195 Sebagai kaum minoritas, tidak banyak penyair perempuan yang terkenal seperti
penyair laki-laki. Dalam buku al-Mûjaz fi al-Adab al-`Arabi wa Târikhihi, hanya ada satu nama penyair perempuan yang disebutkan yaitu al-Khansa. Sebagai bagian penting
dari kritik sastra feminis, satu penyair tidak cukup memberi gambaran tentang citra perempuan Jahiliyah melalui syair-syairnya. Al-Khansa memang memiliki sebuah
dîwan syair, hanya saja ia lebih banyak bercerita tentang kesedihannya saat ditinggalkan
kedua saudara laki-laki yang mati terbunuh dalam peperangan. Untuk itu, penulis mengambil beberapa sampel lain yang termuat dalam
Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irât fi al- Jâhiliyah wa al-Islâm
yang banyak menulis tentang syair-syair perempuan Jahiliyah, seperti Shafiyyah binti Tsa’labah al-Syaibaniyah yang bergelar al-Hujaijah
532
ahli debat, dua bersaudara Jum’ah dan Hindun binti al-Khuss yang juga banyak menggubah
syair-syair hikmah, dan lain sebagainya.
Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, yang ditulis oleh ‘Abd Mehanna
533
, memuat ratusan syair-syair karya penyair perempuan pada masa Jahiliyah dan Islam, dan yang paling banyak adalah penyair Jahiliyah, bahkan jumlahnya
mencapai ratusan, hanya saja syair-syair tersebut berupa penggalan-penggalan, sehingga dan tidak banyak disertai dengan penjelasan. Namun dari kamus tersebut terbukti,
bahwa tradisi bersyair tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki, namun juga banyak dilakukan oleh kaum perempuan dalam rangka mengekspresikan perasaannya. Kiprah
mereka tidak hanya sebatas menjadi perempuan-perempuan peratap seperti al-Khansa, namun lebih jauh dari itu terbukti bahwa mereka juga memiliki peranan penting dalam
kehidupan sosial, politik dan ekonomi.
A. Perempuan Jahili dalam Konstruksi Sejarah
1. Kedudukan dan peran
Selama ini, penelitian tentang perempuan Arab Jahiliyah telah banyak dilakukan oleh sarjana muslim, namun biasanya lebih berorientasi pada kepentingan hukum.
532
ي حل
533
‘Abd Mahannâ, Mu’jam al-Nisâ’ al-Syâirât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1990 M1410 H
196 Untuk itu, para peneliti terutama kaum feminis muslim, biasanya berupaya dengan gigih
untuk membuktikan betapa sangat berbedanya kondisi yang dialami perempuan Arab Jahiliyah, dengan kondisi setelah datangnya agama Islam. Gairah keislaman yang tinggi
ini terkadang menjebak mereka ke dalam ketidak-objektifan, sehingga terkadang melupakan bukti-bukti lainnya yang dapat membuktikan, bahwa tidak semua kondisi
dapat digeneralisir, lalu disimpulkan bahwa itulah kondisi perempuan Arab Jahiliyah. Sebagai contoh, dalam buku Ilâ Ghair al-Muhajjabât, dinyatakan bahwa
perempuan pada masa Jahiliyah adalah hak milik laki-laki, ia tidak memiliki hak kepemilikan maupun hak waris. Bila suaminya meninggal dunia, kepemilikannya
beralih pada saudara laki-laki dari suaminya tersebut atau pada pamannya. Bila menginginkannya, mereka berhak mengawininya, namun jika tidak, mereka berhak
mengawinkannya dengan siapa saja yang mereka kehendaki dan mengambil maharnya untuk kepentingan mereka. Mereka berpendapat, bahwa yang berhak mendapat waris
adalah mereka yang membawa pedang dan menjaga kaumnya yang dimaksud adalah laki-
laki. Hal ini sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, bahwa seorang laki-laki, jika ayah atau pamannya yang meninggal dunia, maka ia berhak atas istri mereka, jika
menginginkannya ia ambil sebagai istri, namun jika tidak, ia berhak menahannya hingga ada seseorang yang mau mengawininya dan membayarkan mahar untuknya, atau
jika tidak ada, ia biarkan hingga meninggal dunia dan ia memperoleh harta yang ditinggalkannya.
534
Menurut Fatima Umar Nasif, kedudukan perempuan yang sangat rendah dalam tradisi dan budaya masyarakat Arab Jahiliyah diduga akibat sistem kehidupan mereka
yang selalu diwarnai dengan peperangan. Sehingga setiap suku jauh lebih membutuhkan laki-laki daripada perempuan yang dianggap lemah untuk
mempertahankan kelompoknya. Kenyataan inilah yang kemudian membawa perempuan pada derajat yang kurang dihargai, sehingga terkadang ketika ada seseorang yang
melahirkan seorang anak perempuan, mereka menjadi emosi dan menguburnya hidup- hidup, karena dianggap kurang berguna. Jika anak perempuan cukup beruntung
534
Muhammad Sa’îd Mubaydl, Ila Ghair al-Muhajjabât, tp: Dâr al-Tsaqâfah, 1988 hal. 13
197 sehingga tidak dikubur hidup-hidup, maka ia akan menjalani sisa hidupnya dengan
penindasan dan siksaan. Apabila disia-siakan oleh orang tuanya dan diperlakukan dengan kasar oleh suaminya, tidak ada yang datang membelanya. Hak-hak
kemanusiannya tidak diakui, tidak pula memiliki hak waris, bahkan dirinya sendiri dijadikan sebagai barang warisan.
535
Senada dengan Fatima Umar, Ahmad Masruch Nasucha dalam bukunya Kaum Wanita Dalam Pembelaan Islam,
sebagaimana yang ia kutip dari Muhammad al- Hamidi, menyatakan bahwa pada masa Jahiliyah para perempuan meskipun mereka
pada hakekatnya merdeka, namun tetap diperlakukan sebagai budak, mereka diperjualbelikan layaknya binatang dan benda lainnya.
536
Fakta memalukan dan menjijikan perempuan Arab Jahiliyah lainnya diambil oleh Fatima Umar dari Kitab al-Tafsir karya Al-Nawawi, bahwa salah satu kebiasaan
kaum perempuan pagan penyembah berhala bertawaf mengelilingi Ka’bah dengan bertelanjang bulat. Mereka melepaskan pakaiannya, lalu dilemparkan untuk diinjak-
injak sampai compang-camping dan tidak akan diambil kembali.
537
Dalam aspek hukum menurut Muhammad al-Hamidi, masyarakat Arab Jahiliyah sangat diskriminatif terhadap perempuan. Hukum hanya ditegakkan untuk laki-laki,
tidak untuk perempuan. Jika ada seorang laki-laki yang membunuh seorang perempuan, maka hukum qishas hukuman yang sama maupun diyat denda tidak diberlakukan.
538
Untuk itu, Ahmad Masruch Nasucha dalam bukunya Kaum Wanita Dalam Pembelaan Islam
, menyimpulkan sebanyak empat belas poin tentang kondisi dan kedudukan perempuan dalam struktur masyarakat Arab Jahiliyah, di antaranya:
a. Perempuan diperlakukan sebagai budak sahaya oleh kaum laki-laki, mereka
diperjual belikan seolah-olah mereka itu binatang.
535
Fatimah Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, terjemah dari Women In Islam: A Discourse in Rights and Obligations
, Jakarta: CV. Cendekia Sentra Muslim, 2001, hal. 50-51
536
Ahmad Masruch Nasucha, Kaum Wanita dalam Pembelaan Islam, Semarang: CV. Toha Putra, tth, hal. 7
537
Fatimah Umar Nasif, Menggugat Sejarah Perempuan, terjemah dari Women In Islam: A Discourse in Rights and Obligations
, hal. 55-56
538
Ahmad Masruch Nasucha, Kaum Wanita dalam Pembelaan Islam, hal. 8
198 b. Dalam bidang hukum kriminal, mereka didiskriminasikan dengan kaum laki-
laki, sebab bila ada laki-laki membunuh perempuan tidak dilakukan hukum qishash dan tidak dikenakan pembayaran diyat.
c. Mereka dianggap sebagai sampah oleh kaum laki-laki karena tidak dapat
dimanfaatkan untuk berperangberkelahi, karena itu bila kaum laki-laki dikaruniai anak perempuan, mereka merasa malu dan hina sehingga mereka
sampai hati membunuh anak-anak mereka secara kejam diluar sifat-sifat kemanusiaan, bahkan di antaranya ada yang dikubur hidup-hidup.
d. Kawin paksa diberlakukan oleh para wali ayah, kakek dan sebagainya
terhadap para perempuan yang berada dalam kekuasaan mereka, oleh karena itu kaum perempuan tidak diberi hak pilih untuk menentukan calon
pasangannya, dan mau tidak mau harus menuruti kehendak sang wali. e.
Kaum perempuan diperlakukan oleh kaum laki-laki sebagai benda mati yang bisa diwarisi oleh kaum laki-laki, misalnya seorang laki-laki bisa mewarisi
ibu tirinya atau saudara perempuan tirinya yang ditinggal mati suaminya, setelah dia mewarisi sang janda itu, dia berhak menguasainya menurut
kehendaknya sendiri, apakah dia si janda itu akan dipakai sebagai istri sendiri atau dikawinkan kepada orang lain dengan mengambil keuntungan
secara materil atau dibiarkan di rumah tetap menjanda sehingga meninggal dunia untuk diwarisi semua hak miliknya.
f. Mereka diperlakukan oleh laki-laki sekehendak mereka sendiri, sebab
perempuan bisa dijatuhi talak sampai seratus kali dan dirujuk juga sampai seratus kali; kaum perempuan tidak dapat berbuat apa-apa sebab di waktu itu
tidak ada pengadilan yang menjadi tempat berlindungnya kaum perempuan. g.
Mereka kaum perempuan ditutup hak warisnya sama sekali untuk mewarisi harta peninggalan dari orang tuanya atau saudara-saudaranya, dan mereka
juga tidak diberi hak menggunakan kekayaannya. h.
Poligami tanpa batas dan tanpa persyaratan yang ketat berlaku pada zaman Jahiliyah, sehingga keadaan itu membuat kaum perempuan menjadi
199 sengsara.
i. Pada zaman Jahiliyah tak ada perlindungan hukum terhadap anak yatim
perempuan mengenai mas kawin bila anak yatim itu akan dikawini oleh seorang laki-laki.
539
Kedudukan perempuan pada masa Jahiliyah sebagaimana digambarkan dalam ketiga buku tersebut -menurut penulis- tidak semuanya benar. Fakta sejarah harus
diperlakukan seobjektif mungkin dengan berdasarkan pada data yang akurat. Fakta sejarah tidak dapat digeneralisir tanpa mengkaji aspek-aspek lainnya. Sebagaimana
disebutkan sebelumnya, bahwa tidak semua suku dalam kabilah Arab memperlakukan perempuan sedemikian kejamnya, sebab masih banyak fakta lainnya yang menyebutkan
bahwa perempuan memiliki kedudukan yang terhormat dalam struktur sosial bangsa Arab.
Berdasarkan hasil penelitian sejarawan, terbukti bahwa dalam struktur sosial masyarakat Arab Jahiliyah, perempuan dibagi ke dalam dua kelas, pertama hamba
sahaya Ima’, yaitu mereka yang memiliki kedudukan yang sangat rendah, seperti
penyanyi bar atau pelayan. Kedua adalah perempuan merdeka al-Hurrah yang memiliki kedudukan yang tinggi, seperti juru masak, penjahit, dan tukang servis kemah.
Termasuk ke dalam kelompok ini perempuan bangsawan yang biasanya memiliki beberapa pelayan, dan mereka ini memiliki kedudukan yang tinggi dalam struktur sosial
masyarakat Arab Jahiliyah.
540
Sebagai bukti kongkrit, mungkin semua orang tidak lupa tentang Khadijah binti Khuwailid istri Nabi Muhammad saw. yang hidup pada masa Jahiliyah. Ia seorang
perempuan yang memiliki kharisma yang luar biasa baik dalam kabilahnya maupun di luar kabilah. Seorang pengusaha perempuan yang sukses dan bergelimang harta benda.
Maka apabila seluruh perempuan Arab Jahiliyah dimainstream sebagaimana yang terdapat dalam buku tersebut, maka salah satu catatan sejarah kenabian Muhammad
batal, sebab sebagaimana diketahui, bahwa peranan Khadijah dalam sejarah kehidupan
539
Ahmad Masruch Nasucha, Kaum Wanita dalam Pembelaan Islam, Semarang: CV. Toha Putra, tth, hal. 10-11
540
Muhammad Ridla Marwah, Umru al-Qais al-Malik al-Dlillil, hal. 12
200 Nabi Muhammad saw., maupun kerasulannya amatlah besar, bahkan setelah wafat
kedudukan tersebut tidak ada yang dapat menggantikannya. Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis ingin membuktikan sisi lain dari
kehidupan perempuan pada masa Jahiliyah, yaitu dengan menelusurinya berdasarkan data-data yang terdapat dalam syair, sebab menurut Ridla Marwah, dalam tatanan sosial
masyarakat Arab Jahiliyah, kaum perempuan sebagaimana kaum laki-laki, tidak sedikit peran yang mereka mainkan. Mereka turut berpartisipasi dalam segala aspek kehidupan,
seperti ikut berada di barisan perang untuk mengobati korban yang terluka, memindahkan orang-orang yang terbunuh, meskipun karena dianggap lemah dan
kurang pintar, kaum perempuan tidak banyak diberi tugas yang berat. Bagi mereka kaum perempuan cukup mengurusi suami dan anak-anak, serta urusan rumah tangga
lainnya.
