72 citra perempuan Jahiliyah dalam syair adalah bahwa ada dua hal yang membatasi
makna perempuan Jahiliyah itu sendiri, yaitu pembatasan berdasarkan ruang dan waktu. Ditinjau dari segi waktu, perempuan Jahiliyah adalah perempuan yang hidup pada masa
sebelum Islam sebagaimana dijelaskan dalam makna Jahiliyah sebelumnya. Berdasarkan ruang, perempuan Jahiliyah adalah perempuan yang hidup dalam lingkaran
geografi yang telah dijelaskan di atas. Maka perempuan-perempuan yang hidup sebelum Islam, namun tidak berada dalam batasan wilayah yang disebutkan di atas,
jelas tidak termasuk dalam kategori perempuan Jahiliyah dalam kajian ini.
B. Penyair Istana
1. Umru al-Qais penyair aristokrat
Penyair aristokrat, yaitu penyair yang berasal dari kalangan atas dan keturunan kerajaan, bukan penyair kerajaan yang biasanya menjadikan syair sebagai alat mencari
nafkah. Para ahli sastra biasanya hanya menyebutkan satu nama untuk kategori ini, yaitu Umru al-Qais 500-540 M. Meskipun kurang representatif
241
, Umru al-Qais dapat mewakili satu sisi kehidupan kelompok hadlari. Ia mewakili sisi gelap kehidupan istana
yang serba gemerlap dan hidup bersenang-senang. Umru al-Qais satu-satunya penyair yang berasal dari kalangan istana atau
keturunan penguasa, ia seorang pangeran yang tidak sempat menikmati tampuk kepemimpinan, karena kerajaannya terlanjur hancur akibat kelalaiannya. Umru al-Qais,
dalam kajian ini dianggap sangat penting untuk ditampilkan karena ia mewakili sisi kehidupan borjuis yang ada dalam lingkungan istana pada masa Jahiliyah. Kehidupan
yang dipenuhi dengan kemewahan dan kesenangan, meski pada akhirnya ia mengalami nasib yang sebaliknya. Untuk mengetahui citra perempuan Jahiliyah dalam lingkungan
istana dan bagaimana kalangan istana memperlakukan dan memandang perempuan,
241
Umru al-Qais -menurut penulis - tidak bisa mewakili cara pandang seluruh unsur kelompok high class
kerajaan, karena berdasarkan biografinya, ia termasuk salah seorang raja yang kurang baik, bahkan ia dijuluki sebagai al-Malik al-Dlillil, yaitu raja yang sesat, karena banyak melakukan banyak
kesalahan, dan semasa hidupnya selalu dihabiskan untuk bersenang-senang dan berpoya-poya, namun demikian semua perilakunya yang terungkap dalam syair, diharapkan dapat mengungkap kehidupan
perempuan Arab Jahiliyah yang ada di sekitar istana.
73 maka syair-syair Umru al-Qais adalah satu-satunya bahan yang dapat dijadikan sebagai
objek kajian. Nama lengkapnya adalah Umru al-Qais
242
ibn Hujr ibn al-H arits ibn ‘Amr ibn
Hujr Âkil al- Murâr ibn Mu’awiyah ibn al-Harits al-Akbar yang agung ibn Ya’rab ibn
Tsaur ibn Murti’ ibn Mu’awiyah ibn Kindah. Sebagian mengatakan bahwa namanya adalah Hunduj ibn Hujr, namun nama Umru al-Qais lebih dikenal di masyarakat baik
dulu maupun sekarang. Ia dijuluki dengan al-Malik al-Dlillîl atau raja yang banyak melakukan kasalahan. Selain itu ia juga dijuluki dengan Abu Wahab, Abu Zaid, Abu
Harits, dan Dzu al-Qurûh.
243
Umru al- Qais ibn Hujr ibn ‘Amr al-Kindi lahir di lingkungan Bani Asad,
tepatnya di Najed, dan merupakan keturunan asli Yaman.
