Tinjauan Islam Terhadap Nilai-Nilai Moralitas Dalam Syair Jahiliyah Karya Zuhair Ibnu Abi Sulma

(1)

TINJAUAN ISLAM TERHADAP NILAI-NILAI MORALITAS DALAM SYAIR JAHILIYAH KARYA ZUHAIR IBNU ABI SULMA

Laporan

Penelitian Individu Madya

Diajukan ke Lembaga Penelitian (LEMLIT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

OLEH: Cahya Buana

PUSAT PENELITIAN DAN PENERBITAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

(3)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Penelitian Individu Madya

TINJAUAN ISLAM TERHADAP NILAI-NILAI MORALITAS DALAM SYAIR JAHILIYAH KARYA ZUHAIR IBNU ABI SULMA

OLEH: Cahya Buana

DISAHKAN OLEH:

Prof. Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum Pada Kamis, 10 Desember 2014

LEMBAGA PENELITIAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLLAH

JAKARTA


(4)

(5)

iii

PENGANTAR

ميحرلا نمرلا ه مسب

Dengan mengucap Alhamdulillah, akhirnya penelitian tentang “Tinjauan Islam Terhadap Nilai-nilai Moralitas dalam Syair Jahiliyah Karya Zuhair Ibnu Abi Sulma” ini dapat diselesaikan juga. Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan potensi akal kepada manusia, sehingga mampu membedakan yang haq dan yang batil. Salawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Makhluk yang pada dirinya terdapat uswah hasanah yang nyata. Penelitian ini tidak dapat terwujud tanpa campur tangan berbagai pihak, oleh karena itu dalam ruang yang sangat sempit ini, saya ingin mengucapkan terima kasih pada mereka yang telah memberikan kontribusi, baik moril maupun materil dalam penelitian ini, yaitu:

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk melalui Lembaga Penelitian (LEMLIT) untuk melakukan penelitian guna memenuhi kewajiban sebagai seorang dosen;

2. Direktur Lembaga Penelitian (LEMLIT) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan seluruh staf yang ada di dalamnya yang telah memfasilitasi berbagai bentuk penelitian untuk dosen;

3. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk meluangkan waktu untuk meneliti;

4. Kepala Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah serta seluruh staf yang ada di dalamnya yang telah menyediakan buku dan media informasi lainnya untuk penelitian;

5. Seluruh pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu dalam karya tulis ini.


(6)

iv

Penelitian ini jauh dari kesempurnaan, dan masih banyak hal yang perlu diperbaiki. Namun demikian saya tetap berharap tulisan ini memberikan manfaat bagi pembacanya. Amiin


(7)

v

ABSTRAK

Munculnya Islam di Jazirah Arab, diakui atau tidak secara tidak langsung telah memutus mata rantai sejarah peradaban yang seharusnya tidak perlu terjadi. Eporia dan gairah keislaman pada akhirnya mengesankan bahwa zaman Jahiliyah adalah zaman yang penuh dengan kebodohan, sedangkan masa islam adalah masa peradaban. Padahal peradaban Islam tidak akan lahir tanpa adanya rantai peradaban sebelumnya. Dr. Zafar Alam dalam bukunya yang berjudul Education In Early Islamic Periode, bahkan mengutip ungkapan Ignaz Goldzier yang menyatakan bahwa bangsa Arab Jahiliyah adalah sebuah masyarakat yang berkarakter barbar (barbaric custom) dan bermental liar (wild mentality).

Sungguh ironi ketika pernyataan-pernyataan tersebut kita konfrontir dengan fakta lainnya. Berdasarkan fakta sejarah, bangsa Arab saat itu telah mengenal seni sastra yang sangat indah, baik dari segi isi maupun gaya bahasa. Syair sebagai karya sastra yang sulit dan rumit ternyata telah lama berkembang di Jazirah Arab, sebagaimana berkembang di kerajaan-kerajaan besar sekitarnya seperti Romawi dan Persia yang terkenal dengan peradabannya yang sangat tinggi di masa itu.Syair sebagai karya seni tentu saja tidak terlepas dari unsur emosi, imajinasi, ide, dan gaya bahasa yang indah. Unsur-unsur ini tentu saja sulit diekspresikan oleh masyarakat yang tidak memiliki memiliki rasa seni dan budaya yang tinggi.

Jika demikian, benarkah bangsa Arab Jahiliyah adalah bangsa yang benar-benar tidak mengenal peradaban dan tidak mengenal nilai-nilai moralitas? Melalui kajian Strukturalis genetik terhadap syair karya Zuhair ibnu Abi Sulma seorang penyair sekaligus filsuf bangsa Arab Jahiliyah, penulis akan mencoba mengungkap nilai-nilai moralitas yang terdapat dalam kehidupan bangsa Arab pada masa Jahiliyah, serta tinjauan agama Islam terhadap nilai-nilai moralitas tersebut.

Berdasarkan hasil analisis strukturalis genetik, terbukti bahwa bangsa Arab Jahiliyah telah mengenal nilai-nilai moralitas universal yang bersumber dari pengalaman hidup mereka, dan sedikit yang disandarkan pada nilai-nilai keimanan. Mayoritas nilai-nilai moralitas yang mereka ketahui bukan bersumber dari keyakinan terhadap Tuhan.


(8)

(9)

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

I. Konsonan

ا

ف

f

ب

B

ق

q

ت

T

ل

k

ث

Ts

م

m

ج

J

ن

n

ح

H

و

w

خ

Kh

ه

h

د

D

ي

ya

ذ

Dz II. Vokal Pendek

ر

R

َ

a

ز

Z

ِ

i

س

S

u

ش

Sy III. Vokal Panjang

Tim penulis, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah, (UIN Syarif Hidayatullah: CeQDA,

2007), h. 46-51.Lihat juga Pedoman Akademik Program Magister dan Doktor Kajian Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007/2008


(10)

vii

ص

S

ا

â

ض

D

ي

î

ط

T

و

û

ظ

Z IV. Diftong

ع

ي َ

ai

غ

gh


(11)

viii

DAFTAR ISI

BAB I : Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Permasalahan Penelitian 6

C. Hipotesis 6

D. Tujuan Penelitian 6

E. Metode Penelitian 7

F. Sistematika Penulisan 8

BAB II : Strukturalis Genetik Dalam Kajian Sastra

A. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Sastra 9

a. Definisi Puisi dan Syair 9

b. Unsur-Unsur Intrinsik Puisi dan Syair 10

c. Unsur Ekstrinsik Sastra 14

d. Posisi Strukturalis Genetik 15

B. Makna Nilai-Nilai Moralitas 17

a. Pengertian Nilai 18

b. Pengertian Moral 19

c. Ukuran Baik dan Buruk 20

BAB III : Zuhair Ibn Abi Sulma Filsuf Arab Pra Islam

A. Riwayat Hidup Zuhair Ibnu Abi Sulma 25

B. Syair-Syair Zuhair Ibnu Abi Sulma 26

a. Tema-Tema Syair Zuhair 27

b. Gaya Bahasa Syair Zuhair 28

C. Kehidupan Sosial, Politik, dan Agama 29

a. Kehidupan Sosial 29

b. Situasi Politik 31


(12)

ix

BAB IV : Unsur-Unsur Intrinsik Dalam Syair Mu’allaqat Zuhair Ibnu Abi Sulma A. Syair Al-Mu’allaqât Zuhair Ibnu Abi Sulmâ 41

a. Pengertian Syair Al-Mu’allaqat 41

b. Syair Al-Mu’allaqat Zuhair Ibnu Abi Sulma 42

B. Analisis Unsur-Unsur Intrinsik Syair Mu’allaqat 51

a. Wazan dan Qafiyah 51

b. Kandungan 53

1. Bagian Awal 54

2. Bagian Tengah 56

3. Pesan Moral 58

c. Gaya Bahasa 58

BAB V : Nilai-Nilai Moralitas Dalam Syair Zuhair Ibnu Abi Sulma

A. Nilai-Nilai Moralitas Dalam Syair Mu’allaqat 63

a. Nilai-Nilai Moralitas Religi 63

b. Nilai-Nilai Moralitas Politik 66

c. Nilai-Nilai Moralitas Sosial 69

B. Analisis Nilai-Nilai Moralitas 76

C. Tinjauan Islam Terhadap Nilai-Nilai Moralitas dalam Sya’ir

Jahiliyyah 79

BAB VI : Penutup

Kesimpulan 89

DAFTAR PUSTAKA 91

LAMPIRAN-LAMPIRAN

A. Curriculum Vitae Peneliti 95


(13)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Munculnya Islam di Jazirah Arab – menurut saya – diakui atau tidak secara tidak langsung telah memutus mata rantai sejarah peradaban yang seharusnya tidak perlu terjadi. Eporia dan gairah keislaman pada akhirnya mengesankan bahwa zaman Jahiliyah adalah zaman yang penuh dengan kebodohan, sedangkan masa islam adalah masa peradaban. Padahal peradaban Islam tidak akan lahir tanpa adanya rantai peradaban sebelumnya.

Hitam putih kehidupan sebelum dan sesudah Islam ini selalu menjadi

wacana yang menarik bagi mereka yang menaruh “perhatian” terhadap Islam. Maka

ketika istilah Jahiliyah diperbincangkan, kesan pertama yang mungkin muncul dalam benak sebagian orang adalah sebuah bangsa yang bodoh, barbar dan tidak berperadaban, sesuai dengan nama yang dilekatkan kepadanya yang identik dengan kebodohan. Dr. Zafar Alam dalam bukunya yang berjudul Education In Early Islamic Periode, bahkan mengutip ungkapan Ignaz Goldzier1 yang menyatakan bahwa bangsa Arab Jahiliyah adalah sebuah masyarakat yang berkarakter barbar (barbaric custom) dan bermental liar (wild mentality). Kata jahil dalam bahasa

1 Dikutip oleh Zafar Alam dari Ignaz Goldziher, Muslim studies, (London: tp, 1967), vol.

1, h. 203. Sebagai informasi, Ignaz Goldziher (1850-1921) adalah seorang orientalis Yahudi yang lahir di Hungaria. Ia adalah satu-satunya orientalis yang sempat belajar secara resmi di Universitas al-Azhar, Mesir. Ia bukan saja aktif menghadiri 'tallaqi' dengan beberapa ulama Al-Azhar, bahkan ia pernah ikut shalat Jumat di sebuah mesjid di Mesir. Ia terlatih dalam bidang pemikiran sejak usia dini. Dalam usia lima tahun, ia mampu membaca teks Bibel "asli" dalam bahasa Ibrani. Pendidikan S1-nya bermula pada usia 15 tahun di Universitas Budapest, Hungaria. Ia sangat terpengaruh oleh pemikiran dosennya, yaitu Arminius Vambery (1803-1913), seorang pakar tentang Turki. Arminius Vambery adalah orang yang banyak mewarnai kehidupan intelektual awal Goldziher. Arminius Vambery adalah keturunan Yahudi yang mengenalkan Theodor Herz (1860-1904) pendiri Zionisme, untuk melobi Sultan Hamid II terkait pendirian Negara Israel di Palestina. Pemikiran Goldziher yang sangat kontroversi di antaranya adalah penolakannya terhadap kebenaran Hadits. Baginya hadits itu tidak ada yang otentik. Sebab, tidak ada bukti empiris yang menunjukan bahwa hadits yang beredar memang pada awalnya berasal dari Muhammad. Dalam pandangan Goldziher, yang telah terjadi adalah "back Projection." Maksudnya, para perawi hadits meriwatkan haditsnya dengan mengatas namakan Muhammad, padahal Muhammad sendiri tidak mengatakan itu. http://muh-ali.blogspot.com/2009/04/ignaz-goldziher-orientalis-penolak.html, rabu, 29 April 2009


(14)

2

Arab, menurut Goldzier adalah seseorang yang memiliki watak liar, keras dan kejam (wild, violent and cruel).2

Pernyataan Goldzier tersebut dikutip oleh Zafar dalam salah satu tema bukunya yang berjudul Education in the Pre-Islamic Arabia (Pendidikan sebelum masa Arab-Islam).3Hal ini ia kemukakan tentu saja untuk menguatkan argumennya tentang betapa berbedanya kehidupan masyarakat sebelum dan sesudah datangnya Islam, terutama di bidang pendidikan, selain itu juga sebagai informasi bahwa betapa masa sebelum kenabian Muhammad SAW adalah masa yang sangat bodoh, sedangkan masa Islam adalah masa yang penuh dengan ilmu dan peradaban.