541
Mereka menamakan perempuan dengan jâriyahbîdhah al-khadr budak yang tidak perlu untuk disembunyikan, kemudian mereka merayunya ghazl dengan
syair dan qasidah.
542
Selain berpartisipasi melalui aktivitas fisik, mereka juga terbiasa menyenandungkan syair-syair yang bersifat heroik
syi’r al-hamâsah untuk memberi semangat para pria saat berperang. Perempuan pada masa Jahiliyah tidaklah diabaikan
dan dianggap sebagai barang yang tidak berguna seperti yang diasumsikan selama ini. Adapun kisah anak perempuan yang dikubur hidup-hidup, adalah kisah yang terjadi
pada sebagian kelompok masayarakat yang radikal dan tidak berperadaban, yang dihantui rasa takut akan jatuh miskin dan menjadi tawanan, karena peristiwa penawanan
terhadap perempuan biasa terjadi dan menjadi momok dalam setiap peperangan, dan mereka menganggap bahwa hal itu adalah aib dalam kelompoknya.
543
541
Peranan perempuan dalam masyarakat seperti ini termasuk salah satu dari fungsi tradisional keluarga, yaitu 1 fungsi regulasi seksual, 2 fungsi reproduksi biologis, 3 fungsi pengasuhan dan
sosialisasi, 4 fungsi ekonomi keluarga, 5 fungsi kedekatan emosional. Lih. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, Jakarta: UIN Press, 2006, cet. 1, hal. 129-132
542
Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, tp: al-Bayân al-
‘Arabi, 1961, cet. 1, hal. 25
543
Muhammad Ridla Marwah, Imru al-Qais al-Malik al-Dlillîl, hal. 12
201 Kaum perempuan Arab Jahiliyah, turut menemani kaum pria dalam berperang
agar mereka tetap bersabar pada saat perang, mencegah mereka agar tidak lari dari medan perang, mengobati korban yang terluka, membawakan tempat air minum, serta
memberi makan kuda dan unta. Sebagaimana kaum pria, mereka juga memiliki hak untuk bertetangga. Seorang pria harus menjaga istri tetangganya, saudaranya, ibunya,
dan tetangganya. Sebaliknya tetangganya pun melakukan hal yang sama.
544
Sebagaimana diketahui bahwa ada beberapa dari mereka yang terkenal dengan keberaniannya, kefasihannya dalam berbicara dan bersyair, ide-idenya yang cemerlang,
ahli hikmah maupun `arafah.
545
Hanya saja jumlah mereka tidak banyak, sebab kaum pria pada masa itu masih banyak yang mengganggap mereka rendah, dan menurut kaum
laki-laki, perempuan cukup menjalankan fungsinya sebagai alat reproduksi. Mereka juga berburuk sangka terhadap moral perempuan, untuk itu perempuan bagi mereka
identik dengan tipu daya, licik, dan pengkhinat.
546
2. Pola hubungan laki-laki dan perempuan Jahiliyah
a. Perkawinan
Dalam tradisi masyarakat Arab Jahiliyah, sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah ra., dalam Shahih Bukhari, perkawinan dilakukan melalui empat cara, pertama
sebagaimana yang dilakukan saat ini setelah datangnya agama Islam. Kedua, seorang suami menyuruh istrinya pada saat baru bersih dari menstruasi untuk melakukan
544
Muhammad Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 17
545
`Arafah adalah ilmu tentang meramal atau mengetahui hal-hal yang gaib. Ada dua macam ramalan yang berkembang dalam tradisi bangsa Arab Jahiliyah, yaitu kahânah
dan ‘arâfah,. Kahânah adalah ramalan untuk masa yang akan datang, sedangkan ‘arâfah merupakan terawang terhadap hal-hal
yang sudah berlalu. Tokoh kahânah yang terkenal adalah Tharifah al-Khair dan Salma al-Hamdaniyah, sedangkan tokoh ‘arâfah adalah al-Ablaq al-Asadi dari Najed dan Rabbâh ibn ‘Ajalah dari Yamamah.
Menurut penulis al-Wasîth fi al-Adab al- “Arabi wa Târikhihi, baik kahânah maupun `arafah, keduanya
adalah ilmu yang pernah berkembang dan sangat digemari oleh bangsa Arab Jahiliyah. Selain kedua ilmu tersebut ilmu ramalan lainnya yang juga terkenal adalah al-Jazar, yaitu meramal dengan suara dan
gerakan binatang, atau segala hal yang berkaitan dengan tingkah laku binatang yang kemudian dihubungkan dengan peristiwa yang terjadi dengan menggunakan kekuatan imajinasi. Tokoh yang
terkenal adalah bani Lahab, Abu Dzuaib al-Hudzaili, dan Murrah al-Asadi.
A
hmad al-Iskandari dan Mushtafa ‘Inâni, al-Wasîth fi al-Adab al-“Arabi wa Târikhihi, Mesir: Dâr al-Ma’ârif, tth, hal. 40-41
546
Muhammad Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ruhu, hal. 17. Citra
perempuan yang identik dengan tipu daya, licik, dan pengkhinat, mirip dengan citra perempuan yang terdapat dalam kisah 1001 malam.
202 hubungan intim dengan laki-laki lain yang lebih tinggi kedudukannya, hingga ia hamil,
dengan maksud agar memperoleh keturunan yang lebih baik. Perkawinan dengan cara seperti ini disebut dengan al-
istibda’. Ketiga, yaitu dengan cara sekitar kurang dari sepuluh orang laki-laki berkumpul untuk memilih seorang perempuan, lalu semuanya
melakukan hubungan seks dengan perempuan tersebut. Jika perempuan tersebut hamil, maka setelah melahirkan ia mengundang semua laki-laki tersebut dan menunjuk salah
seorang dari mereka yang ia sukai. Cara keempat yaitu beberapa orang laki-laki mendatangi seorang perempuan, dan perempuan itu tidak menolaknya. Perempuan ini
biasanya adalah pelacur yang biasa memasang bendera di pintu mereka sebagai tanda, bahwa setiap laki-laki bisa berhubungan intim dengannya. Jika ia hamil, maka setelah
melahirkan, semua laki-laki yang pernah menyetubuhinya dikumpulkan, lalu memanggil seorang
qâ’if
547
untuk mengidentifikasi ayah dari anak tersebut. Lalu pelacur tersebut akan membiarkan anaknya mengikuti garis keturunan laki-laki itu dan
dinyatakan sebagai anaknya.
548
Masyarakat Arab Badui biasanya menikah sejak usia dini. Hal ini disebabkan banyak faktor, seperti kondisi sosial, politik, ekonomi, dan lain sebagainya, sehingga
mengharuskan mereka untuk memiliki banyak anak demi nama besar kabilah masing- masing. Anak laki-laki biasanya sudah menikah pada usia lima belas tahun sedangkan
anak gadis menikah pada usia sepuluh tahun. Mereka lebih suka menikahi perempuan yang jauh secara nasab dengan harapan melalui ikatan kekeluargaan bisa menghindari
permusuhan, dan memperbanyak sekutu. Selain itu juga mereka berkeyakinan bahwa dengan menikahi perempuan yang jauh secara nasab akan memberikan anak yang sehat
dan berperilaku baik, sehingga di kemudian hari menjadi anak yang cerdas dan gagah. Untuk itu mereka merasa tabu jika harus menikah dengan keluarga atau kerabat dekat,
karena dianggap berbahaya untuk kelangsungan hidup anak tersebut.
549
547
Qâ ’if adalah orang yang dianggap pintar dan mampu mengenali kemiripan antara ayah dan
anaknya, melalui ciri-ciri tertentu ilmu qiyâfah.
548
Muhammad Sa’îd Mubaydl, Ila Ghayr al-Muhajjabât, hal. 13-14
549
Muhammad Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 16. Dalam
ilmu sosiologi perkawinan seperti ini disebut dengan eksogami, yaitu seseorang diisyaratkan menikah dengan pasangan yang berasal dari luar kelompoknya, yaitu yang berasal dari luar kerabat atau sanak
203 Seorang ayah terkadang melamar untuk anak perempuannya, lalu memberinya
mahar, dan menikahkannya. Selain itu seorang laki-laki berhak menikah sebanyak ia mau, kecuali jika pihak perempuan memberi persyaratan sebelum pernikahan agar tidak
berpoligami dan terjadi kesepakatan antara keduanya.
550
Dalam sebuah perkawinan, seorang suami memiliki hak untuk menceraikan istrinya namun sebaliknya si istri tidak diperbolehkan untuk menceraikan suaminya,
kecuali sebelumnya telah ada perjanjian antara keduanya bahwa istri boleh mentalak suami. Seorang pria juga tidak diperbolehkan untuk rujuk setelah mentalak istrinya
sebanyak tiga kali, namun jika baru sekali atau dua kali masih diperbolehkan. Jika pasangan suami istri tinggal di kemah, lalu sang istri ingin bercerai, maka ia akan
membalikkan pintu ke arah sebaliknya, sehingga dengan itu suaminya tahu bahwa ia telah menceraikannya, dan tidak diperbolehkan masuk ke dalam kemah.
551
Jika seorang suami meninggal dunia, istri harus menunggu selama satu tahun untuk dapat keluar rumah, tidak boleh menyentuh air dan memotong kuku hingga waktu
yang ditentukan berakhir, lalu keluar dengan penampilan yang paling buruk yang ia miliki.
552
Dalam tradisi masyarakat Arab Jahiliyah seorang laki-laki tidak diperbolehkan mempoligami dua orang perempuan yang bersaudara, atau ibu dan anak perempuannya.
Akan tetapi mereka membolehkan seorang pria menikahi istri bekas ayahnya. Bentuk perkawinan seperti ini disebut dengan zawaj al-maqt yang artinya perkawinan yang
dibenci. Tradisi ini kemudian dihapus oleh Islam.
553
famili, keluarga initi keluarga nuklir, klan atau bahkan suku mereka. Kebalikan dari eksogami adalah endogami yakni
seseorang diisyaratkan menikah dengan pasangan yang berasal dari dalam kelompok yang sama. Adapun yang dimaksud dengan dalam kelompok yang sama bisa berasal dari kelas yang
sama, kasta yang sama, ras, etnis, maupun agama. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, Jakarta: UIN Press, 2006, cet. 1, hal. 143
550
Muhammad Ali al-Shabbâh, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 16
551
Muhammad Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 17
552
Muhammad Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 17
553
Muhammad Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 16
204 b.
Hubungan anak dan ibu Masyarakat Arab Jahiliyah biasanya sangat bangga bila anaknya lahir dari
seorang perempuan yang merdeka, berkulit putih dan cerdas. Untuk ibu yang seperti itu mereka memberinya kehormatan dengan melaqabkan
554
anak tersebut padanya, misalnya ummu Umar. Mereka juga bangga menjadi paman dari seorang anak yang
dilahirkan dalam kondisi seperti itu dan menganggapnya seperti anak mereka sendiri, karena lahir dari seorang ibu yang merdeka.
555
Adapun budak perempuan biasanya mereka berkulit hitam. Anak-anak yang lahir dari perut mereka biasanya belum diakui hingga nampak kecerdasan dan kelebihan
yang mereka miliki, sebagai contoh pen yair terkenal ‘Antarah yang baru diakui sebagai
anak oleh Syaddad al- ‘Abasi ayahnya setelah ia menjadi tentara dan penyair yang
sangat terkenal.
556
Berdasarkan gambaran di atas, tampaknya perempuan pada masa Jahiliyah adalah makhluk yang tertindas, tidak memiliki hak atau peran apapun baik secara
individu maupun sosial. Selama ini, sumber informasi tentang perempuan Jahiliyah mayoritas diambil dari pendapat yang bersumber dari laki-laki, sehingga gambaran
tersebut, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan gambaran para penyair laki-laki pada bab sebelumnya. Namun demikian, jarang sekali para peneliti yang mau mendengarkan
langsung dari perempuan, sehingga terkesan perempuan Jahiliyah tidak memiliki peran dan kontribusi apapun dalam kehidupan sosial bangsa Arab, bahkan kehidupan dan
eksistensi mereka pun seakan-akan tenggelam dan tidak pernah ada. Untuk itulah dalam kajian ini, selain menampilkan sudut pandang kaum laki-laki dalam syair, juga ingin
menampilkan bagaimana perempuan Jahiliyah bersuara dalam syair, sehingga memberikan citra pada diri mereka.
