Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok: Sosialisasi terhadap Kemampuan Sosialisasi Pasien Isolasi Sosial di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan

(1)

PENGARUH TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK

SOSIALISASI TERHADAP KEMAMPUAN SOSIALISASI

PASIEN ISOLASI SOSIAL DI RUANG KAMBOJA

RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI

SUMATERA UTARA MEDAN

SKRIPSI Oleh

Dewi Rahmadani Lubis 071101027

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

(3)

PRAKATA

Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal skripsi dengan judul “Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi terhadap Ketidakmampuan Bersosialisasi pasien Isolasi Sosial di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan”.

Dalam penyusunan proposal ini penulis mendapakan bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak dengan memberikan butir-butir pemikiran yang sangat berharga bagi penulis baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih khususnya kepada Ibunda dan Ayahanda tercinta yang telah memberikan kasih sayang yang tulus, yang menjadi penyemangat dikala penulis merasa lelah dan yang selalu mengirimkan beribu doa disetiap sujudnya.

Terimakasih juga penulis ucapkan kepada abang dan adikku yaitu Amiruddin Pratama Lubis, Nurhamidah Rizki Lubis dan sepupu tercinta, Kak Lina dan Fitri yang selalu mendoakan dan memberikan semangat dan dukungan kepada penulis. Kepada semua keluarga besar penulis ucapkan terima kasih, tanpa kalian keberhasilan ini tidak akan pernah tercapai.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada :

1. Ibu Sri Eka Wahyuni, S.Kep, Ns, M.Kep. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengetahuan, bimbingan, masukan, arahan, dukungan serta telah bersedia meluangkan waktunya yang sangat membantu penulis sehingga penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan.


(4)

2. Bapak Dr. Dedi Ardinata M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Erniyati, S.Kp, MNS sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Mahnum L. Nasution, S.Kep, Ns., Bapak Dudut Tanjung, S.Kp, M.Kep. Sp.KMB dan Ibu Diah Arrum, S.Kep., Ns. selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan selama penulis menjalani proses akademik di Fakultas Keperawatan USU.

5. Ibu Wardiyah Daulay S.Kep, Ns., M.Kep dan Ibu Nur Afi Darti S.Kp, M.Kep. selaku dosen penguji. Terima kasih atas masukan yang telah diberikan demi perbaikan skripsi ini.

6. Seluruh dosen dan staf pengajar serta civitas akademika Fakultas Keperawatan USU yang telah memberikan bimbingan selama masa perkuliahan. Semoga Allah membalas ilmu yang telah kalian berikan dengan keberkahan.

7. Teristimewa dan terkhusus kepada sahabat-sahabat yang paling kucintai, Riskina, Nuraidar, Dirayati, Fitri, Meli, Yuliana, Melinda, Dina, Sari, Fanry, Indra, Rudi, Ari dan Yadi. Terimakasih atas kebersamaan, bantuan serta semangat yang tiada hentinya selalu kalian berikan.

8. Teman-teman dari stambuk 2007, Rahmi, Melati, Hafizhoh dan juga yang lainnya yang tidak bisa disebutkan namanya satu-persatu, terimakasih atas kebersamaan dan kerja samanya selama empat tahun ini.

9. Adik-adik tercinta dari stambuk 2009, Putri Purnama, Putri Mariati, Katri, Irma, Nisa, Sylvi, dan adik asuh Melisa. Terimakasih atas keceriaan, bantuan semangat dan doa yang telah diberikan selama ini.


(5)

10.Kepala Bidang Keperawatan, Kepala Ruangan Ruang Kamboja, dan seluruh responden di RSJD Provsu Medan yang telah bersedia meluangkan waktu dan kesempatan untuk partisipasinya dalam penelitian ini.

11.Teman-teman dari Akper Haji Medan, Resti, Leni dan Sito yang telah memberikan bantuan selama proses penelitian di RSJD Provsu Medan.

Akhir kata penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang keperawatan dan bagi pihak-pihak yang membutuhkan serta penulis sangat mengharapkan adanya saran yang bersifat membangun untuk perbaikan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Medan, Juni 2011

Penulis


(6)

DAFTAR ISI

Halaman Halaman Judul

Lembar Persetujuan ... i

Prakata ... ii

Daftar Isi ... v

Daftar Skema ... viii

Daftar Tabel ... ix

Abstrak ... x

BAB 1. Pendahuluan 1. Latar Belakang ... 1

2. Pertanyaan Penelitian ... 4

3. Tujuan Penelitian ... 5

4. Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2. Tinjauan Pustaka 1. Isolasi Sosial 1.1 Definisi ... 7

1.2 Etiologi ... 8

1.2.1 Faktor Predisposisi ... 8

1.2.1.1 Faktor Perkembangan ... 8

1.2.1.2 Faktor Komunikasi Dalam Keluarga... 11

1.2.1.3 Faktor Sosial Budaya... 11

1.2.1.4 Faktor Biologis ... 11

1.2.2 Faktor Presipitasi... 12

1.2.2.1 Stresor Sosial Budaya... 12

1.2.2.2 Stresor Biokimia ... 12

1.2.2.3 Stresor Biologik dan lingkungan Sosial ... 13

1.2.2.4 Stresor Psikologis ... 13

1.3 Tanda dan Gejala ... 14

2. Ketidakmampuan Bersosialisasi ... ... 14

2.1 Gambaran Umum Individu yang Mengalami ... 17

2.2 Ciri Individu yang Mengalami Ketidakmampuan ... 18

2.3 Aspek-Aspek Ketidakmampuan Bersosialisai ... 18

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya ... 22

3. Terapi... 23

3.1 Terapi Psikofarmaka ... 24

3.2 Terapi Individu... 25

3.3 Terapi Kelompok ... 25

3.3.1 Definisi... ... 25

3.3.2 Tujuan dan Fungsi Kelompok ... 26

3.3.3 Besar Kelompok ... 26

3.3.4 Lamanya Sesi ... 26

3.3.5 Jenis-Jenis Terapi Aktivitas Kelompok ... 27

3.3.6 Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Sosialisasi... 27


(7)

3.3.8 Aktivitas dan Indikasi ... 28

3.3.9 Sesi-Sesi Dalam Pelaksanaan TAK Sosialisasi... 28

BAB 3. Kerangka Penelitian 1. Kerangka Konseptual ... 29

2. Definisi Operasional ... 30

3. Hipotesa ... 31

BAB 4. Metodologi Penelitian 1. Desain Penelitian ... 32

2. Populasi Penelitian ... 32

3. Sampel Penelitian ... 32

4. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 33

5. Pertimbangan Etik ... 34

6. Instrumen Penelitian ... 35

7. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ... 36

8. Pengumpulan Data... 37

9. Analisa Data ... 39

9.1 Analisa Univariat ... 39

9.2 Analisa Bivariat ... 39

BAB 5. Hasil dan Pembahasan 1. Hasil Penelitian ... 41

1.1 Karakteristik Demografi Responden ... 43

1.2 Kemampuan Sosialisasi Responden Pre TAKS ... 44

1.3 Kemampuan Sosialisasi Responden Post TAKS ... 44

1.4 Pengaruh TAKS terhadap Kemampuan Sosialisas ... 44

2. Pembahasan ... 46

2.1 Karakteristik Demorafi Responden ... 46

2.2 Kemampuan Sosialisasi Responden Pre TAKS ... 47

2.3 Kemampuan Sosialisasi Responden Post TAKS ... 47

2.4 Pengaruh TAKS terhadap Kemampuan Sosialisas ... 49

BAB 6. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan ... 52

2. Saran ... 53

2.1 Praktek Keperawatan di Rumah Sakit ... 53

2.2 Pendidikan Keperawatan ... 54

2.3 Penelitian Keperawatan... 54

Daftar Pustaka ... 56

Lampiran-Lampiran 1. Modul Pelaksanaan TAK Sosialisasi ... 59

2. Lembar Observasi TAKS ... 71

3. Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 74

4. Instrumen Penelitian ... 75

5. Jadwal Penelitian ... 81

6. Tabel Uji Reabilitas ... 82

7. Tabel Analisa Data ... 83

8. Curriculum Vitae ... 87

9. Surat Uji Validitas ... 88


(8)

11.Izin Survey Awal dari RSJD Provsu Medan ... 91 12.Surat Pengambilan Data dari Fakultas Keperawatan ... 92 13.Izin Selesai Penelitian dari RSJD Provsu Medan ... 94


(9)

DAFTAR SKEMA


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Defenisi Operasional... 30 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Umur Responden……... 43 Tabel 5.2

Tabel 5.3

Distribusi Frekuensi Karakteristik Demografi Responden... Distribusi Kemampuan Sosialisasi Responden Pre TAKS...

43 44 Tabel 5.4 Distribusi Kemampuan Sosialisasi Responden Post TAKS.. 44 Tabel 5.5 Uji Normalitas Data Pre dan Post TAKS……….. 45 Tabel 5.6 Hasil Uji Statistik Paired T Test Data Pre dan Post TAK.... 45


(11)

Title : The Influence of Group Activity Therapy: Socialization to Social Skills of Patients with Social Isolation at Kamboja Room, North Sumatera Psychiatric Hospital Medan

Name of Student : Dewi Rahmadani Lubis N I M : 071101027

Faculty : Bachelor of Nursing (S.Kep) Year of Academic : 2010/2011

__________________________________________________________________ Abstract

One of the therapies used to overcome the social isolation is a group activities therapy: socialization. Purpose of this research is to determine the influence of group activity therapy socialization of social skills of social isolation of patients.This research design is pre-experimental kind of one group pretest-posttest design. The sample in this study amounted to 7 people. The sampling technique using a purposive sampling technique. Test results of paired t-test statistics showed that there was a significant effect on therapeutic activity against the social skills group socialization of social isolation of patients. The effect is shown by the p-value = 0.000 (p <0.005). Therapy group socialization activities recommended to be implemented routinely in hospitals by taking into account the homogeneity of the patient's age and give Strategy Meeting (SP) before the implementation of group activity therapy.

