Pengaruh Penerapan Strategi Pertemuan Isolasi Sosial terhadap Kemampuan Sosialisasi Klien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan

(1)

PENGARUH STRATEGI PERTEMUAN ISOLASI SOSIAL

TERHADAP KEMAMPUAN SOSIALISASI KLIEN

DI RUMAH SAKIT JIWA

PROVINSI SUMATERA UTARA MEDAN

SKRIPSI Oleh

Syamsul Rizki Nasution 071101006

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

PRAKATA

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh penerapan strategi pertemuan isolasi sosial terhadap kemampuan sosialisasi klien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan ”

Dalam penyusunan skripsi ini penulis mendapatkan bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak dengan memberikan butir-butir pemikiran yang sangat berharga bagi penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Dedi Ardinata, M.Kes sebagai Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Erniyati, SKp, MNS sebagai Pembantu Dekan I, Evi Karota Bukit, S.Kp, MNS sebagai pembantu dekan II, dan Ikhsanudin A. Harahap, S.Kp, MNS sebagai pembantu dekan III Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Wardiyah Daulay, S.Kp, M.Kep sebagai dosen pembimbing skripsi penulis yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan pengetahuan, arahan, bimbingan, dan ilmu yang bermanfaat serta selalu sabar untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam proses penulisan skripsi ini

4. Bapak Iwan Rusdi S.Kp, MNs, sebagai dosen penguji I dan Ibu Sri Eka Wahyuni S.Kp, M.Kep sebagai dosen Penguji II yang telah berkenan menyediakan waktu dan memberikan masukan-masukan yang berharga dalam penyelesaian skripsi ini.


(4)

5. Ibu Evi Karota Bukit, S.Kp, MNS sebagai dosen pembimbing akademik dan seluruh dosen Fakultas Keperawatn USU yang telah banyak mendidik penulis selama proses perkuliahan.

6. Seluruh dosen dan staf pengajar serta civitas akademika Fakultas Keperawatan USU yang telah memberikan bimbingan selama masa perkuliahan. Semoga Allah membalas ilmu yang telah kalian berikan dengan keberkahan.

7. Kedua orangtua yang penulis sangat sayangi Bapak Syafrudin Nasution dan Mama Zaidar Budur Polem, S.Pd yang selalu membimbing, menghibur, memperhatikan, memberikan motivasi dan semangat kepada penulis. Terimakasih untuk cinta dan kasih sayang yang terus mengalir dari mu Bapak dan Ibu.

8. Terimakasih juga ku ucapkan untuk abang ku tersayang, Abdul Halim Nasution dan adik-adik ku tersayang, Sofyan Hadi Nasution, Fahri Rahman Nasution, Frandika Rahman Nasution dan Rifki Rifaldi Nasution yang selalu mendoakan dan pengertian padaku.

9. Terima Kasih kepada Kepala Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan yang telah mengijinkan meneliti di Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan dan kepada Perawat Ruangan yang ikut membantu proses penelitian.

10. Untuk Sahabat-sahabat ku, Yoga, Randi, Dewi, Ika, Ani, Sonya, Veeza, Egi, Nesya, Novi, Rianti, Arif dan lain- lain yang terus menyemangati ku dalam menyelesaikan skripsi serta menenangkanku saat aku panik. You are my best


(5)

proses perkuliahan dan skripsi ku. Serta teman-teman satu kontrakan Bg Edy dan Aming.

11. Kepada seluruh klien di Ruang Pusuk Bukit dan Gunungsitoli Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan yang telah bersedia menjadi responden.

Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan dan pihak-pihak yang membutuhkan dan penulis sangat mengharapkan adanya saran yang bersifat membangun untuk perbaikan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Medan, Juni 2011


(6)

DAFTAR ISI

Halaman Judul

Lembar Persetujuan ... ii

Prakata ... iii

Daftar Isi ... vi

Daftar Skema ... viii

Daftar Tabel ... ix

Abstrak ... x

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang ... 1

2. Tujuan Penelitian ... 5

2.1 Tujuan Umum ... 5

2.2 Tujuan Khusus ... 5

3. Pertanyaan Penelitian ... 6

4. Manfaat Penelitian ... 6

4.1 Bagi Penelitian Keperawatan ... 6

4.2 Bagi Pelayanan Kesehatan... 6

4.3 Bagi Institusi Pendidikan ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Isolasi Sosial ... 8

1.1 Pengertian ... 8

1.2 Faktor Pendukung/Pencetus Terjadinya isolasi Sosial ... 9

2. Ketidakmampuan Sosialisasi ... 13

2.1 Pengertian ... 13

2.2 Gambaran Umum Individu yang Mengalami Ketidakmampuan Bersosialisasi ... 15

2.3 Ciri-Ciri Individu yang Mengalami Ketidakmampuan Bersosialisasi ... 16

2.4 Aspek-Aspek Ketidakmampuan Bersosialisasi ... 17

2.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Ketidakmampuan Bersosialisasi pada Klien Skizofrenia ... 20

3. Strategi Pertemuan ... 22

3.1 Pengertian ... 22

3.2 Tujuan ... 22

3.3 Pembagian Strategi Pertemuan Isolasi Sosial ... 22

3.4 Evaluasi ... 23

BAB III KERANGKA PENELITIAN 1. Kerangka Konseptual Penelitian ... 25


(7)

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian ... 29

2. Populasi dan Sampel ... 30

2.1 Populasi ... 30

2.2 Sampel ... 30

3. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 31

4. Pertimbangan Etik ... 31

5. Instrumen Penelitian ... 32

5.1 Kuisioner Data Demografi... 32

5.2 Lembar Observasi ... 33

6. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 33

7. Pengumpulan Data ... 34

8. Analisa Data ... 36

8.1 Analisa Univariat ... 36

8.2 Analisa Bivariat ... 36

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitian... 38

1.1 Analisa Univariat ... 38

1.2 Analisa Bivariat ... 40

2. Pembahasan ... 43

2.1 Kemampuan Sosialisasi ... 43

2.2 Pengaruh strategi pertemuan isolasi sosial terhadap kemampuan sosialisasi klien ... 45

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Hasil Penelitian ... 48

2. Saran ... 49

2.1 Bagi Praktek Keperawatan ... 49

2.2 Bagi Pendidikan Keperawatan ... 49

2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50

LAMPIRAN 1. Surat Izin Pengambilan Data RSJ Provsu Medan ... 53

2. Instrumen Penelitian ... 54

3. Lembar Observasi Kemampuan Sosialisasi ... 55

4. Jadwal Proses Penelitian Penerapan Strategi Pertemuan Isolasi Sosial ... 56

5. HasilAnalisa Data ... 57

6. Hasil Uji Bivariat... 64

7.Daftar Riwayat Hidup ... 66


(8)

DAFTAR SKEMA

Skema 3.1. Skema Kerangka Konseptual Penelitian ... 26 Skema 4.1. Skema Desain Penelitian ... 29


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Defenisi Operasional ... 26 Tabel 5.1 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi Agama,

Pendidikan terakhir, Pekerjaan dan Status Perkawinan ... 39 Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi Umur dan

Lama Hari Rawat ... 40 Tabel 5.2 Perbedaan Kemampuan Sosialisasi Klien pada Kelompok Kontrol dan

Intervensi Sebelum dan Sesudah Diterapkan Strategi Pertemuan Isolasi

Sosial. ... 42 Tabel 5.3 Pengaruh Penerapan Strategi Pertemuan Isolasi Sosial terhadap


(10)

Judul :Pengaruh penerapan strategi pertemuan isolasi sosial terhadap

kemampuan sosialisasi klien di Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan

Nama Mahasiswa : Syamsul Rizki Nasution

NIM : 071101006

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep) Tahun Akademik : 2011

Abstrak

Ketidakmampuan sosialisasi adalah ketidakmampuan individu untuk bersikap dan bertingkahlaku yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Kemunduran fungsi sosial di dalam diagnosa keperawatan jiwa disebut isolasi sosial. Salah satu upaya yang dapat dilakukan agar meningkatkan kemampuan sosialisasi adalah penerapan strategi pertemuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan strategi pertemuan isolasi sosial terhadap kemampuan sosialisasi klien di RSJ Provinsi Sumatera Utara Medan. Desain penelitian adalah quasi eksperimen. Besar sampel ditentukan berdasarkan tabel power analysis dengan jumlah sampel 26 orang. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan kriteria sampel klien dengan masalah utama isolasi sosial, kooperatif dan sedang dirawat di RSJ Provsu Medan. Instrument penelitian yang digunakan berupa kuesioner data demografi dan lembar observasi kemampuan sosialisasi. Pengumpulan data dilakukan selama 2 minggu. Hasil pengumpulan data diuji menggunakan uji paired t-test yang digunakan untuk membandingkan kemampuan sosialisasi klien pre dan post penerapan strategi pertemuan isolasi sosial pada kelompok intervensi dan untuk membandingkan ada atau tidaknya perbedaan kemampuan sosialisasi pada kelompok kontrol. Berdasarkan hasil analisa data uji unpaired t-test diketahui bahwa ada pengaruh penerapan strategi pertemuan isolasi sosial terhadap peningkatan kemampuan sosialisasi klien dengan nilai p=0.000 (p<0,05). Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa. Perawat dapat menerapkan strategi pertemuan isolasi sosial dengan serius dan rutin menggunakan metode pendekatan agar hasil yang ingin dicapai maksimal.


(11)

Title : Effect of Social Isolation Meeting Strategy to the Social Ability in Sumatera Utara Psychiatric Hospital, Medan

Name : Syamsul Rizki Nasution NIM : 071101006

Department : Bachelor of Nursing (S.Kep) Year : 2011

ABSTRACT

Social disability is the disability of individuals to act and behave to be accepted by their social environment. Deterioration of social functioning in mental nursing diagnosis is called social isolation. One effort that can be done to improve the ability of socialization is the implementation of the strategy meeting. This study aims to determine the effect of the implementation social isolation strategy of meeting of clients social ability in Sumatera Utara Psychiatric Hospital, Medan. The research design was quasi experimental. Sample size was determined by power analysis table with the number of samples 26 people. Sampling method used was purposive sampling with sample criteria clients with major problems of social isolation, cooperative and being treated in Psychiatric Hospital Provsu Medan. Research instruments were demographic data questionnaire and observation sheet socialization skills. The data was collected for 2 weeks from 21st January up to 05th February 2011. The results of data collection were analysed using paired t-test test used to compare the client's social ability pre and post implementation of the social isolation strategy meeting in the intervention group and to compare the presence or absence of differences in the ability of socialization in the control group. Based on the results of analysis of test data unpaired t-test is known that there is influence the implementation of strategies towards meeting social isolation increased socialization ability clients with the value of p = 0.000 (p <0.05). The results of this study can be utilized by nurses in providing nursing care of the psychiatric. Nurses can implement a strategy meeting social isolation seriously and routinely used method of approach in order to achieve maximum results.