Namun sebelumnya, sebagai bahan perbandingan, berikut ini penulis sajikan sebuah syair yang digubah oleh Ali bin Abi Thalib yang ditujukan untuk kaum
perempuan:
554
Laqab = gelar keturunan
555
Muhammad Ali al-Shabbah, ‘‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 16
556
Muhammad Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ruhu, hal. 16-17
205
ء ل ف ء ل ق ت ي ا ع
ح ن ن
Jagalah kaum perempuan, karena mereka Memiliki ketidaksempurnaan dalam hal bagian, akal, dan agama
ل صن ء ج هب ٌلك ي م ايل هيف حض
Dan semuanya itu termaktub dalam al-Kitab al- Qur’an
Dan al- Qur’an menjelaskan hal tersebut secara gamblang
: حل ص ل ليل ل م ف
ي ل ف ن ن ث ف
Adapun dalil ketidaksempurnaan mereka dalam hal bagian Tampak pada warisan mereka yang hanya setengah dari laki-laki
نه ج ف عل ف ن ي ه ل ف
ل ف ب
Sedangkan ketidaksempurnaan akal mereka,, terbukti dari kesaksian mereka yang hanya dihargai setengah
ن ن ي ص ن نم ك ح : ي ي هيف
ت تل ف
Sedangkan ketidaksempurnaan agama mereka, cukup bagimu menambah keyakinan akan hal itu,
ي ل ت ، ا ل ف حف يح ضيحل م ف
ي
Luputnya shalat dan ditinggalkannya puasa Pada saat haidl dari waktu ke waktu
ف م ي نه عي ت اف ي س ه م م ل
ت
557
Untuk itu, jangan sekali-kali kalian menuruti mereka Karena jika terjadi, bisa menjadi penyesalan seumur hidup.
Pada saat membaca syair tersebut, kita dapat menduga bahwa syair tersebut tentu saja bukan hasil karya penyair Jahiliyah , sebab syair Jahiliyah biasanya tidak
pernah mengungkapkan sesuatu dengan mengatasnamakan agama, apalagi kitab suci. Hal yang paling mencengangkan adalah bahwa ternyata syair tersebut keluar dari lisan
salah seorang Khulafa al-Rasyidin, menantu kesayangan Nabi Muhammad saw, suami dari Fathimah al-Zahra ra, yaitu Ali bin Abi Thalib ra. Dalam syair tersebut disebutkan
sebanyak tiga aspek yang menjadikan perempuan sebagai makhluk yang tidak
557
Bahr Kâmil. Dikumpulkan dan disyarah oleh Na`îm Zurzûr, Dîwân al-Imâm `Ali, Beirut:
Dâr al-Kutub al-`Ilmiyah, 1316 H 1995 M, hal. 204
206 sempurna, yaitu dilihat berdasarkan bagian, kecerdasan, dan agama. Dan masing-
masing pendapat didukung dengan argumen-argumen keagamaan. Dalam hal bagian, perempuan dianggap makhluk yang tidak sempurna karena berdasarkan hak waris, ia
hanya berhak memperoleh bagian, setengah dari hak laki-laki. Dalam hal kecerdasan, ketidaksempunaan perempuan dapat dilihat dari kesaksiannya yang hanya dihargai
setengah dari kesaksian laki-laki. Sedangkan dalam agama, perempuan tidak bisa sesempurna laki-laki, karena secara alamiah ia harus meninggalkan shalat dan puasa
selama haidl berlangsung. Dan semua penilaian dan cara pandang yang keluar dari sang penyair seluruhnya dilandasi oleh ajaran dan budaya Islam
558
Lalu jika demikian, apa bedanya dengan pendapat Thomas Aquinas 1225-1274 M seorang santo sekaligus
filsuf Dominika terkenal yang mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk laki- laki yang kurang sempurna yang tercipta secara tidak sengaja accidental.
559
Karena secara hakekat, kedua penilaian tersebut adalah sama saja, yaitu sama-sama
menempatkan perempuan sebagai makhluk yang kurang sempurna dan hina. Berdasarkan syair di atas, maka image perempuan sebagai makhluk Tuhan yang tidak
sempurna, bukan saja terjadi pada masa sebelum Islam, namun terbukti bahwa kehadiran agama Islam pun belum mampu sepenuhnya melepaskan image perempuan
sebagai the second sex, atau sebagai makhluk yang kurang sempurna. Dan yang lebih buruk lagi, terkadang agama dijadikan sebagai alat untuk melegitimasi citra buruk
perempuan. Dalam syair yang lain, Ali bin Abi Thalib memberikan penilaian yang tidak jauh
berbeda dengan yang pertama kepada perempuan:
ء ف ن ل ف نه ك ء س نه ع ل حي
Janganlah kalian menyebut-nyebut perempuan, sebab mereka tidak memiliki kesetiaan Angin Shiba
560
dan janji-janji mereka sama saja
558
Yang dimaksud dengan budaya Islam adalah semua bentuk manifestasi keilmuan, moral, sejarah dan lain sebagainya dengan agama sebagai landasannya. Sayyid Sayyid Abd al-Razzâq, al-
Manhaj al-Islâmi fi al-Naqd al-Adabi , Beirut: Dâr al-Fikr al-Mu`âshir, 1422 H2002 M, hal. 17. Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995, hal. 2
559
Al-Jamaela, Fitnah al-Nis â’, hal. 47. Ungkapan ini juga dikutip oleh Simone De Beauvoir,
Second Sex terjemah, Surabaya: Pustaka Promethea, 2003, pengantar-ix
560
Angin Timur
207
هن ي ا مث ك ق ي
ءاخ ء ف ل نم ن ب ق
561
Meretakkan hatimu, namun tidak mampu merekatnya kembali Dan hati mereka jauh dari kata setia
Secara individual, tidak dipungkiri bahwa Ali bin Abi Thalib juga banyak memuji perempuan, terutama istrinya Fathimah al-Zahra, namun demikian dari kedua
syair di atas, tidak bisa dipungkiri bahwa apa yang diungkapkan di dalam syairnya merupakan penilaian universal tentang perempuan di mata seorang laki-laki. Bila pada
syair sebelumnya, penyair menilai perempuan sebagai makhluk yang kurang sempurna, maka dalam syair kedua, ia mencitrakan perempuan sebagai makhluk yang tidak
memiliki kesetiaan dan tidak bisa menepati janji. Dan pencitraan perempuan yang negatif tersebut, tidak ada bedanya dengan konsep tokoh-tokoh agama sebelumnya
datangnya Islam, seperti yang disebutkan pada bab I. Bahkan syair di bawah ini mungkin lebih dahsyat lagi tentang bagaimana image perempuan di mata seorang
muslim:
خ ل ء ل نم ن م تا نيم ء ل ع ج ل ف م
Jangan sekali-kali kamu percaya pada perempuan, meski sebagai saudaranya Tidak ada tempat bagi laki-laki untuk percaya pada perempuan
عب ت ث نم ف ل ل م
ح ل س ء
562
Kuburan lebih bisa dipercaya janjinya, dari perempuan Bagi perempuan, hanya kuburan yang mampu memeliharanya
Kata nisâ’ sebagai bentuk jamak dari mar’ah yang digunakan oleh Ali bin Abi
Thalib, jelas-jelas ditujukan bagi kaum perempuan secara umum. Penyair bahkan menganggap bahwa kuburan, lebih dapat menepati janji daripada perempuan, dan hanya
kuburan yang dapat menjaga perempuan dari perbuatan-perbuatannya yang hina. Kuburan pada dasarnya adalah simbol kematian, sehingga menurut penyair hanya
kematianlah yang dapat mengakhiri keburukkan-keburukan perempuan tersebut. Dan sebagai seorang sahabat dan menantu Nabi saw., maka apa yang diungkapkan oleh Ali
561
Dîwân al-Imâm `Ali, hal. 7
562
Dîwân al-Imâm `Ali, hal. 200-201
208 bin Abi Thalib tersebut, mau tak mau akan mempengaruhi image perempuan sepanjang
masa, bila tidak ada yang mencoba meluruskannya.
563
Gambaran tersebut pada dasarnya hanya sebagai bahan perbandingan, benarkah ajaran-ajaran Islam telah membebaskan perempuan dari belenggu citra negatif warisan
masa lalu, atau bahkan tidak lebih baik dari umat sebelumnya? B.
Citra Diri Perempuan dalam Syair
1. Memaknai ratapan ritsâ’ perempuan Jahiliyah
Puisi ratapan
564
, di Barat dikenal dengan istilah elegi, sedangkan dalam sastra Arab dikenal dengan istilah ritsâ, yaitu sebuah sajak atau lagu yang mengungkapkan
rasa duka atau keluh kesah seseorang karena sedih, rindu, atau murung, terutama karena kematian seseorang.
565
Syair ini biasanya digubah sebagai ungkapan bela sungkawa atas kejadian yang menyedihkan. Jenis syair ini di kalangan penyair perempuan sangat
mewabah, hal ini terkait erat dengan kondisi psikologis yang mereka rasakan saat itu yang selalu kehilangan orang-orang yang dikasihi akibat peperangan yang tiada henti.
563
Perlu dibedakan antara istilah sastra Islami dan sastra Islam. Sastra Islami menurut Abdullah al-Hamid, pada dasarnya bukanlah sastra yang dibuat di bawah naungan Islam, bukan pula sastra yang
digubah berdasarkan kategorisasi politik, namun sastra yang diciptakan dengan Islam sebagai landasannya. Hal ini berarti bahwa yang dimaksud dengan sastra Islami adalah sastra yang mengandung
pemikiran keislaman atau emosional keagamaan. Untuk itu, sastra Islam bukanlah sastra yang mengandung ajaran-ajaran moral, hikmat dan nasihat secara umum yang bersifat universal yang mungkin
saja diucapkan oleh siapa dan kapan saja. Dengan demikian syair Islam adalah syair-syair yang digubah dengan spirit islam sebagai landasannya. Maka ungkapan syair:
ظيغب ي ب اذإ امي ح نك بيصم كْت ب ار بص
Jadilah orang sabar saat diuji dengan amarah Dan bersabarlah saat ditimpa musibah tidak termasuk pada syair Islami, sebab hal tersebut merupakan ajaran-ajaran moral universal yang
bersifat kemanusiaan tanpa indikasi agama. Maka berdasarkan hal ini, apa yang diungkapkan oleh Ali bin Abi Thalib dalam syair di atas terdiri dari dua aspek ini, syair pertama berlandaskan agama dan yang
kedua merupakan pandangan ia sebagai seorang laki-laki. Namun kesimpulannya adalah sama, yaitu tetap menempatkan perempuan sebagai makhluk yang kurang sempurna dan memiliki citra yang negatif.
Pendapat lain menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan syair Islami adalah semua syair yang digubah pada masa Rasulullah saw, Khalifah Rasyidin, dan Bani Umayah. Beberapa dari syair tersebut
digubah secara khusus untuk keperluan dakwah Islam. Pendapat ini lebih luas dibanding pendapat yang pertama. Pendapat pertama hanya ditinjau dari aspek kandungan syair, sedangkan yang kedua
berdasarkan klasifikasi sejarah. Abdullah al-Hâmid, al-Syi`r al-Islâmi fi Shadr al-Islâm, penerbit pribadi, 1980, hal. 14. Tim penulis Lajnah, al-Mûjaz fi al-Adab al-`Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Islâmi,
Libanon: Dâr al-Ma`ârif, 1962, hal. 92
564
Istilah lain dalam bahasa Indonesia adalah sajak ratap. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra
, hal. 27
565
Tim Penulis, al-Ritsâ, ttp: Dâr al- Ma’ârif, tth. Penjelasan lengkap mengenai ritsâ, dapat
dilihat dalam buku tersebut.
209 Namun benarkah syair ritsâ yang dilantunkan kaum perempuan tersebut hanya bercerita
tentang duka, keluh kesah, kesedihan, dan kemurungan akibat kematian, adakah hal lain yang bisa diungkap melalui syair mereka?
Al- Khansâ’
566
, sebagai contoh, satu-satunya penyair perempuan Jahiliyah yang syair-syairnya dikodifikasikan secara khusus, seorang penyair perempuan yang di akhir
hayatnya sempat memeluk agama Islam, sebagian besar syairnya, bahkan kalau tidak dikatakan berlebihan hampir 99 syairnya bertemakan ritsâ yang ia tujukan untuk
kedua saudara laki-lakinya yang meninggal dunia dalam peperangan, yaitu Shakhr
567
dan Mu’âwiyah.
568
Al- Khansâ’ memiliki ciri khas tersendiri dalam menggubah syair
ritsâ nya, sehingga mudah dikenali. Ciri tersebut di antaranya adalah syair-syairnya
hampir selalu diawali dengan kata-kata yang sama atau paling tidak mirip dengan tema tangisan dan air mata. Sebagai contoh ratapan al-
Khansâ’ untuk saudara laki-lakinya Shakhr:
ك ت ني ت ا كل م نيع ي ب ي ه ل ك ه
569
Wahai mata, mengapa kau tiada menangis deras Saat waktu yang menakutkan itu datang
يأ خ ب ف م
ب ج ج خ ب
570
Tangisilah saudaramu, demi anak-anak yatim dan janda-janda Tangisilah saudaramu jika kau merasa dekat dengannya
566
Nama aslinya adalah Tumâdlir binti ‘Amr ibn al-Syarîd al-Sulâmiyah yang bergelar al- Khans
â’.