__________________________________________________________________ Key Word : Group Socialization Activities, Social Skills,Social Isolation


(12)

Judul : Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok: Sosialisasi terhadap Kemampuan Sosialisasi Pasien Isolasi Sosial di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan

Nama Mahasiswa : Dewi Rahmadani Lubis N I M : 071101027

Fakultas : Keperawatan USU Tahun Akademik : 2010/2011

__________________________________________________________________ Abstrak

Salah satu terapi yang digunakan untuk mengatasi isolasi sosial ialah terapi aktivitas kelompok: sosialisasi. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial. Desain penelitian ini adalah pre eksperimen jenis one group pretest-posttest design. Sampel pada penelitian ini berjumlah 7 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Hasil uji statistik paired t-test menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan pada terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial. Pengaruh tersebut ditunjukkan dengan nilai p = 0,000 (p < 0,005). Terapi aktivitas kelompok sosialisasi direkomendasikan untuk dilaksanakan di rumah sakit secara rutin dengan memperhatikan homogenitas umur pasien dan memberikan Strategi Pertemuan (SP) sebelum pelaksanaan terapi aktivitas kelompok.

__________________________________________________________________ Kata kunci: Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi, Kemampuan Sosialisasi,


(13)

Title : The Influence of Group Activity Therapy: Socialization to Social Skills of Patients with Social Isolation at Kamboja Room, North Sumatera Psychiatric Hospital Medan

Name of Student : Dewi Rahmadani Lubis N I M : 071101027

Faculty : Bachelor of Nursing (S.Kep) Year of Academic : 2010/2011

__________________________________________________________________ Abstract

One of the therapies used to overcome the social isolation is a group activities therapy: socialization. Purpose of this research is to determine the influence of group activity therapy socialization of social skills of social isolation of patients.This research design is pre-experimental kind of one group pretest-posttest design. The sample in this study amounted to 7 people. The sampling technique using a purposive sampling technique. Test results of paired t-test statistics showed that there was a significant effect on therapeutic activity against the social skills group socialization of social isolation of patients. The effect is shown by the p-value = 0.000 (p <0.005). Therapy group socialization activities recommended to be implemented routinely in hospitals by taking into account the homogeneity of the patient's age and give Strategy Meeting (SP) before the implementation of group activity therapy.

__________________________________________________________________ Key Word : Group Socialization Activities, Social Skills,Social Isolation


(14)

Judul : Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok: Sosialisasi terhadap Kemampuan Sosialisasi Pasien Isolasi Sosial di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan

Nama Mahasiswa : Dewi Rahmadani Lubis N I M : 071101027

Fakultas : Keperawatan USU Tahun Akademik : 2010/2011

__________________________________________________________________ Abstrak

Salah satu terapi yang digunakan untuk mengatasi isolasi sosial ialah terapi aktivitas kelompok: sosialisasi. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial. Desain penelitian ini adalah pre eksperimen jenis one group pretest-posttest design. Sampel pada penelitian ini berjumlah 7 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Hasil uji statistik paired t-test menunjukkan bahwa ada pengaruh yang signifikan pada terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial. Pengaruh tersebut ditunjukkan dengan nilai p = 0,000 (p < 0,005). Terapi aktivitas kelompok sosialisasi direkomendasikan untuk dilaksanakan di rumah sakit secara rutin dengan memperhatikan homogenitas umur pasien dan memberikan Strategi Pertemuan (SP) sebelum pelaksanaan terapi aktivitas kelompok.

__________________________________________________________________ Kata kunci: Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi, Kemampuan Sosialisasi,


(15)

BAB 1 PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Gangguan kejiwaan atau skizofrenia adalah suatu gangguan psikosis fungsional berupa gangguan mental berulang yang ditandai dengan gejala-gejala psikotik yang khas seperti kemunduran fungsi sosial, fungsi kerja, dan perawatan diri. Skizofrenia Tipe I ditandai dengan menonjolnya gejala-gejala positif seperti halusinasi, delusi, dan asosiasi longgar, sedangkan pada Skizofrenia Tipe II ditemukan gejala-gejala negatif seperti penarikan diri, apatis, dan perawatan diri yang buruk (Forum Sains Indonesia, 2010).

Salah satu tanda dan gejala dari klien yang mengalami skizofrenia ialah terjadinya kemunduran sosial. Kemunduran sosial tersebut terjadi apabila seseorang mengalami ketidakmampuan ataupun kegagalan dalam menyesuaikan diri (maladaptif) terhadap lingkungannya, seseorang tersebut tidak mampu berhubungan dengan orang lain atau kelompok lain secara baik, sehingga menimbulkan gangguan kejiwaan yang mengakibatkan timbulnya perilaku maladaptif terhadap lingkungan di sekitarnya.

Kemunduran fungsi sosial yang dialami seseorang di dalam diagnosa keperawatan jiwa disebut isolasi sosial. Isolasi sosial adalah keadaan dimana seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya (Purba, dkk. 2008). Pasien isolasi


(16)

sosial memiliki kemampuan sosialisasi yang rendah karena sifatnya yang selalu menarik diri dari lingkungannya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Medical Record Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan, diketahui pasien yang mengalami gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan pada tahun 2009 berjumlah 12.377 pasien dan yang mengalami skizofrenia paranoid berjumlah 9.532 pasien. Sedangkan pasien yang menjalani rawat inap berjumlah 1.929 pasien dan yang mengalami skizofrenia paranoid berjumlah 1.581 pasien. Dan berdasarkan hasil survey awal peneliti di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan, pasien yang mengalami isolasi sosial sebanyak 54% dari seluruh pasien yang ada di ruangan tersebut.

Upaya yang dapat dilakukan dalam peningkatan kesehatan kejiwaan seseorang dapat dilakukan melalui pendekatan secara promotif, preventif dan rehabilitatif. Upaya rehabilitatif untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi pada pasien yang mengalami isolasi sosial dapat dilakukan dengan berbagai terapi keperawatan jiwa, diantaranya dengan melakukan terapi modalitas yang terdiri dari terapi individu maupun terapi kelompok. Namun terapi yang dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi pada pasien isolasi sosial ialah dengan terapi aktivitas kelompok (TAK) yang merupakan salah satu terapi modalitas dalam bentuk terapi kelompok yang ditujukan untuk mengatasi klien dengan masalah yang sama. TAK merupakan salah satu cara yang digunakan untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi pasien sehingga diharapkan pasien dapat kembali bersosialisasi di masyarakat. TAK dibagi ke dalam empat jenis, yaitu TAK Sosialisasi, TAK Stimulasi Persepsi, TAK Stimulasi Sensoris dan TAK


(17)

Orientasi Realitas. Jenis TAK yang paling tepat digunakan untuk meningkatkan kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial adalah TAK Sosialisasi (TAKS). TAKS adalah upaya memfasilitasi sosialisasi sejumlah klien dengan perilaku menarik diri secara kelompok (Keliat, 2005).

Pengaruh TAK pernah diteliti sebelumnya terhadap peningkatan harga diri, komunikasi maupun penurunan perilaku menarik diri, depresi dan halusinasi pada pasien. Hasil penelitian mengenai pengaruh TAK terhadap peningkatan harga diri pada pasien menarik diri di RS. Jiwa DR. Radjiman Wediodiningrat Lawang, menunjukkan adanya penurunan tanda gejala harga diri rendah setelah dilakukan TAK (Widowati, dkk. 2010). Penelitian Rusjini (2007) dengan judul “Pengaruh Konseling dan TAK terhadap Perubahan Psikososial pada Wanita Dewasa Pasca Gempa di Desa Wonokersono, Pleret, Bantul, Yogyakarta menunjukkan bahwa konseling dan TAK berpengaruh terhadap psikososial pada wanita dewasa pasca gempa.

Penelitian mengenai TAKS oleh Purnomo (2008) dengan judul “ Pengaruh TAKS terhadap Perubahan Perilaku Pasien Menarik Diri di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta” menunjukkan adanya perubahan perilaku menarik diri klien. Penelitian Susilowati (2009) mengenai Pengaruh TAKS terhadap tingkat depresi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta menunjukkan adanya pengaruh TAK Sosialisasi terhadap penurunan tingkat depresi pada klien di Rumah Sakit tersebut. Pengaruh TAKS terhadap kemampuan komunikasi pasien isolasi sosial di RSJD Provsu Medan telah diteliti oleh Pasaribu (2008) dan menunjukkan adanya peningkatan kemampuan komunikasi pasien isolasi sosial setelah diberikan TAKS.


(18)

Walaupun penelitian mengenai TAK telah terbukti banyak memberikan manfaat dalam mengatasi berbagai masalah gangguan jiwa, namun TAK masih sangat jarang dilakukan di rumah sakit jiwa. Menurut hasil penelitian yang dilakukan Keliat (1997 dikutip dari Keliat, 2005) tentang pelaksanaan TAK, TAK masih jarang dilakukan karena kemampuan perawat dalam menjalankan kegiatan TAK belum memadai, pedoman pelaksanaan dan perawatan yang mewajibkan pelaksanaan TAK di Rumah Sakit juga belum ada. Selain itu referensi yang menjelaskan model TAK, faktor-faktor yang mempengaruhi dan dampak TAK terhadap klien belum diketahui secara jelas di Indonesia. Dari uraian di atas, maka dipandang perlu untuk dilakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana pengaruh TAK terhadap kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial dan dapat membuktikan bahwa terapi ini bermanfaat bagi klien.

Berdasarkan pemaparan diatas, penulis merasa tertarik untuk mengetahui bagaimana pengaruk TAKS terhadap kemampuan sosialisasi pada pasien yang mengalami isolasi sosial.

2. Pertanyaan Penelitian

Bagaimana pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan bersosialisasi pasien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan?


(19)

3. Tujuan Penelitian 3.1 Tujuan Umum

Adapun tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.

3.2 Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik pasien isolasi sosial di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.

b. Mengetahui kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan sebelum diberikan intervensi TAKS.

c. Mengetahui kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan setelah diberikan intervensi TAKS.

4. Manfaat Penelitian

4.1 Bagi Praktek Keperawatan

Hasil penelitian ini telah dapat digunakan sebagai bahan masukan dan informasi bagi perawat mengenai pentingnya manfaat terapi aktivitas kelompok sosialisasi dan bagaimana memberikan terapi aktivitas kelompok yang tepat dan benar sehingga dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi pada pasien isolasi sosial dan mempercepat proses penyembuhan penyakit pasien.


