Latar Belakang dan Masalah .1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah 1.1.1 Latar Belakang Sastra adalah roh kebudayaan. Ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika kebudayaan sebuah bangsa yang lahir, tumbuh, dan bergerak mengikut i dinamika yang terjadi dalam masyarakatnya. Karya sastra tidak lahir dari peristiwa sesaat yang sekali jadi. Ia lahir dari proses kegelisahan sastrawan yang panjang yang menyangkut problem sosial, kultural, bahkan politik-ideologi, dan ketidakpuasan rasa intelektual. Proses itu menggelinding, meloncat, bahkan menjadi sebuah ledakan, mengikuti gerak dan dinamika yang terjadi di tengah masyarakatnya Mahayana, 2007:5. Hubungan sastra dan masyarakatnya tidak jarang memberi pengaruh timbal balik. Greibstein mengatakan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang menghasilkan. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak hanya tersendiri. Hal ini dikarenakan setiap karya sastra adalah hasil dari timbal balik dari faktor-faktor sosial budaya Damono, 1984:4 . Karya sastra sebagai salah satu bentuk karya seni merupakan cermin dari masyarakat tempat karya sastra tersebut dilahirkan. Ungkapan Abrams Dardiri, 2007:153 yang menyatakan “art is like a mirror”, menunjukkan pernyataan tersebut. Universitas Sumatera Utara Karya sastra merupakan imitasi dari semesta dan disebut sebagai refleksi masyarakat. Karya sastra lahir dari seorang sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat, ia terikat oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium; bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial Damono, 2002:1. Maka tidak dapat diingkari bahwa pada hakekatnya karya sastra adalah potret sosial yang di dalamnya tergambar sebuah entitas masyarakat yang bergerak, baik yang berkaitan dengan pola struktur, fungsi , maupun aktivitas dan kondisi sosial budayanya sebagai latar belakang kehidupan masyarakat pada masa tertentu. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya. Wellek dan Waren 1989:276 mengatakan bahwa karya sastra adalah hasil ciptaan pengarang yang menggambarkan segala peristiwa yang dialami masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Karya sastra seorang pengarang mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmasyarakat berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya sekaligus memasukkan unsur hiburan dan penerangan terhadap pengalaman manusia. Hal ini menjelaskan bahwa sebagai dokumen sosial, sastra dapat dipakai untuk menguraikan sejarah sosial. Seperti yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo yang menyatakan bahwa karya sastra, khususnya novel sejarah dan novel sosial dapat menggunakan sejarah Universitas Sumatera Utara kontemporer sebagai bahan. Peristiwa sejarah kontemporer itu barangkali di zaman pengarangnya hanya dianggap sebagai peristiwa sosial, tetapi bagi generasi sesudahnya dapat diangkat sebagai peristiwa sejarah. Dalam hubungan ini, novel sosial dan peristiwa sejarah dapat mempunyai hubungan timbal balik. Karya sastra menjadi saksi dan diilhami oleh zamannya, dan sebaliknya karya sastra itu dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa sejarah zamannya dengan membentuk sebuah pendapat publik Dardiri, 2007:153. Oleh karena itu, hubungan karya sastra dengan masyarakat, jelas merupakan hubungan yang hakiki. Sebab karya sastra mempunyai tugas penting, baik dalam usahanya untuk menjadi pelopor pembaharuan, maupun memberikan pengakuan terhadap suatu gejala kemasyarakatan. Kebebasan sekaligus kemampuan karya sastra untuk memasukkan hampir seluruh aspek kehidupan manusia inilah yang menjadikan karya sastra sangat dekat dengan masyarakat. Berdasarkan beberapa uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sastra merupakan refleksi perenungan kultural sastrawan. Sebagai perenungan kultural, ia dapat menjadi potret budaya dan dokumen sosial yang di dalamnya terdapat fakta historis dan gambaran kondisi sosial. Salah satu hasil perenungan kultural tersebut adalah novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract selanjutnya disingkat BDSHKC karya Emil W. Aulia. Pada sekitar pertengahan kedua abad kesembilan belas terjadi perubahan dalam kebijakan kolonial di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial Belanda kian mengurangi campur tangan langsung dalam produksi ekonomi dan merasa cukup Universitas Sumatera Utara hanya menciptakan berbagai fasilitas untuk mendorong inisiatif swasta Breman, 1997:15. Ketika sistem paksa cultuurstelsel akhirnya dihapuskan, pihak swasta justru mendapat kesempatan luas untuk berkiprah. Jadi, peran dominan pertanian dalam kegiatan ekonomi terus berlangsung. Praktek usaha kapitalis dengan kebijakan kolonial pada waktu itu membentuk sebuah masyarakat perkebunan tembakau di Sumatera Timur yang banyak mempekerjakan kuli kontrak dari Cina dan pulau Jawa. Menurut Nienhuys,di Deli segalanya harus diimpor, baik para majikan maupun para kuli-kulinya. Staf datang langsung dari Eropa, kulinya dari Jawa. Hal ini dikarenakan Sultan Deli hanya dapat memberikan tanah, bukan tenaga buruh karena penduduk pribumi seperti Batak dan Melayu tidak dapat dibujuk atau dipaksa oleh para pejabat lokal atau asing agar mau bekerja untuk perkebunan. Oleh karena itu, para pengusaha perkebunan terpaksa mencari tenaga kerja dari tempat lain seperti Malaya, Singapura, dan Cina, kemudian dari desa-desa miskin di Jawa Tengah. Perekrutan buruh tersebut dilakukan melalui calo-calo Stoler, 2005:23. Bersamaan dengan meluasnya usaha perekrutan buruh di Jawa, maka badan- badan imigrasi liar juga banyak bermunculan. Namun, yang tampak bukan seperti usaha perekrutan buruh, melainkan pasar perdagangan besar yang ditujukan kepada penjualan buruh. Di Sumatera, paksaan tetap menjadi dasar sistem perburuhan. Diberlakukannya sanksi pidana poenale sanctie secara keras, membuat kuli yang melarikan diri atau menolak bekerja akan dijatuhi hukuman yang berat. Hubungan antara tuan kebun dan kuli yang diwarnai kekerasan itu adalah bentuk ekstrem dari penindasan atas tenaga kerja yang terkungkung di bawah penjajahan Belanda. Universitas Sumatera Utara Novel BDSHKC merupakan contoh nyata bahwa karya sastra merupakan cerminan kehidupan masyarakat pada zamannya kolonial Belanda. Kisah tentang kekuasaan pemerintah Belanda, khususnya tuan kebun di Sumatera Timur sekarang Sumatera Utara yang menyiksa para kuli kontrak dengan berbagai bentuk kekerasan melalui praktek ordonansi kuli tertuang dalam novel ini secara gamblang. Melalui argumen di atas, penulis merasa tertarik untuk menganalisis novel ini, khususnya untuk melihat tinjauan sosial politik perkebunan tembakau di Sumatera Timur, khususnya tentang kekerasan yang dilakukan oleh tuan kebun terhadap kuli kontrak.

1.1.2 Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah tinjauan sosial politik perkebunan tembakau di Sumatera Timur? 2. Bagaimanakah bentuk kekerasan terhadap kuli kontrak dalam novel BDSHKC karya Emil W. Aulia? Universitas Sumatera Utara

1.2 Batasan Masalah