Ungkapan lain yang menunjukkan betapa buruknya masa Jahiliyah disampaikan oleh Tahia al-Ismail dalam pernyataannya “Aktifitas-aktifitas manusia (bangsa Arab) saat itu, terburuk dari antara yang pernah terjadi. Disebut dengan zaman kegelapan, karena tidak ada secercah cahaya dari sumber semua harapan dan kasih yang menyentuh bumi. Dunia dicekam kebisuan mutlak.4 Di zaman yang penuh kekejaman dan gelap ini, wanita, anak-anak, dan budak tidak memperoleh hak hidup yang seharusnya mereka terima. Mereka hidup dalam kepedihan dan keputusasaan dari hari ke hari, hingga Allah SWT berbelas hati dengan mengutus

nabi Muhhamad SAW untuk mencabut penderitaan ini”.5 Pernyataan ini menunjukkan betapa seluruh aspek kehidupan manusia pada masa sebelum datangnya Islam berada di bawah titik nadir.

Pernyataan di atas mungkin hanya tiga dari sekian banyak orang yang berasumsi tentang betapa buruknya peradaban bangsa Arab pada masa Jahiliyah. Goldziher sebagai seorang Orientalis Yahudi, Zafar Alam sebagai seorang Muslim India, dan Tahia al-Ismail yang bukunya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan kemungkinan besar pemikirannya telah dibaca oleh sekian banyak masyarakat Indonesia, tentu saja semakin menguatkan asumsi bahwa seluruh aspek kehidupan manusia pada masa jahiliyah berada pada titik nol atau tanpa peradaban.

2 Zafar Alam, Education in Early Islamic Period, (Delhi-6: Markazi Maktaba Islami

Publisher, 1997), h. 18

3 Zafar Alam, Education in Early Islamic Period, h. 13

4 Bagian ini diambil dari terjemahan bebas A. Nasir Budiman dari Tahia al-Ismail, The Life of Muhammad SAW: His Life Based on the Earliest Sources, (london: Ta-Ha Publishers, 1995), h. 9.

5 Tahia al-Ismail, The Life of Muhammad SAW: His Life Based on the Earliest Sources,


(15)

3

Pernyataan Goldziher sebagaimana dikutip oleh Zafar Alam yang mengatakan bangsa Arab Jahiliyah sebagai bangsa barbar yang liar, keras dan kejam, mengindikasikan bahwa bangsa Arab sama sekali tidak mengenal nilai-nilai moralitas dalam kehidupan mereka. Hal ini tentu saja menimbulkan sebuah pertanyaan besar, benarkah bangsa Arab Jahiliyah sama sekali tidak menganut nilai-nilai moralitas kemanusiaan?

Sungguh ironi ketika pernyataan-pernyataan tersebut kita konfrontir dengan fakta lainnya. Berdasarkan fakta sejarah, bangsa Arab saat itu telah mengenal seni sastra yang sangat indah, baik dari segi isi maupun gaya bahasa. Syair dalam sejarah sastra Arab merupakan sebuah karya yang memiliki nilai seni yang sangat tinggi. Syair digubah dengan irama yang selaras. Kesempurnaan performa syair Jahiliyah ini membuat para ahli sejarah sastra Arab sulit menentukan kapan syair Jahiliyah mulai muncul dalam tradisi masyarakat Arab. Menurut al-Iskandari dkk., biasanya setiap ilmu atau suatu kreatifitas seni, muncul pertama kalinya dalam ketidaksempurnaan dan banyak kekurangan yang kemudian secara perlahan-lahan berproses menuju kesempurnaan, sedangkan syair Jahiliyah sampai ke tangan kita dengan performa dan gaya bahasa yang matang dan sempurna, baik dari aspek

wazan (matra), lafaz, maupun maknanya.6 Syair sebagai karya sastra yang sulit dan rumit ternyata telah lama berkembang di Jazirah Arab, sebagaimana berkembang di kerajaan-kerajaan besar sekitarnya seperti Romawi dan Persia yang terkenal dengan peradabannya yang sangat tinggi di masa itu.7

Sebelum datangnya agama Islam, syair adalah karya yang sangat digemari oleh bangsa Arab. Syair bagi bangsa Arab merupakan ruh seluruh aspek kehidupan. Syair –sebagaimana dinyatakan oleh Umar ibnu al-Khathâb- adalah pengetahuan bangsa Arab dan tidak ada ilmu lain selain syair yang melebihi kebenarannya.8 Syair bagi masyarakat Arab adalah pola fikir, sikap, sejarah dan realitas kehidupan mereka.9

6 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al-‘Arabi, (tp: Maktabah al-Adab, tth), hal. 41 7

8 Badawi Thabâbah, Dirâsat fi al-Naqd al-Adabî, (Kairo: Maktabah al-Enjelo al-Mishriyah,

1965), cet. 4, hal. 43, dikutip dari Ibnu Salâm al-Jamahi, Thabaqât al-Syu’arâ, h. 17

9 Hal ini sejalan dengan pernyataan Plato dalam maha karyanya Republic sebagaimana

dikutip oleh Eric A. Havelock menyatakan tentang mitologi puisi bahwa ‘is a going through of what has happened or is or will be (puisi adalah sebuah kenyatan yang mungkin telah terjadi, sedang


(16)

4

Syair sebagai karya seni tentu saja tidak terlepas dari unsur emosi, imajinasi, ide, dan gaya bahasa yang indah. Unsur-unsur ini tentu saja sulit diekspresikan oleh masyarakat yang tidak memiliki memiliki rasa seni dan budaya yang tinggi. Jika demikian, benarkah bangsa Arab Jahiliyah adalah bangsa yang benar-benar tidak mengenal peradaban dan tidak mengenal nilai-nilai moralitas?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu suatu pembuktian dan analisis. Melalui syair karya Zuhair ibnu abi Sulma seorang penyair sekaligus filsuf bangsa Arab Jahiliyah,10 penulis akan mencoba mengungkap nilai-nilai moralitas yang terdapat dalam kehidupan bangsa Arab pada masa Jahiliyah, baik nilai-nilai moralitas yang bersifat individu, sosial, maupun ideologi.11

Sebelum pembahasan lebih lanjut, berikut ini contoh syair Zuhair ibn Abi Sulma yang mengandung nilai-nilai moralitas sosial:

كَي ْنَمَو

ِهِلْضَفِب ْلَخْبَيَ ف ،ٍلضف اذ

ِمَمْذ يو ه ع نغتسي هموق ىلع

12

Siapa yang memiliki kelebihan, lalu ia kikir dengan kelebihannya tersebut kepada kaumnya, niscaya ia akan ditinggalkan dan dicela.

Karya sastra baik puisi maupun prosa biasanya dicipta oleh sang pengarang bukan tanpa makna. Ada pesan khusus atau amanat yang biasanya ingin disampaikan oleh penulis menyangkut ide dan pemikirannya tentang kehidupan, baik yang bersifat individu, sosial, maupun ideologi.13

terjadi, atau akan terjadi). Eric A. Havelock, Preface to Plato, (New York: The Universal Library Grosset & Dunlap, 1971), h. 236

10Zuhair ibnu Abi Sulma penyair Arab masa Jahiliyah ayah dari Ka’ab ibnu Zuhair sahabat

Rasul SAW. Semasa hidupnya, ia banyak menggubah syair-syair hikmah yang mengajarkan nilai-nilai moralitas kemananusiaan yang mungkin oleh sebagian orang dianggap tidak pernah ada.

11 Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan panldangan hidup pengarang dan

pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran yang ingin disampaikan kepada pembaca. Pesan ini biasanya berbentuk petunjuk tentang hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), cet. 8, h, 321

12 Ali Fâ’ûr, Diwan Zuhair ibnuAbi Sulma, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1424

H/2003 M), h. 110

13 Menurut Burhan Nurgiyantoro, karya sastra digunakan untuk menyampaikan pesan

dengan pertimbangan bahwa pesan moral yang disampaikan lewat cerita fiksi akan sangat berbeda efeknya dibanding yang lewat tulisan nonfiksi. Unsur imajinasi, emosi, serta gaya bahasa yang mewarnai karya sastra, terkadang lebih mengena untuk dijadikan sebagai media informasi dan penyampai pesan, jika dibanding dengan menggunakan gaya bahasa yang bersifat ilmiah. Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University press, 2010), cet. Ke-8, h. 321


(17)

5

Pada bait syair di atas, tampak jelas pesan moral yang ingin disampaikan oleh penyair, yaitu anjuran agar seseorang tidak bersifat kikir pada sesama, terutama bagi mereka yang memiliki kelebihan. Kata fadl dalam kamus Lisan

al-‘Arab adalah lawan kata dari naqs (kurang) atau dengan kata lain kelebihan. Kata

fadl juga sama dengan kata fadîlah yang mengandung arti derajat yang tinggi.14 Diksi yang digunakan penyair tersebut jelas menyatakan bahwa kelebihan yang harus dibagikan ke sesama itu bukan sebatas harta, namun lebih luas lagi, yakni mencakup kelebihan dalam berbagai hal. Namun biasanya hal yang paling umum yang terkait dengan kata bakhil adalah harta. Berdasarkan hal tersebut, jelas sekali bahwa konsep dasar filantropi sosial sesungguhnya telah ada sejak zaman Jahiliyah.

Selain anjuran untuk bersifat dermawan, penyair selanjutnya juga mengingatkan masyarakat dengan sanksi sosial yang mungkin diterima oleh seseorang yang diberi kelebihan namun kikir. Ada dua sanksi yang disebutkan penyair sebagai konsekuensi kekikiran, pertama ia tidak lagi dibutuhkan orang (yustagna ‘anhu). Hal ini berarti ia akan dijauhi oleh komunitasnya sendiri. Kedua, ia akan mendapat celaan atau gunjingan (yudzmam) dari masyarakat sebagai bentuk sanksi moral. Jika demikian, lalu di manakah perbedaan nilai-nilai moralitas Islam dan Jahiliyah?