567
Kakaknya yang bernama Shakhr termasuk sosok tokoh yang dihormati dalam kabilah Bani Salîm. Dikisahkan bahwa pada suatu hari ia keluar menuju medan perang dan terjadi pertempuran yang
sangat hebat yang membuatnya terluka parah. Sejak itu, ia mengalami sakit yang berkepanjangan hingga akhirnya maut menjemputnya. Selain Shakhr, kakaknya yang bernama Mu’awiyah pun meninggal dunia
dalam peperangan. Hal itu membuat al-Khansa menangis pedih, namun yang membuatnya sangat sedih adalah kematian kakaknya Shakhr yang sangat terkenal dengan kedermawanannya dan sifatnya yang
penyayang. Pada akhir hayatnya al- Khansâ’ memeluk agama Islam dan menyerahkan sepenuh jiwanya
untuk agama baru tersebut. Al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabî wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 204
568
Lajnah Tim Penulis, al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabî wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, Libanon: Dar al-
Ma’arif, 1962, hal. 205
569
Qâfiyah b â’, bahr basîth: Mustaf’ilun - fâ’ilun – mustaf’ilun – fâ’ilun
570
Abd al-Salâm al-Jaufî syarah dan tahqîq, Dîwân al-Khansâ, Beirut: Dâr al-Kutub al- I`lmiyah, 1405 H1985 M, hal. 22
210 Tidak jauh berbeda dengan syair di atas, dalam mukadimah syairnya yang lain,
ia juga mengawalinya dengan kalimat yang hampir sama:
م ل ب ج نيع ي
حف ل ت ل
571
Wahai mataku cucurkan air matamu yang bersimbah deras
غ تض ف ك يف حض ل نم ع ل
Tercurah seperti bendungan air yang roboh
ث ل ب
حي ل نيب حئ ل
572
Menangislah untuk Shakhr di saat ia terkubur antara mayat dan pedang yang terhunus
Dalam syair lainnya:
ت ا ج ي يع ل
ل ي ت ا
573
Wahai kedua mataku curahkan air matamu dan jangan sampai mengering Tidakkah kau menangis untuk Shakhr yang baik
لي ل ل ي ت ا
ي ل ل ي ت ا
574
Tidakkah kalian menangisi ia yang gagah nan elok Tidakkah kalian menangisi pemuda yang mulia
Demikianlah mulai dari qafiyah ba hingga akhir qafiyah ya, syair-syair al- Khansâ’ selalu diawali dengan kata-kata yang mirip satu dengan yang lainnya. Kata-
kata seperti al- ‘ain mata, al-dumû’ air mata, al-bukâ tangisan, jûd curahkan, al-
nadb , dan semua hal yang berkaitan dengan tangisan selalu mengawali setiap syair ritsâ
al- Khansâ’.
Mukadimah syair al- Khansâ’ mayoritas diawali dengan nidâ’ artikel panggilan
seperti ya wahai, â hai, dan alâ tidakkah , yang digabung dengan ‘ain mata. Mata
‘ain oleh al-Khansâ’ dijadikan sebagai media dialog antara dirinya dan perasaan yang dirasakannya. Dalam syair-syair al-
Khansâ’, tidak ada peminjaman kata baik yang
571
majzu al-kamil qâfiyah ha
572
Abd al-Salâm al-Jaufî syarah dan tahqîq, Dîwân al-Khansâ, hal. 30
573
Bahr mutaqârib, qâfiyah dâl
574
Abd al-Salâm al-Jaufî syarah dan tahqîq, Dîwân al-Khansâ, hal. 35
211 berbentuk majâz maupun isti`ârah metafora, namun menggunakan makna-makna
hakiki rill. Bila saat ini penyair terkadang menggunakan hati untuk menangis, namun pada syair Jahiliyah tampak bahwa bahwa matalah yang mengeluarkan air mata. Hal ini
menunjukkan kemurnian mereka yang hanya dapat menangkap hal-hal yang bersifat kongkrit dan daya fikir mereka yang masih sangat sederhana. Bila dikaitkan dengan
kondisi ideologi saat itu, tampak korelasi yang kuat antara gaya bahasa penyair dengan kepercayaan yang dianut bangsa Arab yang cenderung bersifat fisik
575
, sebagian menyembah matahari
576
, sebagian lainnya menyembah bulan
577
dan bintang
578
, meskipun ada juga yang menyembah malaikat, dewa atau bahkan ada yang tidak
memegang kepercayaan apapun seperti atheis. Namun demikian yang paling dominan adalah kepercayaan mereka terhadap berhala watsaniyah. Kehidupan bangsa Arab
sangat dipengaruhi oleh berhala-berhala tersebut. Untuk itu mereka rela memberinya persembahan dan kurban, dan bersumpah atas namanya. Hal seperti itu berlangsung
hingga kedatangan Islam.
579
Berdasarkan hal itu, syair-syair ritsâ al- Khansâ’ pada
dasarnya turut melegitimasi pernyataan bahwa mayoritas bangsa Arab Jahiliyah adalah penganut watsani sejati.
Di sisi lain, kata-kata seperti al-`ain mata, al-dumû` air mata, al- bukâ’ dan
lainnya di atas, memberikan indikasi bahwa para perempuan pada masa Jahiliyah adalah tipe perempuan yang cengeng yang selalu meratapi setiap kematian. Ratapan-ratapan al-
Khansâ’ yang tertuang dalam syair-syairnya tersebut merupakan gambaran rill tentang kesedihan yang dirasakannya, sebuah rasa bela sungkawa dari seorang adik terhadap
575
Menurut Philip K. Hitti, berdasarkan syair-syair Jahiliyah, orang Arab Badawi tidak banyak yang memeluk agama. Mereka kurang antusias, atau bahkan bersikap tidak peduli terhadap nilai-nilai
religius-spiritual. Ritual-ritual yang mereka lakukan hanyalah untuk menuruti tradisi yang diwariskan nenek moyang mereka secara turun temurun. Philip K. Hitti., History of The Arabs, terjemah, Jakarta:
Serambi, 2006, hal. 120. Untuk itu penulis buku Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, menganalogikan masyarakat Arab Jahiliyah
dengan lautan yang bergelombang, atau bagai gunung berapi yang mendidih, mereka tidak memeluk satu agama atau ideologi yang menjadi pegangan.
576
Terkadang di dalam masyarakat Arab seseorang diberi nama Abd. Al-Syams hambanya matahari
577
Kabilah yang terkenal dengan menyembah bulan adalah Kinânah
578
Sebagian d ari kabilah Lakhm, Khuza’ah dan Quraisy menyembah bintang Sirius Dog Star
579
Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, tp: al-Bayân al-
‘Arabi, 1961, cet. 1, hal. 26. lih. Juga Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 34
212 kakak yang dikasihinya. Sebuah nyanyian kepedihan yang semakin memuncak dan
menyerang tanpa ada batas akhir. Namun demikian, dari sisi lain menurut penulis buku al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhîhi
, dari syair-syairnya tersebut, tampak bahwa al-Khansâ sebagai salah satu citra perempuan yang tegak berdiri menjadi saksi
kekejaman peperangan antar suku, yang membuatnya terluka jiwa dan raga. Al- Khansâ’
adalah simbol perempuan Jahiliyah yang penuh belas kasih, simbol persaudaraan, juga simbol cinta pada keluarga.
580
Perempuan peratap, baik dianggap cengeng atau sebagai bentuk kasih sayang, semua itu pada hakekatnya erat kaitannya dengan sistem kabilah yang mereka anut yang
sangat mengagungkan solidaritas kesukuan yang dibangun atas nama keluarga. Sehingga pada saat ada anggota kabilah atau keluarga yang meninggal, perempuan
khususnya, wajib untuk meratapi mayatnya sebagai ungkapan belasungkawa, dan solidaritas. Jenis ritsâ seperti ini dalam syair Jahiliyah dinamakan al-nadb
581
, yaitu ritsâ
yang dibuat untuk meratapi dan menangisi orang yang meninggal dunia sebagai ungkapan duka cita, dengan menggunakan kata-kata yang menyayat hati, sehingga
mampu membuat trenyuh hati yang keras dan melelehkan air mata yang beku.
582
Istilah ini tampak dalam syair yang digunakan `Antarah untuk menggambarkan kondisi
perempuan saat meratapi kematian orang-orang yang dikasihinya berikut ini:
ه ح ف حم خ
583
غ عاض ع عم ك ي
Panahku melesat ke dalam tubuhnya Menembus baju besi hingga tulang rusuknya
ب ن ه ن تح ص ع ن
ت ج ع
584
580
Tim penulis Lajnah, al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 208
581
Penulis buku al- Ritsâ’, membagi syair ritsâ’ ke dalam tiga kategori, yaitu; al-nadb, al-ta’bîn,
dan al- ‘azâ. Al-nadb adalah ritsâ yang dibuat untuk meratapi dan menangisi orang yang meninggal dunia
sebagai ungkapan duka cita, dengan menggunakan kata-kata yang menyayat hati, sehingga mampu membuat luluh hati yang keras dan melelehkan air mata yang beku. Al-
ta’bîn yaitu pujian terhadap orang yang telah meninggal dunia. Sedangkan al-
‘azâ itu sendiri makna dasarnya adalah sabar. Istilah ini lalu dipersempit artinya menjadi sabar dan ikhlas atas cobaan yang disebabkan kematian.
582
Tim Penulis, al-Ritsâ, hal. 12
583
Dlamirkata ganti ه untuk Bani Syaiban lawan dari ‘Antarah
584
Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 99
213
Jadilah para perempuannya meratapi laki-laki, Untuk menangisi kematiannya
Pada bait kedua, penyair menggunakan kata
ن
yang meratapi bentuk jamak dari
ن
sebagai predikat dari
ء ن
perempuan yang sebenarnya secara morfologi ilmu sharaf kata tersebut digunakan untuk laki-laki
ك م
,
585
sebab bila untuk perempuan kata tersebut pasti menjadi
ب ن
sebagai bentuk plural dari
ب ن
. Sehingga sangat jelas, kalau kata tersebut sesungguhnya bukan untuk perempuan. Namun
demikian, sepertinya kata tersebut menjadi identik dengan perempuan seperti halnya kata
ضئ ح
menstruasi yang hanya khusus untuk perempuan. Bangsa Arab biasanya menggunakan kata
ضئ ح
untuk perempuan menstruasi bukan
ئ ح,
atau kata
لم ح
untuk perempuan yang sedang mengandung, bukan
م ح
. Bila kata hâidl ataupun kata hâmil
, dapat dipahami sebagai takdir yang diberikan Tuhan untuk perempuan yang tidak mungkin dialami kaum laki-laki, lain halnya dengan al-nadb peratap, istilah ini
merupakan bahasa yang secara khusus dibuat dan ditujukan untuk kaum perempuan yang bertugas meratapi mayat terutama kaum laki-laki. Hal ini, menjadi sebuah indikasi
adanya unsur gendering yang masuk ke dalam bahasa khususnya Arab, yang disebabkan tradisi dan budaya, sehingga perempuan tercitrakan sebagai makhluk
peratap, sebagaimana ia juga tercipta sebagai makhluk yang mengalami menstruasi dan kehamilan.
Terkait dengan hal itu, berdasarkan konsep gynocritic yang secara khusus mencari perbedaan antara penulis laki-laki dan perempuan dan karya satra keduanya,
ada hal lain yang dapat mendukung pendapat tersebut. Dari syair-syair Jahiliyah tersebut, terlihat bahwa
ritsâ’ al-nadb sepertinya hanyalah milik kaum perempuan, sebaliknya tidak didapati penyair laki-laki yang menangisi kematian perempuan. Umru
al-Qais, sebagai contoh, seorang penyair yang paling banyak berbicara tentang
585
Dalam sintaksis bahasa Arab, antara subjek dan predikat harus ada kesesuaian lafaz. Jika subjeknya
ركذم
male, maka predikat juga harus berbentuk
ركذم,
sebaliknya bila subjeknya
ثن م
female, maka predikatnya harus berbentuk
م ن
ث
.
214 perempuan, tidak tampak dalam syair-syairnya sebuah
ritsâ’ yang secara khusus ditujukan untuk perempuan, kecuali syair yang ia tujukan untuk seorang perempuan
yang tidak kenalnya dan akan dikuburkan di gunung Safah ‘Asib
586
, berikut ini:
ت ل ت ج
بي ع ق م مي م ن
Wahai tetanggaku pr, malapetaka itu sedang menimpamu Dan akupun sesungguhny
a akan menempati tempat ini ‘Asib
ه ي غ ن ت ج بي ن بي غ ل بي غ لك
Wahai tetanggaku, kita berdua adalah orang asing di sini Dan setiap orang asing adalah saudara bagi orang asing lainnya
يب ب ل ف ي ت ف غ بي ل ف يم ت
بي
Jika engkau nanti bertemu dengan kami, maka kita bersaudara Namun jika terpisah, maka saudarapun terasa jauh
Syair ini bukanlah sebuah bentuk ritsâ, sebab di dalamnya tidak ada tangisan dan juga tidak ada ratapan, bukan pula ditujukan untuk orang yang dikasihinya. Syair
ini hanyalah sebuah komentar yang ia ungkapkan untuk sebuah kematian secara umum. Dalam diwan syairnya, ada satu ritsâ yang digubah Umru al-Qais, namun ritsâ ini tidak
lebih dari sebuah ritsâ al- ta’bîn yaitu jenis ratapan yang biasanya ditujukan untuk raja
dan menteri yang digunakan untuk mengenang mereka ketika telah meninggal dunia. Kata-katanya tidak jauh berbeda dengan ritsâ al-nadb yaitu dengan kata-kata yang
berkaitan dengan tangisan, sebagai berikut:
ب نيع ي ا ي ش ل
ي ه ه ل ل ل ب
Aha, wahai mata, menangislah untukku dengan tetesan air mata Dan tangisilah raja-raja yang telah pergi untukku
587
ع نب ح ب نم ك م ن ي يعل ق ي
Raja- raja dari Bani Hujr ibn ‘Amr
Mereka dijamu di malam hari lalu dibunuh
586
Diriwayatkan bahwa tempat tersebut juga menjadi tempat dikuburkannya Umru al-Qais dan Shakr saudara laki-laki al-Khansa.