(12)

Judul :Pengaruh penerapan strategi pertemuan isolasi sosial terhadap

kemampuan sosialisasi klien di Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan

Nama Mahasiswa : Syamsul Rizki Nasution

NIM : 071101006

Jurusan : Sarjana Keperawatan (S.Kep) Tahun Akademik : 2011

Abstrak

Ketidakmampuan sosialisasi adalah ketidakmampuan individu untuk bersikap dan bertingkahlaku yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Kemunduran fungsi sosial di dalam diagnosa keperawatan jiwa disebut isolasi sosial. Salah satu upaya yang dapat dilakukan agar meningkatkan kemampuan sosialisasi adalah penerapan strategi pertemuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan strategi pertemuan isolasi sosial terhadap kemampuan sosialisasi klien di RSJ Provinsi Sumatera Utara Medan. Desain penelitian adalah quasi eksperimen. Besar sampel ditentukan berdasarkan tabel power analysis dengan jumlah sampel 26 orang. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling dengan kriteria sampel klien dengan masalah utama isolasi sosial, kooperatif dan sedang dirawat di RSJ Provsu Medan. Instrument penelitian yang digunakan berupa kuesioner data demografi dan lembar observasi kemampuan sosialisasi. Pengumpulan data dilakukan selama 2 minggu. Hasil pengumpulan data diuji menggunakan uji paired t-test yang digunakan untuk membandingkan kemampuan sosialisasi klien pre dan post penerapan strategi pertemuan isolasi sosial pada kelompok intervensi dan untuk membandingkan ada atau tidaknya perbedaan kemampuan sosialisasi pada kelompok kontrol. Berdasarkan hasil analisa data uji unpaired t-test diketahui bahwa ada pengaruh penerapan strategi pertemuan isolasi sosial terhadap peningkatan kemampuan sosialisasi klien dengan nilai p=0.000 (p<0,05). Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa. Perawat dapat menerapkan strategi pertemuan isolasi sosial dengan serius dan rutin menggunakan metode pendekatan agar hasil yang ingin dicapai maksimal.


(13)

Title : Effect of Social Isolation Meeting Strategy to the Social Ability in Sumatera Utara Psychiatric Hospital, Medan

Name : Syamsul Rizki Nasution NIM : 071101006

Department : Bachelor of Nursing (S.Kep) Year : 2011

ABSTRACT

Social disability is the disability of individuals to act and behave to be accepted by their social environment. Deterioration of social functioning in mental nursing diagnosis is called social isolation. One effort that can be done to improve the ability of socialization is the implementation of the strategy meeting. This study aims to determine the effect of the implementation social isolation strategy of meeting of clients social ability in Sumatera Utara Psychiatric Hospital, Medan. The research design was quasi experimental. Sample size was determined by power analysis table with the number of samples 26 people. Sampling method used was purposive sampling with sample criteria clients with major problems of social isolation, cooperative and being treated in Psychiatric Hospital Provsu Medan. Research instruments were demographic data questionnaire and observation sheet socialization skills. The data was collected for 2 weeks from 21st January up to 05th February 2011. The results of data collection were analysed using paired t-test test used to compare the client's social ability pre and post implementation of the social isolation strategy meeting in the intervention group and to compare the presence or absence of differences in the ability of socialization in the control group. Based on the results of analysis of test data unpaired t-test is known that there is influence the implementation of strategies towards meeting social isolation increased socialization ability clients with the value of p = 0.000 (p <0.05). The results of this study can be utilized by nurses in providing nursing care of the psychiatric. Nurses can implement a strategy meeting social isolation seriously and routinely used method of approach in order to achieve maximum results.


(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Skizofrenia merupakan salah satu gangguan kejiwaan berat dan menunjukkan adanya disorganisasi (kemunduran) fungsi kepribadian, sehingga menyebabkan disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994 dalam Suryani, 2004). Gangguan jiwa jenis ini dapat terjadi mulai sekitar masa remaja dan kebanyakan penderitanya adalah berjenis kelamin laki-laki dan menjadi sakit pada usia antara 15-35 tahun, sedangkan pada perempuan kebanyakan penampakan gejala antara usia 25-35 tahun (Kaplan, dkk, 1991). Gangguan kejiwaan skizofrenia ini sering menyebabkan kegagalan individu dalam mencapai berbagai keterampilan yang diperlukan untuk hidup yang menyebabkan penderita menjadi beban keluarga dan masyarakat (Chandra, 2004).

Prabandari, dkk (2003) menyebutkan bahwa prevalensi skizofrenia di Indonesia diperkirakan 1 permil, meski angka yang pasti belum diketahui karena penelitian prevalensi skizofrenia secara khusus belum dilakukan di Indonesia. Berdasarkan data rekam medik Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara tahun 2009, diketahui dari 12.377 penderita yang dirawat jalan yang menderita skizofrenia paranoid berjumlah 9.532 (96,51%) dengan berbagai tipe dan diketahui dari 1.929 penderita yang dirawat inap yang menderita skizofrenia


(15)

Gangguan kejiwaan atau skizofrenia adalah suatu gangguan psikosis fungsional berupa gangguan mental berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang khas seperti, kemunduran fungsi sosial, fungsi kerja, dan perawatan diri. Skizofrenia Tipe I ditandai dengan menonjolnya gejala-gejala positif seperti halusinasi, delusi, dan asosiasi longgar, sedangkan pada Skizofrenia Tipe II ditemukan gejala-gejala negatif seperti penarikan diri, apatis, dan perawatan diri yang buruk (Forum Sains Indonesia, 2008).

Salah satu tanda dan gejala dari klien yang mengalami skizofrenia ialah terjadinya kemunduran sosial. Kemunduran sosial tersebut terjadi apabila seseorang mengalami ketidakmampuan ataupun kegagalan dalam menyesuaikan diri (adaptif) terhadap lingkungannya, seseorang tersebut tidak mampu berhubungan dengan orang lain atau kelompok lain secara baik, sehingga menimbulkan gangguan kejiwaan yang mengakibatkan timbulnya perilaku maladaptif terhadap lingkungan di sekitarnya.

Karakteristik pasien yang mengalami gangguan dalam berhubungan dengan orang lain dapat dijumpai karakteristik berupa ketidaknyamanan dalam interaksi sosial, ketidakmampuan untuk menerima pendapat orang lain, gangguan interaksi dengan teman-teman dekat, keluarga, dan orang-orang terdekat lainnya. Gangguan ini menyebabkan terjadinya perilaku manipulatif pada individu yakni perilaku agresif atau melawan/menentang terhadap orang lain yang menghalangi keinginannya atau dalam usaha untuk memenuhi kebutuhannya. Jika perilaku manipulatif tidak teratasi maka akan terjadi perilaku menarik diri yaitu usaha untuk menghindari interaksi dengan orang lain dan kemudian menghindari


(16)

berhubungan sebagai suatu pertahanan terhadap ansietas yang berhubungan sebagai suatu stresor/ancaman (Tucker, dkk. 1998).

Hasil Penelitian Hatfield (1998) menunjukkan bahwa sekitar 72% pasien gangguan jiwa yang mengalami isolasi sosial dan 64% tidak mampu memelihara diri sendiri. Umumnya keterampilan sosial pasien buruk, umumnya disebabkan karena onset dini penyakitnya. Penilaian yang salah terhadap interaksi sosial, kecemasan yang tinggi dan gangguan pemprosesan informasi.

Kemunduran fungsi sosial yang dialami seseorang di dalam diagnosa keperawatan jiwa disebut isolasi sosial. Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya (Purba, dkk. 2008). Pasien isolasi sosial memiliki kemampuan sosialisasi yang rendah karena sifatnya yang selalu menarik diri dari lingkungannya.

Upaya yang dapat dilakukan dalam peningkatan kejiwaan seseorang dapat dilakukan melalui pendekatan secara promotif, preventif dan rehabilitatif. Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerja sama antar perawat dengan klien, keluarga dan masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal. Proses keperawatan yaitu terlaksananya asuhan keperawatan sesuai dengan kebutuhan dan masalah klien sehingga mutu pelayanan keperawatan menjadi optimal. Salah satu yang dapat dilakukan di dalam keperawatan jiwa adalah dengan menerapkan Strategi Pelaksanaan (SP) dalam tindakan keperawatan. Strategi Pelaksanaan (SP) merupakan alat yang


(17)

digunakan perawat jiwa sebagai jadikan sebagai panduan ketika berinteraksi dengan klien (Fitria, 2009)

Mengingat bahwa skizofrenia merupakan salah satu gangguan jiwa berat, maka penderita sering memperlihatkan berbagai gejala psikopatologis secara nyata yang membuat mereka terlihat berbeda dalam penampilan, cara berbicara dan tingkah lakunya, sehingga keluarga dan masyarakat sering menolak keberadaan mereka. Terjadinya pemisahan secara sosial terhadap individu yang mengalami gangguan skizofrenia mengakibatkan terjadinya kemunduran kehidupan sosial yang pada akhirnya penderita akan mengalami ketidakmampuan bersosialisasi (sosial disabilitas). Ketidakmampuan bersosialisasi pada penderita skizofrenia tergantung dari tingkat keparahan simptom psikologis yang dialami penderita, dimana semakin dominan tingkah laku simptomatologik menguasai seluruh tingkah lakunya, semakin buruk juga ketidakmampuan bersosialisasi yang dialami oleh penderita.

Kuntjoro (1989) menyatakan ketidakmampuan bersosialisasi merupakan ketidakmampuan untuk bersikap dan bertingkah laku yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Individu yang dalam kehidupannya menuruti kemauannya sendiri, tanpa mengindahkan norma-norma sosial yang berlaku, mengganggu lingkungan dan tidak terampil secara sosial dianggap mengalami gangguan kejiwaan atau perilakunya menyimpang dan hal ini tidak dapat diterima oleh lingkungannya. Semakin berat gangguannya, maka semakin keras pula usaha masyarakat untuk mengusir, menolak atau mengisolasi dengan alasan ketertiban, keamanan dan ketentraman, sehingga kondisi ini menuntut suatu penanganan yang serius dari berbagai disiplin ilmu.