Manusia dalam pandangan al-Qur’an adalah makhluk yang mulia (fî ahsan taqwîm), (QS 95:4) diciptakan untuk semata-mata mengabdi kepadaNya. Di dalam diri manusia terkandung suatu potensi pengetahuan kreatif serta kecondongan kepada kebajikan moral, bahkan melebihi kualitas manusia sekalipun (QS 2:30; QS 18:50). Dengan potensi tersebut manusia mengemban tanggung jawab sebagai khalifah Tuhan dengan misi utama menciptakan tatanan sosial yang bermoral di muka bumi (QS 33:72). Dan bangsa Arab Jahiliyah, adalah manusia yang juga diberi kesempurnaan akal dan fikiran yang tentu saja diberi potensi pengetahuan kreatif serta kecondongan kepada kebajikan moral. Lalu di mana letak kekurangan bangsa Arab Jahiliyah?

Pertanyaan-pertanyaan yang melengkapi hampir setiap paragraf yang penulis sajikan ini, perlu suatu pembahasan yang mendalam, sehingga terjawab secara meyakinkan apa yang dimaksud dengan nilai-nilai moralitas secara umum


(18)

6

dan bagaimana pula sudut pandang Islam terhadap nilai-nilai moralitas tersebut. Berdasarkan hal tersebut, melalui pendekatan strukturalis genetik ini, penulis bermaksud mengadakan sebuah penelitian tentang: TINJAUAN ISLAM TERHADAP NILAI-NILAI MORALITAS DALAM SYAIR JAHILIYAH

KARYA ZUHAIR IBNU ABI SULMA.

B. Permasalahan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, ada dua permasalahan yang menjadi landasan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Nilai-nilai moralitas apa yang terkandung dalam syair-syair hikmah Zuhair Ibnu Abi Sulma menurut sudut pandang teori strukturalis genetik?

2. Bagaimanakah sudut pandang Islam terhadap nilai-nilai moralitas yang dikemukakan oleh Zuhair ibnu Abi Sulma?

C. Hipotesis

Berdasarkan pengamatan sementara, terdapat dua hipotesa dalam penelitian ini:

1. Adanya hubungan yang sangat kuat antara teks-teks syair yang digubah oleh Zuhair Ibnu Abi Sulma dengan kehidupan sosial masyarakat Arab Jahiliyah dan memberi pengaruh terhadap nilai-nilai keIslaman.

2. Pesan moral (amanat) yang terdapat dalam syair Jahiliyah karya Zuhair Ibnu Abi Sulma mengandung nilai-nilai moralitas universal yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan sosial umat manusia.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengungkap pesan moral atau nilai-nilai moralitas yang terdapat dalam syair Jahiliyah karya Zuhair Ibnu Abi Sulma.

2. Mengetahui sudut pandang Islam terhadap nilai-nilai moralitas yang diajarkan oleh Zuhair Ibnu Abi Sulma, baik dalam kehidupan sosial, politik maupun agama.


(19)

7 E. Metode Penelitian

Skema di atas menggambarkan unsur pembangun karya sastra, yang tidak terlepas dari unsur intrinsik dan ekstrinsik yang menjadi landasan teori strukturalis genetik sebagai alat analisis penelitian ini.

Kajian strukturalis genetik adalah penelitian yang memandang karya sastra dari dua unsur, yakni unsur intrinsik dan ekstrinsik.15 Unsur instrinsik adalah unsur dalam atau batin yang membangun suatu karya sastra.16 Unsur intrinsik prosa dalam beberapa hal tentu berbeda dengan unsur intrinsik puisi. Sebagai contoh, unsur intrinsik novel terdiri dari tema, alur, setting, penokohan dan perwatakan, latar, struktur, dan amanat (pesan moral). Sedangkan unsur intrinsik puisi terdiri dari tema, rima, irama, tipografi, amanat, gaya bahasa, dan lain sebagainya sesuai dengan karakteristik bahasa dan sastra yang digunakan.17 Adapun unsur ekstrinsik sastra adalah unsur luar yang turut mempengaruhi terciptanya sebuah karya sastra, seperti biografi pengarang, sejarah, dan budaya.18

Menurut teori strukturalis genetik, karya sastra tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya saling keterkaitan antara unsur intrinsik dan ekstrinsik. Pesan moral

15 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama,

2004), cet. 2, h. 56

16 Abdul Rozak Zaidan dkk, Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 89 17Dalam sastra Arab, unsur intrinsik puisi selain isi juga wazan dan qafiyah.

18 Abdul Rozak Zaidan dkk, Kamus Istilah Sastra, h. 67

Unsur

Pembangun

Karya Sastra

(Prosa/puisi)

Unsur Ekstrinsik: biografi pengarang

sejarah sosial budaya politik

ekonomi, dll

Intrinsik: tema performa gaya bahasa amanat /pesan

Strukturalis Genetik


(20)

8

atau juga terkadang disebut dengan istilah amanat dalam teori sastra termasuk pada unsur intrinsik. Oleh karena itu, kajian tentang nilai-nilai moralitas dalam syair masuk pada kajian intrinsik sastra. Namun demikian, kajian ini tentu saja tidak bisa dilepaskan dari unsur biografi penyair, sejarah dan budaya yang melatarbelakangi lahirnya syair-syair tersebut. Oleh karena itu, penulis menganggap metode strukturalis genetik adalah metode yang tepat untuk penelitian ini.

F. Sistematika Penulisan

Penelitian akan dilakukan berdasarkan sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab 1, Pendahuluan, meliputi latar, latar belakang masalah, permasalahan penelitian, hipotesis, tujuan penelitian, manfaat dan kegunaan penelitian, landasan teori dan kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab 2, metode penelitian yang akan digunakan oleh penulis, yaitu teori strukturalis genetik dalam kajian sastra, meliputi kajian tentang unsur intrinsik dan ekstrinsik sastra, pesan moral (amanat) dalam sastra, dan pesan moral (risalah al-adab) dalam sastra Islam.

Bab 3, latar belakang sosial budaya bangsa Arab Pra Islam, meliputi adat dan tradisi bangsa Arab Pra Islam, moralitas umum bangsa Arab Pra Islam, peran sastra dalam kehidupan sosial bangsa Arab Pra Islam.

Bab 4, berbicara tentang sosok Zuhair Ibn Abi Sulma, meliputi riwayat hidup Zuhair Ibnu Abi Sulma serta perannya dalam sastra Arab.

Bab 5, analisis nilai-nilai moralitas dalam syair Zuhair Ibn Abi Sulma, termasuk di dalamnya nilai-nilai etika dan estetika sosial bangsa Arab, nilai-nilai moralitas agama atau ideology bangsa Arab, nilai-nilai moralitas politik bangsa Arab, serta sudut pandang Islam Terhadap nilai-nilai moralitas tersebut.


(21)

9

BAB II

STRUKTURALIS GENETIK DALAM KAJIAN SASTRA

A. Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik Sastra

Ketika berbicara tentang teori strukturalis genetik, berarti kita sedang membahas 2 (dua) unsur yang membangun sebuah karya sastra yang satu sama lain saling terkait dan tidak dapat dipisahkan, yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsic adalah unsur-unsur yang membangun ciptasastra dari dalam19, atau dengan kata lain struktur dalam yang membangun sebuah karangan.20 Di dalam kajian sastra Arab disebut dengan al-anâshir al-dâkhiliyyah. Adapun unsur ektrinsik adalah unsur-unsur luar yang mempengaruhi proses penciptaan suatu karya sastra, seperti faktor social, politik, ekonomi, pendidikan, agama dan lain sebagainya.21Dalam Bahasa Arab disebut dengan al-anâshir al-khârijiyyah.

a. Definisi puisi dan syair

Secara umum, teori-teori sastra pada dasarnya adalah sama, namun demikian setiap bangsa, memiliki karya sastra dengan karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki oleh bangsa lainnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, penulis tidak akanlepas dari konteks sastra Arab, baik dari segi teori maupun analisis.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa kajian ini terkait dengan unsur dalam dan luar sebuah karya sastra. Untuk memahami kedua unsur tersebut, perlu dipahami terlebih dahulu pengertian puisi dan syair Arab. Ada banyak definisi puisi yang dikutip oleh Hanry Tarigan dalam bukunya Prinsip-prinsip Dasar Sastra, di antaranya dari Watts-Dunton yang mendefinisikan puisi (poetry) sebagai “ekspresi

yang konkrit dan bersifat artistik dari pikiran manusia dalam Bahasa emosional dan

berirama”. Definisi yang lebih sempit dikutip Tarigan dari Ensiklopedi Indonesia N-Z yang menyatakan bahwa puisi adalah hasil seni sastra yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dan kata-kata kiasan.22

19 Mursal Esten, Kesusastraan: Pengantar teori & Sejarah, Bandung: Angkasa, 2000, h.

20

20 Tim Penyusun, Ensiklopedia Sastra Indonesia, Bandung: Angkasa, 2007, h. 359 21 Lihat Mursal Esten, Kesusastraan: Pengantar teori & Sejarah, h. 20

22 Berbagai definisi puisi dengan segala perbedaannya lih. Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, Bandung: Angkasa, 1984, h. 3-8


(22)

10

Selain kata puisi, dalam sastra Indonesia juga mengenal istilah syair. Kata syair yang ada dalam Bahasa Indonesia, sesungguhnya merupakan serapan dari kata

al-syi’r yang ada dalam sastra Arab. Namun untuk memudahkan penyebutan, penulis menggunakan kata syair dalam kajian ini. Definisi syair yang paling terkenal adalah al-kalam al-mauzun al-muqaffa yaitu untaian kata yang berpola (mauzun) dan berirama (muqaffa).23 Menurut Ahmad al-Iskandari dkk, ada 2 (dua) unsur yang melekat dalam syair, pertama mempengaruhi rasa, kedua menggunakan pola-pola khusus (wazan). Berdasarkan hal tersebut, definisi syair yang paling dekat adalah untaian kata (kalam) berpola dan berirama bersumber dari rasa dan mempengaruhi perasaan.24

b. Unsur-unsur intrinsik puisi dan syair

Secara umum, unsur intrinsik puisi dibagi ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu isi dan bentuk. Ada juga yang menyebutnya dengan struktur dalam untuk isi dan struktur luar untuk bentuk.Kandungan puisi terkait erat dengan diksi atau pilihan kata yang digunakan oleh penyair agar pesan atau amanat yang ingin disampaikan oleh penyair sampai kepada audiens. Oleh karena itu, secara singkat yang dimaksud dengan struktur dalam puisi adalah pesan atau makna imajinatif, makna emosional (perasaan), dan makna logis dari sebuah puisi.25

Isi puisi adalah tema dan amanat. Tema adalah sesuatu yang menjadi pikiran dan menjadi persoalan bagi pengarang. Tema merupakan persoalan yang diungkapkan dalam sebuah karya sastra. Ia masih bersifat netral dan belum memiliki tendensi. Pemecahan masalah yang ada dalam tema dinamakan dengan amanat. Di dalam amanat terlihat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. Amanat dapat diungkapkan secara eksplisit ataupun implisit.26

Adapun yang termasuk ke dalam struktur luar atau bentukpuisi yaitu musikalitas, korespondensi dan gaya Bahasa. Unsur musikalitas adalah unsur bunyi, irama, atau music dari sebuah puisi. Korespondensi adalah hubungan antara satu larik dengan larik lainnya. Gaya Bahasa adalah Bahasa yang digunakan oleh

23 Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, Mesir: Dar al-Ma’arif,

tth, h. 42

24 Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi Tarikh al-Adab al-Arabi, tp: Maktabah al-Adab, tth, h.

