Setelah Menjadi Kuli Kekerasan Represif

Seperti yang terjadi ketika saat kuli kontrak berada dalam pelayaran menuju Deli. Mereka tidak diperbolehkan melawan kepada kelasi, orang yang ditugaskan oleh kantor-kantor emigrasi untuk mengawal kuli. Jika mereka berani melawan maka kelasi tidak akan segan untuk menggunakan kekerasan. Kuli-kuli itu kehilangan hak dan kebebasannya untuk mengeluarkan pendapat. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini. “Kelasi menatap tajam pemuda itu. “Sakit? Tidak ada yang boleh sakit di sini” Katanya dengan nada menghentak. “Tapi perutnya mules, Bang. Dia muntah-muntah, Bang. Dia harus diobati, Bang.” “Harus?” “Ya, harus, Bang Dia sakit. Apa abang tidak pernah sakit perut? Dia harus diobati” “Harus?” kelasi mengulang. Matanya membelalak. Dia tidak senang dengan kalimat yang barusan dia dengar. Kalimat yang memerintah. “Siapa suruh kamu bilang harus, heh? Tidak ada yang boleh memerintah-merintah di sini Mengerti, anjing kontrak?” BDSHKC:34- 35

3.2.3.2 Setelah Menjadi Kuli

Dalam novel BDSHKC, di Deli, kuli-kuli itu bahkan bukan dianggap manusia. Menurut tuan-tuan kebun, mereka hanyalah hewan yang menyerupai manusia. Hewan penurut yang patuh dan bodoh. Hal inilah yang membuat para tuan kebun itu bertindak dengan sewenang-wenang. Ketika seorang kuli dianggap bersalah, maka si tuan kebun berhak menghukumnya sesuka hati, bahkan tanpa proses peradilan sekalipun. Bagi kuli, hidup di perkebunan selalu dilengkapi dengan hal-hal yang Universitas Sumatera Utara penuh penderitaan. Kuli dicaci-maki, dicambuk, dipukul, ditendang, mati, lalu dibuang ke semak-semak begitu saja sudah menjadi hal yang biasa. Tidak adanya peradilan yang jelas terhadap kuli yang belum tentu bersalah ini tentu saja telah melanggar hak mereka untuk mendapatkan perlakuan yang adil dan sama di mata hukum. Yang terjadi justru hukuman yang mereka dapatkan kerapkali tidak sesuai dengan kesalahan yang mereka perbuat. Hal ini terjadi pada seorang kusir yang bekerja pada kepala administratur perusahaan besar. Kuli yang selalu setia dan patuh itu dituduh telah menipu majikannya, sehingga dijebloskan ke dalam penjara. Kuli itu seharusnya tidak bersalah karena telah diberikan izin oleh majikannya untuk cuti selama dua hari demi menguburkan ibunya yang sudah meninggal. Namun, setelah kembali tepat seperti yang telah dijanjikan, kusir itu malah dihadapkan pada hukuman tanpa tahu jelas kesalahannya sendiri. Tanpa memeriksa perkara, hukuman krakal selama tiga bulan akhirnya menimpa kusir itu. “Aku bertanya kepada administratur yang mengirim kusir itu untuk dihukum oleh kontrolir. Dia menjelaskan, biasanya, orang seperti kusir itu tidak akan dikenakan hukuman karena memang telah diberi izin. “Namun karena aku adalah pengusaha, dengan senang hati, demi prestise, aku mengirim kusir itu kepada kontrolir untuk dihukum. Aku hanya ingin melihat dia dihukum,” jelas administratur itu kepadaku sambil tersenyum penuh kemenangan. Enteng saja dia menjelaskan.” BDSHKC:188 Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa seseorang yang tidak bersalah pun dapat setiap saat dihukum. Hal tersebut benar-benar tidak sesuai dengan proses peradilan yang seharusnya. Universitas Sumatera Utara Kasim 2001:205-206 menyatakan bahwa dalam pemeriksaan sebuah pengadilan, prosedur harus dilaksanakan berdasarkan asas praduga tak bersalah. Prinsip jaminan ini dilakukan agar para hakim dalam menjalankan kewajiban mereka tidak memperlakukan terhukum hanya berdasarkan atas kecurigaan telah melakukan pelanggaran saja. Jadi, prinsip praduga tak bersalah bagi terhukum dalam sebuah persidangan haruslah ada demi tertegaknya keadilan. Sayangnya, sistem peradilan seperti ini tidak pernah diterapkan di Deli. Tanpa tahu jelas kesalahannya, kuli-kuli kontrak itu selalu mendapatkan hukuman yang tidak setimpal. “Sebagai penguasa perkebunan, pengusaha punya hak menjatuhkan hukuman kepada kuli-kulinya melalui tangan kontrolir. Vonis yang dijatuhkannnya tidak bisa dibanding atau dikasasikan. Kontrolir bahkan tidak memberikan laporan kepada Ketua Pengadilan Tinggi.” BDSHKC:188 Dari kutipan tersebut jelas menunjukkan bahwa peradilan yang benar-benar adil tidak pernah terjadi di Deli. Padahal peraturan yang disusun oleh Hindia Belanda pada waktu itu selalu memungkinkan seorang