(20)

4.2 Bagi Pendidikan Keperawatan

Sebagai bahan masukan untuk pengembangan ilmu keperawatan, khususnya ilmu keperawatan jiwa, sehingga dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan jiwa selanjutnya.

4.3 Bagi Penelitian Keperawatan

Penelitian ini telah dapat dijadikan masukan ataupun panduan bagi peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitian mengenai TAKS pada pasien yang mengalami isolasi sosial.


(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Isolasi Sosial 1.1 Definisi

Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba, dkk. 2008).

Berikut beberapa pengertian isolasi sosial yang dikutip dari Pasaribu (2008). Menurut Townsend, isolasi sosial merupakan keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain dianggap menyatakan sikap negatif dan mengancam bagi dirinya. Kelainan interaksi sosial adalah suatu keadaan dimana seorang individu berpartisipasi dalam suatu kuantitas yang tidak cukup atau berlebih atau kualitas interaksi sosial tidak efektif. Menurut Depkes RI penarikan diri atau withdrawal merupakan suatu tindakan melepaskan diri, baik perhatian maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung yang dapat bersifat sementara atau menetap. Menurut Carpenito, Isolasi sosial merupakan keadaan di mana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak. Menurut Rawlins & Heacock, isolasi sosial atau menarik diri merupakan usaha menghindar dari interaksi dan berhubungan dengan orang lain, individu merasa kehilangan hubungan akrab, tidak mempunyai kesempatan dalam berfikir, berperasaan, berprestasi, atau selalu dalam kegagalan.


(22)

Menurut Dalami, dkk. (2009), isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan.

1.2 Etiologi

Berbagai faktor dapat menimbulkan respon yang maladaptif. Menurut Stuart & Sundeen (1998), belum ada suatu kesimpulan yang spesifik tentang penyebab gangguan yang mempengaruhi hubungan interpersonal. Faktor yang mungkin mempengaruhi antara lain yaitu:

1.2.1 Faktor Predisposisi

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah: 1.2.1.1Faktor Perkembangan

Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi, akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak mersaa diperlakukan sebagai objek.

Menurut Purba, dkk. (2008) tahap-tahap perkembangan individu dalam berhubungan terdiri dari:


(23)

a. Masa Bayi

Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan biologis maupun psikologisnya. Konsistensi hubungan antara ibu dan anak, akan menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang mendasar. Hal ini sangat penting karena akan mempengaruhi hubungannya dengan lingkungan di kemudian hari. Bayi yang mengalami hambatan dalam mengembangkan rasa percaya pada masa ini akan mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain pada masa berikutnya.

b. Masa Kanak-Kanak

Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri, mulai mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai membina hubungan dengan teman-temannya. Konflik terjadi apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu dikontrol, hal ini dapat membuat anak frustasi. Kasih sayang yang tulus, aturan yang konsisten dan adanya komunikasi terbuka dalam keluarga dapat menstimulus anak tumbuh menjadi individu yang interdependen, Orang tua harus dapat memberikan pengarahan terhadap tingkah laku yang diadopsi dari dirinya, maupun sistem nilai yang harus diterapkan pada anak, karena pada saat ini anak mulai masuk sekolah dimana ia harus belajar cara berhubungan, berkompetensi dan berkompromi dengan orang lain.

c. Masa Praremaja dan Remaja

Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang intim dengan teman sejenis, yang mana hubungan ini akan mempengaruhi individu untuk mengenal dan mempelajari perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Selanjutnya hubungan intim dengan teman sejenis akan berkembang menjadi


(24)

hubungan intim dengan lawan jenis. Pada masa ini hubungan individu dengan kelompok maupun teman lebih berarti daripada hubungannya dengan orang tua. Konflik akan terjadi apabila remaja tidak dapat mempertahankan keseimbangan hubungan tersebut, yang seringkali menimbulkan perasaan tertekan maupun tergantung pada remaja.

d. Masa Dewasa Muda

Individu meningkatkan kemandiriannya serta mempertahankan hubungan interdependen antara teman sebaya maupun orang tua. Kematangan ditandai dengan kemampuan mengekspresikan perasaan pada orang lain dan menerima perasaan orang lain serta peka terhadap kebutuhan orang lain. Individu siap untuk membentuk suatu kehidupan baru dengan menikah dan mempunyai pekerjaan. Karakteristik hubungan interpersonal pada dewasa muda adalah saling memberi dan menerima (mutuality).

e. Masa Dewasa Tengah

Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan anak-anak terhadap dirinya menurun. Kesempatan ini dapat digunakan individu untuk mengembangkan aktivitas baru yang dapat meningkatkan pertumbuhan diri. Kebahagiaan akan dapat diperoleh dengan tetap mempertahankan hubungan yang interdependen antara orang tua dengan anak.

f. Masa Dewasa Akhir

Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan keadaan fisik, kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman, maupun pekerjaan atau peran. Dengan adanya kehilangan tersebut ketergantungan pada orang lain


(25)

akan meningkat, namun kemandirian yang masih dimiliki harus dapat dipertahankan.

1.2.1.2 Faktor Komunikasi Dalam Keluarga

Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk mengembangkan gangguan tingkah laku.

a. Sikap bermusuhan/hostilitas

b. Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak

c. Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya.

d. Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga, kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam pemecahan masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah.

e. Ekspresi emosi yang tinggi

f. Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya meningkat)

1.2.1.3Faktor Sosial Budaya

Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga.seperti anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.

1.2.1.4 Faktor Biologis

Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarga yang


(26)

menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada kembar monozigot apabila salah diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi kembar dizigot persentasenya 8%.

Kelainan pada struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia.

1.2.2 Faktor Presipitasi

Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal maupun eksternal, meliputi:

1.2.2.1 Stresor Sosial Budaya

Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial. 1.2.2.2 Stresor Biokimia

a. Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.

b. Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka menurunnya MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.

c. Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan karena dihambat


(27)

oleh dopamin. Hypertiroidisme, adanya peningkatan maupun penurunan hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik.

d. Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel-sel otak.

1.2.2.3 Stresor Biologik dan Lingkungan Sosial

Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.

1.2.2.4 Stresor Psikologis

Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik.

Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia disebabkan karena ego tidak dapat menahan tekanan yang berasal dari id maupun realitas yang berasal dari luar. Ego pada klien psikotik mempunyai kemampuan terbatas untuk mengatasi stress. Hal ini berkaitan dengan adanya masalah serius antara hubungan ibu dan anak pada fase simbiotik sehingga perkembangan psikologis individu terhambat.

Menurut Purba, dkk. (2008) strategi koping digunakan pasien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Strategi koping yang sering digunakan pada masing-masing tingkah laku adalahsebagai berikut:


(28)

a. Tingkah laku curiga: proyeksi b. Dependency: reaksi formasi

c. Menarik diri: regrasi, depresi, dan isolasi d. Curiga, waham, halusinasi: proyeksi, denial e. Manipulatif: regrasi, represi, isolasi

f. Skizoprenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi, isolasi, represi dan regrasi.

1.3 Tanda dan Gejala

Menurut Purba, dkk. (2008) tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat ditemukan dengan wawancara, adalah:

a. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain b. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain

c. Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain d. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu

e. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan f. Pasien merasa tidak berguna

g. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup

2. Ketidakmampuan Bersosialisasi

Menurut World Health Organization (WHO, 1989) ketidakmampuan bersosialisasi (social disability) adalah ketidakmampuan individu dalam melakukan hubungan sosial secara sehat dengan orang-orang di sekitarnya. Karena ketidakmampuan mereka untuk bersosialisasi, beberapa individu memiliki masalah untuk menjalani hidup bersama dengan individu normal. Mereka sulit


(29)

untuk melakukan semua aktivitas seperti yang dilakukan oleh individu normal yang ada di sekitarnya (Purba, 2009)

Menurut Kuntjoro (1998 dikutip dari Purba, 2009) menjelaskan bahwa kemunduran sosial atau ketidakmampuan bersosialisasi adalah ketidakmampuan individu untuk bersikap dan bertingkah laku yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Individu yang dalam kehidupannya menuruti kemauan sendiri tanpa mengidentifikasikan norma sosial dan mengganggu lingkungan dianggap tidak terampil secara sosial atau disebut mengalami ketidakmampuan bersosialisasi atau kemunduran sosial. Individu hidup dalam dunianya sendiri (autistik) yang tidak dapat dimengerti dan tidak dapat diterima oleh orang lain. Hal ini berarti pula individu tidak mengindahkan tuntutan lingkungan sosialnya atau tidak mampu menyesuaikan diri yang selanjutnya oleh WHO disebut sebagai cacat psikososial (psychosocial disability).

Pengertian yang lebih rinci mengenai ketidakmampuan bersosialisasi diungkapkan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, yaitu suatu keadaan di mana individu bertingkah laku yang tidak lazim, kacau atau secara sosial tidak dapat diterima atau tidak pantas muncul. Tingkah laku yang tidak lazim adalah tingkah laku yang diperlihatkan oleh pasien yang sifatnya tidak biasa, aneh dan kadang-kadang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Namun perlu diperhatikan pula bahwa gaya hidup individu berbeda dari gaya hidup orang lain, terutama jika ia berasal dari suku atau masyarakat kebudayaan tertentu (Purba, 2009).

