuhnya kuli-kuli itu, sehingga mengakibatkan rusaknya hubungan antarsesama manusia. Hal ini juga tergambar pada kutipan berikut ini. “Sejak poenale sanctie diberlakukan di Deli, kekerasan demi kekerasan terus terjadi. Sangat tidak masuk akal dan tidak berperikemanusiaan kalau Tuan Menteri Daerah Koloni terus mempertahankan industri yang didasarkan pada perampasan kemerdekaan seperti di perkebunan Deli itu terus berlangsung,” kata P.J. Troelstra. Anggota Majelis rendah dari sociaal-Democratische Arbeiders Partij” BDSHKC:223 Kuli-kuli kontrak itu tidak pernah mengenal kebebasan sejak aturan poenale sanctie dan ordonansi kuli itu diberlakukan. Baik itu kebebasan berpendapat, bergerak, maupun kesamaan di depan hukum. Tentu saja mereka tidak pernah mengenalnya karena mereka selalu dituntut untuk selalu taat dan patuh terhadap semua perintah tuan kebun. Tidak ada kata menolak apalagi melawan. Universitas Sumatera Utara Seperti yang terjadi ketika saat kuli kontrak berada dalam pelayaran menuju Deli. Mereka tidak diperbolehkan melawan kepada kelasi, orang yang ditugaskan oleh kantor-kantor emigrasi untuk mengawal kuli. Jika mereka berani melawan maka kelasi tidak akan segan untuk menggunakan kekerasan. Kuli-kuli itu kehilangan hak dan kebebasannya untuk mengeluarkan pendapat. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini. “Kelasi menatap tajam pemuda itu. “Sakit? Tidak ada yang boleh sakit di sini” Katanya dengan nada menghentak. “Tapi perutnya mules, Bang. Dia muntah-muntah, Bang. Dia harus diobati, Bang.” “Harus?” “Ya, harus, Bang Dia sakit. Apa abang tidak pernah sakit perut? Dia harus diobati” “Harus?” kelasi mengulang. Matanya membelalak. Dia tidak senang dengan kalimat yang barusan dia dengar. Kalimat yang memerintah. “Siapa suruh kamu bilang harus, heh? Tidak ada yang boleh memerintah-merintah di sini Mengerti, anjing kontrak?” BDSHKC:34- 35

3.2.3.2 Setelah Menjadi Kuli