terhukum untuk naik banding atau kasasi. Namun, kuli-kuli itu justru tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk melakukannya. Bahkan, peraturan lain yang berlaku di Hindia Belanda yang menyebutkan bahwa vonis yang telah dijatuhkan seharusnya berkasnya harus dikirimkan hakim kepada Ketua Pengadilan Tinggi juga tidak pernah dilaksanakan di Deli. Di Deli, kuli-kuli itu hanya bisa pasrah pada nasibnya. “Ngatmin diam. Dia tak berani membayang-bayangkan apa hukuman yang akan diberikan Tuan Kontrolir kepadanya. Mandor Jono benar. Apalah arti hukuman. Terima saja. Dan, tentu dia harus menerima. Dia hanya kuli. Orang kontrak. Nasibnya sudah begitu. Hidup matinya Universitas Sumatera Utara memang ditentukan oleh orang kulit putih. Jadi, lihat saja nanti.” BDSHKC:180 Ketidakadilan ini memang sudah berlaku terus menerus di Deli. Tidak ada yang perduli dengan hal itu. Tuan kebun jelas tidak perduli karena mereka memang menginginkan hal ini. Sedangkan kuli, mereka hanya bisa pasrah dan patuh. Kuli-kuli itu selalu dilemahkan oleh beratnya beban kerja sepanjang hari, dibiarkan kelaparan hingga tidak memiliki tenaga lagi untuk melangkah menuju tempat kerjanya, serta mengalami berbagai bentuk penyiksaan sebagai hukuman. Di satu sisi, ketika kuli sedikit saja melakukan kesalahan mendapatkan hukuman yang begitu berat. Maka di sisi lain, tuan kebun yang melakukan kesalahan akan mudah mendapatkan kebebasan. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini. “MENYERET tuan kebun ke depan persidangan yang adil, sama sekali tidak pernah terjadi di Deli. Pengalamanku empat tahun di Deli menunjukkan, belum ada satu persen kasus tuntutan pidana yang dilakukan orang Eropa dapat ditindaklanjuti secara adil dan terbuka ke pengadilan. Padahal begitu banyak sebenarnya kasus kekerasan hingga pembunuhan yang bisa membawa mereka ke penjara. Penyebabnya? Selain karena “sistem tutup” itu, juga karena kurangnya kemampuan pejabat di lingkungan dinas penyidik dalam melaksanakan tugasnya secara baik.” BDSHKC:175 Selanjutnya dapat dilihat pada kutipan berikut ini. “Nyatalah, kenapa keadilan begitu sulit tegak di Deli. Penegakan hukum di tanah Sumatera Timur itu benar-benar sudah digerogoti oleh kanker tak tersembuhkan. Saat orang Eropa diadili di Pengadilan Tinggi di Batavia, dia dibebaskan karena kurangnya bukti. Dia bebas karena ada persekongkolan saksi-saksi. Dari sedikit perkara yang sampai ke Batavia, masalah penggelapan saksi dan keterangan palsu telah memunculkan pandangan hukum yang lemah di Pengadilan Tinggi untuk menghukum para pengusaha perkebunan.” BDSHKC:191 Universitas Sumatera Utara Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa di Deli telah terjadi ketidakadilan dalam kebebasan untuk mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum. Begitu pula pada kebebasan untuk bergerak. Kuli-kuli kontrak itu selalu dibatasi ruang geraknya. Mereka dipersiapkan hanya untuk menjadi pekerja keras yang membanting tulang sejak pagi hingga matahari terbenam. Yang mereka tahu hanya harus bekerja dan terus bekerja tanpa mengenal lelah. Jika belum disuruh berhenti mereka tidak akan berhenti, karena jika melawan hukumanlah yang akan menanti mereka. Kehidupan mereka sepenuhnya diatur oleh suara kentongan. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini. “Hanya sebentar waktu untuk makan siang. Kuli-kuli makan dengan cepat. Pekerjaan sudah menunggu. Kentongan sudah berbunyi lagi. Istirahat telah selesai. Kenyang tak kenyang, semua harus kembali ke ladang. Tandil-tandil berteriak-teriak, menyuruh mereka cepat-cepat mengambil cangkul lalu berbaris. Pekerjaan harus selesai sebelum sore.” BDSHKC:84-85 Selanjutnya dapat dilihat pada kutipan berikut ini. “SUDAH hampir pukul sembilan malam sekarang. Sebentar lagi suara kentongan akan terdengar. Itu tanda kuli-kuli harus segera tidur. Tidak ada lagi yang boleh keluyuran.” BDSHKC:114 Dari kedua kutipan tersebut jelas terlihat bahwa suara kentongan telah membatasi ruang gerak mereka. Kebebasan kuli-kuli kontrak itu selalu terkungkung oleh suara kentongan. “Begitulah kehidupan di perkebunan. Semua diatur oleh suara kentongan. Kapan bangun, istirahat siang, kembali ke bangsal hingga kapan tidur-semua diatur oleh kentongan.” BDSHKC:117 Universitas Sumatera Utara

3.2.4 Kekerasan Alienatif