587
Saudara-saudara Umru al-Qais yang telah mati terbunuh
215 Dilihat dari segi diksi pemilihan kata, ritsâ yang disuguhkan oleh Umru al-
Qais pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang dibuat oleh al- Khansâ’, yaitu
`ain mata, dan
bukâ’ tangisan, namun demikian objek ratapanlah yang membedakan keduannya. Umru al-Qais meratapi kematian saudara-saudara laki-lakinya yang
notabene para raja, sekaligus ia juga meratapi hilangnya kerajaan akibat kematian tersebut. Ada jarak yang membedakan antara ritsâ perempuan dan laki-laki. Ritsâ bagi
kaum laki-laki lebih bersifat maskulin, sedangkan perempuan bersifat feminin atau lebih ke arah cengeng dan berlebihan. Sungguh tidak adil memang, ketika seorang
perempuan harus menangisi dan meratapi kematian seorang laki-laki, baik ayah maupun saudara laki-lakinya yang biasanya mereka anggap pahlawan yang maha sempurna,
terbukti dengan dikumandangkannya berbagai pujian untuk sang mayit setelah tangisan, di sisi lain jarang sekali atau bahkan tidak ada ratapan-ratapan dari seorang laki-laki
untuk kematian seorang perempuan, sekalipun untuk orang-orang yang sangat dikasihi. Hal ini salah satu bukti, adanya ketimpangan perlakuan sosial antara laki-laki dan
perempuan dalam tradisi dan budaya masyarakat Jahili. Al-
Khansâ’, bukanlah satu-satunya penyair perempuan yang memilih model ritsâ
al-nadb dalam mengungkapkan perasaan sedihnya, sebab masih banyak penyair perempuan lainnya yang memilih cara yang sama dengannya. Sebagai contoh, anak
perempuan Hadzaq al-Hanafi
588
, dalam syairnya berikut ini:
ب ج ي يع ل ع م ل
ع ل ل ل ف ل
ل ع
Wahai kedua mataku cucurkanlah air matamu ke dada Untuk prajurit yang terbunuh di gunung Wa’r
Contoh lain adalah syair Urwa binti Abd al-Muthalib ibn Hasyim al-Quraisy pada saat menghadapi kematian ayahnya berikut ini:
588
‘Abd Mahannâ, Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irat fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1410 H 1990 M, cet. 1, hal. 273, dikutip dari kitab al-Amâli
karya ‘Alî al-Qâli, jilid II, hal. 32
216
ء ل ل قح ي يع ت ب ء يحل ه ي س ح س ع
589
Mataku menangis, dan memang seharusnya demikian Untuk orang yang dermawan, yang memiliki sifat malu
Al- Khansâ’ Tumâdlir, ibnatu Khadzaq, dan Urwâ, hanyalah tiga dari sekian
banyak penyair perempuan Arab Jahiliyah yang mengusung corak ritsâ al-nadb, sebuah corak syair ratapan yang lebih mengutamakan tangisan dan deraian air mata.
Syair-syair di atas menampilkan gambaran yang nyata tentang emosi
590
yang dirasakan oleh penyair perempuan Jahiliyah, yaitu perasaan sedih, marah, dan takut.
Ungkapan al- Khansa ‘Wahai mata, mengapa kau tiada menangis deras’, merupakan
indikasi bahwa betapa ia sedang merasakan kesedihan yang tiada terperi akibat ditinggal mati saudaranya laki-
lakinya. Sedangkan ungkapan ‘Saat waktu yang menakutkan itu datang’, menunjukkan bahwa ada rasa ketakutan fear yang ia rasakan
saat itu, ketakutan yang mencekam saat menyaksikan akibat kejamnya peperangan.
Katakutan itu, selanjutnya berubah menjadi kecemasan anxiety yang tiada berujung, ketika menatap masa depan yang suram akibat kehilangan saudara laki-lakinya yang
merupakan tulang punggung dan kebanggaan keluarga. Istri-istrinya akan menjadi janda dan anak-anaknyapun menjadi anak-anak yatim tanpa perlindungan seorang ayah. Hal
ini tersirat dalam bait berikutnya, ‘Tangisilah saudaramu, demi anak-anak yatim dan janda-janda. Tangisilah saudaramu jika kau merasa dekat dengannya.
Perasaan sedih, takut, dan cemas yang dirasakan penyair tersebut sebagai akibat dari rasa cinta love
yang ia rasakan.
591
Berdasarkan hal itu, maka tidak salah jika perempuan Jahiliyah
589
Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irat fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, hal. 12, dari kitab al-Ishabah karya Ibn Hujr, 4: 277 atau kitab
Sya’irat al-Arab dan al-A’lam karya al-Zarkali, 1:290, juga al-Sirah al- Nabawiyah
karya Ibn Hisyam, 1:173
590
Menurut I.A. Richard, emosi adalah satu dari empat hakikat puisi, di samping tema sense nada dan suasana tone, dan pesan intention. Ia menyebut unsur emotif ini dengan perasaan penyair
feeling. Keempat unsur tersebut selanjutnya menyatu dalam wujud penyampaian bahasa penyair. Dikutip oleh Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, ttp: Erlangga, 1995, hal.
591
Menurut JB. Watson, manusia memiliki tiga emosi dasar, yaitu; fear rasa takut yang dalam perkembangan selanjutnya menjadi anxiety cemas, rage kemarahan yang dalam perkembangan
selanjutnya berubah menjadi anger marah, lalu love cinta atau sayang yang kemudian berubah menjadi simpati. Sedangkan menurut Max Scherer ada empat tingkatan dalam perasaan, yaitu; perasaan
tingkat sensatis, seperti sakit, panas, dingin, dsb, perasaan kehidupan vital, seperti, lapar, haus, dsb,
217 merupakan perempuan-perempuan yang bersifat affective penyayang, emphatic ikut
merasakan perasaan orang lain, dan nurturant peduli, hanya saja sifat-sifat tersebut bila dikaitkan dengan konteks di atas tidak muncul secara natural, melainkan akibat dari
tradisi dan budaya perang yang selalu mereka alami dan rasakan saat itu, di samping budaya patrialkhal yang mereka anut yang sangat mengagungkan kekuatan laki-laki
yang juga pada dasarnya sebagai konsekuensi dari budaya perang.
592
Rasa kehilangan yang berlebihan atas kematian laki-laki, juga tatapan kecemasan perempuan Jahiliyah akan nasib mereka di masa depan, adalah sebuah bukti
adanya ketergantungan perempuan yang luar biasa terhadap kaum laki-laki. Sebagai contoh dalam syair al-Khansa:
ث ل ب
حي ل نيب حئ ل
Menangislah untuk Shakhr di saat ia terkubur antara mayat dan pedang yang terhunus
عي ت ج ل م هب ب
ه حف ل
Tanah kuburan itu, debunya menebarkan angin semerbak
نب ح ل ي ل ل
م ل حج ح ل
Pemimpin yang disegani, anak dari para pemimpin yang dimuliakan
ل ل لم حل م ل
ل نم ل
593
Yang mengemban tanggung jawab penting Dari berbagai urusan yang berat
Budaya perang yang dianut oleh bangsa Arab Jahiliyah saat itu, rupanya berhasil memformat budaya patrialkhal murni yang memposisikan laki-laki di atas segalanya.
perasaan kejiwaan, seperti, takut, marah, benci, cinta, dsb, dan perasaan kepribadian, seperti malas, prustasi, dsb.. Nety Hartati dkk., Islam dan Psikologi, Jakarta: UIN Press, 2003, hal. 90
592
Menurut kritik sastra feminis-psikoanalitik, secara natural, perempuan bersifat affective penyayang, emphatic ikut merasakan perasaan orang lain, dan nurturant peduli. Namun demikian,
karakter yang melekat pada perempuan tersebut, bukan semata-mata sesuatu yang bersifat alami, bukan pula takdir, namun karakter tersebut dibentuk oleh lingkungannya, yaitu masyarakat patrialkal. Kritik ini
diterapkan pada tulisan-tulisan perempuan yang dianggap sebagai cermin kepribadian penulisnya. Ragam kritik ini berawal dari penolakan kaum feminis terhadap teori-teori Sigmund Freud yang menyatakan
bahwa perempuan iri pada laki-laki karena tidak memiliki penis penis-envy. Lalu perempuan melahirkan bayi yang kemudian dianggap sebagai pengganti penis yang dirawat dan diasuh dengan penuh
kasih sayang. Bagi kaum feminis, perempuan tidaklah iri pada penis yang dimiliki kaum laki-laki, namun pada kekuasaan yang mereka miliki.
593
Abd al-Salâm al-Jaufî syarah dan tahqîq, Dîwân al-Khansâ, hal. 30
218 Hal ini tampak jelas dari syair di atas yang sangat mengagungkan sosok laki-laki, baik
sebagai saudara, teman, ataupun pemimpin. Tampak dari syair tersebut, suatu sikap ketergantungan yang nyata dari perempuan terhadap laki-laki, yang dalam hal ini kakak
kandungnya. Sikap ketergantungan perempuan terhadap orang lain, merupakan salah satu sifat khas feminin. Oleh karena itu, dalam hal ini perempuan dianggap lemah, tidak
berdaya, tidak mampu bertindak, berinisiatif dan lain sebagainya.
594
Sikap ini adalah salah satu implikasi dari sikap vicarious yang artinya suatu sikap yang siap melakukan
bagi orang lain.
595
Menurut ideologi feminisme, baik sikap Vicarious maupun sikap ketergantungan, menandakan kesirnaan identitas perempuan sebagai individu yang utuh
di mata masyarakat. Karena sebagai masyarakat, ia hanya diakui karena identitas yang dimiliki laki-laki.
596
Hal lain yang perlu ditelaah adalah bahwa syair rits â’ yang diusung perempuan
Jahiliyah, hampir semuanya ditujukan untuk kaum laki-laki, baik ayah, suami, kakak, maupun adik laki-laki. Dan biasanya selain ratapan, sebagian besar kandungan syair
adalah pujian madah terhadap laki-laki yang telah meninggal dunia tersebut. Sebagai contoh syair al-Khansa di atas, atau syairnya berikut ini:
ت ا ج ي يع ل
ل ي ت ا
Wahai kedua mataku, cucurkanlah airmata dan jangan sampai mongering Tidakkah kalian menangis untuk Shakhr yang baik hati
ت ا لي ل ء
ل ي ي ل ل ي ت ا
Tidakkah kalian menangisi pemuda gagah nan rupawan Tidakkah kalian menangisi pemuda yang mulia
594
Betty Friedan, The Feminine Mystique, New York: Garden City, 1977, hal. 11, dikutip oleh Soenardjati Djayanegara, Citra Wanita dalam Lima Novel Terbaik Sinclair Lewis dan Gerakan Wanita di
Amerika , Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1995, 107
595
Thorstein Veblen, The Theory of the Leisure Class; an Economic Study of Institutions, New York: tp, 1899, hal. 229 dikutip oleh Soenardjati Djayanegara, Citra Wanita dalam Lima Novel Terbaik
Sinclair Lewis dan Gerakan Wanita di Amerika , Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1995,
107
596
Soenardjati Djayanegara, Citra Wanita dalam Lima Novel Terbaik Sinclair Lewis dan Gerakan Wanita di Amerika,
hal. 147
219
ل لي
597
عل عيف م هت ي ع س
598
Pemuda gagah perkasa Yang memimpin keluarganya padahal masih belia
م ي ي ب م ل ي هيل م ل ل
599
Bila orang lain mengulurkan tangan mereka untuk kebajikan Iapun tidak sungkan untuk mengulurkan tangannya
Syair ini membuktikan, bahwa betapa laki-laki pada masa Jahiliyah merupakan sosok nan agung, sehingga pada saat meninggalnya pun hanya ratapan dan pujian yang
keluar dari mulut perempuan. Hal ini semakin mengokohkan praduga ideologi patrialkhal yang dianut bangsa Jahiliyah yang menempatkan laki-laki di atas segala-
galanya. Meskipun dalam syair tersebut tidak membuktikan bahwa ada semacam penindasan terhadap perempuan, namun syair tersebut justru telah menjadi alat untuk
mengabadikan supremasi kekuasaan laki-laki terhadap perempuan, bahkan setelah kematian mereka pun, namanya tetap abadi sepanjang masa.