244
Ibunya bernama Fathimah binti Rabi’ah saudara Kulaib dan al-Muhalhil. Keduanya adalah anak laki-laki Rabi’ah
dari Kabilah Taghlib. Ayahnya adalah Raja dari kerajaan Kindah Bani Asad.
245
Meskipun Umru al-Qais merupakan keturunan Yaman, namun ia lahir dan tumbuh di Najed di tengah-tengah bangsa Adnan dan berkomunikasi dengan bahasa mereka.
Kehidupan Kerajaan Kindah selalu diselimuti peperangan dengan kerajaan Hirah.
246
Kerajaan Kindah terletak sebelah Barat Hadramaut, dan masih eksis sebelum lahirnya agama Islam. Kerajaan ini masih ada kaitannya dengan kerajaan Himyar II di Yaman.
247
Sebagai pangeran, Umru al-Qais kecil hidup di lingkungan istana. Masa remajanya ia habiskan untuk bersenang-senang dan berpoya-poya, ia hidup dalam dunia
gemerlap dugem, hingga di saat ayahnya terbunuh dalam peperangan, Umru al-Qais
242
Umru al-Qais artinya pria yang tangguh
243
Dzu al-Qurûh adalah julukan bagi Umru al-Qais yang memiliki penyakit kulit lepra menjelang akhir hayatnya. Muhammad Ridla Murawwah, Umru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, Beirut: Dâr
al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H1990 M, hal. 17.
244
Kindah merupakan keturunan Qahthan, oleh karena itu ia merupakan penduduk asli Yaman. Karena berbagai faktor, ia hijrah ke sebelah Utara Jazirah Arab dan berasimilasi dengan keturunan Adnan
yang menempati wilayah tersebut. Selanjutnya mereka mendirikan kerajaan kecil.
245
Lajnah Tim Penulis, al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, Libanon: Dâr al-
Ma’ârif, 1962, hal. 112 , Nabilah Lubis, al-Mu’in fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi, Jakarta: Kuliyat al-
Adab Jami’ah Syarif Hidayatullah, 2005, hal. 35
246
Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, tp: Maktabah al-Adab, tth, hal. 50
247
Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 50
74 tidak ada di sampingnya.
248
Sejarah mencatat bahwa Umru al-Qais masa remajanya hidup jauh dari kedua orang tuanya, karena diusir ayahnya. Sebagian mengatakan
bahwa Ayahnya mengusir Umru al-Qais karena ia merayu salah seorang istri ayahnya, namun pada intinya ia diusir karena sifatnya yang kurang baik seperti mabuk-
mabukkan, main-main dengan perempuan, berpoya-poya, dan lain sebagainya.
249
Kematian ayahnya merupakan titik balik kehidupan Umru al-Qais. Perasaan dendam dan ambisinya untuk mengembalikan kerajaan yang terampas, membuat ia
berubah haluan dalam menjalankan kehidupannya. Untuk itu penulis buku ‘Buhûts fi al- Adab al-
Jâhili’, membagi kehidupan Umru al-Qais ke dalam tiga fase; pertama, masa remaja yang diliputi kesenangan. Kehidupannya tidak jauh dari minuman keras, hura-
hura, perempuan, dan perbuatan nista lainnya. Fase kedua, adalah seorang laki-laki dewasa yang jiwanya dipenuhi perasaan dendam yang sangat gila, dan kemarahan yang
bodoh, karena ingin membalaskan dendam dan sakit hatinya atas kematian ayahnya, tanpa mampu membedakan mana kawan dan mana lawan. Pembalasannya yang
membabi buta dan tanpa perhitungan, membuat kawan di sekelilingnya lari menjauhinya, sehingga musuh-musuhnya dengan mudah mengalahkannya. Fase ketiga
adalah seorang laki-laki yang berpindah-pindah dari satu kabilah-ke kabilah lain dengan perasaan husnu dzan, penuh harapan dan keyakinan, bahwa akan ada yang
membantunya dalam mengembalikan kerajaannya yang hilang.