Menurut Purba (2009) di Indonesia istilah cacat mempunyai arti dari ketiga keadaan berikut: impairment, disabilities dan handicap, karena sangat luasnya pengertian istilah-istilah tersebut, maka Forum Asean merekomendasikan


(30)

penggunaan definisi-definisi yang ditetapkan oleh WHO tahun 1989 dengan maksud untuk memudahkan kepentingan komunikasi. Istilah-istilah tersebut didefinisikan sebagai berikut:

a. Impairment

Impairment adalah hilangnya atau adanya kelainan (abnormalitas) dari pada struktur atau fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik atau anatomik. Cacat dapat bersifat sementara (temporer) ataupun menetap (permanen). Termasuk di sini apa saja yang biasa disebut dengan anomali defect yang terjadi pada anggota gerak, organ, jaringan atau struktur tubuh, termasuk sistem fungsi mental. Kondisi cacat merupakan eksteriorasi keadaan patologik yang prinsipnya mencerminkan gangguan kesehatan yang terjadi pada tingkat organ.

b. Disabilities (disability)

Disability merupakan keterbatasan atau kurangnya kemampuan (akibat dari adanya cacat) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas dan cara yang dianggap normal bagi manusia. Kondisi ini dapat bersifat sementara, menetap dan membaik atau memburuk. Dapat timbul sebagai akibat langsung adanya cacat atau secara tak langsung sebagai reaksi individu, khususnya secara psikologik pada cacat fisik dan sensorik.

c. Handicap

Handicap adalah kemunduran pada seseorang akibat adanya cacat atau disabilitas yang membatasi atau mencegahnya untuk dapat berperan normal bagi individu (sesuai umur, sex dan faktor sosial budaya). Kondisi ini ditandai dengan adanya ketidaksesuaian antara prestasi seseorang atau statusnya dengan


(31)

harapannya atau kelompoknya. Handicap merupakan sosialisasi dari pada cacat atau disabilitas dan mencerminkan konsekuensi bagi individu dalam budaya, sosial, ekonomi dan lingkungannya yang berpangkal pada adanya cacat dan disabilitas.

2.1 Gambaran Umum Individu yang Mengalami Ketidakmampuan Bersosialisasi

Individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi digambarkan oleh WHO pada tahun 1989, bahwa angka rata-rata kematian diantara individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi lebih banyak dibanding individu yang normal. Seringkali kekurangan perhatian dalam sosialisasi tentang faktor lingkungan dapat menyebabkan dan menggandakan ketidakmampuan bersosialisasi. Individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi tidak memiliki kunci masuk kedalam kelompok masyarakat dan kesempatan untuk bersama-sama dengan masyarakat lain, seperti lembaga kesehatan, sekolah dan institusi pendidikan, program pelatihan keahlian, program pelatihan kerja dan pekerjaan (Purba, 2009).

Di beberapa negara, wanita dewasa yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi dapat ditolak suami dan diasingkan oleh anak-anaknya, bahkan individu dewasa yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi hanya mempunyai pendidikan yang rendah dibandingkan individu dewasa yang normal. Pemisahan secara sosial terhadap individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi semakin memperburuk keadaannya. Di kebanyakan lingkungan masyarakat individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi dipisahkan dari individu yang normal karena kepercayaan yang dianut oleh masyarakat


(32)

setempat. Sikap negatif dan perilaku yang mendiskriminasikan individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi dianggap sebagai suatu keharusan (Purba, 2009).

2.2 Ciri Individu yang Mengalami Ketidakmampuan Bersosialisasi

WHO tahun 1989 menetapkan bahwa individu mengalami ketidakmampuan bersosialisasi jika ia tidak dapat melakukan aktivitas yang biasanya dapat dilakukan oleh individu normal berupa: tidak dapat makan dan minum sendiri, tidak bisa menjaga kebersihan diri, tidak mampu memakai pakaian sendiri, tidak mengerti instruksi yang mudah/simpel, tidak mampu atau merasa sulit dalam mengekspresikan kebutuhan, pikiran dan perasaannya, tidak mengerti gerakan dan tanda-tanda untuk komunikasi, tidak mampu menggunakan gerakan-gerakan dan tanda-tanda untuk komunikasi yang dimengerti oleh individu lain, tidak dapat berkomunikasi dengan berbicara dan menggunakan bahasa dengan individu lain di sekelilingnya, tidak ikut bergabung dalam aktivitas keluarga, tidak turut melakukan aktivitas dalam masyarakat, tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mempunyai penghasilan yang memadai untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari dalam rumah tangga (Purba, 2009).

2.3 Aspek-Aspek Ketidakmampuan Bersosialisasi

Menurut Kuntjoro (1989 dikutip dari Purba, 2009), aktivitas pasien yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:


(33)

a. Activity Daily Living (ADL)

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang meliputi:

1) Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien sewaktu bangun tidur.

2) Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua bentuk tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB dan BAK.

3) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam kegiatan mandi dan sesudah mandi.

4) Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan keperluan berganti pakaian.

5) Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada waktu, sedang dan setelah makan dan minum.

6) Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan dengan kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan dengan kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.

7) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti dan dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak menggunakan/menaruh benda tajam sembarangan, tidak merokok sambil tiduran, memanjat ditempat yang berbahaya tanpa tujuan yang positif.

8) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien untuk pergi tidur. Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku pergi tidur ini perlu diperhatikan karena sering merupakan gejala primer yang muncul pada


(34)

gangguan jiwa. Dalam hal ini yang dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi bagaimana pasien mau mengawali tidurnya.

b. Tingkah laku sosial

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan sosial pasien dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi:

1) Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien untuk melakukan hubungan sosial dengan sesama pasien, misalnya menegur kawannya, berbicara dengan kawannya dan sebagainya.

2) Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien untuk melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa, menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada kesulitan dan sebagainya.

3) Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu berbicara dengan orang lain seperti memperhatikan dan saling menatap sebagai tanda adanya kesungguhan dalam berkomunikasi.

4) Bergaul, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan kemampuan bergaul dengan orang lain secara kelompok (lebih dari dua orang).

5) Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah sakit.

6) Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata krama atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas maupun orang lain.

7) Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien yang bersifat mengendalikan diri untuk tidak mengotori lingkungannya, seperti tidak meludah sembarangan, tidak membuang puntung rokok sembarangan dan sebagainya.


(35)

c. Tingkah laku okupasional

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kegiatan seseorang untuk melakukan pekerjaan, hobby dan rekreasi sebagai salah satu kebutuhan kehidupannya yang meliputi:

1) Tertarik pada kegiatan/pekerjaan, yaitu timbulnya rasa tertarik untuk berbuat sesuatu, baik berupa pekerjaan, hobi dan rekreasi, seperti menyapu, membantu orang lain, bermain, menonton dan sebagainya.

2) Bersedia melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu bentuk kegiatan yang dilakukan pasien untuk bekerja, berekreasi, melaksanakan hobi atau melakukan kegiatan positif lainnya, seperti sembahyang dan membaca. 3) Aktif/rajin melakukan kegiatan atau pekerjaan, yaitu tingkah laku pasien

yang bersedia melakukan kegiatan dengan menunjukkan keaktifan/kerajinannya.

4) Produktif dalam melakukan kegiatan, yaitu adanya hasil perbuatan yang dapat diamati/observasi, baik kualitas maupun kuantitasnya.

5) Terampil dalam melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu sejauhmana pasien memiliki kemampuan, kecakapan dan keterampilan dalam melakukan tindakannya (wajar, tidak kaku, enak dilihat orang sehingga tidak menimbulkan rasa khawatir bagi petugas/orang lain).

6) Menghargai hasil pekerjaan dan milik pribadi, yaitu tingkah laku pasien untuk menghargai (punya tenggang rasa) terhadap hasil pekerjaannya sendiri dan hasil pekerjaan orang lain.

7) Bersedia menerima perintah, larangan dan kritik, yaitu sikap dan perbuatan pasien terhadap perintah, larangan maupun kritik dari orang lain. Sikap dan


(36)

perbuatan tersebut berupa reaksi pasien bila diperintah/disuruh, dilarang/dikritik, reaksi tersebut dapat lambat, cepat, menolak, tak mengindahkan dan sebagainya.

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Ketidakmampuan Bersosialisasi pada Pasien Skizofrenia

Birchwood (1987, dikutip dari Purba, 2009) membuktikan bahwa munculnya gejala-gejala kekambuhan dan ketidakmampuan adaptasi sosial pada penderita skizofrenia adalah berhubungan dengan cara dan efektivitas keluarga dalam mengatasi permasalahan, hilangnya kohesi dalam keluarga, cara mengambil keputusan yang tidak konsisten dan beban keluarga yang dirasa berlebihan. Liberman (1989) menambahkan bahwa yang mengakibatkan makin buruknya ketidakmampuan bersosialisasi diantara penderita skizofrenia adalah jumlah dan bentuk stressor dalam kehidupan, ketidakmampuan menyelesaikan masalah dan dukungan sosial yang kurang.

Penelitian Klerman pada tahun 1971 menggambarkan bahwa timbulnya social functioning impairment diakibatkan oleh tingkah laku simptomatik yang dialami oleh penderita skozofrenia tersebut. Weissman dan Bothwell pada tahun 1976 melanjutkan penelitian tersebut dan menambahkan bahwa semakin buruk simptomatik psikiatriknya akan semakin buruk juga social functioning (Purba, 2009).

Direktorat Kesehatan Jiwa (1997, dikutip dari Purba, 2009) menyatakan bahwa kadang-kadang pasien skizofrenia tidak dapat diterima dengan baik oleh lingkungan keluarga dan masyarakat yang dapat menimbulkan dan memperparah


(37)

ketidakmampuan bersosialisasi yang diderita oleh penderita skizofrenia. Hal ini disebabkan oleh bermacam faktor, diantaranya adalah:

a. Sebagian masyarakat percaya kecacatan akibat hukuman Tuhan, pengaruh makhluk halus dan akibat berhubungan dengan penderita skizofrenia, karenanya keluarga dan masyarakat menempatkan penderita di rumah. Kondisi ini akan mengakibatkan penderita mempunyai perasaan bahwa kedudukannya dalam keluarga kurang penting dibandingkan lainnya.

b. Akibat gangguan yang dideritanya beberapa penderita skizofrenia terlihat berbeda dalam penampilan, cara berbicara dan tingkah lakunya, sehingga keluarga dan masyarakat sering mempunyai pendapat bahwa penderita skizofrenia berbeda dengan mereka.

c. Anak-anak atau orang dewasa terkadang tidak memperhatikan apa yang dikatakan penderita atau menertawakan kesulitan penderita. Mereka memandang penderita kurang penting dibandingkan masyarakat lain.

d. Keluarga dan masyarakat yang menetawarkan penderita skozofrenia karena mereka tidak mengerti penderita skizofrenia dan tidak mengetahui mengenai kecacatan dan penyebabnya.