Ritsâ yang biasanya digunakan oleh para perempuan Jahiliyah, selain menjadi
simbol kesedihan, dan juga pengagungan madah laki-laki, ia juga merupakan simbol dendam yang tiada henti. Hal ini terbukti dari ritsâ al-Khansa, saat ditinggal kematian
kakaknya Shakhr yang kemudian mengajak kaumnya untuk membalas dendam dan menyerang kabilah yang telah membunuhnya
600
:
ع ف م ي ل مي س ب ل ك ض س حم ف
ع
Wahai Bani Sulaim, jika kalian berjumpa dengan lawan, lalu ia mundur Ke persembunyian yang sempit dan sulit sekalipun
م ح م م ف ي ب مه ل ف ل ك لي ل ف
ب
597
arti sebenarnya dari kata thawîl al-nijâd adalah sarung pedang yang panjang, yang kemudian menjadi kinayah untuk laki-laki yang berpostur tinggi, sebab biasanya pedang memiliki ukuran yang
panjang, sehingga tidak mungkin dibawa oleh orang yang bertubuh pendek.
598
Amrad adalah pemuda yang belum tumbuh janggut, sebagai kinayah bagi pemuda yang masih sangat belia.
599
Abd al-Salâm al-Jaufî syarah dan tahqîq, Dîwân al-Khansâ, hal. 30
600
Shakhr terbunuh pada perang Kulâb atau Dzat al-Atsl Yaum Kulâb dan Yaum Dzat al-Atsl. Dzat al-Atsl adalah nama tempat yang terletak antara perkampungan Bani Asad dan Bani Sulaim. Dîwân
al-Khansa , hal. 18
220
Seranglah mereka dengan pedang dan panah kalian Bagai derasnya cucuran air hujan di malam hari
ك ت م ع ج ت ح
هع م ص
601
ث اب
Hingga mereka bercerai berai, dan ingat akan Shakhar dan kekalahannya tanpa sempat membalas dendam
Dalam syair tersebut, tampak dendam yang membara atas kematian saudara laki-lakinya Sakhar dalam peperangan yang merenggutnya nyawanya. Berdasarkan hal
tersebut, dapat disimpulkan bahwa ternyata dalam syair ritsa itu tidak hanya melulu tentang ratapan dan tangisan seorang perempuan, namun ternyata dalam syair ritsa itu
mengandung tiga hal, yaitu tangisan atau ratapan, pujian, dan dendam. Ratapan adalah ekspresi kesedihan perempuan atas kematian laki-laki, pujian adalah bentuk
pengagungan perempuan untuk laki-laki, dan dendam adalah bentuk pembalasan atas rasa kesakitan laki-laki. Dan ketiga hal tersebut telah membentuk citra perempuan
Jahiliyah, sebagai perempuan peratap, pengagum laki-laki, dan penuh dengan dendam. Dan hal ini tentu saja tidak tumbuh dengan sendirinya, namun terbentuk akibat budaya
perang yang mereka jalani. Dan syair di atas, juga membuktikan adanya keterlibatan perempuan Jahiliyah dengan dunia politik yang dalam hal ini adalah perang.
Corak syair ritsâ dalam syair-syair perempuan, terkesan bersifat cengeng karena hanya menyuguhkan tangisan dan air mata, dan hal ini justru melegitimasi sifat feminin
kaum perempuan Jahiliyah. Bila hanya melihat pada mukadimah syair ritsâ, seperti yang disuguhkan al-Khansa di atas maka kesan pertama yang timbul adalah sifat
perempuan yang feminin dan cengeng, namun hal ini berbeda dengan ritsâ yang dibuat oleh Aminah binti ‘Utaibah
602
berikut ini:
ع ء ع ل نم ح ت ب ت هاا ع ف
603
Suatu ketika kami menuju La’ba
604 601
Mashra` arti sebenarnya adalah pergumulan, pergulatan, bergelut dengan dia. Sharî` jamak shar`â
artinya yang terbanting
602
Nama lengkapnya Aminah binti ‘Utaibah ibn al-Hârits ibn Syihâb al-Yarbû’iyah. Ayahnya salah seorang prajurit perang Bani Tamim, ia terbunuh pada hari Khaww salah satu nama perang yang
terjadi pada masa Jahiliyah.
603
Bahr Hajaz: mafâ ’îlun – mafâ’îlun – mafâ’îl
221
Kami dahului utusan Tuhan yang akan menghampiri
يعن ف يم نب ْل م ع ب ي ل ل مع ن ق ت
Ibnu Mayyah, kabarkan padanya bahwa dengan kematiannya Terluka orang-orang yang menikmati kantung rizkinya
ي ش ي ع ب ك ي ل خ ي ت اف
Ayahku ‘Utaibah seorang yang mulia Tak akan kau dapati ia menyembunyikan suatu bagianpun
ت ع ش ي ل ب ض ب يه ع ا حل ع
Ialah contoh pemberani, pada saat perang berkecamuk, tidak lemah tidak juga ia pengecut
605
Ritsâ ini jauh dari kesan cengeng. Perempuan tersebut dengan keberanian, dan
ketegarannya bahkan menyatakan akan mendahului utusan Tuhan yang akan menjemput ayahnya ‘Utaibah. Ia lebih berfikir pada apa yang akan terjadi akibat
kematian ayahnya itu, dari sekedar menangisi kematiannya, sebab dengan itu banyak
orang yang kehilangan tempat bergantung. Ia adalah simbol perempuan peduli dan pemberani, meskipun pada dasarnya bila ditinjau dari sudut pandang feminisme,
kandungan syairnya tidak jauh berbeda dengan al-Kha nsâ’, yaitu penuh dengan sikap
Vicarious , sikap yang selalu bergantung pada kaum laki-laki, seperti dalam
ungkapannya ‘
kabarkan padanya bahwa dengan kematiannya, terluka orang-orang yang menikmati kantung rizkinya.
Bila al- Khansâ’ Tumâdlir binti ‘Amr ibn al-Syarîd al-Sulamiyah lebih suka
mengemas kematian kedua saudara laki-lakinya dengan syair ritsâ yang cenderung
604
Makna asli dari la,ba adalah tanah yang bergaram antara dua lautan, namun yang dimaksud dengan La,ba di sini adalah sebuah tempat yang terletak di pinggiran kota Hijaz yang terdapat di
pegunungan Ghatfân.
605
‘Abd Mahannâ, Mu’jam al-Nisâ’ al-Syâirât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1990 M1410 H, hal. 9
222 cengeng, lain halnya dengan al-Khansa binti Zuhair ibn Abi Sulma
606
pada saat meratapi kematian ayahnya. Kita bisa menilainya dari ungkapan syairnya berikut ini:
يش ل يق ت غي م
غل ا مي ل ع ا
Tiada berguna bersembunyi dari kematian Tidak juga perjanjian Tamîm dan Ghudlâr
م ف ه ي م قا حل قح ق هب ي
Jika kematiannya telah tiba, iapun pasti dihampiri, dan itu sudah menjadi suatu kepastian
ي يأ نم قا ق ي مل ل ق نم ك
Suatu hari pasti kematian itu akan menemuinya Sebagaimana sebelumnya tidak pernah ada seorangpun yang perkasa abadi
Dari ungkapan syair tersebut, meskipun bercerita tentang kematian seorang ayah, tidak tampak kesan perempuan yang cengeng dan menyesali datangnya kematian.
Penyair tersebut tahu betul, bahwa tidak ada seorangpun yang mampu menghindari datangnya sebuah kematian sekalipun orang itu gagah perkasa. Hal ini didukung dengan
fenomena perang yang selalu merenggut nyawa siapapun tanpa ada belas kasihan. Perempuan tegar bahkan bijak dalam menyikapi semua tragedi yang terjadi dalam
kehidupan. Syair ini adalah salah satu bukti yang menunjukkan citra feminis perempuan Arab Jahiliyah. Ritsâ yang seperti inilah yang dimaksud dengan al-
‘azâ. Makna dasar dari al-
‘azâ itu sendiri adalah sabar. Istilah ini lalu dipersempit artinya menjadi sabar dan ikhlas atas cobaan yang disebabkan kematian.
607
Hal ini terlihat jelas dari ketiga bait syair di atas. Sikap ikhlas dan pasrah atas kematian orang yang dikasihi tampak
jelas dari ungkapan ‘Jika kematiannya telah tiba, iapun pasti dihampiri, dan itu sudah menjadi suatu kepastian. Suatu hari pasti kematian itu akan menemuinya,
sebagaimana sebelumnya tidak pernah ada seorangpun yang perkasa abadi’.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa ritsâ dalam syair-syair perempuan biasanya didahului dengan hal-hal yang berkaitan dengan air mata. Hal ini berbeda
606
Ia adalah anak dari penyair hikmah Arab Jahili yang sangat terkenal Zuhair Ibn Abi Sulma.
607
al-Ritsâ, hal. 86
223 dengan ritsâ yang digubah oleh Janub
608
yang cenderung filosofis pada saat meratapi kematian saudara laki-lakinya berikut ini:
م ه ل ح ب م لك غم يأ بل غ نم لك
Setiap orang dibohongi oleh kemustahilan alam Dan yang mampu mengalahkan waktu dia suatu ketika akan dikalahkan
س ع ق لك ع ل ف م ي م ي
Setiap bangsa, meskipun suatu ketika berkuasa dan selamat, suatu hari pasti akan menemukan hari nahasnya
ه يعب مع ن ل يب
هل قيس ي ش ل
ن نم
Di antara kita ada seorang pemuda yang baik dan ikhlas atas kehidupannya Yang selalu dilindungi tumpahan air hujan dari kejahatan
Syair ini menampilkan sisi lain dari sebuah ritsâ yang biasanya melulu didahului dengan kata-kata yang berhubungan dengan tangisan. Pada kenyataannya tidak sedikit
syair ritsâ yang bermukadimah kalimat-kalimat filosofis seperti syair di atas. Syair tersebut menunjukkan adanya sebuah bentuk kepasrahan akan takdir yang tidak
mungkin dapat dihindari oleh siapapun sekalipun sebuah bangsa yang sangat maju dan kuat, sebuah takdir akan kematian meski dengan jalan yang berbeda-beda. Jika
demikian, maka asumsi publik yang mengatakan bahwa perempuan Jahiliyah hanya terampil meratap, tidak sepenuhnya benar, sebab di balik ratapan-ratapan tersebut,
muncul sebuah ketegaran dan kepasrahan akan sebuah kekuatan yang tidak mungkin dapat dihindari. Pada intinya adalah bahwa peperangan yang meliputi bangsa Arab telah
memberi pelajaran yang sangat berharga bagi siapapun. Perang telah membentuk jiwa- jiwa perempuan yang rapuh, namun perang jualah yang membentuk perempuan-
perempuan Jahiliyah sebagai manusia yang kuat, tegar dan bijak dalam mengahadapi setiap persoalan. Dengan demikian, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa ritsâ bagi
kaum perempuan secara psikologis dan individual lebih disebabkan kondisi sosiologis, dibanding watak dan kepribadian mereka.
608
Ia adalah saudara perempuan dari Amr Dzi al-Kalb al-Hadzali. Mu’jam al-Nisâ’ al-Syâirât fi
al-Jâhiliyah wa al-Islâm, hal. 43, dari Abu al-Faraj al-Ishfahani, al-Aghani, 22: 355
224 Hal ini senada dengan apa yang diutarakan oleh Soenarjati Djayanegara bahwa
sifat-sifat natural yang ada pada jiwa seorang perempuan, seperti sifat affective penyayang, emphatic ikut merasakan perasaan orang lain, dan nurturant peduli,
pada hakekatnya bukanlah sesuatu yang bersifat alami, bukan pula takdir, sebab karakter tersebut dibentuk oleh lingkungannya, yaitu masyarakat patrialkal.
609
Jika demikian, maka tradisi ritsa meratapi mayat sebagai implementasi dari sifat affective,
emphatic dan nurturant seorang perempuan adalah salah satu bukti kongkrit tentang
sebuah ‘gendering’ masal pada masa silam.
610
2. Cinta di Mata Perempuan Jahiliyah
Ghazal syair percintaan adalah salah satu tema syair Jahiliyah yang sangat
disukai oleh kaum laki-laki Jahiliyah, di sisi lain ritsâ’ adalah tema paling populer di
kalangan perempuan Jahiliyah. Ritsâ’ merupakan bentuk perwujudan cinta seorang
perempuan terhadap orang lain yang bersumber dari sifatnya yang affective penyayang, emphatic ikut merasakan perasaan orang lain, dan nurturant peduli
yang kemudian diekspresikan lewat tangisan dan kesedihan. Sedangkan ghazal adalah manivestasi cinta laki-laki yang bersumber dari desire hasrat bercinta dan
diekspresikan melalui sikap senang dan bahagia. Lalu di manakah makna cinta desireghazal bagi kaum perempuan Jahiliyah? Padahal menurut JB. Watson, cinta
love merupakan satu dari tiga emosi dasar yang dimiliki manusia, di samping fear
609
Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 31-32
610
Bandingkan dengan syair ritsâ Shafiyah binti Abd al-Muthalib, seorang penyair dari masa Islam berikut ini:
ىبسح كشأ كاذ ه ىلإف ىبيحن ىتب ْ ح ه عي
Hanya pada Allah lah aku mengadu sesungguhnya Ia maha mengetahui segala kesedihan dan ratapanku
Menurut Abdullah al-Hamid, dalam syair tersebut tampak jiwa yang lemah dan lembut yang menurut Abdullah al-Hamid merupakan ciri khas perempuan. Berdasarkan hal ini, sesungguhnya baik
disebabkan latar belakang sosial seperti perempuan Jahiliyah yang cenderung menjadi perempuan peratap akibat faktor peperangan yang tiada henti, ataupun disebabkan latar belakang keagamaan seperti pada
penyair di atas, hal ini tetap saja menunjukkan akan watak dasar dari perempuan yang bersifat kasih, sayang dan peduli. Lih. Abdullah al-Hâmid, al-Syi`r al-Islâmi fi Shadr al-Islâm, hal. 302
225 rasa takut, dan rage kemarahan.