250
Pada akhir hayatnya, Umru al-Qais mencoba meminta bantuan pada kabilah- kabilah Bani Asad terutama kabilah Bakr dan Taghlib, untuk membalaskan dendamnya
atas kematian ayahnya. Mereka akhirnya berhasil membalaskan dendamnya, namun karena ambisi Umru al-Qais yang ingin menguasai kembali Bani Asad, akhirnya kedua
kabilah pelindungnya tersebut berbalik menyerang. Umru al-Qais akhirnya meminta bantuan kepada keluarganya yang ada di kerajaan Yaman. Kisah panjang selanjutnya
mengiringi perjalanan Umru al-Qais dalam mengembalikan kerajaannya yang hilang,
248
Muhammad Ridla Murawwah, Umru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1411 H1990 M, hal. 23,
249
Muhammad Ridla Murawwah, Umru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, hal. 41-42
250
Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, tp: al-Bayân al-
‘Arabi, 1961, cet. 1, hal. 79
75 namun pada akhirnya ia mengalami kegagalan demi kegagalan dan akhirnya meninggal
dunia
251
sekitar tahun 540 M. Dalam dunia sastra, Umru al-Qais memiliki sejumlah syair yang terangkum
dalam Dîwan Umru al-Qais. Syair-syair Umru al-Qais sendiri banyak yang dijadikan sebagai syair al-
mu’allaqat. Dalam syairnya Umru al-Qais memiliki karakteristik tersendiri seperti, banyak menggunakan tasybîh,
isti’ârah, dan kinâyah
252
. Syair-syair yang digubah oleh Umru al-Qais tersebut oleh penulis dijadikan
sebagai pintu masuk untuk meneropong kehidupan perempuan yang ada sekitar istana kerajaan-kerajaan kecil Hirah, Gassan dan Kindah yang secara tidak langsung
ketiganya juga mencerminkan gaya hidup kerajaan-kerajaan besar, seperti Romawi dan Persia atau kerajaan-kerajaan Yaman yang telah punah. Rayuan maut ghazal Umru al-
Qais berikut ini mengindikasikan bahwa ia mengenal dengan baik berbagai karakter perempuan yang berasal dari berbagai suku dan bangsa termasuk Romawi dan Persia:
ل ل ي ل نيب ل ن ل لي ل هب تل عل مي ق لحم
253
Siapakah pemilik jejak-jejak yang terdapat antara gunung Jud dan Aja’
254
ini? Sebuah tempat kuno yang telah lama berlalu
…
ق ق عت
255
ي ل ف مع ت يب ع
256
ل حل ي حل
257
Hatiku terpaut pada gadis Arab yang manis bergaun sutra, bertabur perhiasan, bergaun panjang
…
ل ف ل ل ل ل مث ل ل
لص نم ت ك س ن
Andai, andai dan andai, lalu andai… andai rumah Salma semakin dekat, maka akulah orang yang pertama kali tiba
251
Dalam riwayat diceritakan bahwa ia meninggal dunia akibat penyalit kulit atau lepra
ق
yang dideritanya.
252
Kinâyah adalah gaya bahasa sejenis kiasan yang tidak menutup kemungkinan untuk diartikan sebagaimana makna aslinya, seperti kata panjang tangan yang dapat diartikan sebagai kebiasaan
seseorang yang suka mencuri atau makna yang sesungguhnya yaitu seseorang yang memiliki tangan yang panjang.
253
Bahr Thawîl: fa`ûlun – mafâ`îlun - fa`ûlun – mafâ`îlun
254
Dalam diwan Imri al-Qais dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan jabal gunung di sini adalah gunung Aja’
جأ
salah satu gunung yang terletak di Thayy Najed. Dîwân Imri al-Qais, hal. 145
255
Gadis cantik yang sedap dipandang mata
256
Sutra yang berlukiskan gambar-gambar
257
al-hulal jamak dari hullah yang artinya baju yang menutupi seluruh tubuh gamis.