3. Terapi

3.1 Terapi Psikofarmaka 3.1.1 Clorpromazine

Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya ingat norma sosial dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental: faham, halusinasi. Gangguan perasaan


(38)

dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, tidak mampu bekerja, berhubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin. Mempunyai efek samping gangguan otonomi (hypotensi) antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama jantung. Gangguan ekstra pyramidal (distonia akut, akathsia sindrom parkinson). Gangguan endoktrin (amenorhe). Metabolic (Soundiee). Hematologik, agranulosis. Biasanya untuk pemakaian jangka panjang. Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).

3.1.2 Haloperidol (HLP)

Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi mental serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki efek samping seperti gangguan miksi dan parasimpatik, defeksi, hidung tersumbat mata kabur , tekanan infra meninggi, gangguan irama jantung. Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).

3.1.3 Trihexyphenidil ( THP )

Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis dan idiopatik, sindrom Parkinson akibat obat misalnya reserpina dan fenotiazine. Memiliki efek samping diantaranya mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi, konstipasi, takikardia, dilatasi, ginjal, retensi urine. Kontraindikasi terhadap hypersensitive Trihexyphenidil (THP), glaukoma sudut sempit, psikosis berat psikoneurosis (Andrey, 2010).


(39)

3.2 Terapi Individu

Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial dapat diberikan strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP dengan masing-masing strategi pertemuan yang berbeda-beda. Pada SP satu, perawat mengidentifikasi penyebab isolasi social, berdiskusi dengan pasien mengenai keuntungan dan kerugian apabila berinteraksi dan tidak berinteraksi dengan orang lain, mengajarkan cara berkenalan, dan memasukkan kegiatan latihan berbiincang-bincang dengan orang lain ke dalam kegiatan harian. Pada SP dua, perawat mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan pada pasien mempraktekkan cara berkenalan dengan satu orang, dan membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian. Pada SP tiga, perawat mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan untuk berkenalan dengan dua orang atau lebih dan menganjurkan pasien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan hariannya (Purba, dkk. 2008)

3.3 Terapi Kelompok 3.3.1 Definisi

Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (Stuart & Laraia, 2001 dikutip dari Keliat, 2005). Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi bagi pasien dengan gangguan interpersonal (Yosep, 2008 dikutip dari Keliat, 2005). Terapi aktivitas kelompok adalah terapi yang ditujukan kepada kelompok klien dalam melakukan


(40)

kegiatan untuk menyelesaikan masalah dan mengubah perilaku maladaptif/destruktif menjadi adaptif/ konstruksi (Keliat, 2005).

3.3.2 Tujuan dan Fungsi Kelompok

Tujuan kelompok adalah membantu anggotanya berhubungan dengan orang lain serta mengubah perilaku yang destruktif dan maladaptif. Kelompok berfungsi sebagai tempat berbagi pengalaman dan saling membantu satu sama lain, untuk menemukan cara menyelesaikan masalah (Keliat, 2005).

3.3.3 Besar Kelompok

Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jumlah anggota kelompok kecil menurut Stuart & Laraia adalah 7-10 orang, menurut Lancester adalah 10-12 orang, sedangkan menurut Rawlins, Williams, dan menurut Beck adalah 5-10 orang. Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi (Keliat, 2005). 3.3.4 Lamanya Sesi

Menurut Stuart & Laraia waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi. Biasanya dimulai dengan pemanasan berupa orientasi, kemudian tahap kerja dan finishing berupa terminasi. Banyaknya sesi bergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali / dua kali per minggu, atau dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan (Keliat, 2005).


(41)

3.3.5 Jenis-Jenis Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)

Terapi aktivitas kelompok dibagi empat jenis, yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensoris, terapi aktivitas kelompok orientasi realitas, dan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (Keliat, 2005).

3.3.6 Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS)

Terapi aktivitas kelompok (TAK) sosialisasi ( TAKS ) adalah upaya memfasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah klien dengan masalah hubungan sosial (Keliat, 2005).

3.3.7 Tujuan TAKS

Menurut Keliat (2005), tujuan umum TAK sosialisasi yaitu klien dapat meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap. Sementara, tujuan khususnya adalah:

a. Klien mampu memperkenalkan diri

b. Klien mampu berkenalan dengan anggota kelompok c. Klien mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok

d. Klien mampu menyampaikan dan membicarakan topik percakapan

e. Klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi pada orang lain

f. Klien mampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok

g. Klien mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAKS yang telah dilakukan


(42)

3.3.8 Aktivitas dan Indikasi

Aktivitas TAKS dilakukan sebanyak tujuh sesi yang melatih kemampuan sosialisasi klien (terlampir). Klien yang mempunyai indikasi TAKS adalah klien dengan gangguan hubungan sosial berikut:

a. Klien menarik diri yang telah mulai melakukan interaksi interpersonal.

b. Klien kerusakan komunikasi verbal yang telah berespons sesuai dengan stimulus.

3.3.9 Sesi-Sesi Dalam Pelaksanaan TAKS

Sesi pertama bertujuan agar klien mampu memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, nama panggilan, asal, dan hobi. Sesi kedua bertujuan agar klien mampu berkenalan dengan anggota kelompok. Sesi ketiga bertujuan agar klien mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok. Sesi keempat bertujuan agar klien mampu menyampaikan topik pembicaraan tertentu dengan anggota kelompok. Sesi kelima bertujuan agar klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi dengan orang lain. Sesi keenam bertujuan agar klien mampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok. Sesi ketujuh bertujuan agar klien mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan kelompok yang telah dilakukan.


(43)

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

1. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti (Setiadi, 2007). Kerangka konseptual pada penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan terapi aktivitas kelompok sosialisasi yang mempengruhi kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan.

Penelitian ini terdiri dari dua variabel, yakni variabel independen dan variabel dependen. Variabel independen (variabel bebas) merupakan variabel yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat), variabel ini dikenal dengan nama variabel bebas yang artinya bebas dalam mempengaruhi variabel lain. Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas (Alimul, 2003). Variabel independen pada penelitian ini ialah terapi aktivitas kelompok sosialisasi dan variabel dependen pada penelitian ini adalah kemampuan sosialisasi.


(44)

Skema 3.1 Kerangka Konseptual Variabel Independen

Variabel Dependen Variabel Dependen

2. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Alat Ukur Skala Skor

1. Variabel Independen: Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi Kegiatan yang dilakukan untuk memfasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah klien dengan masalah

Buku evaluasi proses yang dipegang oleh peneliti

Nominal 1.Dilakukan 2.Tidak Dilakukan Pre-test: Kemampuan Sosialisasi : (Kemampuan Sosialisasi) Post-test: Kemampuan Sosialisasi : (Kemampuan Sosialisasi) TAKS:

1. Sesi 1 : memperkenalkan diri

2. Sesi 2 : berkenalan dengan anggota kelompok 3. Sesi 3 : bercakap-cakap dengan anggota kelompok

4. Sesi 4 : menyampaikan dan membicarakan topik percakapan 5. Sesi 5 : menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi pada

orang lain

6. Sesi 6 : bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok 7. Sesi 7 : menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAKS


(45)

(TAKS) hubungan sosial yang terdiri dari 7 sesi. 2. Variabel

Dependen: Kemampuan Sosialisai

Kemampuan individu dalam melakukan hubungan sosial secara sehat dengan orang-orang di sekitarnya

Kuesioner yang terdiri dari 13 pertanyaan mengenai aspek tingkah laku sosial pada ketidakmampuan bersosialisasi yang dimodifikasi dari Purba (2009)

Ordinal Baik Sekali Baik Cukup Kurang Kurang Sekali

3. Hipotesa

Hipotesa adalah jawaban sementara dari suatu penelitian yang kebenarannya masih perlu diuji (Setiadi, 2007). Hipotesa penelitian (Ha) pada penelitian ini, yakni : Ada pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) terhadap kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial di RSJ Daerah Provsu Medan. Hipotesa pada penelitian ini telah diterima, dilihat berdasarkan hasil uji statistik terhadap data yang diperoleh nilai p < 0,005, maka Ha diterima.


(46)

BAB 4

METODOLOGI PENELITIAN

1. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan bentuk rancangan yang digunakan dalam melakukan prosedur penelitian. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain pre eksperimen jenis one group pretest-posttest design yang hanya terdiri dari 1 kelompok. Pada rancangan ini dilakukan observasi awal (pretest) terlebih dahulu sebelum diberikan intervensi, setelah itu diberikan intervensi dan kemudian dilakukan observasi akhir (posttest) (Alimul, 2003).

2. Populasi Penelitian

Populasi merupakan seluruh subjek atau objek dengan karakteristik tertentu yang akan diteliti, bukan hanya objek atau subjek yang dipelajari saja (Alimul, 2003). Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien isolasi sosial yang di rawat inap di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Provsu Medan. Berdasarkan survey penelitian yang dilakukan peneliti, populasi pasien isolasi sosial yang di rawat inap di Ruang Kamboja RSJD Provsu Medan berjumlah 26 orang.

3. Sampel Penelitian

Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Alimul, 2003).


(47)

Besarnya jumlah sampel pada penelitian ini adalah 7 orang. Penentuan jumlah sampel menggunakan table “power analysis” untuk “t-test”. Dalam penelitian ini ditetapkan “level of significance” dengan lambang α sebesar 0.05 “power” sebesar 80% (Portney, 2000).

Sampel yang berjumlah 7 orang akan dikelompokkan menjadi satu kelompok yang akan diberikan intervensi terapi aktivitas kelompok sosialisasi.

Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, yaitu suatu teknik pengambilan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi yang sesuai dengan kriteria peneliti (Setiadi, 2007).

Kriteria peneliti dalam menentukan sampel pada penelitian ini adalah: pasien yang dirawat inap di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan yang berjenis kelamin perempuan, dengan diagnosa keperawatan isolasi sosial, pernah mendapatkan strategi pertemuan (SP) isolasi sosial, pasien yang berusia 20-40 tahun, mampu berbahasa Indonesia, memiliki kemampuan baca tulis yang baik, tidak mengalami retardasi mental dan mau bekerja sama (kooperatif).

4. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan. Pemilihan Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan sebagai tempat penelitian dengan pertimbangan bahwa Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan merupakan pusat pelayanan gangguan jiwa di Provinsi Sumatera Utara, selain itu Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan juga merupakan rumah


(48)

sakit jiwa pendidikan yang merupakan lahan praktek tenaga kesehatan dan memiliki fasilitas dan pelayanan jiwa yang memadai.

Penelitian ini dilaksanakan selama 10 hari, yakni mulai dari tanggal 5 Januari 2011 sampai dengan 14 Januari 2011.

5. Pertimbangan Etik

Penelitian ini dilakukan setelah proposal penelitian selesai di uji dan mendapatkan surat permohonan izin penelitian dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Selanjutnya peneliti mengirimkan surat permohonan izin penelitian untuk mendapatkan surat izin penelitian dari Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan. Setelah mendapat izin dari Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan, peneliti memulai pengumpulan data dan menentukan calon responden yang sesuai dengan kriteria yang sebelumnya telah dibuat oleh peneliti. Sebelum mengumpulkan data, peneliti menjelaskan kepada kepala perawat di Ruang Kamboja sebagai wakil dari responden mengenai maksud, tujuan, dan proses penelitian yang akan dilaksanakan.

Setelah itu peneliti akan menanyakan kesediaan kepala perawat ruangan tersebut untuk mengikutsertakan pasien yang akan dipilih sesuai dengan kriteria peneliti untuk berpartisipasi dalam penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan (informed consent). Apabila perawat menolak untuk mengikutsertakan pasien berpartisipasi dalam penelitian, maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-hak perawat sebagai wakil responden. Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak akan mencantumkan nama responden (anonimyty), tetapi hanya mencantumkan inisial nama (nomor


(49)

responden). Kerahasiaan informasi responden (confidentiality) dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu saja yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian (Hamid, 2007).

6. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan pada penelitian ini berupa lembar kuesioner. Bagian pertama instrumen penelitian berisi data demografi pasien yang berjumlah enam pertanyaan yang terdiri dari: nomor responden, usia, tingkat pendidikan, status perkawinan, pekerjaan dan lama hari rawat.

Bagian kedua instrumen berisi kuesioner yang terdiri dari 13 pernyataan mengenai ketujuh aspek tingkah laku sosial yang masing-masing dari 6 aspek terdiri dari dua pernyataan dan 1 aspek terdiri dari 1 pernyataan, yang merupakan aspek yang menggambarkan kemampuan bersosialisasi yang dimodifikasi dari Purba (2009). Penilaian kuesioner ini menggunakan rating scale dengan tingkatan skor 4,3,2,1,0 dan dievaluasi dengan menggunakan skala ordinal dengan tingkatan baik sekali, baik, cukup, kurang dan kurang sekali.

Penilaian kuesioner dilakukan oleh peneliti sendiri yang menempatkan diri pasien pada salah satu posisi dari nilai yang paling sesuai dengan keadaan pasien yang sebenarnya saat dilakukan penelitian. Kuesioner tidak dapat diisi oleh pasien/ responden langsung dikarenakan kondisi pasien yang masih diliputi oleh simptom-simptom psikologis negatif, sehingga tidak memungkinkan untuk responden menjawab secara tepat.


(50)

7. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian

Uji validitas dilakukan untuk mengetahui tingkat kesahian suatu instrumen. Suatu instrumen dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan dan dapat mengungkapkan data dari variable yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2005).

Untuk menguji validitas, dapat digunakan pendapat dari ahli (judgment experts). Pendapat orang yang ahli diminta pendapatnya mengenai instrumen yang telah disusun (Riduwan, 2006).

Setelah dilakukan uji validitas oleh salah seorang Dosen Keperawatan Jiwa Fakultas Keperawatan USU, maka didapatkan hasil bahwa instrumen penelitian yang digunakan telah valid dan dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.

Untuk mengetahui kepercayaan (reliabilitas) instrumen maka dilakukan uji reliabilitas. Uji reliabilitas adalah suatu kesamaan hasil apabila pengukuran dilaksanakan oleh orang yang berbeda ataupun pada waktu yang bebeda (Setiadi, 2007). Menurut Nazir (1989) suatu bagian alat ukur mempunyai reliabilitas tinggi atau dapat dipercaya serta stabil dan dapat dihandalkan jika alat ukur tersebut digunakan berkali-kali maka akan memberikan hasil yang relatif sama.

Uji reabilitas penelitian ini dilakukan terhadap 10 orang pasien isolasi sosial di RSJD Provsu Medan yang telah memenuhi kriteria sampel peneliti. Kemudian jawaban dari responden diolah dengan menggunakan program SPSS.

Berdasarkan uji realiabilitas apabila diperoleh nilai cronbach’s alpha diatas 0,70 maka instrumen dinyatakan reliabel (Polit & Hungler, 1999). Setelah dilakukan uji reliabilitas menggunakan rumus alpha maka didapatkan hasil 0,758


(51)

yang artinya instrumen kuesioner kemampuan sosialisasi telah reliabel dan dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.

8. Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan cara: a. Persiapan

Peneliti memperoleh izin penelitian dari institusi pendidikan (Fakultas Keperawatan USU), lalu memberikan permohonan izin yang diperoleh dari institusi pendidikan ke tempat penelitian (Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan).

Setelah mendapat izin dari Direktur Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan, Pada hari pertama penelitian, peneliti terlebih dahulu meminta persetujuan kembali dari Kepala Ruangan Kamboja untuk melakukan penelitian dan menjelaskan tujuan dan rincian kegiatan dari penelitian yang akan dilakukan.

b. Pelaksanaan

Setelah mendapatkan persetujuan dari Kepala Ruangan, peneliti memilih responden yang sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan oleh peneliti yang kemudian dijadikan sampel dalam penelitian ini. Peneliti memilih 7 orang responden yang akan dilibatkan dalam kegiatan penelitian dan menjelaskan maksud, tujuan, jadwal kegiatan yang akan dilakukan, dan persetujuan atas ketersediaan responden dalam mengikuti kegiatan penelitian dari awal sampai akhir kegiatan. Pada hari yang sama peneliti mengumpulkan data demografi dari masing-masing ketujuh responden tersebut dengan


(52)

melakukan wawancara kepada responden dan memvalidasi hasil wawancara mengenai data demografi responden dengan melihat buku status responden. Setelah responden terpilih dan menyatakan bersedia dalam kegiatan yang akan dilakukan, pada hari kedua peneliti melakukan Strategi Pertemuan (SP) Isolasi Sosial kepada 7 orang responden yang terpilih sebelum dilaksanakannya TAKS.

Pada hari kedua, peneliti melakukan pre test dengan menggunakan kuesioner kemampuan sosialisasi kepada ketujuh orang responden. Selanjutnya pada hari ketiga, peneliti mulai melaksanakan TAKS sesi 1 dengan tujuan kegiatan responden mampu memperkenalkan dirinya. Pada hari keempat, dilaksanakan TAKS sesi 2 dengan tujuan kegiatan responden mampu berkenalan dengan anggota kelompoknya dalam TAKS. Pada hari kelima dilaksanakan TAKS sesi 3 dengan tujuan kegiatan responden mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompoknya. Pada hari keenam dilaksanakan TAKS sesi 4 dengan tujuan kegiatan responden mampu menyampaikan dan membicarakan topik percakapan. Pada hari ketujuh dilaksanakan TAKS sesi 5 dengan tujuan kegiatan responden mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadinya. Pada hari kedelapan, dilaksanakan TAKS sesi 6 dengan tujuan kegiatan responden mampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok. Pada hari kesembilan dilaksanakan TAKS sesi 7 dengan tujuan kegiatan responden mampu menyampaikan pendapat mengenai manfaat kegiatan TAKS yang telah dilakukan.

TAKS pada penelitian ini dilaksanakan selama ± 45 menit dalam 1 sesi. TAKS dilaksanakan pada pagi hari sebelum responden makan siang yakni dari


(53)

pukul 10.00 WIB - 10.45 WIB. TAKS dilaksanakan di Ruang Makan Ruangan Kamboja RSJD Provsu Medan.

c. Posttest

Pada hari terakhir (hari kesepuluh), peneliti melakukan post test dengan menggunakan kuesioner kemampuan sosialisasi terhadap 7 orang responden yang telah mengikuti kegiatan TAKS dari sesi 1 sampai dengan TAKS sesi 7.

9. Analisa Data

Setelah semua data dikumpulkan, peneliti memeriksa apakah semua daftar pertanyaan telah diisi atau editing. Kemudian peneliti melakukan koding yaitu memberikan kode/angka pada masing-masing lembar kuesioner, dan selanjutnya dilakukan analisa terhadap data tersebut.

Berdasarkan tujuan pada penelitian ini, maka teknik analisa yang dapat digunakan untuk membuktikan hipotesis penelitian ialah:

9.1 Analisa Univariat

Untuk mengetahui karakteristik klien isolasi sosial di ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan digunakan tabel distribusi frekuensi karakteristik responden dan persentase data-data demografi yang meliputi umur, jenis kelamin, pendidikan dan lama hari rawat.

9.2 Analisa Bivariat

Untuk mengetahui kemampuan sosialisasi responden sebelum dan setelah dilakukan intervensi terapi aktivitas kelompok sosialisasi dan pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial di RSJ Daerah Provsu Medan digunakan statistik inferensial.


(54)

Data yang diperoleh telah berdistribusi normal, maka uji hipotesis yang digunakan pada penelitian ini ialah uji paired t-test.


(55)

BAB 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS) terhadap kemampuan responden bersosialisasi di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Provinsi Sumatera Utara Medan.

1. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 10 hari, yakni mulai dari tanggal 5 Januari 2011 sampai dengan 14 Januari 2011. Pada hari pertama, peneliti terlebih dahulu meminta persetujuan dari Kepala Ruangan Kamboja untuk melakukan penelitian dan menjelaskan tujuan dan rincian kegiatan dari penelitian yang akan dilakukan. Setelah mendapatkan persetujuan dari Kepala Ruangan, peneliti memilih responden yang sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan oleh peneliti yang kemudian dijadikan sampel dalam penelitian ini. Peneliti memilih 7 orang responden yang akan dilibatkan dalam kegiatan penelitian dan menjelaskan maksud, tujuan, jadwal kegiatan yang akan dilakukan, dan persetujuan atas ketersediaan responden dalam mengikuti kegiatan penelitian dari awal sampai akhir kegiatan. Pada hari yang sama peneliti mengumpulkan data demografi dari masing-masing ketujuh responden tersebut dengan melakukan wawancara kepada responden dan memvalidasi hasil wawancara mengenai data demografi responden dengan melihat buku status responden. Setelah responden terpilih dan menyatakan bersedia dalam kegiatan yang akan dilakukan, pada hari kedua peneliti melakukan


(56)

Strategi Pertemuan (SP) Isolasi Sosial kepada 7 orang responden yang terpilih sebelum dilaksanakannya TAKS.

Pada hari kedua, peneliti melakukan pre test dengan menggunakan kuesioner kemampuan sosialisasi kepada ketujuh orang responden. Selanjutnya pada hari ketiga, peneliti mulai melaksanakan TAKS sesi 1 dengan tujuan kegiatan responden mampu memperkenalkan dirinya. Pada hari keempat, dilaksanakan TAKS sesi 2 dengan tujuan kegiatan responden mampu berkenalan dengan anggota kelompoknya dalam TAKS. Pada hari kelima dilaksanakan TAKS sesi 3 dengan tujuan kegiatan responden mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompoknya. Pada hari keenam dilaksanakan TAKS sesi 4 dengan tujuan kegiatan responden mampu menyampaikan dan membicarakan topik percakapan. Pada hari ketujuh dilaksanakan TAKS sesi 5 dengan tujuan kegiatan responden mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadinya. Pada hari kedelapan, dilaksanakan TAKS sesi 6 dengan tujuan kegiatan responden mampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok. Pada hari kesembilan dilaksanakan TAKS sesi 7 dengan tujuan kegiatan responden mampu menyampaikan pendapat mengenai manfaat kegiatan TAKS yang telah dilakukan. Dan pada hari terakhir, peneliti melakukan post test dengan menggunakan kuesioner kemampuan sosialisasi terhadap 7 orang responden yang telah mengikuti kegiatan TAKS dari sesi 1 sampai dengan TAKS sesi 7.

TAKS pada penelitian ini dilaksanakan selama ± 45 menit dalam 1 sesi. TAKS dilaksanakan pada pagi hari sebelum responden makan siang yakni dari pukul 10.00 WIB - 10.45 WIB. TAKS dilaksanakan di Ruang Makan Ruangan Kamboja RSJD Provsu Medan.


(57)

Pada hasil penelitian ini akan dipaparkan karakteristik demografi responden, kemampuan sosialisasi responden sebelum (pre) TAKS, kemampuan sosialisasi responden setelah (post) TAKS dan pengaruh dari TAKS yang telah dilaksanakan.

1.1 Karakteristik Demografi Berdasarkan Usia, Pendidikan, Status Perkawinan, Pekerjaan dan Lama Hari Rawat Responden Isolasi Sosial di RSJD Provsu Medan

Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Usia Responden

Karakteristik Jumlah (n) Mean Std.Deviation Min-Maks

Usia 7 34,29 3,592 27 - 38

Berdasarkan tabel 5.1 diketahui bahwa rata-rata usia responden dalam penelitian ini rata-rata berumur 34 tahun dengan usia termuda 27 tahun dan usia tertua 38 tahun.

Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Demografi Responden No. Karakteristik Responden Jumlah (n) Persentase (%)

1. Pendidikan SMP SMU 3 4 42,9 57,1 2. Status Perkawinan

Menikah Tidak Menikah 3 4 42,9 57,1 3. Pekerjaan

Wiraswasta Tidak bekerja 2 5 28,6 71,4 4. Lama Hari Rawat

<6 bulan > 6 bulan

7 -

100 -

Karakteristik demografi dari ketujuh responden dalam penelitian ini adalah responden dengan jenis kelamin perempuan yang mengalami isolasi sosial yang dirawat di Ruang Kamboja RSJD Provsu Medan. Pada tabel 5.2 ditunjukkan bahwa berdasarkan karakteristik dari tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini sebagian besar tingkat pendidikan responden mencapai tingkat SMU (57,1%). Ditinjau dari status perkawinan, mayoritas responden tidak menikah


(58)

(57,1%). Status pekerjaan responden umumnya tidak bekerja (71,4%). Rata-rata lama hari rawat keseluruhan responden adalah kurang dari 6 bulan (100%) . 1.2 Kemampuan Sosialisasi Responden Pre TAKS

Tabel 5.3 Distribusi Kemampuan Sosialisasi Responden Pre TAKS

Kategori Jumlah (n) Persentase (%)

Kurang Kurang Sekali

5 2

71,4 28,6

Tabel 5.2 memperlihatkan bahwa kemampuan responden dalam bersosialisasi sebelum intervensi TAKS (pre test) mayoritas berada dalam kategori kurang, yakni sebanyak 5 orang responden (71,4%).

1.3 Kemampuan Sosialisasi Responden Post TAKS

Tabel 5.4 Distribusi Kemampuan Sosialisasi Responden Post TAKS

Kategori Jumlah (n) Persentase (%)

Baik Cukup

6 1

85,7 14,3

Tabel 5.3 memperlihatkan bahwa kemampuan responden dalam bersosialisasi setelah intervensi TAKS (post test) mayoritas berada dalam kategori baik, yakni sebanyak 6 orang responden (85,7%).

1.4 Pengaruh TAKS terhadap Kemampuan Sosialisasi Responden

Uji statistik yang digunakan untuk membandingkan data pre dan post digunakan uji t berpasangan (paired t-test). Uji statistik paired t-test digunakan apabila data tersebut merupakan data yang diperoleh dari dua kelompok berpasangan dan syarat data tersebut harus berdistribusi normal.

Data yang diuji perbedaan kemampuan sosialisasi pada data ini berasal dari kelompok berpasangan, yakni 7 orang responden yang sama dilakukan pre test dan post test. Sebelum data diuji, harus dilakukan uji normalitas terhadap data


(59)

tersebut agar dapat diketahui uji hipotesa apa yang digunakan. Berdasarkan uji normalitas data, data yang diperoleh telah berdistribusi normal. Uji normalitas data menggunakan uji normalitas Shapiro-Wilk karena data memiliki jumlah responden <50 orang. Syarat normal data apabila nilai signifikansi/kemaknaan (p) > 0,05. Nilai kemakanaan pada data pre test diperoleh p = 0,220 (p > 0,05) dan p = 0,058 (p > 0,05) pada data post test.

Tabel 5.5 Uji Normalitas Data Pre dan Post TAKS

Data Sig.

Pre TAK Sosialisasi Post TAK Sosialisasi

.220 .058

Setelah data tersebut diketahui telah berdistribusi normal, maka dapat dilakukan uji statistik paired t-test untuk menguji hipotesis. Taraf signifikansi 95% (α = 0,05). Jika nilai uji statistik (p) < α maka hipotesis alternatif (Ha) diterima, dan jika nilai uji statistik (p) > α maka hipotesis alternatif (Ha) ditolak.

Tabel 5.6 Hasil Uji Statistik Paired T Test Data Pre dan Post TAKS Sig. (2-tailed)

Pre TAKS – Post TAKS .000

Hasil uji statistik paired t-test menunjukkan bahwa ada pengaruh TAKS terhadap kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial. Pengaruh tersebut ditunjukkan dengan nilai p = 0,000 (p < 0,005).

2. Pembahasan

2.1 Karakteristik Demografi Responden

Hasil penelitian berdasarkan hasil karakteristik demografi, menunjukkan bahwa dari 7 orang responden yang dirawat di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu yang menjadi sampel dalam penelitian ini mayoritas berusia 35


(60)

tahun (42,9%). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Kaplan, dkk (1997 dikutip dari Purba, 2009) bahwa usia puncak onset (masa perjalanan penyakit sejak dari tidak ada gejala sampai ada gejala yang timbul dengan sangat jelas) skizofrenia berkisar antara 20 sampai 35 tahun, sedangkan onset skizofrenia sebelum usia 10 tahun atau sesudah 50 tahun jarang terjadi.

Dari hasil penelitian ditemukan juga bahwa mayoritas responden tidak menikah (57,1%) dan tidak bekerja (71,4%). Hal ini dikarenakan adanya stigma masyarakat bahwa penderita skizofrenia mempunyai kesan menakutkan dan tidak dapat sembuh secara sempurna. Dengan kondisi penyakitnya, penderita skizofrenia mengalami berbagai kemunduran dari berbagai aspek psikisnya yang menyebabkan mereka tidak mampu lagi melakukan dengan baik aktivitas kehidupannya sehari-hari, melakukan hubungan sosial dengan orang lain dan melakukan tingkah laku yang berkaitan dengan pekerjaan (Kuntjoro, 1989 dikutip dari Purba, 2009). Dengan kondisi seperti ini mereka sulit untuk mendapatkan pasangan hidup maupun pekerjaan, sehingga mereka lebih banyak yang tidak menikah dan tidak bekerja dibandingkan yang menikah dan bekerja.

Keseluruhan responden (100%) yang mengikuti kegiatan TAKS memiliki lama hari rawat kurang dari 6 bulan memang sengaja dipilih oleh peneliti dikarenakan peneliti ingin mencari responden yang belum pernah mengikuti terapi aktivitas kelompok terutama jenis terapi aktivitas kelompok sosialisasi. 2.2 Kemampuan Sosialisasi Responden Pre TAKS

Dalam menilai kemampuan sosialisasi responden, terbagi 5 kategori penilaian kemampuan sosialisasi, yakni kemampuan sosialisasi baik sekali, baik, cukup, kurang dan kurang sekali. Kemampuan sosialisasi dari 7 orang responden


(61)

pada saat sebelum diberikan intervensi TAKS, terdapat 5 orang responden yang termasuk dalam kategori kurang kemamapuan sosialisasinya, dan 2 orang responden dalam kategori kurang sekali.