38

25 Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, (Jakarta: Erlangga, 1987), h. 8-15 26 Mursal Esten, Kesusastraan: Pengantar teori & Sejarah, h. 22


(23)

11

pengarang untuk mengekspresikan imajinasi dan emosinya saat menggubah puisi agar mampu mempengaruhi pembacanya. Gaya Bahasa yang banyak digunakan dalam puisi di antaranya, metafora, personifikasi, paradoks, simbolik dan hiperbola.27

Henry Tarigan lebih suka menyebut unsur intrinsik puisi ini dengan istilah hakekat puisi. Menurut I.A Richards, sebagaimana dikutip oleh Tarigan dari Morris, hakekat puisi ada 4 (empat), yaitu:

1. Tema; makna (sense); 2. Rasa (feeling);

3. Nada (tone); dan

4. Amanat;tujuan; maksud (intension)28

Lalu bagaimanakah dengan struktur pembangun syair Arab? Apakah sama dengan puisi? Pada hakekatnya, baik puisi maupun syair Arab, secara umum memiliki unsur pembangun yang sama. Ahmad al- Iskandari dan Mushtafa ‘Inani menyebutkan sebanyak 4 (empat) unsur pembangun syair, yaitu:

1. Agradh, yaitu tujuan. Tujuan ini mirip dengan tema dalam struktur puisi. Ada beberapa tema yang digemari oleh penyair Arab, di antaranya nasib29, fakhr30, madh31, ritsa32, hija’33, I’tidzar34, washf35, dan hikmah36.

27 Mursal Esten, Kesusastraan: Pengantar teori & Sejarah, h. 24-25 28 Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, h. 9-10

29 Syair yang dibuat untuk memuji perempuan secara khusus dengan segala kebaikannya,

dan mengenang kebersamaan dengannya. Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, h. 46

30 Syair yang dibuat untuk membanggakan diri, kelompok, keluarga, kabilah, dan lainnya.

Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, h. 47

31 Syair yang dibuat untuk memuji seseorang atau kelompok, dari keberaniannya,

kedermawanannya, dan kebaikan lainnya. Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, h. 48

32 Syair yang dibuat untuk meratapi dan menangisi seseorang atau kelompok saat

mendapatkan musibah. Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, h. 48

33 Syair yang digunakan untuk menghina dan mengejek seseorang atau kelompok dengan

mengungkapkan keburukan-keburukannya. Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, h. 48

34 Syair yang digunakan untuk memohon maaf atau pengampunan kepada seseorang atau

kelompok. Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, h. 48

35 Syair yang digunakan untuk menggambar suatu hal atau peristiwa. Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, h. 48

36 Syair yang digunakan untuk menasihati dan mengajarkan nilai-nilai kebajikan. Melalui syair ta’lim dan hikmah inilah biasanya nilai-nilai moralitas disampaikan oleh penyair dengan Bahasa yang indah, menarik, dan menyentuh. Ahmad al-Iskandari, al-Wasith fi al- Adab al-Arabi wa Tarikhihi, h.16


(24)

12

2. Ma’ani wa akhilah. Ma’ani adalah makna, sedangkan akhilah atau khayal

adalah imajinasi. Ma’ani dalam puisi sama dengan kandungan atau amanat

yang ingin disampaikan oleh penyair. Sedangkan khayal erat hubungannya dengan unsur yang ketiga yaitu gaya Bahasa.

3. Uslub wa alfazh. Uslub adalah gaya bahasa, sedangkan alfazh adalah diksi atau pilihan kata. Gaya Bahasa dan diksi erat kaitannya dengan imajinasi. Imajinasi dalam syair biasanya disampaikan dengan gaya bahasa khas,

seperti menggunakan isti’arah (metafora), tasybih (perumpamaan), majas

dan kinayah. Pemilihan kata yang tepat dan juga gaya Bahasa yang indah dalam syair, mampu mempengaruhi emosi dan perasaan pendengarnya. 4. Wazan dan qâfiyah. Wazan yaitu kumpulan taf’ilah yang terdapat pada bait

syair yang telah ditentukan oleh kaidah-kaidah ilmu Arudh.37Wazan dinamakan juga dengan bahar atau al-buhûr al-syi’riyah, yakni bentuk-bentuk pola irama yang membentuk-bentuk corak musik yang beranekaragam dalam syair Arab.38Wazan di dalam syair arab erat hubungannya dengan irama musik.39Adapun qafiyah adalah lafaz terakhir pada bait syair, yang dihitung dari huruf akhir bait sampai dengan huruf hidup sebelum huruf mati yang ada di antara keduanya.40Abdurridha Ali mendefinisikan qafiyah secara modern, yaitu bunyi-bunyian yang membentuk irama musik yang didendangkan oleh penyair di bait pertama dan diulang kembali pada akhir bait.41Wazan dan qafiyah yang biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan istilah rhyme dan metre42atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan rima dan matra.Berdasarkan hal tersebut wazan dan qafiyah pada dasarnya masuk ke dalam struktur luar atau bentuk yang dalam puisi yang disebut dengan irama atau nada.

37 . al-Mu’jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-Arudh, hal. 458 38 . Ibrahim Anis, Musiqâ al-Syi’r, hal. 50

39 Keterkaitan wazan dan qafiyah dengan irama music dibahas secara khusus di antaranya

oleh Abduridho Ali dalam buku Musiqa al-Syi’r al-Arabi Qadimah wa Haditsah (Irama syair Arab: Klasik dan modern)

40al-Mu’jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-Arudh, h.

41Abduridho Ali, Musiqa al-Syi’r al-Arabi Qadimah wa Haditsah, Oman: Dar al-Syuruq,

1997, h. 168

42 . lih. Roger Allen, an Introduction to Arabic Literature, Cambridge: University Press,


(25)

13

Istilah-istilah yang terdapat pada wazan dan qafiyah tersebut, selanjutnya turut menentukan jenis dan corak syair Arab dari aspek bentuk. Untuk itu, syair Arab dari segi bentuk terbagi ke dalam tiga aliran, yaitu:

1. Syair multazim (klasik/tradisional), yaitu syair yang terikat dengan aturan

wazan dan qâfiyah.

2. Syair mursal atau muthlaq,yaitu syair yang terikat dengan satuan irama atau

taf’ilah, namun tidak terikat oleh wazan dan qafiyah.

. Sebagai contoh, syi’ir Ahmad Faris al-Syidyaq berikut ini:

ْلا ماعو رهش ِك ع دعبلا ةعاس

ةعاس وه امأك ىضم لصو

جََ تَأ

ةَبَابَص َلْيِو طلا َلْي للا م

ِكْيِلْفَ ت ْىِذ ٍمْو ج ِل ْىمِ جَ تَو

َابَصلا ِت بَه ْنِإ ِبْلَقْلا ِ ِّم ق فَََْو

ِك يح ر ما رْدَبْلا ِِْرِ كَذ ي

43

Rangkaian syi’ir tersebut terdiri dari, bait pertama berdasarkan pada bahr khafif, bait kedua bahr kamil, dan bait ketiga adalah bahr thawil.

3.

Syair mantsûr atau syair hurr (puisi bebas), yaitu syair yang bebas dari segala bentuk kaidah ilmu arudl.Syair kontemporer banyak menggunakan metode ini dalam penggubahannya. Corak ini saat ini sangat digemari dan dianggap lebih mudah karena tidak dibatasi oleh kaidah-kaidah tertentu

seperti ilmu Arudh, atau bahkan taf’ilah sekalipun. Selain itu, karena tidak

adanya aturan dalam bentuk, syair ini lebih demokratis dan akomodatif dalam mengilustrasikan kata-kata. Namun demikian syair dalam bentuk ini terkadang tidak dianggap sebagai bagian dari syair Arab, karena sudah terkontaminasi oleh sastra Barat, dan dianggap ikut berperan menghilangkan karakteristik syair Arab murni yang menjadi ciri khas bangsa Arab. Contohnya syair kontemporer karya Qassim Haddad berikut ini:


(26)

14

تلخدف...

اعم تاقوأا عيم ترسو تلخد

أدبي م ءدب ِأب ترعشو

ةفطن ترص

افط ا ي ج ترس

ترس خئاشلا لهكلا لاجرو

دعب دلوأ م ِأك

...

44 Syair tersebut tampak jelas, sudah membebaskan diri dari segala ikatan syair klasik dan syair mursal, dan tidak ada bedanya dengan puisi-puisi di negara lain, selain bahasanya.

Demikianlah beberapa pembahasan yang terkait dengan unsur-unsur intrinsik dalam puisi atau syair. Di dalam kajian strukturalis genetic, unsur-unsur intrinsic tersebut merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan di samping unsur-unsur ekstrinsik.

c. Unsur ekstrinsik sastra

Sebagaimana disebut di atas, bahwa unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur luar yang mempengaruhi proses pembuatan sebuah karya sastra, seperti social, politik, ekonomi, agama, budaya, adat istiadat dan lain sebagainya. Namun demikian, menurut mursal esten, bila kajian terlalu menekankan pada unsur ekstrinsik, tidak lagi disebut dengan kajian sastra, tetapi berubah menjadi kajian politik, ekonomi, social, dan lain sebagainnya.

Dalam Ensiklopedi Sastra Indonesia disebutkan bahwa unsur ekstrinsik karya sastra dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu unsur ekstrinsik utama dan unsur ekstrinsik penunjang. Unsur ekstrinsik utama adalah pengarang. Dari unsur pengarang, sebuah karya sastra dapat ditelusuri hal-hal yang berkaitan dengan kepekaan, imajinasi, inteletualitas, dan pandangan hidup pengarang. Adapun unsur ekstrinsik penunjang yaitu norma-norma, ideologi, tatanilai, konvensi budaya,


(27)

15

konvensi sastra, dan konvensi Bahasa. Kedua unsur ekstrinsik tersebut dapat ditelusuri melalui karya sastra.45

d. Posisi strukturalis genetik

Setelah penulis membahas tentang unsur intrinsik dan ekstrinsik sastra, lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan strukturalis genetik, dan apa hubungannya dengan unsur instrinsik dan ekstrinsik karya sastra?

Secara bahasa struktur berarti bangun, bentuk, desain, konstruksi, format, gatra, rupa, system, tata, wujud, komposisi, morfologi, susunan, tekstur.46 Keunikan yang terdapat dalam unsur-unsur intrinsik karya sastra -sebagaimana telah dibahas sebelumnya- menarik perhatian para peneliti, sehingga lahirlah teori strukturalisme (al-bina’iyyah). Sebuah teori yang memandang bahwa kritik sastra harus berpusat pada karya sastra itu sendiri, tanpa memperhatikan sastrawan sebagai pencipta dan pembaca sebagai penikmat, maupun usur-unsur ekstrinsik lainnya, seperti biografi, psikologi, sosiologi dan sejarah yang mempengaruhinya.47

Kritik sastra structural adalah kritik objektif yang menekankan aspek instrinsik karya sastra. Untuk itu yang menentukan nilai estetika sebuah karya sastra tidak sebatas keindahan Bahasa, namun juga relasi antar unsur intrinsic. Unsur-unsur itu dilihat sebagai sebuah artefak (benda seni) yang terdiri dari Unsur-unsur-Unsur-unsur. Prosa terdiri dari tema, plot, latar, tokoh, gaya Bahasa, dan amanat. Sedangkan puisi terdiri dari tema, gaya Bahasa, imajinasi, ritme atau irama, rima, diksi, symbol, dan amanat. Semua unsur tersebut dari kacamata teori strukturalisme terjalin satu dengan yang lainnya dengan rapi dan memiliki interrelasi dan saling ketergantungan.48

Terfokusnya kritik sastra pada unsur-unsur intrinsik, memicu munculnya teori baru yang merasa tidak puas dengan teori strukturalis. Teori strukturalis dianggap tidak memperdulikan unsur-unsur lain yang mempengaruhi lahirnya sebuah karya sastra, seperti biografi pengarang, geografi, sejarah, serta aspek-aspek social lainnya.

