namun ekonomi negaranya merosot tajam, karena kas negeri Belanda telah kosong dan ditambah lagi adanya hutang luar negeri yang jumlahnya tidak sedikit.
Untuk mengatasi ekonomi negara seperti ini, pemerintah kolonial mencoba untuk menggali potensi Indonesia melalui pelaksanaan sistem tanam paksa. Sistem
tanam paksa ini memang telah membawa hasil yang sangat besar dalam memperbaiki perekonomian negara dan pemerintah Belanda, sehingga mereka terhindar dari krisis
ekonomi yang berkepanjangan. Namun dibalik itu, rakyat Indonesia justru semakin tertindas dan miskin Waridah, 2003:21.
Setelah tanam paksa dihapuskan, sistem ekonomi yang diterapkan oleh kolonial Belanda pada saat itu adalah sistem ekonomi kapitalisme, yang ditandai
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria pada tahun 1870. hal ini membuka peluang kepada pengusaha swasta asing yang terjun langsung dalam kegiatan
perekonomian di Indonesia, diantaranya adalah membentuk perkebunan-perkebunan dengan tanaman yang laku di pasaran Eropa, seperti perkebunan tembakau di
Sumatera Timur.
2.2 Sejarah Perkebunan Tembakau di Deli
Sumatera Timur Deli sejak dahulu merupakan wilayah yang sangat kaya akan hasil perkebunan seperti lada, karet dan tembakau. Karena hasil perkebunan ini
Sumatera Timur terkenal sampai ke benua Eropa. Faktor wilayah yang sangat strategis, tanah yang subur, dan iklim yang sangat mendukung dalam segi bercocok
tanam semakin membangkitkan minat bangsa Belanda untuk menguasai daerah di
Universitas Sumatera Utara
Sumatera Timur. Ketika pulau Jawa telah menjadi pusat penanaman tebu, para pengusaha justru mencoba mendirikan perkebunan tembakau di Sumatera Timur.
Sejarah perkebunan Deli dimulai ketika kapal Josephine yang merapat di Belawan pada tanggal 7 Juli 1863 yang membawa orang-orang dari perkebunan
tembakau dari Jawa Timur, salah satunya Jacobus Nienhuys dari firma Van den Arend Surabaya. Rombongan yang dibawa Said Abdullah bin Umar Bilsagih ini
diterima dengan sangat baik oleh Sultan Deli dan diberi tanah seluas 4.000 bahu 1 bahu = 8.000 m untuk kebun tembakau yang terletak di Labuhan Deli dengan
konsesi 20 tahun http:tekongan.com
. Usaha penanaman tembakau ini awalnya gagal dan mengalami kerugian yang
cukup besar. Namun Nienhuys tetap bersikukuh bahwa tanah Deli akan mendatangkan keuntungan yang besar jauh melebihi kerugian yang pernah
dikeluarkan. Kegigihannya ini terbukti ketika bulan Maret tahun 1864 sampailah contoh daun tembakau Deli yang pertama kali ke Rotterdam, Belanda. Sambutan para
pedagang terhadap daun tembakau Deli ini sangat memuaskan. Bahkan, tembakau Deli dinilai berkualitas tinggi untuk dijadikan bahan pembungkus cerutu.
Keberhasilan ini mendorong P Van den Arend sebagai penanam modal memerintahkan Nienhuys untuk memperluas usahanya. Nienhuys pada saat itu telah
berhasil membuktikan bahwa tembakau yang dihasilkan di Deli merupakan produk yang sangat menguntungkan di pasar perdagangan Eropa dan menjadikan Deli
sebagai penghasil bungkus cerutu terbaik di dunia Erwin, 1999:3.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengusahakan budidaya tembakau dalam skala besar, diperlukan modal lebih banyak lagi. Maka pada tahun 1869 Nienhuys mendirikan perusahaan
Deli Maatschappij, perseroan terbatas pertama yang beroperasi di Hindia Belanda Breman, 1997:26. Pada tahun 1870, Nienhuys memindahkan kantor pusat Deli
Maatschppij dari Labuhan ke Kampung Medan. Dengan perpindahan kantor tersebut, Medan dengan cepat menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan perdagangan,
sekaligus menjadi daerah yang paling mendominasi perkembangan di Indonesia bagian barat. Pesatnya perkembangan perekonomian ini mengubah Deli menjadi
pusat perdagangan yang mahsyur dengan julukan het dollar land alias tanah uang httpid.wikipedia.orgwikiKota Medan.
Semakin berkembangnya suatu perkebunan, maka semakin banyak pula tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengelola perkebunan tersebut. Hal ini menjadi
faktor kesulitan tersendiri bagi pengusaha perkebunan, karena pada saat itu untuk mendapatkan tenaga kerja yang harus dipekerjakan di perkebunan sulit untuk
ditemukan. Menurut Pelzer 1885:54, menanam tembakau terutama tembakau pembungkus cerutu membutuhkan banyak tenaga kerja dan sebagaimana para
pengusaha lainnya di berbagai daerah lainnya juga membutuhkan pekerja untuk dipekerjakan. Hal ini merupakan suatu masalah yang sangat sulit dihadapi para
pengusaha perkebunan di Deli. Mereka tidak dapat mengharapkan penduduk setempat orang Melayu dan Batak karena dianggap tidak punya disiplin dan malas
Waridah, 2003:21. Bahkan menurut Nienhuys, orang Batak ia golongkan dalam bangsa yang umumnya bodoh Breman, 1997:23.
Universitas Sumatera Utara
Kebutuhan akan tenaga kerja dalam jumlah besar pun sangat mendesak sehingga mereka merekrut tenaga kerja dari Cina dan desa-desa miskin di pulau Jawa.
Seperti yang dikemukakan oleh Stoler 2005:3, bahwa perusahaan perkebunan pantai timur Sumatera pada mulanya mengimpor pekerja Cina dan kemudian pekerja Jawa
dalam jumlah ratusan ribu, yang ditampung dan diberi makan di barak-barak perkebunan dan diikat dengan status sebagai budak.
2.3 Tembakau Deli sebagai Komoditas Ekspor