611
Perempuan Jahiliyah sepertinya hanya berhak memperoleh fear dan rage yang keduanya pun dipersembahkan untuk laki-laki.
Tampak ada sesuatu yang ganjil pada saat membicarakan cinta yang kemudian dihubungkan dengan penyair perempuan Jahiliyah. Bila dalam syair-syair laki-laki,
perempuan begitu penting, disanjung dan dipuja, bahkan kaum laki-laki dengan bebas mengekpresikan perasaannya terhadap perempuan tanpa ada rasa segan ataupun malu,
hal ini sangat berbeda dengan penyair perempuan. Dalam syair-syair perempuan tidak dijumpai satupun bentuk ghazal atau rayuan untuk laki-laki. Ghazal sepertinya
hanyalah hak mutlak kaum laki-laki, sedangkan perempuan haknya adalah meratapi kaum laki-laki. Sungguh aneh memang, namun tentu saja hal ini mengundang sebuah
pertanyaan besar, mengapa hal ini bisa terjadi? Jika kita melihat pada sistem stratifikasi sosial yang dianut bangsa Arab
Jahiliyah saat itu yang membagi perempuan pada dua kasta yang satu sama lain bak langit dan bumi, maka ekslusifisme ghazal yang hanya dilakukan oleh kaum laki-laki
sangatlah dimengerti. Pertama, bahwa bagi perempuan hurrah sebagai perempuan kelas atas, mereka oleh kaum laki-laki ditempatkan pada posisi yang sangat tinggi berkaitan
dengan prestise yang mereka miliki sebagai putri dari para petinggi kabilah atau kerajaan, atau paling tidak mereka memiliki hak penuh atas dirinya. Pada posisi yang
tinggi seperti ini, perempuan ditempatkan oleh mereka sebagai objek sanjungan dalam ghazal
, dipuji dan dipuja. Kedua, bagi perempuan imâ’, mereka sama sekali tidak
memiliki hak untuk berbicara apalagi menyampaikan perasaan mereka melalui syair- syair cinta, karena mereka merasakan cinta atau tidak, hasilnya akan sama saja, menjadi
barang milik kaum laki-laki. Hak-hak mereka untuk berekspresi secara tidak langsung dibungkam dan tidak diberi kesempatan untuk itu. Berdasarkan hal ini, maka dapat
dimengerti mengapa perempuan Jahiliyah tidak suka dengan syair-syair ghazal, karena semuanya kembali pada situasi dan kondisi yang mempengaruhinya. Namun pada
intinya, kaum perempuan Jahiliyah apapun alasannya tidak terbiasa mengumbar kata cinta dan rayuan pada kaum laki-laki.
611
Nety Hartati dkk., Islam dan Psikologi, hal. 90
226 Fenomena seperti ini
secara eksplisit terlihat dalam kisah Asmâ’ salah seorang penyair perempuan Jahiliyah istri Ja`ad ibn Mahja` al-
`Adzari. Asmâ’ adalah perempuan yang sangat dicintai Ja`ad yang kemudian dinikahinya. Setelah menikah,
Asmâ’ memperlihatkan cinta yang sebelumnya ia sembunyikan. Untuk itu Ja`ad bertanya pada istrinya yang kemudian dijawab lewat syair berikut ini:
ع ج ك ي ن ل ت ك
ي ي قي ل عب ف ت ف
Kusembunyikan rasa cinta ini, karena kulihat engkau berkeluh kesah Lalu kukatakan, pemuda itu tidak mungkin menginginkanku
ي ف ت ح ت ف ع ف
ل ب ب ي
Bila engkau memandangku atau berkata, hai gadis Cinta yang dahsyat itu mengenainya, lalu engkau kembali
حل ل ف ب ع تي ف ي ش ن ع ف ب ج ل نم
612
Maka kusembunyikan apa yang kurasakan dalam hati dan batinku Dari perasaan cinta, tentang sesuatu yang dahsyat yang seharusnya kamu tahu
Syair tersebut menggambarkan betapa perempuan pada masa Jahiliyah tidak sanggup untuk menyatakan perasaan dan cintanya pada laki-laki yang dicintainya.
Bahkan setelah menikahpun, ungkapan tersebut baru keluar dari mulut setelah diajak berdialog oleh suaminya, padahal dari sebelum menikahpun ia telah jatuh cinta
padanya. Sepertinya perempuan Jahiliyah sudah terbiasa memendam perasaan cinta mereka, atau menyembunyikan perasaan tidak suka yang mereka rasakan. Bagi
sebagian perempuan Jahiliyah, ada atau tidak ada rasa cinta itu, diungkapkan ataupun tidak rasa benci itu, hasilnya akan tetap sama, yaitu menikah sesuai dengan kehendak
sang penguasa di dalam rumah tanpa peduli dengan perasaannya. Tentu saja gambaran ini tidak berlaku bagi perempuan kalangan atas yang bisa menentukan pilihan hidupnya
sendiri, namun secara mayoritas perempuan Jahiliyah, cinta ibarat sebuah fatamorgana, yang tampak indah, namun terkadang sulit untuk dijangkau.
Hal ini sangat berbeda dengan penyair laki-laki terutama kalangan aristokrat yang dengan leluasa mengumbar kata cinta desire pada perempuan yang
612
Mu’jam al-Nisâal-Syâ’irat fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, hal. 15
227 diinginkannya. Ungkapan Umru al-Qais berikut ini membuktikan bahwa betapa kata-
kata vulgar begitu mudah keluar dari mulutnya.
ب يث ل ت ن ق ت ف ل
ل ل ا ل ل
Maka aku datang, dan ia telah menanggalkan bajunya untuk tidur Di balik kelambu, dengan hanya memakai baju dalam
ه ت ي ف س
ب ل
ل ي ح ل مي ه ع
Kurengkuh kedua tepi kepalanya hingga mendekat padaku Perempuan berperut ramping, berbetis indah
Ungkapan seperti dalam bait syair di atas oleh Alice Deignan dikategorikan sebagai metaphor of appetite desire yaitu gaya ungkapan yang sudah mengarah pada
nafsu, yang pada intinya, menekankan betapa berbedanya makna cinta bagi laki-laki dan perempuan.
Ketidakmampuan perempuan dalam mengungkapkan perasaan cintanya tersebut, terkait erat dengan budaya patrialkhal yang kental dalam tradisi bangsa Arab
Jahiliyah. Dominasi laki-laki terhadap perempuan ini, bukan hanya membungkam ungkapan cinta dari mulut perempuan, namun juga berubah wujud menjadi semacam
penindasan psikis terhadap mereka. Salah seorang perempuan Jahiliyah simbol ketertindasan kaum laki-laki adalah
Raqqâsy, saudara perempuan dari Judzaimah al-Wadlâh
613
, yang diriwayatkan oleh al- Mas’ûdi dalam kitab Murûj al-Dzahab, bahwa ia Raqqâsy dinikahkan oleh saudara
laki-lakinya dengan seorang laki-laki yang sedang mabuk, ketika ia tersadar, orang-
orang di sekitarnya memberitahukan dia tentang perkawinannya tersebut, kemudian ia mengucapkan beberapa bait syair untuk menyalahkan Raqqasy atas perkawinan
tersebut. Sebagai pembelaan atas dirinya, Raqqasy pun menjawab dengan syair berikut ini:
ت ك م ج تن نيي ل ء ل ن ت
613
Mu’jam al-Nisa al-Sya’irat, hal. 94, diriwayatkan kisah ini dari kitab Muruj al-Dzahab, karya al-
Mas’udi, jilid 4, hal. 91
228
Kau nikahi aku, padahal akupun tidak menyadari Tiba-tiba para perempuan itu mendatangiku untuk menghiasi
ف ص م ل كب ش نم ل ف كي ت
ل
614
Ini semua akibat ulahmu yang gemar minum-minuman Dan sikapmu yang selalu kekanak-kanakan dan gila
Dari syair tersebut, ada beberapa bentuk penindasan yang dilakukan kaum laki- laki terhadap perempuan. Pertama, dalam keluarga, laki-laki adalah simbol kekuasaan
yang otoriter yang berhak menentukan siapa saja pasangan hidup perempuan yang ada dalam keluarga tersebut tanpa mempertimbangkan perasaannya, sehingga pemaksaan
terhadap perempuan tampak sebagai suatu hal yang wajar. Kedua, tidak tampak adanya perlindungan dari laki-laki untuk perempuan meskipun ia salah seorang anggota
keluarga, sehingga tanpa ada rasa bersalah ia dengan tega menikahkan saudaranya sendiri dengan seorang pemabuk. Ketiga, dalam kasus ini, perempuan selalu menjadi
pihak yang dipersalahkan oleh situasi dan kondisi. Dari syair tersebut, tampak ada hak- hak asasi manusia yang terenggut dari kaum perempuan, yaitu hak untuk menentukan
pilihan hidup, hak untuk merdeka, dan hak untuk dihargai dan dihormati. Kisah ketertindasan kaum perempuan pada masa Jahiliyah, tidak hanya
menimpa Raqqasy, namun masih banyak kasus lainnya yang berkaitan dengan cinta dan perkawinan. Tragedi cinta, seperti kisah Siti Nurbaya yang sangat terkenal dalam sastra
Indonesia atau tentang Romeo dan Juliet dalam sastra Inggris, keduanya adalah cerita tentang kasih tak sampai antara dua anak manusia, dan menjadi legenda tersendiri dan
terus abadi sepanjang masa. Dalam kehidupan nyata, tragedi seperti ini selalu saja terjadi, dan biasanya selalu ada hubungannya dengan dominasi orang tua terutama ayah
terhadap anak-anaknya. Bila kisah Siti Nurbaya dan Romeo-Juliet adalah karya fiksi tentang tragedi
cinta, maka syair yang diungkapkan oleh Su’da al-Asadiyah
615
salah seorang penyair perempuan pada masa Jahiliyah ini adalah sebuah fakta dan realitas. Ia dicintai oleh
anak pamannya, namun pamannya tersebut tidak mengijinkan kekasih untuk
614
Mu’jam al-Nisa al-Sya’irat, hal. 94
615
Mu’jam al-Nisa al-Sya’irat, hal. 122, dari al-Aghani, 22:148
229 menikahinya. Untuk itu ayah Su’da menikahkannya dengan laki-laki lain. Namun
demikian cinta anak pamannya semakin membara, untuk itu ia mengirimkan dua bait syair untuk Su’da tentang perasaannya dan cintanya yang kemudian dijawab oleh Su’da
dengan syair berikut ini:
ح م ل ل عت ا ي ي ح ج نم ءاب نم ب م ن ك
Kekasihku janganlah terburu-buru untuk memahami alasanku menikah Cukup bagiku kesengsaraan dan kesusahan
ف ي عت ع نم
ج ل نم لي ت ن ل ت
Dan kepedihan-kepedihan yang terus menderaku, juga helaan nafas Yang hampir menghanyutkan jiwaku karena cinta yang dalam
ق مل ج ن ع ت غ
فاخ ج ا
ب ه ع
Kau benar-benar kuasai jiwaku, namun aku tidak mampu Menentang keluargaku, baik dengan bercanda maupun serius
م ع ب م ن ع ي نل ح ج ف عل ه ف خ غ
Mereka tak akan melarangku untuk mati, demi keyakinan mereka Esok hari, karena takut akan aib ini, di atas kuburan, aku sendiri
س ف ه يت ت س ت اف ج نم ت حت م
ف ن م
Untuk itu jangan lupa agar kau datang, lalu temukanlah Tempatku itu, lalu kita saling berbagi tentang kepedihan yang dirasakan
Setelah menerima syair tersebut, pada waktu yang telah disepakati, pemuda itu datang menjumpainya, namun ia menemukan kekasihnya dalam kondisi telah menjadi
mayat. Lalu ia bawa jasadnya ke atas gunung dan menemaninya di sana, dan ia pun akhirnya meninggal. Kemudian diceritakan, bahwa beberapa orang menemukan
keduanya, dan memberitahukan hal itu pada yang lain dan merekapun menguburkan keduanya.