(18)

Berbagai upaya perbaikan terhadap tingkah laku simptomatik yang dialami penderita telah dilakukan di rumah sakit jiwa, salah satunya adalah menerapkan strategi pertemuan. Strategi pertemuan adalah pelaksanaan standar asuhan keperawatan terjadwal yang diterapkan pada pasien dan keluarga pasien yang bertujuan untuk mengurangi masalah keperawatan jiwa yang ditangani. Pada klien isolasi sosial, strategi pertemuan yang dilakukan berupa berkenalan dengan satu orang, dua orang atau lebih untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi pasien sehingga diharapkan pasien dapat kembali bersosialisasi di masyarakat.

Pelaksanaan standar asuhan keperawatan jiwa saat ini terutama penerapan strategi pertemuan telah sering dilakukan terutama mahasiswa yang sedang profesi di rumah sakit jiwa. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh strategi pertemuan isolasi sosial, peneliti berminat memilih judul ‘Pengaruh penerapan strategi pertemuan isolasi sosial terhadap kemampuan sosialisasi klien di Rumah sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan’.

2. Tujuan Penelitian 2.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh penerapan strategi pertemuan isolasi sosial terhadap kemampuan sosialisasi klien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan.


(19)

2.2.2. Mengetahui kemampuan sosialisasi pada klien isolasi sosial sebelum dan setelah pada kelompok yang mendapatkan intervensi di RSJ Provsu Medan.

2.2.3. Mengetahui kemampuan sosialisasi pada klien isolasi sosial sebelum dan setelah pada kelompok yang tidak mendapatkan intervensi di RSJ Provsu Medan.

2.2.4. Mengetahui perbedaan kemampuan sosialisasi klien sebelum dan setelah intervensi pada klien yang mendapatkan intervensi dan tidak mendapatkan intervensi di RSJ Provsu Medan.

3 Pertanyaan Penelitian

Bagaimana pengaruh penerapan strategi pertemuan isolasi sosial terhadap kemampuan sosialisasi klien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan ?

4. Manfaat Penelitian

4.1.Bagi Praktek Keperawatan

Sebagai bahan masukan dan informasi bagi perawat atau petugas kesehatan lainnya mengenai pentingnya strategi pertemuan terhadap kemampuan sosialisasi klien isolasi sosial.


(20)

4.3. Bagi Pendidikan Keperawatan

Sebagai bahan masukan untuk pengembangan ilmu keperawatan, khususnya ilmu keperawatan jiwa, sehingga dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan jiwa selanjutnya.

4.1.Bagi Penelitian Selanjutnya

Diharapkan penelitian ini bisa dijadikan masukan ataupun panduan bagi peneliti selanjutnya, mengenai strategi pertemuan pada klien yang mengalami isolasi sosial.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Isolasi Sosial 1.1 Pengertian

Menurut Townsend (1998), isolasi sosial merupakan keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain dianggap menyatakan sikap negatif dan mengancam bagi dirinya. Sedangkan menurut DEPKES RI (1998) penarikan diri atau withdrawal merupakan suatu tindakan melepaskan diri, baik perhatian maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung yang dapat bersifat sementara atau menetap.

Isolasi sosial merupakan keadaan di mana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak (Carpenito, 1998). Menurut Rawlins & Heacock (1998) isolasi sosial menarik diri merupakan usaha menghindari dari interaksi dan berhubungan dengan orang lain, individu merasa kehilangan hubungan akrab, tidak mempunyai kesempatan dalam berfikir, berperasaan, berprestasi, atau selalu dalam kegagalan.


(22)

Isolasi sosial merupakan kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu keadaan yang negatif atau mengancam kelainan interaksi sosial. Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampua berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain.

1.2 Faktor pendukung/pencetus terjadinya isolasi sosial Rentang respon perilaku

Respon adaptif Respon maladaptif

Solitude Kesepian Manipulasi

Otonomi Menarik diri Impulsif

Bekerjasama Tergantung Narkisisme

Saling tergantung

Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma, sosial, dan kebudayaan secara umum yang berlaku di masyarakat. Respon adaptif terdiri dari : solitud, otonomi, bekerjasama, dan saling tergantung. Respon maladaptif adalah respon yang menimbulkan gangguan dengan berbagai tingkat keparahan (Stuart dan Sundeen, 1998). Respon maladaptif terdiri dari manipulasi, impulsif, dan narkisisme. Berdasarkan gambar rentang respon sosial di atas,


(23)

menarik diri termasuk dalam transisi antara respon adaptif dengan maladaptif sehingga individu cenderung berfikir kearah negatif.

Berbagai faktor dapat menimbulkan respon yang maladaptif. Akan tetap, menurut Stuart dan Sundeen (1998), belum ada suatu kesimpulan yang spesifik tentang penyebab gangguan yang mempengaruhi hubungan interpersonal.

Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi antara lain yaitu:

1.2.1 Faktor predisposisi

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:

a. Faktor perkembangan

Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi, maka akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih saying, perhatian, dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun lingkungan dikemudian hari. Oleh karena itu, komunikasi yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak merasa diperlakukan sebagai objek.


(24)

Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi penting dalam mengembangkan gangguan tingkah laku seperti sikap bermusuhan/hostilitas, sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak, selalu mengkritik, menyalahkan, dan anak tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya, kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada pembicaraan anak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga, kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam pemecahan masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah, ekspresi emosi yang tinggi, double bind, dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya meningkat

c. Faktor sosial budaya.

Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga seperti anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.

d. Faktor biologis

Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarga yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian kembar monozigot apabila salah satu diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi kembar dizigot persentasenya 8%.


(25)

Kelainan pada struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia.

1.2.2 Faktor presipitasi

Stresor presipitasi dapat ditimbulkan oleh faktor internal maupun eksternal, meliputi:

a. Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dan dirawat di rumah sakit atau di penjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.

b. Stressor biokimia berupa teori dopamin yaitu kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta traktus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia. Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) di dalam darah akan meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka penurunannya MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.Faktor endokrin berupa jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan karena dihambat oleh dopamin. Hipertiroidisme, adanya peningkatan maupun penurunan hormon adrenokortikal seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik. Viral hipotesis yaitu beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah struktur sel-sel otak.


(26)

c. Stresor biologik dan lingkungan sosial

Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.

d. Stresor psikologis

Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intensitas kecemasan ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik.

Menurut teori psikoanalisa, perilaku skizofrenia disebabkan karena ego tidak dapat menahan tekanan yang berasal dari id maupun realitas yang berasal dari luar. Ego pada klien psikotik mempunyai kemampuan terbatas untuk mengatasi stress. Hal ini berkaitan dengan adanya masalah serius antara hubungan ibu dan anak pada fase simbiotik sehingga perkembangan psikologis individu terhambat.

Strategi koping digunakan pasien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya.

Strategi koping yang sering digunakan pada masing-masing tingkah laku adalah sebagai berikut:

1) Tingkah laku curiga: proyeksi


(27)

4) Curiga, waham, halusinasi: proyeksi, denial

5) Manipulatif: regrasi, represi, isolasi

6) Skizofrenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi, isolasi, represi, dan

regrasi.

2. Ketidakmampuan Sosialisasi 2.1 Pengertian

Menurut World Health Organization (WHO, 1989) ketidakmampuan bersosialisasi (social disability) adalah ketidakmampuan individu dalam melakukan hubungan sosial secara sehat dengan orang orang disekitarnya. Karena ketidakmampuan mereka untuk bersosialisasi, beberapa individu memiliki masalah untuk menjalani hidup bersama dengan individu normal. Mereka sulit untuk melakukan semua aktivitas seperti yang dilakukan oleh individu normal yang ada di sekitarnya.

Kuntjoro (1989) menjelaskan bahwa kemunduran sosial atau ketidak mampuan bersosialisasi adalah ketidakmampuan individu untuk bersikap dan bertingkahlaku yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Individu yang dalam kehidupannya menuruti kemauannya sendiri tanpa mengidentifikasikan norma sosial dan mengganggu lingkungan dianggap tidak terampil secara sosial atau disebut mengalami ketidakmampuan bersosialisasi atau kemunduran sosial. Individu hidup dalam dunianya sendiri (autistik) yang tidak dapat dimengerti dan


(28)

tidak dapat diterima oleh orang lain. Hal ini berarti pula individu tidak mengindahkan tuntutan lingkungan sosialnya atau tidak mampu menyesuaikan diri yang selanjutnya oleh WHO (1980) disebut sebagai catatan psikososial (psychosocial disability).

Pengertian yang lebih rinci mengenai ketidakmampuan bersosialisasi diungkapkan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa (1996), yaitu suatu keadaan dimana individu bertingkah laku yang tidak lazim, kacau atau secara sosial tidak dapat diterima atau tidak pantas muncul. Tingkah laku yang tidak lazim adalah tingkah laku yang diperlihatkan oleh pasien yang sifatnya tidak biasa, aneh dan kadang kadang tidak dapat diterima oleh masyarakatnya. Namun perlu diperhatikan pula bahwa gaya hidup individu yang berbeda dari gaya hidup orang lain, terutama jika ia berasal dari suku atau masyarakat kebudayaan tertentu. Di Indonesia istilah cacat mempunyai arti dari ketiga keadaan berikut: impairment, disabilities dan handicap, karena sangat luasnya pengertian istilah-istilah tersebut, maka Forum Asean merekomendasikan penggunaan defenisi-defenisi yang ditetapkan oleh WHO (1989) dengan maksud untuk memudahkan kepentingan komunikasi. Istilah-istilah tersebut didefenisikan sebagai berikut:

a. Impairment

Impairment adalah hilangnya atau adanya kelainan (abnormalitas) dari pada struktur atau fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik atau anatomik. Cacat dapat bersifat sementara (temporer) ataupun menetap (permanen). Dan yang dikatakan cacat adalah apa saja yang biasa disebut dengan anomaly defect yang


(29)

fungsi mental. Kondisi cacat merupakan eksteriorasi keadaan patologik yang prinsipnya mencerminkan gangguan kesehatan yang terjadi pada tingkat organ.

b. Disabilities

Disability merupakan keterbatasan atau kurangnya kemampuan (akibat dari adanya cacat) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas dan cara yang dianggap nomal bagi manusia. Kondisi ini dapat bersifat sementara, menetap dan membaik atau memburuk. Disabilities juga timbul sebagai akibat langsung adanya cacat atau secara tak langsung sebagai reaksi individu, khususnya secara psikologik pada cacat fisik dan sensorik.

c. Handicap

Handicap adalah kemunduran pada seseorang akibat adanya cacat atau disabilitas yang membatasi atau mencegahnya untuk dapat berperan normal bagi individu (sesuai umur, seks dan faktor sosial budaya). Kondisi ini ditandai dengan adanya ketidaksesuaian antara prestasi seseorang atau statusnya dengan harapannya atau kelompoknya. Handicap merupakan sosialisasi dari cacat dan disabilitas dan mencerminkan konsekuensi bagi individu dalam budaya, sosial, ekonomi, dan lingkungannnya yang berpangkal pada adanya cacat dan disabilitas.

