Model Perkembangan Kota Kota Sebagai Pusat Pelayanan

Pada sisi lain pengelompokan kegiatan, fasilitas dan penduduk serta berpusatnya berbagai keputusan yang menyangkut publik merupakan faktor-faktor yang menarik bagi kegiatan ekonomibisnis. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa perkotaan memiliki nilai strategis. Perkotaan tidak sekedar sebagai pemusatan penduduk serta berbagai fungsi sosial, ekonomi, politik dan administrasi, tetapi juga potensial sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan pada tingkat nasional maupun regional. Dalam kaitan ini, sistem perkotaan dapat memberi petunjuk bagi bagian-bagian yang perlu memperoleh investasi agar tercapai solusi terhadap dilema antara efisiensi nasional dan pemerataan antar wilayah Richardson, 1979.

2.2.2. Model Perkembangan Kota

Perkembangan kota di Indonesia mengalami perubahan-perubahan seiring dengan perkembangan politik maupun perekonomian. Dalam era desentralisasi sekarang ini, dimana implementasi dari kebijakan tersebut serta perubahan pendekatan dalam pembangunan akan menimbulkan implikasi pada pola urbanisasi. Urbanisasi terkait dengan perkembangan perkotaan. Teori klasik menyatakan bahwa kota-kota berkembang karena peningkatan efisiensi kegiatan pertanian yang mengakibatkan dislokasi tenaga kerja pertanian Devas, et al, 1993. Teori ini mengisyaratkan terdapatnya kaitan industrialisasi dan perkembangan perkotaan. Perkembangan industri perkotaan akan memicu migrasi desa-kota yang akhirnya mendorong lebih jauh urbanisasi. Teori ini sejalan dengan Universitas Sumatera Utara perspektif modernisasi, namun dalam perspektif modernisasi juga menekankan perbedaan fertilitas dan mortalitas antara desa dan kota sebagai pemicu perkembangan perkotaan disamping migrasi desa-kota. Pandangan-pandangan tersebut mengisyaratkan adanya hubungan antara perkembangan ekonomi dan urbanisasi. Meskipun demikian perkotaan bukan sekedar aleman statis urbanisasi. Kota-kota dapat memainkan peran sebagai katalisator pertumbuhan ekonomi di negara-negara sedang berkembang, terutama melalui berbagai fungsi yang dimilikinya Friedmann, 1966. Fungsi-fungsi tersebut mampu mendorong lebih jauh migrasi desa-kota. Kecenderungan ini akan semakin menguat dengan konsentrasi investasi di kota-kota besar seperti yang dilakukan di banyak negara berkembang karena pertimbangan keterbatasan sumberdaya serta infrastruktur pendukung. Semua ini akan mendorong urbainsasi Nugroho, dkk, 2004. Teori tempat sentral mengilhami sebuah model perkembangan sistem perkotaan. Pada tahap awal, ketika kegiatan pertanian masih dominan, akan ditemukan kota-kota dengan fungsi dan interaksi terbatas. Kepadatan penduduk perkotaan belum menjadi isu pada tahap ini. Kemudian spesialisasi dan diferensiasi kegiatan pada tahap transisi mendorong perkembangan perkotaan. Interaksi dan kompetisi antar kota menjadi makin intensif yang dipacu oleh kemajuan transportasi dan komunikasi. Ini akan menghasilkan diferensiasi perkembangan perkotaan. Kota-kota yang unggul akan berkembang lebih cepat, membentuk aglomerasi, menjadi sasaran pendatang dan mengalami persoalan tekanan Universitas Sumatera Utara penduduk. Pada tahap klimaks, berbagai fungsi perkotaan sudah terbentuk lengkap. Selain itu kota-kota semakin terintegrasi yang ditunjang oleh kemajuan perhubungan. Desentralisasi penduduk dari kota-kota besar mulai berlangsung Soegijoko, 2005. Perencanaan kota di Indonesia yang merupakan bagian dari proses penataan ruang kota, tidak dapat dilepaskan dari pemanfaatan ruang sebagai implementasi dari rencana tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang sebagai kegiatan untuk menjaga kesesuaian antara rencana tata