76
نع نع نع نع مث نع نع نع نع لحت س نم لك ع لئ س
Tentang, tenta ng, dan tentang, lalu tentang …..
Kutanyakan tentang dia pada siapapun yang bepergian
ف ف مث ف ف ف ف لم مل ل ق س ج ف
Dan di, di, dan di, lalu di… Kedua pipi Salma kudaratkan ciuman, yang tak pernah kubayangkan
لس لس لس ب ل س لس لس لس لس لس مث لس
258
لس م ف
Tanyakan, tanyakan dan tanyakan, lalu tanyakanlah.. Tanyakanlah tentang rumah Salma dan juga semua hal di sekitarnya
ل ع ل ش مث ل ش ل ش
259
ل ل عم ني ي س ج ح ع
260
Dan akan sampai, akan sampai, lalu akan sampai Pada kedua alis Salma berikut bola mata yang menghiasi
حل ي م نيعل ي ح
261
ل ل يم ف أ يق ع
Mata Hijaz, pinggang Mekah
258
Al-Rubû` jamak dari al-rab` yang artinya segala sesuatu yang ada di sekitar rumah
259
Berdasarkan penjelasan asal-usul bahasa sebelumnya, kata-kata tersebut sepertinya tidak murni bahasa Arab namun masih dalam rumpun bahasa yang sama, namun demikian penulis yakin ada
kesamaan makna antara dengan
yang artinya akan. Karena bahasa-bahasa Semit berasal dari satu rumpun
–sebagaimana diperkirakan- banyak di antara lafaz-lafaznya yang sama, atau terkadang hanya berbeda sedikit saja, seperti yang terdapat dalam bahasa Ibrani Ibriyah dan Arab. Sebagian lafaz yang
menggunakan syin dalam bahasa Arab, di dalam bahasa Ibrani menggunakan sin, sedangkan alîf yang ada dalam bahasa Arab, di dalam bahasa Ibrani menggunakan waw. Kata salâm dalam bahasa Arab menjadi
syalûm dalam bahasa Ibrani, dan tsa menjadi syin, sehingga kata tsaur menjadi syaur. Sedangkan yang di
dalam bahasa Arab menggunakan dlad, di dalam bahasa Ibrani menggunakan shad, seperti ardh menjadi arsh
, dan lain sebagainya. Akibat kedekatan genetik tersebut terjadi asimilasi antar bahasa. Maka oleh karena berdekatan dan sering berinteraksi, penduduk Yaman terpengaruh oleh bahasa Habsyi, seperti
halnya penduduk Hijaz terpengaruh oleh bahasa Ibrani. Al-Iskandari dkk, al-Mufashshal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal.15
260
Penulis buku Dîwân Imri al-Qais. Hal. 149 menyatakan bahwa sebagian besar bait-bait di atas tidak perlu penjelasan, karena kata-katanya mudah dipahami ataupun jika dijelaskanpun tidak
memberikan faidah. Namun demikian bagaimana mungkin memahami syair tanpa memahami maknanya. Al-maqal
itu sendiri adalah bentuk jamak dari al-muqlah yang artinya biji mata.
261
Penulis sulit menentukan makna yang tepat untuk kata al-hasyâ, karena kata dasar hasya itu sendiri memiliki makna yang tidak sedikit, namun demikian penulis tidak mendapatkan makna yang
cocok untuk kata tersebut dalam syair di atas. Di antara makna hasya yang terdapat dalam kamus adalah sesuatu yang terdapat dalam tulang rusuk, untuk itu penulis mengartikannya dengan pinggang yang
secara langsung berkaitan dengan tulang yang menjadi unsur penegak tubuh dan biasanya menjadi salah satu unsur tubuh perempuan yang dikagumi laki-laki.