45 Tim Penyusun, Ensiklopedia Sastra Indonesia, h. 245 46 Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, h. 613

47 Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, (Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2009), h. 183


(28)

16

Kekurangan yang terdapat pada teori strukturalisme murni ini, memicu lahirnya teori-teori strukturalisme revisi di antaranya muncul dari sosiolog Marxis Lucien Goldman dan George Lukacs yang mengembangkan teori baru yang disebut dengan strukturalis genetic, yaitu strukturalisme yang berorientasi pada unsur genetic (social) yang mempengaruhi lahirnya karya sastra. Dengan demikian, strukturalisme genetic menjadi suatu teori kritik yang menghubungkan struktur sastra dengan struktur masyarakat melalui ideology atau cara pandang yang diekspresikan, baik yang berbentuk gagasan-gagasan, inspirasi, dan perasaan-perasaan yang menyatukan anggota kelompok social tertentu, sebagai hasil dari situasi social, politik dan ekonomi yang dihadapi secara kolektif. Ideology yang berpengaruh besar terhadap kehidupan mereka.49Dr. Wa’il Sayyid Abdurrahim menyebut istilah strukturalis genetik dalam Bahasa Arab dengan bunyawiyah al-takwiniyyah.50

Ada 3 hal yang membedakan strukturalisme genetic dengan kritik sosiologi sastra. Strukturalisme genetic harus meliputi 3 hal, yaitu aspek intrinsic teks sastra, latar belakang pencipta, dan latar belakang social budaya dan sejarah masyarakat saat lahirnya karya sastra. Di sisi lain, sosiologi sastra tidak mementingkan kajian unsur-unsur intrinsic. 51

Penelitian strukturalis genetik, memandang karya sastra dari dua sudut pandang, yaitu intrinsic dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian unsur instrinsik sebagai data dasar. Selanjutnya, unsur intrinsic tersebut dihubungkan dengan dengan unsur-unsur ekstrinsik yang mempengaruhinya yang merupakan realitas dari masyarakat tempat karya sastra tersebut lahir.

Menurut Suwardi Endraswara, karya sastra dipandang sebagai sebuah refleksi jaman yang dapat mengungkapkan aspek social, budaya, politik ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di zaman lahirnya karya

49Wa’il Sayyid Abdurrohim, Talaqqi al-Bunyawiyah fi al-Naqd al-Arabi, Jami’ah Helon:

Darul ilmi wa al- Iman, 2009, h. 86. Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern,h. 188

50Wa’il Sayyid Abdurrohim, Talaqqi al-Bunyawiyah fi al-Naqd al-Arabi, h. 86 51 Sukron Kamil, Teori Kritik Sastra Arab: Klasik dan Modern, h. 188


(29)

17

sastra tersebut akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur intrinsic karya sastra.52

Itulah sekilas pembahasan tentang unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra serta posisi teori strukturalis genetik dalam kritik sastra. Teori ini selanjutnya akan digunakan untuk mengkaji syair hikmah karya Zuhair Ibnu Abi Sulma, dari sudut pandang nilai-nilai moralitas yang terkandung di dalamnya.

B. Makna Nilai-nilai Moralitas

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa amanat (pesan moral)dalam karya sastra sebagai bagian dari instrinsik sastra. Pesan moral atau amanat yang ingin disampaikan oleh penulis merupakan bagian dari kandungan atau isi karya sastra yang diharapkan mampu mempengaruhi pembacanya.

Menurut Mursal Esten, ciptasastra yang indah, bukan semata karena bahasanya yang mengalun-alun dan penuh irama, namun ia harus dilihat secara keseluruhan dari tema, amanat, maupun strukturnya, serta nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Menurut Mursal ada beberapa nilai yang harus dimiliki oleh sebuah ciptasastra, yaitu nilai-nilai estetika, nilai-nilai moral, dan nilai-nilai yang bersifat konsepsionil. Ketiga nilai tersebut satu sama lain saling terkait dan tidak bisa dipisahkan. Maka sesuatu yang estetis adalah sesuatu yang memiliki nilai-nilai moral. Tidak ada keindahan tanpa moral. Moral bukan sekedar sopan santun, namun ia adalah nilai yang berpangkal dari nilai-nilai luhur kemanusiaan. Tentang nilai-nilai yang baik dan buruk yang universal.53

Novel-novel yang ditulis oleh Nawal el- Sa’dawi, misalnya, sarat dengan pesan moral tentang perjuangan dan upaya kaum perempuan untuk melepaskan diri dari segala macam bentuk penindasan, dan menyeru kaum laki-laki, bahwa perempuan adalah makhluk yang sama yang harus diperlakukan dengan adil.

Begitu pula halnya dengan puisi atau syair, kata yang singkat dan padat sebagai ciri khas puisi, di dalamnya sarat dengan amanat yang ingin disampaikan, bahkan pada sebagian puisi, amanat tersebut dapat dirasakan dari setiap bait yang digubah oleh sang penyair.

52 Suwardi Endraswara, Metode Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama,

2004), H. 56


(30)

18

Untuk itu, hal-hal yang terkait dengan nilai dan moralitas perlu dibahas secara khusus, untuk dijadikan sebagai landasan dalam menganalisis nilai-nilai moralitas atau amanat yang terkandung dalam syair Zuhair Ibnu Abi Sulma.

a. Pengertian Nilai

Nilai secara bahasa diartikan dengan 1) angka, biji, ponten, skor, kredit, poin, 2) harga, harkat, kadar, martabat, taraf, bobot, jenis, kualitas, mutu 3) adab, etik, kultur, norma, pandangan hidup, sila (sangsakerta) 4) arti, makna, faedah, kegunaan, manfaat, profit. Bernilai berarti: 1) berharga, berfaedah, berguna, bermanfaat, produktif, 2) berbobot, berkualitas, dan bermutu.54 Secara bahasa, kata nilai dalam bahasa Arab disebut dengan qiyam sebagai bentuk jamak dari qîmah.

Ibnu Manzhur memaknai qiyam dengan tsaman al-syai bi al-taqwîm atau harga sesuatu berdasarkan penghargaan.55

Untuk itu, nilai keagamaan menurut KBIH adalah konsep mengenai penghargaan tinggi yang diberikan oleh warga masyarakat kepada beberapa masalah pokok dalam kehidupan keagamaan yang bersifat suci sehingga dijadikan pedoman bagi tingkah laku keagamaan warga masyarakat bersangkutan.56

Di dalam bahasa Inggris, nilai disebut dengan value. Secara umum kata

value (nilai) merujuk pada sesuatu yang bernilai atau berharga, bisa berbentuk objek atau peristiwa, bisa orang atau perbuatan, ide atau kebiasaan. Teori nilai, atau aksiologi, adalah sebuah pendekatan di mana nilai sebagai kategori umum dijadikan sebagai obyek utama dalam analisis filosofis pemikiran Barat pada abad 19 yang kemudian berkembang di abad 20. Di antara para ahli teori nilai terkemuka Bernard Bosanquet, JNFindlay, Alexius Meinong, dan Max Scheler di Eropa. Alejandro Korn di Amerika latin, dan C.I. Lewis, Ralph Barton Perry, John Dewey, dan Stephen Lada di Amerika Serikat.57

Menurut Syatori Isma’il, dalam memahami makna nilai, terbagi ke dalam

tiga kelompok, pertama kelompok yang mengartikan nilai sebagai aturan-aturan yang dijadikan sebagai tolak ukur, kedua, sesuatu yang tercermin dari tingkah laku

54 Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2009, cet. 3, h. 429

55 Ibnu Manzhur, Lisȃn al- Arab, Beirut: Dar shadir, 1990 m/1410 h, jilid 12, h. 500 56 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia,h. 690

57 J. Wentzel Vrede van Huyssteen (editor in Chief), Enchylopedia of Science and Religion,


(31)

19

seseorang, dan ketiga pendapat yang menggabungkan keduanya.58 Maka menurut Ibrahim Ibnu Nasher, al-qiyam (nilai) adalah seperangkat norma atau prinsip-prinsip dasar yang luhur yang dijadikan oleh manusia sebagai pedoman perbuatan mereka dalam menghakimi tindakan lahir dan batin mereka.59

b. Pengertian Moral

Secara bahasa, moral dimaknai dengan: 1) adab, akhlak, budi pekerti, etik, kehormatan, kejujuran, kesusilaan, pandangan hidup, sila (skt), tata susila, 2) batin, mental 3) amanat, iktibar (ar), makna, pelajaran, pesan. Bermoral berarti beradab, berbudi, bersusila, elegan, tahu adat/etiket, sopan. Moralitas mengandung arti etika, integritas, kebaikan dan kebajikan.60

Dalam bahasa Arab, kata moral disebut dengan akhlaq yang merupakan bentuk jamak dari kata khuluq.61 Ibnu Manzhur mengartikan kata al-khuluq dengan

al-sajiyyah atau karakter.62 Berdasarkan hal ini, al-Ghazali mendefinisikan kata akhlak dengan suatu tindakan yang dilakukan secara spontan tanpa perlu pemikiran lagi. Oleh karena itu, al-Ghazali membagi akhlak ke dalam 2 bagian, yaitu akhlak terpuji (al-akhlaq al-mahmudah) dan akhlak tercela (al-akhlaq al-sayyiah).63

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah mendefinisikan akhlak dengan sebuah tindakan yang bersumber dari pengetahuan yang benar, hasrat yang tulus, ekspresi lahir dan batin, sejalan dengan keadilan dan kebijaksanaan, bermanfaat, serta perkataan yang benar.64

58 Ahmad Syatori Ismail, Ghars Qiyam Akhlaqiyyah min Khilal Kutub al-Madrasiyyah wa al-Adabiyyah, Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building,Jakarta: Tarjamah Center, 2013 dikutip Dhiya’uddin Zahir, 1995, h. 18).

59Khairan Muhammad ‘Arif, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah,

Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building,Jakarta: Tarjamah Center, 2013 dikutip dari Ibrahim ibn Nasher al-Hamud, http://www.al-jazirah.com/2011/20110924/ar3.htm

60 Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, h. 418

61 Kata akhlak dalah bahasa Indonesia merupakan serapan dari bahasa arab tanpa ada

perubahan.

62 Ibnu Manzhur, Lisan al- Arab, Beirut: Dar shadir, 1990 m/1410 h, jilid 12, h.86 63Khairan Muhammad ‘Arif, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah,

Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building,Jakarta: Tarjamah Center, 2013 dikutip dari Abu Hamid al-Ghazali, Ihya ulum al-Din, Kairo: Maktabah al-Iman,1996, cet. 1, J. 3, h. 77

64Khairan Muhammad ‘Arif, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah,

Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building,Jakarta: Tarjamah Center, 2013 dikutip dari Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Al-Tibyan fi Aqsam al-Qur’an,


(32)

20

Moral dalam bahasa lain disebut juga dengan etika. Etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Etika adalah refleksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok. Menurut Magnis Suseno, etika adalah ilmu bukan dan bukan sebuah ajaran. Dan yang memberi norma tentang bagaimana kita harus hidup adalah moralitas. 65

Moralitas adalah system nilai tentang bagaimana kita harus hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran berbentuk petuah-petuah, nasihat, wejangan, peraturan, perintah dan semacamnya yang diwariskan secara turun temurun melalui agama atau kebudayaan tertentu tentang bagaimana manusia harus hidup secara baik agar ia benar-benar menjadi manusia yang baik.

Moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut dengan orang yang tidak bermoral, atau kurang bermoral. Secara singkat kita bisa menyamakan moral dengan kebaikan orang atau kebaikan manusiawi. Purwa Hadiwardoyo, membagi moral social ke dalam beberapa bagian, yaitu ideology, politik, ekonomi, social, kebudayaan, pertahanan dan keamanan, serta pekerjaan dan profesi.66

Dengan demikian yang dimaksud dengan nilai-nilai moralitas adalah prinsip-prinsip dasar yang dijadikan sebagai pedoman hidup oleh seseorang dalam berperilaku.67

c. Ukuran Baik dan Buruk

Moralitas merupakan tradisi kepercayaan dalam agama atau kebudayaan, tentang perilaku yang baik dan buruk. Moralitas memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaimana ia harus hidup, bagaimana ia harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik, dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak baik.68

65 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, Jakarta:

Rineka Cipta, 2002, h. 1

66 Al. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta: Kanisius, 1990, h. 74-94 67Khairan Muhammad ‘Arif, al-Qiyam al-Akhlaqiyyah ‘Inda Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah,

Proceeding of International Seminar on Cultural Values as a Basis for Character Building,Jakarta: Tarjamah Center, 2013 dikutip dari Ibrahim ibn Nasher al-Hamud, http://www.al.Jazirah.com/2011/20110924/ae3.htm.


(33)

21

Lalu apakah ukuran baik dan buruk itu? Dalam filsafat etika, disebutkan bahwa baik dan buruk diukur dengan standarisasi umum yang berlaku bagi semua manusia dan tidak hanya berlaku bagi sebagian manusia.

Secara garis besar tolak ukur ini dibagi ke dalam dua teori, yaitu teori-teori deontologis dan teleologis. Deontologis mengukur baik buruk suatu perbuatan menggunakan standar perbuatan dan aturan dirinya sendiri, sedangkan teleologis teori yang mengukur baik buruk suatu perbuatan dari akibat-akibat yang ditimbulkan.69

Istilah deontologi berasal dari kata Yunani yang berarti “kewajiban” (duty). Karena itu, etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut etika deontology, suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat dan tujuan baik dari tindakan tersebut, melainkan sebagai tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri.70

Etika teleologis justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau tujuan atau akibat yang ditimbulkannya baik.71

Karena teori teleologis mengukur etika berdasarkan tujuan dan akibat, maka teori ini terbagi menjadi dua aliran, yaitu egoism dan unilitarianisme. Menurut aliran Egoisme, suatu tindakan dapat dinilai baik, bila memberi manfaat bagi kepentingan dirinya, atau kepada akunya. Oleh karena itu, orang yang seperti ini disebut egois. Adapun aliran unilitarianisme sesuai dengan artinya yaitu kegunaan, menilai baik atau tidak suatu perbuatan, susila atau tidaknya sesuatu, ditinjau dari segi kegunaan atau faedah yang dihasilkan.72

Kalau egoism menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan baik atau buruknya tujuan dan akibatnya bagi diri sendiri, maka unilitarianisme menilai baik atau buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan dan akibat dari tindakan itu bagi sebanyak mungkin orang. Oleh karena itu, teori etika ini disebut juga dengan universalisme etis. Universalisme, karena menekankan akibat baik yang berguna

69 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 67 70 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 68 71 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 71-72 72 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h.72-76


(34)

22

bagi sebanyak mungkin orang, etis karena menekankan akibat yang baik. Sejalan dengan itu, tujuan dari tindakan kita yang bermoral adalah untuk mengusahakan kesejateraan manusia sebanyak mungkin yang memperkecil kerugian dan memperbesar manfaat. 73

Menurut teori universalisme sesuatu dapat dinilai baik bila dapat memberikan kebaikan kepada orang banyak.74

Menurut Burhanudin Salam, pada dasarnya antara etika dan agama terdapat titik persamaan dan perbedaan. Persamaannya:

- Pada sasarannya baik etika maupun agama sama-sama bertujuan meletakan dasar ajaran moral, supaya manusia dapat membedakan perbuatan baik dan buruk.

- Pada sifatnya, etika dan agama bersifat memberi peringatan, jadi tidak memaksa.75

Adapun perbedaannya adalah:

- Pada segi prinsip, agama merupakan kepercayaan pengabdian dengan segala syarat dan caranya kepada Tuhan yang maha esa, sedangkan etika bukanlah kepercayaan yang mengandung pengabdian.

- Pada bidang ajarannya, agama mengajarkan manusia pada dua kehidupan yaitu dunia dan akhirat. Akhirat sebagai konsekuensi dunia. Baik di dunia, baik di akhirat, buruk di dunia, buruk pula di akhirat. Sedangkan etika hanya mempersoalkan kehidupan moral manusia di alam fana ini.

- Agama (islam) sumbernya dari Allah SWT, sedangkan etika dengan segala macam dan jenisnya bersumber dari pemikiran manusia (sesuai aliran masing-masing).

- Ajaran agama dapat melengkapi dan memperkuat ajaran etika, tetapi tidak semua ajaran dan pandangan etika, dapat diterima oleh agama.

73 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 77 74 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 79 75 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 183


(35)

23

Maka semua manusia yang beragama (islam) dengan sendirinya mengerti soal-soal etika/moral, tetapi yang mempelajari etika sebagai suatu ilmu/filsafat, belum tentu beragama.76

Aliran relativisme secara umum dapat didefinisikan sebagai penolakan terhadap bentuk kebenaran universal tertentu. Aliran yang menyakini bahwa sesuatu (misalnya pengetahuan atau moralitas) bersifat relative terhadap prinsip tertentu dan penolakan bahwa prinsip itu adalah benar atau paling benar. Aliran ini terbagi dua, yaitu relativisme kognitif dan relativisme etika. Relativisme kognitif adalah pandangan yang menekankan bahwa tidak ada kebenaran universal atau pengetahuan tentang dunia. Dunia hanyalah tunduk pada berbagai penafsiran, karena ia tidak memiliki sifat intrinsic dan tidak ada seperangkat norma epistemic yang secara metafisis lebih istimewa dari yang lain.77

Adapun yang dimaksud dengan relativisme etika adalah pandangan bahwa tidak ada prinsip moral yang benar secara universal, kebenaran semua prinsip moral bersifat relative terhadap budaya atau pilihan individu.78

Relativisme etika terbagi ke dalam relativisme individual dan relativisme social. Relativisme individual adalah teori bahwa setiap individu berhak menentukan kaidah moralnya sendiri. Sedangkan relativisme social adalah pandangan bahwa setiap masyarakat berhak menentukan norma-norma moralnya sendiri. Donaldson, sebagaimana dikutip oleh M. A Shomali menyatakan bahwa kebanaran moral hanyalah kesepakatan kultural di dalam masyarakat. Fieser sebagaimana dikutip oleh M.A Shomali mengatakan bahwa relativisme moral adalah pandangan bahwa norma-norma moral bersumber dari persetujuan social yang berbeda dari satu budaya ke budaya lain.79

Lawan dari teori relativisme etika adalah absolutism etika, suatu pandangan yang meyakini bahwa ada berbagai kebenaran moral yang universal. Sebagaimana dikutip dari Pojman, Sebagian lain memilih istilah objektivisme etika sebagai lawan dari relativisme etika. Objektivisme etika menekankan bahwa meski berbagai budaya berbeda-beda dalam prinsip moralnya, namun demikian beberapa prinsip

76 Burhanuddin Salam, Etika Sosial: Asas moral dalam kehidupan manusia, h. 184 77 Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika (terjemah), Jakarta: PT Serambi Ilmu

Semesta, 2001, h. 3dari Westacoot, 1999, h. 1

78 Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika (terjemah), h. 33 dari Pojman 79 Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika (terjemah), h. 35 dari Fieser


(36)

24

moral memiliki validitas universal, sekalipun misalnya, sebuah budaya tidak mengakui kewajiban mencegah kejahatan yang tidak beralasan, prinsip itu benar, dan budaya tersebut harus mengikutinya.80

Secara umum konsep-konsep moralitas dapat diukur dari: 1. Apakah tindakan ini baik atau buruk?

2. Apakah perbuatan ini benar atau salah?

3. Apakah perbuatan ini harus dilakukan atau tidak?

Demikian beberapa penjelasan yang terkait dengan, teori strukturalis genetik, dan nilai-nilai moralitas. Teori-teori ini oleh penulis akan dijadikan sebagai landasan dalam menganalisis syair-syair Jahiliyah karya Zuhair Ibnu Abi Sulma dari sudut pandang nilai-nilai moralitas. Bagaimana sesungguhnya nilai-nilai moralitas pada masa Jahiliyyah yang tercermin dalam syair-syair Zuhair, apakah mencerminkan moralitas deontologis ataukah teleologis. Lalu sejauh mana, unsur-unsur ekstrinsik mempengaruhi terhadap penciptaan syair Zuhair yang terlahir pada masa Jahiliyah, yang bagi sebagian orang dianggap sebagai sebuah masa yang tidak bermoral.


(37)

25

BAB III

ZUHAIR IBN ABI SULMA: RIWAYAT HIDUP, SYAIR DAN

STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT JAHILIYAH

A. Riwayat Hidup Zuhair Ibnu Abi Sulma

Zuhair ibnu Abi Sulma termasuk ke dalam tokoh sastrawan Arab Jahiliyah periode awal bersama dengan Imru al-Qais81 dan al-Nabighah al-Dzubyani82. Nama lengkapnya adalah Zuhair Ibnu Abi Sulma al-Muzani Ibnu Rabi’ah ibnu Abi Rabbah ibn Qurth ibn al-Harits ibn Mazin ibn Halawah ibn Tsa’labah ibn Tsaur ibn

Hirmah ibn Lathim ibn ‘Utsman ibn ‘Amr ibn ‘Id ibn Thabikhah ibn al-Yas. Ia dinasabkan pada Muzainah binti Ka’ab ibnu Rabwah ibu ‘Amr ibnu Ad, salah

seorang nenek kabilah Rabi’ah dari pihak bapak. Kabilah Zuhair dinasabkan pada neneknya dan dinamakan dengan nama tersebut.83

Buku-buku sejarah sastra klasik, maupun penelitian-penelitian terbaru tidak banyak menceritakan tentang kehidupan Zuhair kecil, selain bahwa ia hidup dan tinggal di lingkungan Bani Abdillah ibnu Ghathfan dan paman-pamannya dari Bani Murrah kabilah Dzubyan. Zuhair tumbuh berkembang di bawah pemeliharaan pamannya yang bernama Basyamah ibnu al-Ghadîrseorang penyair hebat sekaligus pemimpin yang dihormati lagi kaya. Basyamah termasuk salah seorang hartawan Jahiliyyah yang mampu mencungkil mata unta, salah satu tradisi bangsa Arab Jahiliyyah bila seseorang sudah memiliki seribu unta sebagai simbol bahwa ia

81Nama lengkapnya yaitu ibn Hujr ibn al-Harits ibn ‘Amr ibn Hujr Âkil al- Murâr ibn Mu’awiyah ibn al-Harits al-Akbar(yang agung) ibn Ya’rab ibn Tsaur ibn Murti’ ibn Mu’awiyah ibn