2.2 Gambaran umum individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi

Menurut WHO (1989), bahwa angka rata-rata kematian diantara individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi lebih banyak dibanding individu yang normal. Seringkali kekurangan perhatian dalam sosialisasi dapat menyebabkan dan menggandakan ketidakmampuan bersosialisasi. Individu yang


(30)

mengalami ketidakmampuan bersosialisasi tidak memiliki kunci masuk ke dalam kelompok masyarakat dan kesempatan untuk bersama-sama dengan masyarakat lain, seperti lembaga kesehatan, sekolah dan institusi pendidikan, program pelatihan keahlian, program pelatihan kerja dan pekerjaan.

Di beberapa negara, wanita dewasa yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi hanya mempunyai pendidikan yang rendah dibandingkan individu dewasa yang normal. Pemisahan secara sosial terhadap individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi semakin memperburuk keadaannya. Individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi biasanya dipisahkan oleh masyarakat setempat. Sikap negatif dan perilaku yang mendiskriminasikan individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi dianggap sebagai suatu keharusan.

2.3 Ciri-ciri individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi

WHO (1989) menetapkan bahwa individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi adalah individu yang tidak dapat melakukan aktivitas yang biasanya dapat dilakukan oleh individu normal seperti tidak dapat makan dan minum sendiri, tidak bisa menjaga kebersihan, tidak mampu memakai pakaian sendiri, tidak mengerti instruksi yang mudah, tidak mampu atau merasa sulit dalam mengekspresikan kebutuhan, pikiran dan perasaannya, tidak mengerti gerakan dan tanda-tanda untuk komunikasi, tidak mampu menggunakan gerakan-gerakan dan tanda-tanda untuk komunikasi yang dimengerti oleh individu lain, tidak dapat berkomunikasi dengan berbicara dan menggunakan bahasa dengan individu lain di sekelilingnya, tidak ikut bergabung dalam aktivitas keluarga, tidak


(31)

tidak mempunyai penghasilan yang untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, dan kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari dalam rumah tangga.

2.4 Aspek-aspek ketidakmampuan bersosialisasi

Menurut Kuntjoro (1989), aktivitas klien yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan atas tiga yaitu (a) Tingkah laku yang berhubungan dengan kegiatan kebutuhan hidup sehari-hari (Activity Daily Living = ADL), (b) tingkah laku sosial dan (c) tingkah laku sosial okupasional yang dapat dijabarkan sebagai berikut :

a. Activity Daily Living (ADL)

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang meliputi:

1) Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan klien sewaktu bangun tidur. 2) Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua bentuk tingkah

laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB dan BAK.

3) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam kegiatan mandi dan sesudah mandi.

4) Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan keperluan berganti pakaian.

5) Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada waktu, sedang dan setelah makan dan minum.

6) Kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan dengan kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.


(32)

7) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauh mana klien mengerti dan dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti tidak menggunakan/menaruh benda tajam sembarangan, tidak merokok sambil tiduran, memanjat di tempat yang berbahaya tanpa tujuan yang positif.

8) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang klien untuk pergi tidur. Pada klien gangguan jiwa tingkah laku pergi tidur ini perlu diperhatikan karena sering merupakan gejala primer yang muncul pada gangguan jiwa. Dalam hal ini yang dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi bagaimana klien mau mengawali tidurnya.

b. Tingkah laku sosial

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan sosial klien dalam kehidupan masyarakat yang meliputi

1) Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku klien untuk melakukan hubungan sosial dengan sesama klien, misalnya menegur kawannya, berbicara dengan kawannya dan sebagainya.

2) Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku klien untuk melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa, menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada kesulitan dan sebagainya.

3) Kontak mata waktu bicara, yaitu sikap klien sewaktu bicara dengan orang lain seperti memperhatikan dan saling menatap sebagai tanda adanya kesungguhan dalam berkomunikasi.


(33)

5) Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah sakit.

6) Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata krama atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas maupun orang lain.

7) Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku klien yang bersifat mengendalikan diri untuk tidak mengotori lingkungannya, seperti tidak meludah sembarangan, tidak membuang puntung rokok sembarangan dan sebagainya.

c. Tingkah laku okupasional

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kegiatan seseorang untuk melakukan pekerjaan, hobi dan rekreasi sebagai salah satu kebutuhan kehidupannya yang meliputi:

1) Tertarik pada kegiatan/pekerjaan, yaitu timbulnya rasa tertarik untuk berbuat sesuatu, baik berupa pekerjaan, hobi dan rekreasi, seperti menyapu, membantu orang lain, bermain, menonton dan sebagainya.

2) Bersedia melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu bentuk kegiatan yang dilakukan klien untuk bekerja, berekreasi, melaksanakan hobi atau melakukan kegiatan positif lainnya, seperti sembahyang dan membaca.

3) Aktif/rajin melakukan kegiatan atau pekerjaan, yaitu tingkah laku klien yang bersedia melakukan kegiatan dengan menunjukkan keaktifan/kerajinannya. 4) Produktif dalam melakukan kegiatan, yaitu adanya hasil perbuatan yang dapat

diamati/observasi, baik kualitas maupun kuantitasnya.

5) Terampil dalam melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu sejauhmana klien memiliki kemampuan, kecakapan dan keterampilan dalam melakukan


(34)

tindakannya (wajar, tidak kaku, enak dilihat orang sehingga tidak menimbulkan rasa khawatir bagi petugas/orang lain).

6) Menghargai hasil pekerjaan dan milik pribadi, yaitu tingkah laku klien untuk menghargai (punya tenggang rasa) terhadap hasil pekerjaannya sendiri dan hasil pekerjaan orang lain.

7) Bersedia menerima perintah, larangan dan kritik, yaitu sikap dan perbuatan pasien terhadap perintah, larangan maupun kritik dari orang lain. Sikap dan perbuatan tersebut berupa reaksi klien bila diperintah/disuruh, dilarang/dikritik, reaksi tersebut dapat lambat, cepat, menolak, tak mengindahkan dan sebagainya.

2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya ketidakmampuan bersosialisasi pada klien skizofrenia

Birchwood (1987) membuktikan bahwa munculnya gejala-gejala kekambuhan dan ketidakmampuan adaptasi sosial pada penderita skizofrenia berhubungan dengan cara dan efektivitas keluarga dalam mengatasi permasalahan, hilangnya kohesi dalam keluarga yang dirasa berlebihan. Liberman (1989) menambahkan bahwa yang mengakibatkan makin buruknya ketidakmampuan bersosialisasi diantara penderita skizofrenia adalah jumlah dan bentuk stressor dalam kehidupan, ketidakmampuan menyelesaikan masalah dan dukungan sosial yang kurang.

Hasil Penelitian Klerman (1971) menggambarkan bahwa timbulnya social functioning impairment diakibatkan oleh tingkah laku simptomatik yang


(35)

melanjutkan penelitian tersebut dan menambahkan bahwa semakin buruk simptomatik psikiatriknya maka akan semakin buruk juga social functioning.

Direktorat Kesehatan Jiwa (1997) menyatakan bahwa kadang-kadang pasien skizofrenia tidak dapat diterima dengan baik oleh lingkungan keluarga dan masyarakat yang dapat menimbulkan dan memperparah ketidakmampuan bersosialisasi yang diderita oleh penderita skizofrenia. Hal ini disebabkan oleh bermacam faktor, diantaranya:

2.5.1 Sebagian masyarakat percaya kecacatan akibat hukuman Tuhan, pengaruh makhluk halus dan akibat berhubungan dengan penderita skizofrenia, karenanya keluarga dan masyarakat menempatkan penderita di rumah. Kondisi ini akan mengakibatkan penderita mempunyai perasaan bahwa kedudukannya dalam keluarga kurang penting dibandingkan lainnya.

2.5.2 Akibat gangguan yang dideritanya beberapa penderita skizofrenia terlihat berbeda dalam penampilan, cara berbicara dan tingkah lakunya, sehingga keluarga dan masyarakat sering mempunyai pendapat bahwa penderita skizofrenia berbeda dengan mereka.

2.5.3 Anak-anak atau orang dewasa terkadang tidak memperhatikan apa yang dikatakan penderita atau menertawakan kesulitan penderita. Mereka memandang penderita kurang penting dibandingkan masyarakat lain.

2.5.4 Keluarga dan masyarakat yang menertawakan penderita skizofrenia karena mereka tidak mengerti penderita skizofrenia dan tidak mengetahui mengenai kecacatan dan penyebabnya.


(36)

3. Strategi Pertemuan 3.1 Pengertian

Strategi pertemuan adalah pelaksanaan standar asuhan keperawatan terjadwal yang diterapkan pada klien dan keluarga pasien yang bertujuan untuk mengurangi masalah keperawatan jiwa yang ditangani (Fitria, 2009).

3.2 Tujuan

3.2.1 Klien mampu membina hubungan saling percaya

3.2.2 Klien mampu menyadari penyebab isolasi sosial

3.2.3 Klien mampu berinteraksi dengan orang lain

3.3 Pembagian strategi pertemuan isolasi sosial 3.3.1 Kemampuan Merawat klien

Strategi Pertemuan 1 (SP1) :

1) Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial (teman yang disukai, yang tidak disukai, dan alasannya).

2) Berdiskusi dengan klien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain. 3) Berdiskusi dengan klien tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain. 4) Mengajarkan klien cara berkenalan dengan satu orang.

5) Menganjurkan klien memasukkan kegiatan latihan berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian.


(37)

1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.

2) Memberikan kesempatan kepada klien mempraktekkan cara berkenalan dengan satu orang.

