Perkebunan Deli dan Kekerasan versi BDSHKC

BAB III KEKERASAN DALAM NOVEL BERJUTA-JUTA DARI DELI SATOE HIKAJAT KOELI CONTRACT

3.1 Perkebunan Deli dan Kekerasan versi BDSHKC

Deli merupakan daerah pertama yang mengalami pertumbuhan perkebunan sejak Nienhuys membuka perkebunan tembakau tahun 1864. Keberadaan Deli semakin hari semakin berubah dengan munculnya perusahaan dan perkebunan tembakau. Deli menjadi suatu daerah yang kaya, terutama untuk orang-orang Belanda. Begitu juga dengan para raja dan sultan yang tidak terlepas untuk mengambil keuntungan. Istana, mesjid, dan taman yang megah didirikan sehingga menjadikan Deli sebagai kota termodern di Asia Timur Erwin, 1999:7. Begitu pentingnya arti perkebunan Deli bagi Belanda sehingga disemboyankan “Molken is Het Verleden, Java is Het Heden en Sumatra is de Toekomst”, artinya Maluku adalah masa lalu, Jawa adalah masa sekarang dan Sumatera adalah masa datang. Dalam novel BDSHKC, Deli adalah sebuah tempat yang terletak di kawasan Sumatera Timur yang sangat termahsyur dengan tembakaunya yang terkenal di seantero dunia. Namun, di balik nama besarnya itu, Deli juga merupakan tempat dimana para kuli kontrak yang telah dicabut hak dan kebebasannya oleh para tuan kebun dengan sewenang-wenang. “Lihatlah, Deli begitu makmur bagi orang Belanda dan Eropa. Mereka banjir uang karena panen tembakau yang terkenal. Lihatlah, Medan terang benderang karena cahaya listrik, mempunyai hotel-hotel kelas Universitas Sumatera Utara satu dan tempat rekreasi yang nyaman. Orang-orang minum sampanye, makan, membuat pesta-pesta meriah. Sementara di sekitarnya juga berkembang ketiadaan adab dan kezaliman yang tak terkira. Deli adalah kuburan” BDSHKC:3. Berdasarkan kutipan tersebut jelaslah bahwa telah terjadi ketimpangan antara tuan kebun dengan kuli. Sementara tuan kebun menikmati keuntungan yang berlimpah, para kuli hanya bisa menderita atas penindasan yang telah mereka terima. Deli yang disebut sebagai tanah penghasil dolar itu ternyata juga menjadi tempat terjadinya begitu banyak penyiksaan dan ketidakadilan. Kuli kontrak yang dipekerjakan di perkebunan Deli sebagian besar didatangkan dari Cina dan Jawa. Pada umumnya mereka terbujuk oleh mulut manis makelar pencari tenaga kerja yang dengan mahir mempengaruhi penduduk desa yang miskin, sehingga dengan mudah tertipu dan akhirnya mau dijadikan sebagai kuli. “Bayangan tentang negeri rupawan di tanah seberang itu membuat gelisah lelaki-lelaki desa. Deli mengganggu tidur malam mereka yang biasanya selalu nyenyak. Tak sabar mereka ingin melihat langsung, merasakan, merengkuh semua pesona negeri ajaib itu. Uang yang berlimpah, wayang kulit… arak… emas… perempuan-perempuan ronggeng… Ah, apa lagi yang lebih penting dari semua ini?” Namun, ironisnya apa yang dijanjikan dan mereka dengar tentang Deli yang penuh dengan kemewahan itu tidaklah menjadi kenyataan. Mereka malah dipertemukan dengan sosok-sosok penguasa yang menganggap mereka tidak ubahnya seperti hewan peliharaan. Berbagai bentuk penyiksaan dan penindasan mulai mereka terima sejak keberangkatan hingga akhirnya mereka benar-benar bekerja di Deli sebagai kuli kontrak. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini. Universitas Sumatera Utara “Seketika, mereka dihadapkan pada kenyataan-kebyataan perih. Mereka bertemu sosok-sosok asing yang berkuasa. Sosok-sosok yang menggenggam kehidupan mereka, kehidupan orang-orang yang jiwanya telah tergadai. Mereka dibentak-bentak, dikasari, dihinakan. Mereka menerima semua itu dengan perasaan yang sama: gentar. Tidak terbit secercah harapan pun keinginan untuk melawan. Sekonyong-konyong jiwa mereka mati. Mereka seperti patung. Diam, lesu, dan pasrah. Orang-orang menyebutnya orang kontrak. Apa artinya, mereka tidak persis mengerti. Yang mereka tahu setelah sebutan itu mereka pikul, mereka harus patuh. Harus tunduk. Mereka takuti semua yang kemudian terjadi seperti hantu” BDSHKC:49. Berdasarkan kutipan tersebut jelaslah bahwa para kuli kontrak itu telah menerima perlakuan yang tidak semestinya. Walaupun mereka selalu dihina dan ditindas, namun mereka hanya bisa diam tanpa ada perlawanan. Kekuasaan yang dimiliki oleh tuan kebun beserta centeng atau mandor yang ditugaskan untuk mengawasi para kuli tersebut membuat mereka diperlakukan dengan sewenang- wenang. Bentakan atau makian yang kasar sering mereka terima, seolah-olah mereka tidak lagi memiliki harga diri sebagai manusia. Umpatan ‘anak babi’ hal 23, 55, 69 , ‘anak kerbau’ hal 67, 70, ‘anak setan’ hal 23, 47, 55 , ‘anak sundal’ hal 67, 77, ‘monyet’ hal 55, 77 dan ‘anjing kontrak’ hal 19, 20, 22, 35, 39, 77, sudah biasa terdengar di telinga mereka setiap harinya. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini. “Mandor-mandor sudah mengitari pondok-pondok. Membawa tampang yang dibuat bengis sambil melinting kumis, mereka berteriak-teriak. Selalu marah. Selalu memaki-maki. “Bangun Banguunnnnn” “Dasar anjing kontrak pemalas Bisanya cuma tidur pulas” “Bangun anak sundal” Lekas kerja anak kerbau” BDSHKC:67. Selanjutnya juga dapat dilihat pada kutipan berikut ini. Universitas Sumatera Utara “Anjing pemalas” “Cangkul yang cepat” “Lebih cepat, monyetttt” “Anak sundal” “Lebih cepaaatttttt” BDSHKC:77 Tidak hanya makian saja yang mereka terima, kekerasan fisik dan penganiayaan pun kerap mereka terima. 3.2 Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Perkebunan Versi BDSHKC 3.2.1 Kekerasan Langsung