77
Kerling mata Iraq, pantat Romawi
ل ي ع بأ يم ت ل ل ي سأ يع خ
Tubuh Tihamah
262
,Bibir merah
263
kabilah `Abas Gigi kabilah Khuza`ah, vagina kabilah Duriyah
لس ك ع ل ف ل نيب عل ي ت لئ ل ل ت ق
Dan aku berkata padanya: dari kabilah manakah sesungguhnya dikau? Agar aku dapat memberitahukan pada orang-orang lewat syair
لب له اك ش ح ل ت ف يب ع ي ك ن تل ف
Iapun berkata: Aku Arab Kindah Lalu kukatakan padanya: oh ya…, begitukah…, apakah…, tapi..
264
يخ ل ت ف ي ع يم ن تل ف ق نم خ يب
Lalu iapun berkata: aku adalah gadis asing dari Romawi Lalu kukatakan padanya: rahîz bayâkhûz
265
dari Qazal
لع ل ب لع ل حت م ن ب ج يقات ف
Saat kami bersua, kudapati ujung-ujung jarinya Dicat, ibarat bara api yang menyala
…
لف ا ل ك غث ل ق ب تس لك عل ك ق
Air liur pun menetes, saat aku mendaratkan ciuman Kucium bibirnya, yang laksana bulan sabit saat terbenam
ق نيع ت ع ت ف
ل ع ع ت ك ي ح
Kucium dia sebanyak sembilan puluh sembilan kali Ditambah satu kali, dengan cepat
ل ن ه يج نم ل
ف ح ه ع ع ت ح ن ع
Kupeluk ia, hingga terputus kalungnya hingga butir-butir permata kalungnyapun turut terlepas dari lehernya
262
Negeri Tihamah sudah dijelaskan pada latar belakang sosial politik sebelumnya.
263
Makna asli dari al-Lamâ warna kemerah-kemerahan cenderung hitam yang ada di bibir.
264
Kata-kata tersebut biasanya adalah kata-kata yang terdapat dalam pembicaraan antara dua orang yang sedang berbincang-bincang. Adapun kata-kata yang disebutkan oleh penyair hanyalah untuk
menyingkat isi dari pembicaraan tanpa harus memperpanjang kata.
265
Kedua kata tersebut menurut penulis Dîwân Imri al-Qais, hal. 149, menggunakan bahasa Romawi, dan penulis Dîwân tidak memiliki data tentang arti yang dimaksud oleh penyair.
78
ف ك لعش نع ي ت حيب م ء يض ث ت ل
ل
Saat butir-butir permata itu bertaburan, bagai sinar lampu yang menebarkan cahaya
ل ل ي ل نيب ل ن ل ا ت ق م ل م ل ق خآ
266
Akhir kata yang kuucapkan seperti halnya yang kukatakan di awal Siapakah pemilik jejak-
jejak yang terdapat di antara gunung Jud dan Aja’ ini?
Bait-bait syair di atas membuktikan bahwa Umru al-Qais mengenal baik kehidupan kerajaan-kerajaan lain di luar kerajaannya, termasuk dua kerajaan besar
Persia dan Romawi. Syair-syairnya mengungkapkan dengan jelas, bahwa ia sangat mengenal berbagai karakteristik perempuan terutama secara fisik dari masing-masing
kerajaan maupun kabilah-kabilah yang sangat terkenal saat itu. Hal ini cukup menjadi alasan mengapa syair Umru al-Qais dijadikan sebagai tolak ukur untuk meneropong
citra perempuan Istana pada masa Jahiliyah. 2.