Kindah. Sebagian mengatakan bahwa namanya adalah Hunduj ibn Hujr, namun nama Umru al-Qais lebih dikenal di masyarakat baik dulu maupun sekarang. Ia dijuluki dengan al-Malik al-Dlillîl atau raja yang banyak melakukan kasalahan. Selain itu ia juga dijuluki dengan Abu Wahab, Abu Zaid, Abu Harits, dan Dzu al-Qurûh. Dzu al-Qurûh adalah julukan bagi Umru al-Qais yang memiliki penyakit kulit (lepra) menjelang akhir hayatnya. Muhammad Ridla Murawwah, Umru Qais; al-Malik al-Dlillîl, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1411 H/1990 M), hal. 17

82Ia adalah Abu Umâmah Ziyâd ibn Mu’âwiyah al-Dzubyânî atau dikenal dengan nama

al-Nâbighah al-Dzubyânî, seorang penyair dari kabilah Dzubyân. Tim penulis (Lajnah), Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-al-Adab al-Jâhili, (Libanon: Dar al-Ma’arif, 1962), hal. 143

83Ahmad al-Iskandari dan Musthafa Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi,

(Mesir: Dar al-Ma’arif, 1916), cet.16, h. 69. Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990 M), h. 31


(38)

26

seorang yang kaya. Saat meninggal dunia, Basyamah mewariskan kemuliaan dan akhlak yang baik kepada Zuhair, di samping keahlian dalam menggubah syair. 84

Selain dari pamannya Basyamah, kepandaianZuhair dalam menggubah syair juga diperoleh dari suami ibunya yang bernama Aus ibnu Hajar seorang penyair yang sangat terkenal dan menjadi guru sejumlah penyair pada masa itu seperti al-Nabighah al-Dzubyani. Bakat dan kecerdasan yang dimiliki Zuhair menarik perhatian Aus, sehingga ia memberikan perhatian lebih pada Zuhair, dan Zuhair banyak mengambil pelajaran syair yang bagus darinya.85

Zuhair menikah dengan seorang perempuan mulia bernama Laila yang dijuluki dengan Ummu Aufa. Dari Ummu Aufa, Zuhair dianugerahi beberapa anak, namun semuanya meninggal saat masih kecil. Keinginannya untuk mendapatkan keturunan, memaksa dia menikah kembali dengan seorang perempuan bernama Kabsyah binti Umâr ibnu Sahîm dari Bani Abdillah ibnu Ghatfan. Darinya, Zuhair

dianugerahi tiga orang putra yaitu Ka’ab, Buhair, dan Salim. Salim putranya yang ketiga meninggal saat kanak-kanak, semasa Zuhair masih hidup.86

Namun demikian, Kabsyah istri barunya tersebut kurang cerdas dan senang dipuji, sehingga Zuhair merasa jemu dan ingin kembali pada istri pertamanya Ummu Aufa yang selalu memperlakukannya dengan baik. Sayang, Ummu Aufa menolak permohonan Zuhair untuk kembali bersatu, karena ia merasa telah diduakan.87

Zuhair terkenal sebagai pribadi yang kaya raya dan dermawan. Ia juga meyakini akan adanya hari kebangkitan dan juga hisab. Hal ini tampak dalam syair-syairnya yang fenomenal.

B. Syair-syair Zuhair

Bila dipertanyakan, mengapa Zuhair bisa menjadi seorang penyair yang hebat saat itu. Jawabannya, tentu saja karena Zuhair tumbuh di sebuah rumah yang diliputi aura syair.Ayahnya yang bernama Rabi’ah ibnu Rabah adalah seorang penyair. Demikian pula pamannya yang bernama Basyamah ibnu al-Ghadir dan

84 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 33. Ahmad

al-Iskandari dan Musthafa Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi, (Mesir: Dar al-Ma’arif, 1916), cet.16, h. 69

85 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 34 86 Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 34 87Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 35


(39)

27

juga suami ibunya yang bernama Aus ibnu Hajar, keduanya merupakan penyair Jahiliyah yang terkenal. Selain itu, kedua saudara perempuannya, yaitu Salma dan al-Khansa, keduanya penyair perempuan yang terkenal saat itu. Zuhair juga dikaruniai dua orang anak laki-laki yang juga menjadi penyair terkenal hingga masa

Islam, yakni Ka’ab dan Bajirah. Dan lingkungan seperti ini tidak dimiliki penyair lain semasanya.88

Terkait syair-syair Zuhair, Umar Ibn al-Khathab mengatakan: “ Zuhair adalah seorang penyair yang tidak bertele-tele dalam ungkapannya, menghindari syair-syair yang rumit, dan tidak memuji kecuali apa adanya.89

a. Tema-tema (aghrad) dalam syair Zuhair

Muhammad Yusuf Farran, menyebutkan sebanyak 5 (lima) tema yang ada dalam syair-syair Zuhair, yaitu ghazal, washaf, madh, ritsa, hija, dan hikmah.

Ghazal adalah syair yang secara khusus ditujukan untuk memuji dan menyanjung perempuan, termasuk di dalamnya kenangan-kenangan penyair dengan perempuan yang dicintainya, tempat-tempat yang pernah mereka lalui bersama, dan lain sebagainya. Contoh syair ghazal Zuhair:

َفْوَأ مأ نِمأ

90

ِم لكت م ٌةَْمِد

ِجاردلا ةناموح

91

م لثتماف

92

Tidak adakah jejak-jejak Ummi Aufa, (mengapa) tidak berbicara (jejak-jejaknya) di al-Darraj dan juga al-Mutatsallam

نتمق رلاب اه ٌرايد

93

اهأك

ِمَصْعِم رشاون ف ٍمْشَو عيجارم

perkampungannya yang terletak di al-Raqmatain, seakan-akan

88Ahmad Hasan al-Zayyat, Tarikh al-Adab al-Arabi, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005

M/1426 H), h. 42. Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 37

89Muhammad Yusuf Farran, Zuhair ibnu Abi Sulma Hayatuhu wa Syi’ruhu, h. 47 dari kitab al-Aghani dan al-Umdah.

90Ummu Aufa adalah julukan kekasih Zuhair (mantan istri Zuhair). Lih. Riwayat Hidup

Zuhair Bab IV.

91Al-Darraj yaitu mata air yang dekat dengan al-Qaishumah di jalan antara Bashrah dan

Mekah dekat al-Waqba.

92Al-Mutatsallam nama sebuah tempat di al-Shiman. Menurut Ibnu al-A’rabi al -Mutastallam adalah sebuah gunung yang terdapat di wilayah Bani Murrah (Mu’jam al-Buldan, jilid

5, h. 53). ‘Ali Fa’ur, Diwan Zuhair ibnu Abi Sulma, h. 102

93Menurut al-Kilabi, al-raqmatain yang disebutkan dalam syair Zuhair adalah sebuah tempat antara Jurtsum dan Mathla’ al-Syams yang terletak di wilayah Bani Asad (Mu’jam al-Buldan, jilid 3, h. 58)


(40)

28

Titik-titik hitam nila di pergelangan tangan94

ةَفْلِخ نشم مارآاو نِعلا اه

ِمَثََْ لك نم َنْضه ي اهؤاطأو

Di dalamnya sapi-sapi dan kijang-kijang berlalu lalang dan anak-anaknya terperanjat dari tidur

ة جِح نيرشع دعب نم اه تْفَ قَو

م هوت دعب رادلا تفرع ا يَََْف

Ku berhenti di sana, untuk mengunjunginya setelah 20 tahun berlalu dengan susah payah, akhirnya kutemukan kampung ini

ٍلَحْرِم س رَع م ف اعْف س ياثأ

ِم لثتي م ضو ا مذِجك ايؤنو

(kutemukan) tungku-tungku hitam di pemberhentian para musafir Dan Tanggul-tanggul air yang tersisa bagaikan kolam-kolam kecil

اهِعْبَرل تلق رادلا تفرع ا ملف

ِمَلْساو عْبَرلا اهيأ احابص ْمِعْنَأ اأ

Saat kudapati rumah itu, aku berkata pada penghuninya Selamat pagi wahai penghuni rumah..

نئاغظ نم ىرت له يليلخ رصبت

ل م

يلعلاب ن

ا

ج قوف نم ء

ْر ِ ث

Perhatikanlah sahabatku, tidakkah engkau melihat perempuan dalam sekedup-sekedup

Yang melintasi bukit-bukit dari atas (mata air) Jurtsum95

b. Gaya bahasa Syair Zuhair

Dalam menggubah syairnya, Zuhair banyak menggunakan tasybih

(perumpamaan), isti’arah (metafora), dan majas melalui hal-hal yang bersifat konkrit untuk menggambarkan ide, emosi, dan imajinasinya. Selain itu syairnya ringkas, padat, banyak mengandung hikmah dan pelajaran.96

94Rumah-rumah bekas peninggalan Ummu Aufa oleh Zuhair diibaratkan dengan bekas

tusukan-tusukan nila di pergelangan tangan yang biasanya digunakan untuk menghias diri oleh perempuan. Saat ini mungkin sama dengan tato di tubuh.

95Jurtsum yaitu mata air milik Bani Asad

96 Ahmad al-Iskandari dan Musthafa Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi,


(41)

29

Para pengamat sastra Arab klasik sepakat menilai Zuhair lebih baik kualitas syairnya dibandingkan dengan penyair semasanya seperti Imru Qais dan al-Nabighah al-Dzubyani. Alasannya adalah:

1. Syair-syairnya singkat padat dan tidak bertele-tele atau dalam ilmu balaghah disebut dengan ijaz, yaitu gaya Bahasa yang menggunakan sedikit lafaz, namun mengandung banyak makna.

2. Memuji dengan baik dan menjauhi dusta dalam bersyair. Ia tidak memuji seseorang, kecuali benar-benar mengenal watak dan karakternya. Sebagai contoh:

امسلا نلقما د عو # مهيرعي نم قزَر مهيرثكم ىلع

لذبلاو ةح

3. Menjauhi lafaz dan makna yang menjelimet atau dirasa asing di telinga. Contoh syairnya yang mudah dicerna:

دلخم سيل سا لا دم نكلو # اودلخأ سا لا دلخ ادم نأ ولو

4. Menggunakan bahasa yang baik, sehingga sedikit sekali penggunaan kata-kata yang buruk atau kasar. Oleh karena itu, ketika menggubah syair hija (ejekan) yang ditujukan untuk kaum tertentu, ia menyesali apa yang diperbuatnya.