3) Membantu klien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian

Strategi Pertemuan 3 (SP3)

1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.

2) Memberi kesempatan untuk berkenalan dengan dua orang atau lebih. 3) Menganjurkan klien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan harian 3.3.2 Kemampuan Merawat Keluarga

Strategi Pertemuan 1 (SP1)

1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien isolasi sosial.

2) Menjelaskan pengertian, tanda, dan gejala isolasi sosial yang dialami klien beserta proses terjadinya.

3) Menjelaskan cara-cara merawat klien isolasi sosial (cara berkenalan dengan orang lain).

Strategi Pertemuan 2 (SP2)

1) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat klien dengan isolasi sosial. 2) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada klien isolasi sosial. Strategi pertemuan 3 (SP3)

1) Membantu keluarga membuat jadwal aktifitas di rumah termasuk minum obat. 2) Menjelaskan follow up klien dan rujukan.


(38)

3.4 Evaluasi

3.4.1 Evaluasi kemampuan klien yaitu klien menjelaskan kebiasaan berinteraksi, klien menjelaskan penyebab tidak bergaul dengan orang lain, klien menyebutkan keuntungan bergaul dengan orang lain, klien menyebutkan kerugian tidak bergaul dengan orang lain, klien memperagakan cara berkenalan dengan orang lain, klien bergaul/berinteraksi dengan perawat, keluarga, tetangga, klien menyampaikan perasaan setelah interaksi dengan orang tua, klien mempunyai jadwal bercakap-cakap dengan orang lain, dan klien menggunakan obat dengan patuh

3.4.2 Evaluasi kemampuan keluarga yaitu keluarga menyebutkan masalah isolasi sosial dan akibatnya, keluarga menyebutkan penyebab dan proses terjadinya isolasi sosial, keluarga membantu klien berinteraksi dengan orang lain, dan keluarga melibatkan klien melakukan kegiatan di rumah tangga.


(39)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual dalam penelitian ini bertujuan mengidentifikasi pengaruh penerapan strategi pertemuan isolasi sosial terhadap kemampuan sosialisasi klien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan.

Strategi pertemuan tindakan keperawatan merupakan alat yang dijadikan sebagai panduan oleh seorang perawat jiwa ketika berinteraksi dengan klien. Strategi pelaksanaan yang diberikan berupa informasi, tata cara menjalin hubungan sosial disertai dengan adanya praktik atau latihan, umpan balik, pembelajaran ulang dan ingatan sehingga membentuk suatu ciri dari pembelajaran psikomotorik.

Umpan balik ini bertujuan untuk memberitahukan kemampuan pasien tentang bersosialisasi, sehingga mekanisme internal dari seorang pasien dapat menjalin hubungan sosial dengan orang lain dan berusaha untuk merubah perilaku menarik diri serta perkembangan keterampilan dapat terjadi. Perkembangan kemampuan sosialisasi pasien dapat diukur setelah diterapkan strategi


(40)

pelaksanaan untuk mengevaluasi keefektifan dari strategi pertemuan terhadap kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial.

Pada penelitian ini terdiri dari dua kelompok pasien isolasi sosial yaitu kelompok yang diberi intervensi strategi pertemuan isolasi sosial yang disertai umpan balik (kelompok intervensi) dan kelompok kontrol atau tidak diberikan intervensi. Sebelum dilakukan strategi pertemuan isolasi sosial, kemampuan klien dalam bersosialisasi dinilai (pre test). Kemampuan pasien telah dinilai kembali setelah diberikan strategi pelaksanaan isolasi sosial (post test).

Skema 3.1. Kerangka konseptual pengaruh penerapan strategi pertemuan isolasi sosial terhadap kemamuan sosialisasi

Strategi Pertemuan

Pre-Test

Kondisi kemampuan sosialisasi sebelum

dilakukan intervensi :

Tingkah laku Sosial

Post-Test

Kondisi kemampuan sosialisasi setelah dilakukan intervensi :


(41)

2. Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala

1. Strategi Pertemuan Isolasi Sosial Pelaksanaan standar asuhan keperawatan terjadwal yang diterapkan pada pasien yang bertujuan untuk mengurangi masalah

sosialisasi yang ditangani.

Strategi

pertemuan isolasi sosial terbagi atas 3 yaitu SP 1(identifikasi, keuntungan berinteraksi, kerugian tidak berinteraksi, dan mengajarkan berkenalan dengan satu orang. SP 2 (praktek cara berkenalan dengan satu Modul/Panduan dan Evaluasi 1. Tidak diterapkan Strategi Pertemuan 2. Diterapkan strategi pertemuan pada kelompok intervensi Nominal


(42)

orang, dan SP 3 (praktek

berkenalan dengan dua orang atau lebih). 2. Kemampuan

Bersosialisasi Kemampuan individu dalam melakukan hubungan sosial secara sehat dengan

orang-orang di

sekitarnya yang mencakup aspek tingkah laku social. Lembar observasi yang terdiri dari 2 aspek

kemampuan bersosialisasi

yaitu tingkah laku sosial yang berjumlah 10 pernyataan. Rendah Sedang Tinggi Interval

3. Hipotesa Penelitian

1. Ada perbedaan kemampuan sosialisasi sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi di RSJ Provsu Medan.

2. Ada pengaruh strategi pertemuan terhadap kemampuan sosialisasi klien sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok intervensi di RSJ Provsu Medan.

Apabila hitung uji statistik dari data penelitian lebih kecil dari nilai α=0.05 maka Ho ditolak sedangkan Ha gagal ditolak.


(43)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain quasi-eksperimen, yaitu rancangan yang berupaya untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat yang melibatkan kelompok kontrol disamping kelompok eksperimen (Nursalam, 2001). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penerapan strategi pertemuan isolasi sosial terhadap kemampuan sosialisasi klien.

Kelompok Pre test Post test

Intervensi X

Kontrol

Skema 4.1. Kerangka desain penelitian

O1 O2


(44)

Keterangan:

O1 : Kemampuan sosialisasi klien kelompok intervensi pada pre test.

O2 : Kemampuan sosialisasi klien kelompok intervensi pada post test.

O3 : Kemampuan sosialisasi klien kelompok kontrol pada pre test.

O4 : Kemampuan sosialisasi klien kelompok kontrol pada post test.

X : Penerapan strategi pertemuan isolasi sosial.

O2-O1 = X1 : Perubahan kemampuan sosilisasi klien kelompok intervensi pada pre test dan post test.

O4-O3 = X2 : Perubahan kemampuan sosialisasi klien kelompok kontrol pada pre test dan post test.

O2-O4 = X3 : Perbedaan kemampuan sosialisasi klien antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

2. Populasi dan Sampel

2.1 Populasi

Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu yang akan diteliti, bukan hanya objek atau subjek yang dipelajari saja (Alimul, 2003). Populasi dalam penelitian ini adalah semua klien isolasi sosial yang rawat inap di Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan.


(45)

Sampel adalah bagian dari populasi terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subjek penelitian melalui sampling (Nursalam, 2003). Penentuan besarnya sampel yang akan dipakai oleh peneliti menggunakan power analysis dengan effect size 0.80, level of significant (α=0.05) dan power test 0.80 (Polit & Hungler, 1999). Berdasarkan tabel tersebut ditetapkan jumlah sampel minimal 13 orang, yaitu 13 orang untuk untuk kelompok kontrol dan 13 orang untuk kelompok intervensi sehingga jumlah keseluruhan dari sampel yaitu 26 orang.

Pada penelitian ini pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu suatu teknik penetapan sampel sesuai dengan yang dikehendaki oleh peneliti sehingga sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam, 2003). Kriteria peneliti dalam menentukan sampel pada penelitian ini adalah: klien dengan masalah utama isolasi sosial, mau bekerja sama (kooperatif), dan sedang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan.

3. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini telah dilaksanakan di Ruang Pusuk Bukit untuk kelompok intervensi dan Gunungsitoli untuk kelompok kontrol Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan. Pemilihan Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan sebagai tempat penelitian dengan pertimbangan bahwa Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan merupakan pusat pelayanan gangguan jiwa di Provinsi Sumatera Utara, selain itu Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan juga merupakan rumah sakit jiwa pendidikan yang merupakan


(46)

lahan praktek tenaga kesehatan dan memiliki fasilitas dan pelayanan jiwa yang memadai. Waktu penelitian ini dilakukan selama 2 minggu yaitu akhir bulan Januari sampai awal bulan Februari 2011.

4. Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah proposal penelitian selesai di uji dan peneliti mendapatkan rekomendasi dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya mengirimkan surat permohonan untuk mendapatkan surat izin dari institusi dan rekomendasi dari Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan. Setelah mendapat izin dari Direktur Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan, peneliti memulai pengumpulan data dengan memberikan lembar persetujuan (Informed Consent) kepada perawat ruangan sebagai wakil dari responden (klien isolasi sosial). Sebelum perawat ruangan mengisi dan menandatangani lembar persetujuan, peneliti menjelaskan maksud, tujuan dan proses penelitian yang akan dilakukan.

Peneliti menanyakan kesediaan perawat ruangan untuk mengikutsertakan klien berpartisipasi dalam penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan tersebut. Jika perawat menolak untuk berpartisipasi dalam penelitian ini, maka peneliti tidak memaksa dan tetap menghormati hak-hak perawat sebagai wakil responden.

Untuk menjaga kerahasiaan (confidentiality) responden, peneliti tidak mencantumkan nama (anonimyty), tetapi hanya mencantumkan nomor responden


(47)

yang hanya diketahui oleh peneliti. Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti.

5. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 2 bagian, yaitu: kuisioner data demografi dan lembar observasi kemampuan sosialisasi.

5.1 Kuisioner Data Demografi

Kuisioner data demografi terdiri dari inisial nama dan nomor responden, usia, jenis kelamin, agama, status perkawinan, pendidikan terakhir, pekerjaan terakhir dan lama rawat.

5.2 Lembar Observasi

Lembar observasi yang menggambarkan kemampuan bersosialisasi (social ability) yang diadopsi dari Kuntjoro (1989). Terdiri dari 1 aspek kemampuan bersosialisasi yaitu tingkah laku sosial yang berjumlah 10 pernyataan. Penilaian hasil observasi dengan pilihan jawaban SL (selalu) diberi nilai 4, SR (sering) diberi nilai 3, KD (kadang-kadang) diberi nilai 2, dan TP (tidak pernah) diberi nilai 1, selanjutnya dianalisa dengan skala likert (rendah, sedang dan tinggi). Dikatakan rendah jika skor bernilai 10-20, sedang skor


(48)

bernilai 21-30 dan tinggi skor bernilai 31-40. Lembar observasi dan kuesioner diisi oleh peneliti dan pengamat lain yang dipercaya mampu mengobservasi klien dengan baik dikarenakan kondisi klien masih diliputi oleh simptom-simptom psikologis negatif, sehingga tidak memungkinkan untuk klien menjawab secara tepat.

6. Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kesahihan suatu instrumen. Suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2005).

Uji validitas yang digunakan pada pengujian ini adalah validitas isi, yakni sejauh mana instrumen penelitian memuat rumusan-rumusan sesuai dengan isi yang dikehendaki menurut tujuan tertentu. Setelah dilakukan uji validitas oleh salah seorang dosen keperawatan jiwa maka didapatkan hasil bahwa instrumen penelitian yang digunakan telah valid dan dapat digunakan untuk penelitian selajutnya.

Untuk mengetahui kepercayaan (reliabilitas) instrumen maka dilakukan uji reliabilitas. Uji reliabilitas adalah suatu kesamaan hasil apabila pengukuran dilaksanakan oleh orang yang berbeda ataupun waktu yang berbeda (Setiadi, 2007).


(49)

Uji reliabilitas instrumen ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan alat ukur. Alat ukur yang baik adalah alat ukur yang memberikan hasil yang relatif sama bila digunakan beberapa kali pada kelompok subjek yang sama (Azwar, 2003). Uji reliabilitas penelitian ini dilakukan terhadap responden yang memenuhi kriteria sampel penelitian. Kemudian jawaban dari responden diolah dengan menggunakan bantuan komputerisasi. Setelah dilakukan uji reliabilitas diperoleh nilai cronbach’s alpha 0,87 terhadap 10 klien maka instrumen dinyatakan reliabel (Polit & Hungler, 1999).

7. Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara:

a. Mendapat izin penelitian dari institusi pendidikan (Fakultas Keperawatan USU).

b. Mengajukan permohonan izin pelaksanaan penelitian kepada institusi Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan yang digunakan sebagai lokasi penelitian yang diperoleh dari institusi pendidikan ke tempat penelitian (Rumah Sakit Jiwa Provsu Medan).

c. Setelah mendapat izin dari Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan, peneliti melaksanakan pengumpulan data penelitian.

d. Menentukan calon responden yang sesuai dengan kriteria yang sebelumnya telah dibuat oleh peneliti.


(50)

e. Menjelaskan kepada perawat ruangan sebagai wakil responden (pasien isolasi sosial) mengenai maksud, tujuan, dan proses penelitian strategi pertemuan isolasi sosial yang akan diberikan.

f. Perawat ruangan yang bersedia, diminta untuk menandatangani lembar persetujuan (informed consent).

g. Peneliti menjelaskan kepada calon responden tentang tujuan, manfaat dan prosedur pengumpulan data.

h. Responden yang memenuhi penelitian dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu kelompok intervensi dari ruang Pusuk Bukit dan kelompok kontrol dari ruang Gunungsitoli.

i. Mekanisme penelitian ini yaitu pertama sekali diukur kemampuan sosialisasi awal kelompok kontrol dan kelompok intervensi oleh peneliti dan dibantu oleh pengamat lain Rivo Simanjorang yang sebelumnya telah dilakukan persamaan persepsi. Dilanjutkan dengan penerapan strategi pertemuan terhadap kelompok intervensi. Kemudian diukur kembali kemampuan sosialisasi kelompok kontrol dan intervensi. Perbandingkan antara kemampuan kelompok kontrol dengan kelompok intervensi setelah diterapkan strategi pertemuan isolasi sosial.

j. Selanjutnya data yang diperoleh dikumpulkan untuk dianalisa.

8. Analisa Data


(51)

dari status pasien dan hasil pengukuran kemampuan sosialisasi sebelum dan sesudah diterapkan strategi pertemuan isolasi sosial. Hasil penelitian tersebut dibandingkan dengan menguji hipotesa penelitian sehingga diketahui pengaruh penerapan strategi pertemuan isolasi sosial terhadap kemampuan sosialisasi klien.

8.1 Analisa univariat

Untuk mengetahui karakteristik klien isolasi sosial di RSJ Provsu Medan digunakan tabel frekuensi dan persentase data-data demografi yang meliputi umur, agama, status perkawinan, pendidikan terakhir, pekerjaan dan lama rawat.

8.2 Analisa bivariat

Statistik Inferensial digunakan untuk menganalisis peningkatan kemampuan sosialisasi klien antara pre dan post penerapan strategi pertemuan pada kelompok intervensi dan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan kemampuan sosialisasi pada kelompok kontrol yang tidak diterapkan strategi pertemuan. Selanjutnya statistik inferensial juga digunakan untuk membandingkan perbedaan peningkatan kemampuan sosialisasi pada kelompok intervensi yang diterapkan strategi pertemuan isolasi sosial dengan kelompok kontrol yang tidak diterapkan strategi pertemuan isolasi sosial.

Untuk mengetahui kemampuan sosialisasi pada klien isolasi sosial sebelum dan setelah pada kelompok yang mendapatkan intervensi di ruang Pusuk Bukit RSJ Provsu Medan digunakan uji statistic parametric yaitu uji paired t-test.


(52)

Untuk mengetahui kemampuan sosialisasi pada klien isolasi sosial sebelum dan setelah pada kelompok yang tidak mendapatkan intervensi di ruang Gunungsitoli RSJ Provsu Medan digunakan uji statistic parametric yaitu uji paired t-test.

Pada uji paired t-test tersebut diperoleh nilai p, yaitu nilai yang menyatakan besarnya peluang hasil penelitian (probabilitas). Kesimpulan hasilnya diinterpretasikan dengan membandingkan nilai p dan nilai alpha (α=0.05). Bila nilai p≤α, maka keputusannya adalah Ha diterima.

Untuk membandingkan perbedaan kemampuan sosialisasi klien sebelum dan setelah intervensi pada klien yang mendapatkan intervensi dan tidak mendapatkan intervensi di ruangan Kamboja RSJ Provsu Medan digunakan uji unpaired t-test.


(53)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Penelitian

Pada bab ini akan diuraikan data hasil penelitian tentang pengaruh penerapan strategi pertemuan dengan kemampuan sosialisasi klien di RSJ Provsu Medan. Jumlah responden yang memenuhi kriteria dalam penelitian ini yaitu 26 orang, 13 orang pada kelompok intervensi, dan 13 orang pada kelompok kontrol. Semua kelompok intervensi mendapat perlakuan strategi pertemuan. Sebelum mendapatkan perlakuan, kemampuan sosialisasi klien diukur dan setelah mendapat perlakuan diukur kembali. Sedangkan pada kelompok kontrol tidak mendapat perlakuan apapun.

1.1Analisa Univariat

Analisa univariat pada penelitian ini menggambarkan karakteristik demografi (umur, agama, status perkawinan, pendidikan terakhir, pekerjaan dan lama rawat) dan kemampuan sosialisasi.

a. Karakteristik demografi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kelompok intervensi, rata-rata responden berusia antara 36 tahun, mayoritas responden beragama Islam sebanyak


(54)

9 orang (69,24%), mayoritas responden belum kawin sebanyak 8 orang (61,54%), mayoritas responden berpendidikan SD sebanyak 9 orang (69,24%), mayoritas responden bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 9 orang (69,23%) dan rata-rata lama hari rawat responden 42 hari.

Pada kelompok kontrol, rata-rata responden berusia 33 tahun, mayoritas responden beragama Islam sebanyak 7 orang (54,85%), mayoritas responden belum kawin sebanyak 7 orang (54,85%), mayoritas responden berpendidikan SD sebanyak 8 orang (61,55%), mayoritas responden bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 9 orang (69,22%) dan rata-rata lama hari rawat responden 39 hari.

Hasil penelitian tentang karakteristik demografi responden lebih jelas dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 5.1. Distribusi responden berdasarkan karakteristik demografi agama, pendidikan terakhir, pekerjaan dan status perkawinan (n=26)

No Karakteristik Kelompok intervensi Kelompok kontrol Frekuensi % Frekuensi %

1 Agama

Islam 9 69,24 7 54,85

Kristen 4 30,76 6 46,15

2 Pendidikan

terakhir

SD 9 69,24 8 61,55

SMP 1 7,69 2 15,38


(55)

Lain-lain 1 7,69 2 15,38

3 Pekerjaan Pegawai Negeri

1 7,69 - 0,00

Pegawai Swasta

1 7,69 2 15,39

Wiraswasta 9 69,23 9 69,22

Lain-lain 2 15,39 2 15,39

4 Status

perkawinan

Kawin 5 38,46 6 46,15

Belum kawin 8 61,54 7 54,85

Tabel 5.2. Distribusi responden berdasarkan karakteristik demografi umur dan lama rawat (n=26)

No Variabel Jenis Kelompok

N Mean SD Min-Max

1 Umur Intervensi 13 36 8,69 26-57

Kontrol 13 33 7,53 26-50

2 Lama

Rawat

Intervensi 13 42 21,85 12-69


(56)

b. Kemampuan sosialisasi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan sosialisasi klien pada kelompok intervensi sebelum diterapkan strategi pertemuan adalah 19,15 median 20,00 dengan standar deviasi 2,97. Sedangkan rata-rata kemampuan sosialisasi klien sesudah diterapkan strategi pertemuan adalah 30,00 median 32,00 dengan standar deviasi 4,72. Pada kelompok kontrol yaitu rata-rata kemampuan sosialisasi sebelum tindakan 19,15 median 19,00 dengan standar deviasi 1,57 rata-rata. Kemampuan sosialisasi klien setelah tindakan adalah 20,61 median 20,00 Dengan standar deviasi 2,66. Dapat dilihat dalam tabel 5.3.

1.2Analisa Bivariat

Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji t-dependen. Uji t-dependen ini bertujuan untuk membandingkan peningkatan kemampuan sosialisasi klien pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebelum dan sesudah diterapkan strategi pertemuan.

a. Perbandingan peningkatan kemampuan sosialisasi klien sebelum dan sesudah diterapkan strategi pertemuan isolasi sosial pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan sosialisasi klien kelompok intervensi sebelum diterapkan strategi pertemuan isolasi sosial adalah 19,15 dengan standar deviasi 2,97. Rata-rata kemampuan sosialisasi


(57)

.Nilai rata-rata perbedaan antara pengukuran pertama dan pengukuran kedua adalah -10,85 dengan standar deviasi 6,01. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p=0,000 maka dapat disimpulkan ada perbedaan rata-rata kemampuan sosialisasi klien sebelum dan sesudah diterapkan strategi pertemuan.