Al-Nâbighah al-Dzubyâni penyair komersil syâ`ir al-bilâth wa al- takassub Bagi sebagian penyair Jahiliyah, komersialisasi syair al-takassub bi al-
syi’r dan kehidupan mewah dalam istana al-bilâth adalah keuntungan lain yang dapat
diperoleh dari kemahiran mereka dalam menggubah syair. Hal ini terjadi, karena tingginya nilai jual syair dalam tradisi dan budaya bangsa Arab Jahiliyah. Syair pada
saat itu dianggap mampu menunjukkan kehebatan dan kewibawaan para raja, sekaligus menjadi alat propaganda dan media diplomasi kerajaan. Damai atau perang, maju atau
mundur, kalah atau menang, semuanya tergantung dari kehebatan para penyair. Kebutuhan akan adanya penyair dalam setiap kabilah, adalah suatu hal yang tidak dapat
ditawar lagi. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh sebagian penyair untuk mengais rizki dari kepandaian mereka dalam bersyair. Adanya hubungan komersialisme
266
Dîwân Imri al-Qais, hal. 145-150. Dalam Dîwân Imri al-Qais disebutkan, bahwa syair-syair di atas dinisbatkan pada Umru al-Qais, yang artinya secara riwayat perawinya tidak bisa dipastikan
validitasnya, namun demikian penulis menjadikannya sebagai argumen pembahasan karena yakin akan validitasnya berdasarkan kandungan syair. Sebab dari sekian banyak penyair Jahiliyah yang berbicara
vulgar tentang perempuan hanyalah Umru al-Qais. Dan hal ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
79 antara penyair dan para pejabat kerajaan, sebagian penyair memilih syair sebagai
profesi yang menjanjikan.
267
Sebanyak lima nama disebutkan oleh tim penulis al-Mûjaz fi al-Adab al- ‘Arabi
wa Târikhihi , yaitu Tharfah ibn al-
‘Abd
268
, ‘Ubeid ibn al-Abrash
269
, al-Nâbighah al- Dzubyâni, al-
A’syâ al-Akbar
270
, dan al- Huthai’ah
271
.
272
Secara kuantitatif jumlah penyair istana yang disebutkan relative lebih banyak jika dibandingkan dengan
kelompok penyair lainnya. Al-Nâbighah al-Dzubyâni adalah penyair yang sangat terkenal dalam kelompok
ini. Namun sangat disayangkan, ia tidak banyak bercerita tentang perempuan dalam syair-syairnya. Namun sebagai gambaran tentang kehidupan penyair istana bilâth dan
komersil takassub, ada baiknya jika dibahas secara singkat tentang kehidupannya dan juga kiprahnya sebagai penyair istana.
Abu Umâmah Ziyâd ibn Mu’âwiyah al-Dzubyânî atau dikenal dengan nama al- Nâbighah al-Dzubyânî, seorang penyair dari kabilah Dzubyân
273
yang menghabiskan hidupnya dengan mondar mandir antara kabilahnya dan dua istana kerajaan, Hîrah dan
Ghassan. Memiliki penampilan yang menawan, cerdas dan berbakat. Ia adalah salah
267
Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 74
268
Nama aslinya adalah ‘Amr ibn al-‘Abd al-Bakri. Lahir di Bahrain, keturunan dari kabilah Bakr ibn Wâ’il dari Rabî’ah. Tharfah merupakan penyair andalan kabilah Rabî’ah.
269
‘Ubeid ibn al-Abrash al-Asadi, sebagai penyair istana, semasa hidupnya ia hilir mudik antara istana Hujr al-Kindi ayah Umru al-Qais dan istana kerajaan Hirah. Ia mati terbunuh sekitar tahun 554 M
oleh al- Mundzir ibn Mâ’ al-Samâ’ pada saat perang Bu’sah.
270
Al- A’sya al-Akbar, nama lengkapnya adalah Abu Bushair Maimun ibn Qais al-Bikri yang
lebih dikenal dengan julukan al- A’sya. Ia lahir di sebuah kampung kecil di Yamamah. Masa remajanya ia
habiskan untuk bersenang-senang dan mabuk-mabukan. Al- A’sya adalah penyair yang memiliki diwan
syair yang banyak di samping al-Nabighah al-Dzubyani. Ia juga salah seorang dari al- Sab’ al-Mu’allaqat.