5. Di dalam syair-syairnya banyak mengandung perumpamaan-perumpamaan (amtsal) dan juga hikmah. Syair-syair hikmah yang tidak mudah difahami oleh bangsa Arab Jahiliyah saat itu. Syair-syair Zuhair juga banyak menginspirasi penyair-penyair hikmah muslim di kemudian hari.97

C. Kehidupan sosial, Politik, dan Agama pada Masa Zuhair Ibnu Abi Sulma

a. Kehidupan Sosial

Masyarakat Arab Jahili memiliki dua struktur sosial yang sangat kontradiktif satu sama lain. Pertama penduduk perkotaan (hadhari) yang hidup

97 Ahmad al-Iskandari dan Musthafa Inani, al-Wasith fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi,h.


(1)

94

Shomali, Mohammad A., Relativisme Etika (terjemah), Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001, h. 3dari Westacoot, 1999

Syalabi, Ahmad, Dr., Mausu’ah; al-Tarikh Islami wa Hadarah al-Islamiyyah, Kairo: Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1979 Tarigan, Henry Guntur, Prinsip-prinsip Dasar Sastra, Bandung: Angkasa,

1984

Tim Penyusun, Ensiklopedi Sastra Indonesia, Bandung: Titian Ilmu, 2007, cet. 2

Tim Penyusun (Lajnah), Mûjaz fi Adab Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, Libanon: Dar al-Ma’arif, 1962

Al-Rukkabi, Judith, al-Adab al-Arabi min al-Inhidar ila al-Izdihar, Beirut: Dar al-Fikr, 1996 M

Rosyidi, M.Ikhwan dkk, Analisis Teks Sastra, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010

Sayyid Abdurrahim, Wa’il, Talaqqi al-Bunyawiyah fi al-Naqd al-Arabi, Kafar al-Syekh: al-Ilmu wa al-Iman: 2009

Shadiq al-Rafi’I, Mushthafa, Tarikh Adab al-Arab, Kairo: Alsahoh, 2008 M/ 1429 H

Tim Baitul Kilmah, Ensiklopedia Pengetahuan al-Qur’an dan Hadits, (Jogjakarta: Kamil Pustaka, 2013

Umam, Chatibul al-Muyassar fi ‘Ilm al-Arudh, Fakultas Adab, 1992 Waluyo, Herman, J., Teori dan Apresiasi Puisi, Jakarta: Erlangga, 1987 Ya’qub, Emil Badi’, al-Mu’jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-Arudh, Beirut: Dar

al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2010

Al-Zayyat, Ahmad Hasan, Tarikh al-Adab al-Arabi, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 2005 M/1426 H

Al-Zuzni, Ibnu Abdullah, Syarh al-Mu’allaqat al-Sab’, Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiiyah, 1985 M

Zaidan, Abdul Rozak, dkk, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: Balai Pustaka, 2007


(2)

95 LAMPIRAN-LAMPIRAN

A. Curriculum Vitae Peneliti

IDENTITAS DIRI

Nama : Cahya Buana

Nomor Peserta : 092100611320173

NIP/NIK : 150 326 899/ 19750630 200312 2 001

Jenis Kelamin : Perempuan

Tempat dan Tanggal Lahir : Agrabinta, 30 Juni 1975 Status Perkawinan : Kawin

Agama : Islam

Golongan / Pangkat : III d / Penata Jabatan Fungsional Akademik : Lektor Kepala

Perguruan Tinggi : Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta

Alamat : Jl. Ir. H. Juanda No. 95 Ciputat Telp./Faks. : 021-7401925

Alamat Rumah : Jl. Pesantren RT/RW 003/05 No. 76 Kreo Larangan Tangerang

Telp./Faks. : 08567104424

E-mail :bunaagra@yahoo.co.id/cahya.buana@uinjkt.ac.id

RIWAYAT PENDIDIKAN PERGURUAN TINGGI Tahun

Lulus Jenjang Perguruan Tinggi

Jurusan/ Bidang Studi 1999 S1 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bahasa dan Sastra Arab 2003 S2 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bahasa dan Sastra Arab 2009 S3 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bahasa dan Sastra Arab

PELATIHAN PROFESIONAL

Tahun Pelatihan Penyelenggara

2005 Penulisan Karya Ilmiah Berbahasa Asing Fak. Adab & Humaniora

2006 Workshop Pengembangan Pengajaran Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta

Fak. Adab & Humaniora

2006 Workshop Tenaga Penyuluh Pengabdian Kepada Masyarakat

LPM UIN Jakarta

2006 Pendidikan bahasa Arab untuk dosen Pusat Bahasa UIN Jakarta - Universitas Imam Muhammad ibn Su’ud

2007 Workshop Manajemen Kegiatan Penelitian dan Pengabdian pada masyarakat

Fak. Adab & Humaniora

2007 Pelatihan Penelitian Tingkat menengah Lemlit UIN Jakarta 2007 Forum dan Workshop Nasional VII:

Pengembangan Fakultas Adab PTAIN Seindonesia


(3)

96

PENGALAMAN JABATAN Jabatan

Institusi Tahun ... s.d. ...

CPNS Departemen Agama/UIN Jakarta 1/12/2003

Penata Muda Tk. I (III/b) Departemen Agama/UIN Jakarta 1/12/2004 Penata (III/c) Departemen Agama/UIN Jakarta ¼/2009

PENGALAMAN JABATAN Jabatan

Institusi Tahun ... s.d. ...

Tenaga Pengajar Departemen Agama/UIN

Jakarta/FAH

1/1/2005

Asisten Ahli Departemen Agama/UIN

Jakarta/FAH

1/6/2006

Lektor Departemen Agama/UIN

Jakarta/FAH

1/1/2009

Bendahara Markaz Lughah (Imam

al-Su’udiyah) 2006/2007

Sekretaris prodi BSA Fakultas Adab dan Humaniora 2009-2013 Ketua Jurusan BSA Fakultas Adab dan Humaniora UIN 2013-2017

PENGALAMAN MENGAJAR

Mata Kuliah Jenjang Institusi/Jurusan/Program Tahun ... s.d. ...

Seminar Proposal S-1 - Bahasa dan Sastra Arab 2010-2013 Qawa’id I, II, III S - 1 - Bahasa dan Sastra Arab 2003-2008 Bah. Arab I,II,III S - 1 - Bahasa dan Sastra Arab 2004-2009 Bahasa Arab I,II S - 1 - Bahasa dan Sastra Inggris 2006-2009 Balaghah I,II,III S - 1 - Bahasa dan Sastra Arab 2005 – 2009 Nushus Adabiyah S - 1 - Bahasa dan Sastra Arab 2006

Qawaid (Sharaf) S - 1 - Bahasa dan Sastra Arab 2006

PENGALAMAN MEMBIMBING MAHASISWA

Tahun Pembimbingan/Pembinaan

2006 - 2009 Penyusunan Skripsi 2006 - 2008 Penasehat Akademik

PENGALAMAN PENELITIAN

Tahun Judul Penelitian Jabatan Sumber Dana

2013 Simbol Dan Simbolisme Alam Dalam Puisi Sufistik Ibnu Arabi

Peneliti BOPTN

2012

Pengaruh Unsur-Unsur Ekstrinsik Terhadap Diksi Peribahasa Arab Dan Indonesia (Analisis Sastra Banding)


(4)

97 2011

Buku Ajar Maharat Qira’ah 1: تس لل ةيبرعلا ةغللا ملعت ىف ءار لا را م

ل أا

Penulis BLU

2006/2007 Ilmu ‘Arudl versus Revolusi Puisi Arab Kontemporer (Studi Analisis terhadap puisi-puisi Qassim Haddad)

Peneliti (mahasiswa S3)

Individu

2006/2007 Islam dan Politik di Mesir: Studi analisis terhadap gerakan Sayyid Qutb dan Ikhwanul Muslimin serta pengaruhnya terhadap peta Politik Mesir (1906-1956)

Peneliti (mahasiswa S3)

Individu

2006/2007 Peranan Ibu terhadap Peningkatan IQ anak (Studi Kasus terhadap murid kelas III MI Manbaul Khair)

Peneliti (mahasiswa S3)

Individu

2007 Pengaruh Sastra Arab Terhadap Sastra Indonesia Lama (Studi Analisis terhadap Puisi-puisi Hamzah Fansuri)

Peneliti (anggota)

Fak. Adab dan Humaniora

KARYA TULIS ILMIAH A. Buku/Bab/Jurnal

Tahun Judul Penerbit/Jurnal

2010 Simbol-simbol Agama dalam Syair Jahiliyah

Mocopatbook, Yogyakarta 2008 Pengaruh Sastra Arab terhadap

Sastra Indonesia Lama dalam Syair-syair Hamzah Fansuri (Kajian sastra Banding)

Mocopatbook, Yogyakarta

2008 Citra Perempuan Dalam Puisi-puisi Arab Jahiliyah (Kritik sastra Feminis)

Disertasi, Pascasarjana UIN Jakarta

2008 Pengaruh Sastra Arab terhadap Puisi-puisi Hamzah Fansuri

Al-Turas, Fak. Adab dan Humaniora

2006 Risâlah al-Tarbî’ wa al-Tadwîr li al-Jâhizh (al-Tahlîl al-Adabi)

Al-Turas, Fak. Adab dan Humaniora

2003 Hayy Bin Yaqzhan: Novel filosofis Ibn Thufail (Analisis kritik Sastra)

Tesis, Pascasarjana UIN Jakarta

B. Makalah/Poster

Tahun Judul Penyelenggara

2006/2007 Islam dan Demokrasi Pascasarjana UIN Jakarta 2006/2007 Ma’nâ al-naqd al-Adabi,

Târikhuhu wa Wazhîfatuhu

Pascasarjana UIN Jakarta

2006/2007 Gejala Psikologis Dalam Bahasa (Kajian Psikolinguistik)

Pascasarjana UIN Jakarta


(5)

98

Para Ahli bahasa Klasik dan Modern

2007 Tahlîl Naqd Adabi li al-Risâlah al-Hazaliyah li ibn Zaidûn

Pascasarjana UIN Jakarta

C. Penyunting/Editor/Reviewer/Resensi

Tahun Judul Penerbit/Jurnal

2006/2007 Review Disertasi: Kaidah-kaidah Bahasa Arab dan Relavansinya dalam Memahami Ayat-ayat al-Qur’an (penulis Abd. Karim hafid)

Pascasarjana UIN Jakarta

D. Penerjemah

Tahun Judul Penerbit/Jurnal

2010 Al-Adab fi al-‘Ashr al-Jahili wa al-Islam Dalam proses PESERTA KONFERENSI/SEMINAR/LOKAKARYA/SIMPOSIUM

Tahun Judul Kegiatan Penyelenggara

2010

Seminar Nasional Pendidikan Bahasa Arab. Tema: Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis Multiple Intelegences

FITK UIN Jakarta

2010 Workshop: Hypno Parenting dan Publik Speaking

UIN Jakarta

2010 Seminar dan Lokakarya: Penulisan Akademik

UIN Jakarta

2010

Studium General: Proses Penerbitan Buku Terjemahan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia

FAH UIN Jakarta

2008 Seminar Nasional: Pengajaran bahasa Arab berbasis lintas budaya (Cross Cultural)

Fak. Tarbiyah UIN Jakarta

Saya menyatakan bahwa semua keterangan dalam Curriculum Vitae ini adalah benar dan apabila terdapat kesalahan, saya bersedia mempertanggungjawabkannya.

Jakarta, 10 Desember 2014


(6)

99

B.

Penggunaan Anggaran Penelitian Madya

Nama Peneliti : Cahya Buana

Judul penelitian : Tinjauan Islam terhadap Nilai-nilai Moralitas dalam Syair Jahiliyah Karya Zuhair Ibnu Abi Sulma (Kajian Struturalis Genetik)

Jumlah Anggaran : Rp. 15.000.000

NO JENIS BELANJA/PERUNTUKAN VOL JUMLAH

1 Honor Peneliti Utama 1 orang 4.000.000

2 Honor Asisten Peneliti 3 orang 4.500.000

3 Perjalanan Dinas 2 x 1.000.000

4 Foto Copy dan ATK 1 paket 1.000.000

5 Bahan Penelitian 1 paket 3.000.000

6 Penyusunan Laporan 1 paket 1.500.000

TOTAL 15.000.000