Rata-rata kemampuan sosialisasi klien kelompok kontrol sebelum tindakan adalah 19,15 dengan standar deviasi 1,57. Dan rata-rata kemampuan sosialisasi klien setelah tindakan adalah 20,61 dengan standar deviasi 2,66. Perbedaan nilai rata-rata antara pengukuran pertama dan kedua adalah -1,46 dengan standar deviasi 2,73. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p= 0,077 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan rata-rata kemampuan sosialisasi klien sebelum dan setelah tindakan pada kelompok kontrol. Dapat dilihat dalam tabel dibawah ini :

Tabel 5.3 Perbedaan kemampuan sosialisasi klien pada kelompok kontrol dan intervensi sebelum dan sesudah diterapkan strategi pertemuan isolasi sosial.

No Variabel Kelompok n Mean SD p-value

1 Kemampuan

sosialisasi

Intervensi 13 0,000

Sebelum 19,15 2,97

Sesudah 30,00 4,72

Selisih -10,85 6,01

2 Kontrol 13 0,077

Sebelum 19,15 1,57

Sesudah 20,61 2,66


(58)

b. Pengaruh penerapan strategi pertemuan terhadap peningkatan kemampuan sosialisasi klien setelah diterapkan strategi pertemuan isolasi sosial pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kemampuan sosialisasi kelompok intervensi setelah diterapkan strategi pertemuan isolasi sosial adalah 24,58 dengan standar deviasi 6,75. Rata-rata kemampuan sosialisasi klien pada kelompok kontrol adalah 19,88 dengan standar deviasi adalah 2,27. Hasil uji statistik menunjukkan nilai p=0,000 berarti terdapat perbedaan rata-rata kemampuan sosialisasi klien antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol (ada pengaruh penerapan strategi pertemuan terhadap kemampuan sosialisasi klien). Dapat dilihat dalam tabel dibawah ini.

Tabel 5.4 pengaruh penerapan strategi pertemuan isolasi sosial terhadap kemampuan sosialisasi klien pada kelompok intervensi dan kontrol (n=26)

Variabel Kelompok N Mean SD SE Perbedaan SE

Nilai p

Kemampuan Sosialisasi

Intervensi 13 24,57 6,75 1,32 1,396 0,000


(59)

2. Pembahasan

2.1 Kemampuan sosialisasi

Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan adanya perbedaan kemampuan sosialisasi klien setelah diterapkan strategi pertemuan isolasi sosial pada kelompok intervensi. Hasil penelitian membuktikan adanya perbedaan yang signifikan sebelum dan sesudah intervensi dilakukan dengan p < 0,05. Sebelum diberikan intervensi kemampuan sosialisasi klien adalah 8 orang berkemampuan sosialisasi rendah dan 5 orang berkemampuan sosialisasi rendah, tetapi setelah diterapkan strategi pertemuan isolasi sosial kemampuan sosialisasi klien menjadi 6 orang yang berkemampuan sosialisasi sedang dan 7 orang yang bersosialisasi tinggi. Sedangkan kemampuan sosialisasi klien isolasi sosial pada kelompok kontrol tidak menunjukkan peningkatan bermakna. Hasil pre-test membuktikan bahwa 12 orang berkemampuan sosialisasi rendah dan 1 orang berkemampuan sosialisasi sedang. Tetapi setelah dilakukan post-test kemampuan sosialisasi klienmenjadi 7 orang berkemampuan sosialisasi rendah dan 6 orang berkemampuan sosialisasi sedang.

Sebelum dilakukan intervensi kemampuan sosialisasi kelompok intervensi dan kontrol lebih banyak yang berkemampuan sosialisasi rendah dan sedang, tetapi setelah intervensi dilakukan kemampuan sosialisasi kelompok yang mendapatkan intervensi lebih tinggi. Berarti peningkatan kemampuan sosialisasi klien lebih tinggi pada kelompok yang mendapatkan intervensi. Rata-rata kemampuan sosialisasi pada kelompok kontrol masih berada pada tingkat kemampuan sosialisasirendah, tetapi pada kelompok yang diterapkan strategi


(60)

pertemuan isolasi sosial terdapat 7 klien yang berkemampuan sosialisasi tinggi. Artinya strategi pertemuan berfungsi dalam meningkatkan kemampuan sosialisasi klien.

Klien yang mengalami gangguan sosialisasi memiliki kesulitan dalam memasuki kelompok masyarakat dan kesempatan untuk bersama-sama dengan masyarakat lainnya seperti lembaga kesehatan, sekolah, institusi pendidikan, program pelatihan keahlian, program pelatihan kerja dan pekerjaan. Pemisahan secara sosial terhadap individu yang mengalami ketidakmampuan sosialisasi semakin memperburuk keadaannya. Individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi biasanya dipisahkan oleh masyarakat setempat. sikap negatif dan perilaku yang mendiskriminasikan individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi dianggap sebagai suatu keharusan.

Berdasarkan hal ini penting membuat kegiatan yang terjadwal bagi klien untuk mengatasi masalahnya. Pola pertemuan perawat pada intervensi asuhan keperawatan isolasi sosial membantu klien mengetahui pentingnya bersosialisasi dan melatih klien tentang cara-cara berkenalan dengan orang lain.

Peningkatan kemampuan sosialisasi yang lebih tinggi pada kelompok yang mendapatkan intervensi disebabkan intervensi yang konsisten. Dengan pendekatan yang baik kepada klien isolasi sosial maka dapat meningkatkan rasa saling percaya sehingga dapat mengetahui penyebab klien menarik diri. Hal ini juga dipengaruhi oleh penguatan berupa pujian yang diberikan atas hasil yang telah dilakukan klien juga semakin memotivasi klien agar mau bergabung dengan


(61)

Penguatan positif yang diberikan peneliti setelah mengevaluasi kemampuan klien mendorong klien melakukan apa yang diharapkan dari klien untuk mengatasi masalahnya. Menurut Notoatmojo (2007) perilaku merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Pembentukan suatu pola tingkah laku dapat dilakukan dengan memberi ganjaran atau penguatan positif segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul. Penguatan yang dapat menjadi alat ampuh membentuk tingkah laku yang diharapkan antara lain adalah senyuman, persetujuan, pujian, dan hadiah. Penggunaan penguatan positif perlu dilakukan untuk memunculkan tingkah laku yang diinginkan (Corey, 2008). Evaluasi pada setiap awal pertemuan yang dilakukan peneliti diiringi dengan penguatan positif terhadap apa yang telah dilakukan klien lebih mendorong dan lebih memotivasi klien untuk melakukan apa yang telah diajarkan.

Hasil penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa hipotesa alternatif diterima yang berarti bahwa ada perbedaan kemampuan sosialisasi klien sebelum dan setelah diterapkan strategi pertemuan isolasi sosial pada kelompok intervensi. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa strategi pertemuan isolasi sosial berfungsi dalam meningkatkan kemampuan sosialisasi klien.

2.2Pengaruh strategi pertemuan isolasi sosial terhadap kemampuan sosialisasi klien

Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pertemuan isolasi sosial mempunyai pengaruh terhadap kemampuan sosialisasi klien terlihat dari p value 0,000 (p<0,05). Hal ini disebabkan karena strategi pertemuan isolasi sosial berisi


(62)

diskusi tentang penyebab isolasi sosial, diskusi tentang keuntungan bersosialisasi dan kerugian tidak bersosialisasi serta latihan-latihan berkenalan dengan satu orang atau lebih dari satu orang. Dari hasil diskusi didapatkan rata-rata klien mengatakan penyebab menarik diri yaitu karena malas bersosialisasi dan mengatakan bahwa orang lain berbuat jahat pada dirinya. Klien juga bisa menyebutkan keuntungan bersosialisasi dan kerugian tidak bersosialisasi dengan orang lain. Klien melakukan latihan berkenalan dengan satu orang atau lebih dan memasukkan ke dalam jadwal sebagai bukti telah melakukan latihan berkenalan dengan klien lain di dalam satu ruangan. Hal ini sesuai dengan tujuan strategi pertemuan yaitu klien mampu membina hubungan saling percaya, menyadari penyebab isolasi sosial dan mampu berinteraksi dengan orang lain (Purba, dkk. 2008).

Dalam hal terapi strategi pertemuan isolasi sosial berfungsi sebagai terapi langsung jangka pendek. Artinya hasil yang didapat pada saat penelitian bisa berubah jika dilakukan lagi pengukuran diwaktu lain. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan Keliat (2009) bahwa untuk membina hubungan saling percaya dengan klien isolasi sosial kadang membutuhkan waktu yang lama dan interaksi yang singkat serta sering karena tidak mudah bagi klien untuk percaya pada orang lain. Oleh karena itu perawat harus konsisten bersikap terapeutik terhadap klien. Selalu menepati janji adalah salah satu upaya yang dapat dilakukan. Pendekatan yang konsisten akan membuahkan hasil. Jika pasien sudah percaya dengan perawat, program asuhan keperawatan lebih mungkin dilaksanakan (Keliat, 2009).


(63)

tersebut telah terbentuk dalam jangka waktu yang lama. Untuk itu perawat dapat melatih klien berinteraksi secara bertahap. Mungkin pada awalnya klien hanya akan akrab dengan perawat, tetapi setelah itu perawat harus membiasakan klien untuk dapat berinteraksi secara bertahap dengan orang-orang disekitarnya.

Dari ciri-ciri klien yang menunjukkan ciri-ciri ketidakmampuan sosialisasi seperti tidak mengerti instruksi yang mudah, merasa sulit dalam mengekspresikan kebutuhan, pikiran dan perasaannya, tidak mengerti gerakan dan tanda-tanda untuk komunikasi, tidak mampu menggunakan gerakan-gerakan dan tanda-tanda untuk komunikasi yang dimengerti oleh individu lain, tidak dapat berkomunikasi dengan berbicara mengalami perubahan (WHO, 1989). Klien cenderung melaksanakan instruksi yang mudah, mampu mengapresiasikan kebutuhan pikiran dan perasaan, mengerti gerakan dan tanda-tanda komunikasi, mampu menggunakan gerakan-gerakan dan tanda-tanda untuk komunikasi yang dimengerti oleh individu lain, mampu berkomuniasi dengan berbicara dan lain sebagainya. Dari aspek tingkah laku sosial, klien yang awalnya tidak menatap mata lawan bicara menjadi berani menatap mata. Klien juga menegur kawannya, petugas, bergaul dengan klien lainnya, menaati peraturan rumah sakit, sapun santun, dan menjaga kebersihan lingkungan. Hal ini dapat terwujud bila strategi pertemuan dilakukan secara rutin dan serius dengan menyisipkan diskusi bagaimana cara bersosialisasi yang baik.