271
Nama lengkapnya Abû Malîkah Jarwal, lebih dikenal dengan julukan al- Huthai’ah. Ia
merupakan keturunan dari kabilah Abas. Lahir dari seorang budak perempuan bernama al-Dlarra, sehingga ia akhirnya menjadi seorang budak pula.
272
Keterangan lengkap tentang para penyair, lih. Lajnah tim penulis, al-Mûjaz fi al-Adab al- Arabi wa Târikhihi
, hal. 127-171
273
Kabilah Dzubyân merupakan turunan dari kabilah Qais, dan Qais adalah turunan dari kabilah Mudlar.
80 seorang penyair yang diuntungkan akibat terjadinya pertikaian yang berkepanjangan
antara kerajaan Hirah dan Gassan.
274
Pada mulanya al-Nâbighah berhubungan dengan kerajaan Hirah. Ia menjalin hubungan dengan para sultannya, terutama Amr ibn Hind dan al-
Nu’mân Abu Qâbûs ibn al-Mundzir keempat 580-602 M. Berkat kecerdasannya dalam bersyair, Sultan
yang terakhir ini menjadikannya sebagai kawan minum, dan banyak menghadiahinya dengan harta kekayaan. Namun hal ini menjadikan orang-orang dekat sekitar sultan iri
dan mulai membuat konsfirasi untuk menjatuhkan al-Nabighah dengan cara memfitnahnya. Al-Nabighah akhirnya dituduh berselingkuh dengan istri al-
Nu’man. Sejak peristiwa itu, ia mulai memuji-muji kerajaan Gassan dengan syair-syairnya,
sedangkan saat itu ia masih berada di kerajaan Hirah. Hal ini memicu kemarahan al- Nu’man lalu terjadilah permusuhan yang sengit antara keduanya, hingga akhirnya al-
Nu’man berniat untuk membunuhnya. Sang penyair pun akhirnya melarikan diri ke kabilahnya yang dilanjutkan ke kerajaan Gassan. Di Gassan, sang penyair memperoleh
sambutan dan penghormatan yang luar biasa. Sambutan tersebut ia balas dengan syair- syair madah untuk mereka. Pada saat terjadi perselisihan antara kabilahnya dengan
kerajaan Gassan, Al-Nabighah berdiri sebagai penengah. Pada saat masih berada di kerajaan Gassan, ia merasa rindu pada al-
Nu’man, dan memohon maaf padanya, hingga akhirnya al-
Nu’man memaafkannya dan mengajaknya kembali ke Hirah. Al-Nabighah akhirnya menetap kembali di Hirah hingga al-
Nu’man mati terbunuh, lalu ia kembali ke kabilahnya dan menetap di sana hingga kematian menjemputnya sekitar tahun 604 M.
275
Syair-syair al-Nabighah terkenal sangat elegan dan indah, bahasa yang padat berisi, dan tidak banyak takalluf dipaksakan. Syair-syairnya merupakan cermin dari
perjalanan hidupnya. Di kalangan para penyair, syair i’tidzâr
276
al-Nâbighah sangat
274
Tim penulis Lajnah, al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, Libanon: Dar al-
Ma’arif, 1962, hal. 143
275
Berdasarkan riwayat yang terpercaya, ia wafat pada masa Nabi Muhammad saw sebelum diutus menjadi Rasul. Tim penulis Lajnah, al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-
Jâhili , hal. 143, lih. juga Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-
‘Arabi, tp: Maktabah al-Adab, tth, hal. 78
276
Syair i’tidzâr adalah salah satu jenis syair yang digunakan untuk memohon pengampunan dan
maaf seseorang. Di dalam syair Jahiliyah, corak ini tidak terlalu disukai, karena menunjukkan kelemahan
81 terkenal dan dianggap tidak ada yang menyamainya. Selain itu ia juga terkenal dengan
syair washfnya.
277
Demikian sekilas tentang gambaran penyair istana dan penyair komersil.
C. Citra Perempuan Istana High Class Women