ruang dengan pemanfaatan ruang Nurmandi, 2006. Dalam praktik perencanaan tata ruang kota di Indonesia, sering kali terjadi benturan antara perencanaan tata ruang kota dengan berbagai kecenderungan yang menyertai perkembangan kota. Isu strategis dalam perencanaan tata ruang kota adalah bagaimana mengefektifkan rencana tata ruang agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi kota sesuai dengan fungsi dan peranannya secara regional. Jika ditelusuri lebih jauh, permasalahan dalam praktik perencanaan kota di Indonesia, yang secara umum menyangkut tiga hal, yaitu: 1 permasalahan teknis penyusunan rencana tata ruang; 2 ketidak-efektifan rencana tata ruang; dan 3 perbedaan pola pikirpersepsi tentang rencana tata ruang. Permasalahan khusus dalam penataan ruangpembangunan kota terkait dengan konsep penataan ruang yang tanggap terhadap dinamika pembangunan kota. Dalam hal ini perlu pemahaman terhadap aspek-aspek permasalahan spesifik yang mempengaruhi perwujudan pemanfaatan ruang kota sesuai dengan rencana yang ditetapkan, yang meliputi lima aspek, yaitu: manajemen lahan; lingkungan hidup Universitas Sumatera Utara perkotaan; prasarana perkotaan; pembiayaan dan investasi; serta kerja sama pemerintah, swasta, dan masyarakat Soegijoko dan Kusbiantoro, 1997. Di kota-kota terdapat berbagai kemudahan. Kemudahan diartikan sebagai kesempatan untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Semakin tinggi tingkat kemudahan pada suatu tempat, berarti semakin kuat daya tariknya mengundang manusia dan kegiatan ekonomi untuk datang ke tempat tersebut. Diantara kemudahan-kemudahan tersebut jasa distribusi merupakan unsur yang sangat panting, oleh karena itu di kota-kota pada umumnya merupakan pusat kegiatan usaha distribusi, yang selanjutnya menurut Yunus 2005, menyebutnya simpul jasa distribusi atau disingkat dengan simpul. Ada dua faktor panting yang harus diperhatikan dalam pemahaman peranan simpul-simpul, yaitu mengenai fungsi-fungsi simpul dan hirarki simpul dalam sistem spasial. Fungsi primer suatu simpul adalah sebagai pusat pelayanan jasa distribusi bagi wilayah pengembangannya atau wilayah nasional bersifat keluar, sedangkan fungsi sekundernya adalah kehidupan masyarakat di simpul yang bersangkutan bersifat ke dalam. Perbedaan fungsi simpul tersebut mencerminkan pula perbedaan dalam jenis dan kapasitas fasilitas yang tersedia di masing-masing simpul. Hirarki dari tiap simpul ditentukan oleh kedudukannya dalam hubungan fungsional enter simpul yang dicerminkan berdasarkan mekanisme arus distribusi barang. Biasanya pada simpul-simpul yang lebih tinggi ordenya tersedia fasilitas jasa distribusi yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan simpul-simpul yang lebih rendah ordenya. Antara simpul-simpul tersebut, baik antar simpul yang mempunyai Universitas Sumatera Utara tingkatan orde distribusi yang sarna ataupun yang berbeda terdapat keterhubungan dan ketergantungan. Keterhubungan dan ketergantungan antar simpul dapat diketahui dari data arus barang dari tempat asal ke tempat tujuan. Selanjutnya berdasar susunan hirarki serta keterhubungan den ketergantungan dapat ditentukan arah pengembangan pemasarannya secara geografis. Yunus 2005, membedakan wilayah administrasi dengan wilayah pengembangan. Secara administratif, seluruh wilayah terbagi habis, tetapi tidak berarti bahwa seluruh wilayah administrasi secara otomatis tercakup dalam wilayah pengembangan. Dalam kenyataannya beberapa bagian wilayah administrasi tidak terjangkau oleh pelayanan distribusi disebabkan hambatan-hambatan geografis atau karena belum tersedianya prasarana distribusi ke dan dari bagian-bagian wilayah tersebut.

2.3. Teori Pusat Pelayanan