Hasil penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa hipotesa alternatif diterima bahwa ada pengaruh penerapan strategi pertemuan isolasi sosial terhadap kemampuan sosialisasi klien


(64)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan hasil penelitian

Gangguan kejiwaan atau skizofrenia adalah suatu gangguan psikosis fungsional berupa gangguan mental berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang khas salah satunya adalah kemunduran fungsi sosial. Kemunduran fungsi sosial yang dialami seseorang di dalam diagnosa keperawatan jiwa disebut isolasi sosial. Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Upaya yang dapat dilakukan dalam peningkatan kejiwaan seseorang dapat dilakukan melalui pendekatan secara promotif, preventif dan rehabilitatif. Salah satu yang dapat dilakukan di dalam keperawatan jiwa adalah dengan menerapkan Strategi Pelaksanaan (SP) dalam tindakan keperawatan.

Berdasarkan hasil uji statistik t-independent menunjukkan rata-rata kemampuan sosialisasi klien pada kelompok intervensi meningkat sebanyak 10,85 dari 19,15 menjadi 30,00 dan pada kelompok kontrol terjadi peningkatan kemampuan sosialisasi klien sebanyak 1,46 dari 19,15 menjadi 20,61.


(65)

sebelum dan sesudah diterapkan strategi pertemuan isolasi sosial pada kelompok intervensi, terdapat perbedaan kemampuan sosialisasi klien pada kelompok kontrol yang tidak diterapkan strategi pertemuan isolasi sosial dan strategi pertemuan isolasi sosial berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan sosialisasi klien.

2. Saran

2.1 Bagi Praktek Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan maupun wawasan tentang pelaksanaan standar asuhan keperawatan jiwa dengan memberikan strategi pertemuan pada klien isolasi sosial dalam meningkatkan kinerja profesional keperawatan jiwa. Diharapkan perawat menerapkan strategi pertemuan isolasi sosial dengan serius dan rutin menggunakan metode pendekatan agar hasil yang ingin dicapai maksimal.

2.2 Bagi Pendidikan Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi perkembangan kurikulum keperawatan jiwa tentang pemberian asuhan keperawatan profesional jiwa bagi pasien dengan gangguan isolasi sosial. Lebih dimaksimalkan latihan-latihan strategi pertemuan di praktikum jiwa.

2.3 Bagi Penelitian Selanjutnya

Untuk hasil penelitian yang representatif ada baiknya peneliti selanjutnya meneliti tentang faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi peningkatan kemampuan sosialisasi klien, disarankan untuk diteliti lebih lanjut antara lain


(66)

pengaruh kebudayaan, jenis kelamin, usia, dukungan keluarga, obat dan lama hari rawat terhadap kemampuan sosialisasi klien isolasi sosial. Peneliti berikutnya juga memperhatikan lama pemberian intervensi dengan waktu post-test.


(67)

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, A. Aziz. (2003). Riset Keperawatan & Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba Medika

Andrey. (2010). Asuhan Keperawatan (Askep) Isolasi Sosial, Dibuka pada

website

Arikunto, S. 1993. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Bina Aksara

Azwar, S. (1992). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Sigma Alpha

Birchwood, M.J. (1987). Specific and Non Specific Effects of Educational Intervention with Families Living a Schizophrenic Relative. Cambridge, England: Cambridge University Press

Candra, L.S. (2004). Schizophrenia Anonymous A Better Future. Diakses pada tanggal 19 September 2010 dari

Carpenito, L.J. (1998). Buku Saku Diagnosa Keperawatan (terjemahan), Edisi 8, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Corey, Gerald. (2008). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy,terj.E.Koswara.Bandung: Refika Aditama

Fitria, Nita. (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.

Forum Sains Indonesia. (2010). Mengenal Penyakit Skizofrenia, Dibuka pada websit

Hadi, S. (1986). Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM

Hamid S. Achir Yani. (2007). Buku Ajar Riset Keperawatan: Konsep, Etika, & Instrumen. Edisi 2. Jakarta: EGC

Kaplan, H.I. and Sadock, B.J. (1991). Synopsis of Psychiatry, Behavioral Sciences, & Clinical Psyciatry, 6” Ed. Williams & Wilkins New York Keliat, Anna. (2009). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta:


(68)

Liberman, R. P. (1989). A Control Trial of Social Intervention in the Families of Schizophrenia Patients. Arch General Psichiatry. Vol. 141: 121-134 Purba dkk. (2008). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Masalah Psikososial

dan Gangguan Jiwa. Medan: USU Press

Maramis, W.F. (1994). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press.

Nazir, M. (1989). Metodologi Penelitian. Jakarta: Ghalia

Nursalam. (2001). Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta: Info Medika.

Nursalam. (2003). Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Polit, D.F & Hungler, B.P. (1995). Nursing Research Principles and Methods Fifth Edition. Philadhelphia: J.B. Lippincot Company.

Portney L.G. & Watkins, M.P. (2000). Foundations of Clinical Research-Applications to Practice. (2nd edition). New Jersey USA: Prentice-Hall Inc.

Purba, John Edison. (2009). Pengaruh Intervensi Rehabilitasi Terhadap Ketidakmampuan Bersosialisasi pada Penderita Skizofrenia yang Dirawat di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara. Tesis (tidak diterbitkan) Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Rawlin, R.P. and Heacock, P.E.(1993). Clinical Manual of Psychiatic Nursing. First Edition. ST. Louis. Mosby Year Book

RSJ Daerah Provsu. (2010). Pasien Rawat Jalan

Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Edisi Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu

Stuart, GW and Sundeen, SJ. (1998). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 3. Jakarta : EGC.

Suryani. (2004). Jurnal Kesehatan Halusinasi: Karateristik dan Upaya Mangatasi Gejala pada Penderita Skizofrenia di RSJ X. Volume 5 No. X maret 2004-september 2004 Hal 125-133

Towsend, Mary C. (2006). Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Keperawatan Psikiatri: Pedoman untuk Pembuatan Rencana Keperawatan. Edisi 3.


(69)

Tucker, Susan Martin. (1988). Ilmu Kedokteran Jiwa Darurat. Jakarta: Widya Medika

WHO. (1980). International Classification of Impairments, Disabilities and Handicaps. England USA: Geneva


(70)

(71)

Lampiran 2 INSTRUMEN PENELITIAN

1. Data Demografi

Diisi oleh perawat/peneliti berdasarkan hasil wawancara terhadap responden. Beri tanda (√) pada kotak yang tersedia. Isilah pertanyaan sesuai dengan keadaan yang ada.

1. Inisial Nama :

2. Umur : Tahun

3. Agama : Islam Kristen

Hindu Budha

4. Status Perkawinan : Kawin Belum Kawin

5. Pekerjaan terakhir : PN PS

Wiraswasta Lain-lain

6. Pendidikan Terakhir : SD SMP

SMA PT


(1)

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Statistic df Sig. VAR0000

4

.225 13 .072 .911 13 .189

a. Lilliefors Significance Correction

Paired t-test intervensi dan kontrol

Paired Samples Statistics

Mean N

Std. Deviation

Std. Error Mean Pair 1 VAR0000

1

19.1538 13 2.96778 .82311

VAR0000 2

30.0000 13 4.72582 1.31071

Pair 2 VAR0000 3

19.1538 13 1.57301 .43627

VAR0000 4

20.6154 13 2.66266 .73849

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig. Pair 1 VAR00001 &

VAR00002

13 -.178 .560

Pair 2 VAR00003 & VAR00004


(2)

Paired Samples Test Paired Differences

T df Sig.

(2-tailed) 95% Confidence

Interval of the Difference Mean Std. Deviation Std. Error

Mean Lower Upper Pair

1

VAR0000

1 -

VAR0000 2

-10.84615

6.01174 1.66736 -14.47901 -7.21330 -6.505 12 .000

Pair 2

VAR0000

3 -

VAR0000 4

-1.46154 2.72688 .75630 -3.10938 .18630 -1.932 12 .077

Independent t-test

Group Statistics

VAR00011 N Mean

Std. Deviation Std. Error Mean VAR00010 pre-post intervensi

26 24.5769 6.74788 1.32337

pre-post kontrol 26 19.8846 2.26851 .44489


(3)

Independent Samples Test Levene's

Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the

Difference

F Sig. t df

Sig. (2-tailed)

Mean Difference

Std. Error

Difference Lower Upper VAR00010 Equal

variances assumed

36.149 .000 3.361 50 .001 4.69231 1.39615 1.88806 7.49655

Equal variances not assumed


(4)

Lampiran 6 Uji Reliabilitas

Case Processing Summary

N %

Cases Valid 10 100.0

Excludeda 0 .0

Total 10 100.0

a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based

on Standardized

Items N of Items

.874 .876 10

Item Statistics Mean

Std.

Deviation N

VAR00001 2.8000 .91894 10

VAR00002 2.6000 .84327 10

VAR00003 2.7000 .82327 10

VAR00004 2.7000 .94868 10

VAR00005 2.8000 .91894 10

VAR00006 2.6000 .96609 10

VAR00007 2.7000 .82327 10

VAR00008 2.8000 .78881 10

VAR00009 3.0000 .94281 10

VAR00010 2.6000 .84327 10


(5)

Scale Statistics Mean Variance

Std.

Deviation N of Items 27.3000 36.678 6.05622 10


(6)

Lampiran 7 DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Syamsul Rizki Nasution Tempat Tanggal Lahir : Gunungsitoli, 25 Maret 1989 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : : Jln Sei Bahorok No. 35 Medan

Riwayat Pendidikan :

1. SD Negeri 074038 Tohia Gunungsitoli Tahun 1995-2001 2. SMP Negeri 1 Gunungsitoli Tahun 2001-2004 3. SMA Negeri 1 Gunungsitoli Tahun 2004-2007 4. Fakultas Keperawatan USU Tahun 2007-2011

Pengalaman Lainnya : -