Kemampuan sosialisasi responden tersebut termasuk dalam kategori kemampuan sosialisasi yang rendah dikarenakan keadaan isolasi sosial pada responden, yang merupakan keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya (Purba, dkk. 2008). Permasalahan dengan hubungan sosial, terutama hubungan seseorang dengan orang lain, kedekatan dengan orang lain, dan isolasi sosial merupakan tanda-tanda dari skizofrenia. Meskipun isolasi sosial bukan merupakan hasil diagnosis yang penting, namun isolasi sosial dan menarik diri merupakan masalah yang menjadi dasar pada penderita skizofrenia (Strauss & Carpenter, 1981).

2.3 Kemampuan Sosialisasi Responden Post TAKS

Setelah diberikan intervensi TAKS, terdapat perubahan kemampuan sosialisasi dari 7 responden yang sama yakni menjadi, terdapat 6 orang responden dalam kategori kemampuan sosialisasinya baik dan 1 orang responden dalam kategori kemampuan sosialisasi yang cukup.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan sosialisasi diantara sebelum dan setelah intervensi TAKS, yakni kemampuan sosialisasi responden menjadi lebih meningkat setelah diberikan intervensi TAKS. Peningkatan pencapaian kemampuan sosialisasi tersebut tidak sama pada seluruh responden. Mayoritas kemampuan sosialisasi responden setelah diberikan intervensi meningkat menjadi kategori kemampuan sosialisasi yang baik, namun


(62)

terdapat 1 orang responden yang pencapaian kategori kemampuan sosialisasinya tidak sama yakni kemampuan sosialisasinya masih dalam kategori cukup.

Perbedaan kemampuan sosialisasi yang diperoleh tiap responden diakibatkan karena kemampuan kognitif masing-masing responden yang berbeda-beda sehingga menghasilkan perilaku yang berberbeda-beda pula. Menurut teori kognitif yang dikemukan oleh Albert Bandura pada tahun 1960 (dikutip dari Morissan, 2010), teori kognitif menjelaskan bahwa pemikiran dan tindakan manusia sebagai proses dari apa yang dinamakan dengan ‘tiga penyebab timbal balik’ (triadic reciprocal causation) yang berarti bahwa pemikiran dan perilaku ditentukan oleh tiga faktor berbeda yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lainnya dengan berbagai variasi kekuatannya, baik pada waktu bersamaan maupun waktu yang berbeda. Ketiga penyebab timbal balik itu adalah perilaku, karakteristik personal seperti kualitas kognitif dan biologis (misal tingkat kecerdasan atau IQ, jenis kelamin, tinggi badan, umur atau ras), dan faktor lingkungan atau peristiwa.

Teori kognitif yang dikemukakan oleh Albert Bandura sejalan dengan teori perilaku yang dikemukakan oleh Notoadmodjo (2003) yang menyatakan perilaku adalah bentuk respon atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar, namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karateristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Dengan perkataan lain bahwa perilaku yang dihasilkan oleh seseorang dapat berbeda dengan orang lain yang dipengaruhi oleh fungsi kognitif yang diterima oleh orang tersebut.


(63)

Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh TAKS terhadap kemampuan sosialisasi responden yang dinilai dengan menggunakan uji statistik paired t-test, ditunjukkan bahwa TAKS memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kemampuan sosialisasi responden. Hal ini terlihat dari nilai p = 0,000 (p < 0,05), yang artinya Ha diterima, yakni ada pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan sosialisasi pasien isolasi sosial di RSJD Provsu Medan.

Pengaruh yang dihasilkan dari kegiatan TAKS terhadap peningkatan kemampuan sosialisasi responden menurut Keliat (2005) dikarenakan TAKS merupakan upaya memfasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah klien dengan masalah hubungan sosial. Menurut pendapat Supratiknya (1995, dalam Purba, 2009) yang menyatakan bahwa sebagian besar penderita skizofrenia mengalami kekacauan dalam fungsi sehari-hari, baik dalam pekerjaan, hubungan sosial maupun kebiasaan merawat diri (self care). Namun dengan dilakukannya penanganan secara intensif, berupa pemberian berbagai latihan atau terapi, seperti terapi kerja, latihan keterampilan sosial dan sebagainya terhadap penderita skizofrenia, terbukti dapat meningkatkan kemampuan keterampilan sosial dan menekan keadaan ketidakmampuan sosialnya.

Pendapat-pendapat tersebut sejalan dengan pendapat oleh Freedman, dkk. (1972), bahwa dalam hal mengatasi rasa takut dan tidak percaya diri para penderita skizofrenia, diperlukan suatu kondisi terapeutik yang mendukung orientasi pada kenyataan atau realita dan yang mendorong ketertarikannya untuk berhubungan dengan orang lain. Intervensi secara kelompok mendukung


(64)

hubungan secara sosial para anggota satu sama lain yang didukung oleh terapis yang dapat memberikan pengalaman sosialisasi mereka.

Dari beberapa pendapat tersebut dijelaskan bahwa dengan latihan atau terapi kegiatan seperti terapi aktivitas kelompok yang merupakan salah satu terapi atau latihan yang mengajarkan cara bersosialisasi yang baik kepada orang lain sehingga dapat meningkatkan kemampuan sosialisasi seseorang.

Menurut Notoadmodjo (1993) perubahan perilaku atau kemampuan merupakan hasil belajar yang didasari adanya perubahan atau penambahan pengetahuan sikap atau keterampilan. Belajar diartikan sebagai suatu proses perubahan perilaku yang dihasilkan dari praktek-praktek dalam lingkungan kehidupan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perilaku dibentuk melalui suatu proses belajar dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour)

Pada TAKS yang diberikan yang terdiri dari sesi 1 - 7, terdapat cara-cara bagaimana seseorang berinteraksi yang baik dengan orang lain dengan cara memperkenalkan dirinya, berkenalan dengan anggota kelompok, bercakap-cakap dengan anggota kelompok, menyampaikan dan membicarakan topik percakapan, menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi pada orang lain, bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok dan menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAKS yang telah dilakukan (Keliat, 2005).


(65)

Pelaksanaan TAKS pada penelitian ini didahului dengan pemberian Strategi Pertemuan (SP) Isolasi Sosial. SP Isolasi Sosial terdiri dari 3 SP yakni SP 1 mengidentifikasi penyebab isolasi sosial, berdiskusi tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain, berdiskusi tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain, mengajarkan cara berkenalan dengan satu orang, SP 2 memberikan kesempatan untuk mempraktekkan cara berkenalan dengan satu orang dan SP 3 memberi kesempatan untuk berkenalan dengan dua orang atau lebih (Purba, 2008). Pemberian SP terlebih dahulu sebelum pelaksanaan TAKS dapat melatih kemampuan sosialisasi responden dalam lingkup yang lebih kecil sebelum memasuki pada lingkup yang lebih besar seperti pada terapi aktivitas kelompok. SP juga dilakukan agar dapat membantu responden dalam meningkatkan kepercayaannya kepada peneliti.


(66)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian terhadap karakteristik demografi yang dilakukan oleh peneliti di Ruang Kamboja Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Provsu Medan selama 10 hari terhadap 7 orang responden yang mengikuti kegiatan TAKS, diperoleh data yakni rata-rata umur responden berusia 34 tahun, berpendidikan sampai pada jenjang SMU, tidak menikah, tidak bekerja dan lama hari rawat responden kurang dari 6 bulan .

Hasil penelitian mengenai kemampuan sosialisasi responden dengan menggunakan kuesioner pada saat sebelum pelaksanaan TAKS memperlihatkan bahwa kemampuan sosialisasi responden mayoritas berada dalam kategori kurang, yakni sebanyak 5 orang responden (71,4%). Sedangkan hasil penelitian kemampuan sosialisasi responden setelah pelaksanaan TAKS yang diukur dengan menggunakan kuesioner yang sama, mayoritas terhadap seluruh responden terdapat peningkatan kemampuan sosialisasi responden, yakni sebanyak 6 orang (85,7%) berada dalam kategori baik.

Penelitian mengenai pengaruh TAKS terhadap kemampuan sosialisasi dapat terlihat dari nilai uji statistik yang telah diperoleh, bahwa nilai p = 0,000 (p < 0,05). Hasil uji statistik (p) lebih kecil dari nilai α (0,05), maka Ha diterima, yaitu ada pengaruh terapi aktivitas kelompok sosialisasi terhadap kemampuan sosialisasi responden.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Manajemen Pelayanan Dan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Isolasi Sosial Di Ruang Cempaka Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara

0 62 149

Hubungan Peran Perawat dengan Kemampuan Bersosialisasi pada Pasien Isolasi Sosial di Rumah Sakit Jiwa Daerah Prov. Sumatera Utara Medan

9 90 78

PENGARUH MANAJEMEN ASET TERHADAP OPTIMALISASI ASET RUMAH SAKIT JIWA DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA

3 55 9

Kemampuan Sosialisasi Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara 2013

0 39 64

Pengaruh Penerapan Strategi Pertemuan Isolasi Sosial terhadap Kemampuan Sosialisasi Klien di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Sumatera Utara Medan

0 29 83

Pengaruh Motivasi Berprestasi terhadap Kinerja Perawat dalam Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Jiwa di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara, Medan

0 39 6

Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi Terhadap Kemampuan Komunikasi Pasien Isolasi Sosial di Ruang Cempaka Rumah Sakit Jiwa Daerah Provsu Medan

12 115 91

Pengaruh Motivasi Berprestasi Terhadap Kinerja Perawat Dalam Asuhan Keperawatan Pasien Gangguan Jiwa Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Sumatera Utara Medan

1 57 131

PENGARUH TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK SOSIALISASI TERHADAP KEMAMPUAN SOSIALISASI PADA PASIEN ISOLASI SOSIAL DI RUMAH SAKIT GHRASIA PROVINSI DIY

0 0 18

PENGARUH TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK SOSIALISASI TERHADAP KEMAMPUAN INTERAKSI SOSIAL PASIEN ISOLASI SOSIAL DI RUMAH SAKIT JIWA GRHASIA YOGYAKARTA NASKAH PUBLIKASI - Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi terhadap Kemampuan Interaksi Sosial Pasien Is

0 1 12