Syair ini mengisahkan tentang tragedi pencintaan dua anak manusia yang tak sampai. Perasaan cinta seorang perempuan yang terpaksa harus ia kubur dalam-dalam
akibat tidak direstui keluarga. Sebagaimana syair sebelumnya, syair ini juga kembali mengisahkan tentang dominasi keluarga ayah pada kaum perempuan, sehingga
230 akhirnya merenggut kehidupan yang seharusnya dirasakannya dengan indah, jika saja
tidak ada pemaksaan dan penindasan. Dari kedua syair tersebut, tersirat adanya ketidakrelaan perempuan-perempuan
Jahiliyah atas semua perlakuan yang dilakukan oleh kaum laki-laki. Pada kasus yang pertama, ketidakrelaan itu ditunjukkan dengan penyangkalan dan sikap enggan untuk
dijadikan sebagai kambing hitam oleh laki-laki. Sedangkan pada kasus yang kedua, ketidakrelaan itu, bahkan ditunjukkan dengan cara yang lebih ekstrim, yaitu dengan
memilih kematian sebagai solusi untuk melepaskan diri dari dominasi orang tua ayah.
Cukup bagiku kesengsaraan dan kesusahan Dan kepedihan-kepedihan yang terus menderaku, juga helaan nafas
Yang hampir menghanyutkan jiwaku karena cinta yang dalam
Dalam budaya patrialkhal dan dominasi laki-laki yang sangat kuat, hanya ungkapan seperti ini yang sanggup keluar dari mulut seorang perempuan. Sebuah
ungkapan yang sangat menyakitkan yang disebut oleh Alice Deignan dengan desire is pain, illness and falling
, cinta itu sakit dan menyakitkan, dan juga terjatuh dalam
sesuatu yang menyakitkan. Lalu pada akhirnya membawa pada penderitaan fisik psysical weakness.
616
Kaum laki-laki yang dalam hal ini keluarga lebih rela kalau anak perempuannya mati, daripada harus membiarkannya untuk memilih jalan hidupnya sendiri, yaitu
memilih kekasih yang dicintainya, karena jika hal itu dibiarkan, akan menjadi aib tersendiri bagi keluarga, karena tidak mampu mengendalikan anak perempuan dan
mengorbankan kehormatan keluarga. Hal ini terlihat dari ungkapan penyair:
Mereka tak akan melarangku untuk mati, demi keyakinan mereka Esok hari, karena takut akan aib ini, di atas kuburan, aku sendiri
Dan pada akhirnya, sang penyair memilih jalan kematian demi mempertahankan cintanya. Kematian yang dipilihnya pada hakekatnya merupakan sebuah simbol, yaitu
simbol perlawanan perempuan terhadap dominasi kaum laki-laki yang terus membelenggu kehidupan dan kemerdekaan mereka. Sebagai manusian yang memiliki
616
Keith Harvey and Celia Shalom editor, Language ang Desire, London and New York: Routledge, 1997, hal. 26, 28, dan 29
231 rasa dan cinta. Maka cinta pada masa Jahiliyah sepertinya adalah hak paten kaum laki-
laki, bahkan perempuan sekelas al- Khansâ’ yang notabene perempuan hurrah
merdeka dan bebas memilih laki-laki yang dikehendakinya, tetap saja tidak mampu menggubah sebuah syair ghazal pun untuk laki-laki yang dicintainya selama hayatnya.
Hal ini terlihat dalam dîwânnya yang hanya menangis dan menangis untuk kedua saudara laki-lakinya.
Cinta adalah suatu hal yang natural dalam kehidupan manusia, laki-laki ataupun perempuan. Namun bagi bangsa Arab Jahiliyah, cinta sepertinya hanya berhak
diekspresikan oleh kaum laki-laki. Hal itu tampak dalam syair-syair ghazal yang sepertinya hanya dilakukan oleh penyair laki-laki, sedangkan perempuan tidak ada
satupun kata-kata cinta atau rayuan yang ditujukan untuk laki-laki, yang ada hanyalah ratapan-ratapan atas kematian laki-laki. Ekspresi cinta sepihak ini terlihat juga dalam al-
Qur’an, seperti dalam ayat berikut ini:
م ي ع ج ا { م ن ه م ع ،م ن ف م ك ء ل
خ نم هب م ض ع يف } ف عم ا ق ل ت ا س نه ع ت ا ن ل ن ن ك س
617
“ Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan keinginan mengawini mereka dalam hatimu. Allah
mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, namun janganlah kalian menjanjikan perkawinan pada mereka secara rahasia, kecuali dengan mengucapkan
perkataan yang baik”.
Dalam ayat tersebut, terlihat bahwa yang dijadikan mukhâtab lawan bicara untuk urusan cinta dan perkawinan adalah kaum laki-laki, tanpa sedikitpun partisipasi
perempuan. Ayat yang menyebutkan “Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut- nyebut mereka”, senada dengan tradisi ghazal dalam syair Jahiliyah yang hanya
diekspresikan oleh kaum laki-laki.
Demikianlah beberapa pembahasan tentang citra perempuan pada masa Jahiliyah. Syair-syair yang dijadikan sampel di atas pada dasarnya hanya
menggambarkan sebagian kecil dari kehidupan perempuan Jahiliyah, yang pada dasarnya lebih dari itu.
617
Al-Baqarah ayat 235
232 3.
Syair-syair bijak Sebagian orang mungkin berasumsi bahwa perempuan Jahiliyah adalah
perempuan-perempuan bodoh yang sama sekali tidak memiliki wawasan tentang kehidupan. Generalisasi seperti itu ditepis oleh beberapa penyair perempuan di
antaranya dua bersaudara, Jum’ah dan Hindun binti al-Khuss, serta penyair perempuan lainnya.
618
Ungkapan-ungkapan filosofis dalam syair, ternyata tidak hanya didominasi oleh penyair-penyair pria seperti Zuhair ibnu Abi Sulma dan Labîd, namun juga banyak
digubah oleh penyair- penyair perempuan. Sebagai contoh syair Jum’ah berikut ini:
حج ع ل ج ش
ج يف ي بل ل م
Sebaik-baik inti pembicaraan menurut orang yang cerdas, ialah perkataan orang cerdas yang berbicara singkat namun padat
غ ي ي م غ ل ف
حي ي حي ل ع يخ
Sebaik-baiknya harta yang bermanfaat dan diperlukan Adalah akal yang dimilikinya dan dijaga
هن ل ص ء ل اخ يخ ي ني ي ل ف
ل
619
Sebaik-baik sifat seorang yang cerdas adalah selalu jujur dalam ucapannya Sebab, dalam kejujuran ada keutamaan yang jelas dan nyata
ه ن س يس ع ي مل ء ل
ع ه ه يغ نع هب ف
Jika seseorang tidak mampu mengatur dirinya sendiri Sesungguhnya ia di mata yang lainnya sangatlah lemah
Dalam syair lainnya:
ل ل ي خ نم ل ي
ف ح ل
620
ص غيس يح لك
618
Keduanya adalah penyair perempuan Jahiliyah yang biasa mendeklamasikan syair-syair
mereka di Pasar ‘Ukazh. Thaifur dalam bukunya Balaghat al-Nisa’ memasukkan nama Jum’ah binti al-
Khuss sebagai salah seorang penyair perempuan yang berkualitas fadlilat al-nisa, sedangkan Hindun oleh al-Jahizh digambarkan sebagai penyair yang memiliki kompentensi vokal, kecerdasan, dan kefasihan
yang luar biasa. Mu’jam al-Nisâ’ al-Syâirât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, hal. 40 254
619
Mu’jam al-Nisâ’ al-Syâirât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, hal. 40
620
hatf adalah kematian yang bukan disebabkan karena dipukul atau dibunuh, namun kematian yang terjadi di tempat tidur. Kematian seperti ini sepertinya bagi bangsa Arab bukan termasuk kematian
233
Terkadang seseorang lari karena takut akan kematian dan kebinasaan Dan dalam kematian ada kebinasaan, setiap orang hidup pasti akan mengalaminya
Dalam Mu’jam al-Nisâ’ al-Syâirât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm disebutkan bahwa
syair ini dilontarkan oleh Jum`ah binti al-Khuss pada saat berdebat dengan al- Qalammas al-Kinâni yang terjadi di Pasar `Ukâzh. Hal ini membuktikan bahwa
perempuan pada masa Jahiliyah memiliki kebebasan yang sangat luas dalam setiap aktifitas kehidupan tanpa ada batasan.Tampil di depan umum dan di hadapan khalayak
ramai adalah hal yang biasa mereka lakukan. Berbalas-balasan syair antara laki-laki dan perempuan adalah hal yang lumrah bagi mereka.
Melihat dari syair di atas, tampak perempuan pada masa itu bukanlah manusia- manusia yang bodoh yang tidak mampu berbuat apa-apa dan hanya mendengarkan apa
yang dikatakan laki-laki, namun mereka adalah figur perempuan yang cerdas dan mampu berdebat dengan laki-laki secara cerdas pula. Penyair dalam syairnya tersebut
dengan piawai menggambarkan sosok laki-laki yang cerdas. Untaian kata yang menyatakan,”Sebaik-baik harta yang bermanfaat dan diperlukan, adalah akal yang
dimilikinya dan dijaga ”, menunjukkan bahwa akal dan kecerdasan adalah hal yang
sangat penting dibanding dengan harta dan kekayaan. Ada beberapa filosofis yang bisa diambil dari syair di atas, pertama bahwa orang
yang cerdas adalah orang yang berbicara singkat namun tepat sasaran, sesuai dengan situasi dan kondisi. Kedua, akal adalah harta yang tak ternilai harganya, namun
sebagaimana pada bait ketiga, kecerdasan terletak pada kejujuran seseorang, bukan hanya pada kelihaian otak dan daya fikirnya. Keempat, kemampuan berbicara,
kecerdasan, kejujuran tidak akan sempurna jika tanpa dilengkapi dengan kemampuan mengatur dan mengendalikan diri. Menurut penyair, kecerdasan, kejujuran, dan
kemampuan memanage diri sendiri adalah beberapa hal yang akan membuat seseorang istimewa di mata orang lain. Sebaliknya, kedunguan, ketidakjujuran, dan
ketidakmampuan seseorang dalam memanage dirinya sendiri merupakan hal-hal yang
yang terhormat karena bagi mereka yang kehidupannya selalu diliputi peperangan, kematian yang terhormat adalah mati di medan perang.
234 membuat seseorang kurang berharga di mata orang lain. Hal inilah yang kemudian
penyair oleh penulis dianggap sebagai penyair hikmah. Dalam syair yang lain, ungkapan penyair yang menyatakan, ”Terkadang
seseorang lari karena takut akan kematian dan kebinasaan, padahal kematian di tempat tidur, setiap orang hidup pasti akan mengalaminya
, adalah sebuah ungkapan filosofis yang ternyata bukan hanya bisa diciptakan oleh kaum laki-laki, namun juga bisa keluar
dari mulut perempuan. Kehidupan yang selalu diselimuti peperangan, membuat penyair Jahiliyah, baik laki-laki maupun perempuan, cenderung memasukkan tema kematian
dalam berbagai hal. Tidak jauh berbeda dengan Jum’ah, Hindun saudara perempuannya pun
menggubah syair hikmah sebagai berikut:
عف ن م حل ف ل يخ ج س ي مغي ق م
ل
Aku dapati, bahwa sebaik-baiknya perkataan dalam hukum menyelesaikan masalah adalah yang bermanfaat dan berguna, daripada sesuatu yang terkadang ditutup-tutupi dan
disamarkan
ع ءي ب ع ل سيل س م ل عل نم م ك
Bagiku, seorang laki-laki tak ada harganya, Jika hanya punya harta namun miskin ilmu
ن ل ه ن حل ع ي م
س ي مث ه ن م جي ي
Dan pengecut adalah orang yang meniupkan api peperangan Mengobarkan apinya, kemudian ia mundur
ه ك ض ي ل ي ك نم مك س ي عي ل لي ق نم مك
621
Berapa banyak orang kaya namun kikir Dan berapa banyak pula orang yang miskin, namun suka memberi dan baik hati
621
Makna asal dari
س ي-س س
adalah lemah lembut, artinya adalah orang yang suka memberi tanpa disertai dengan menyakiti perasaan orang lain.
235 Syair di atas memberikan sebuah gambaran pada kita tentang citra intelektual
dan kapabilitas perempuan Jahiliyah dalam memandang sebuah persoalan. Sebagai contoh, pada bait pertama, penyair dengan gamblang berbicara tentang hukum dan
keharusan untuk selalu bersikap transparan dalam menyelesaikan setiap masalah, jangan membiasakan bersikap tidak jujur dan berbelit-belit demi menyembunyikan kebenaran.
Pada bait kedua, penyair menggambarkan penilaian seorang perempuan terhadap laki-laki, bahwa harta benda tidak lebih berharga dibanding ilmu pengetahuan.
Hal ini menunjukkan bahwa perempuan pada masa itu tidak hanya memandang seseorang terutama laki-laki dari harta yang dimilikinya, namun tidak memiliki
wawasan yang memadai. Secara implisit penyair mengatakan bahwa antara harta dan ilmu pada dasarnya harus selalu seimbang balance.
Pada bait ketiga, tidak lengkap rasanya bila penyair belum menghubungkan setiap kehidupan dengan dunia perang yang meliputi mereka. Untuk itu, menurut
penyair bukan laki-laki sejati, bila suatu ketika ia lari ke belakang pada saat peperangan sedang terjadi, karena hal itu menunjukkan sikap dan tindakannya yang pengecut.
Selain itu ungkapan “meniupkan api peperangan” hanyalah sebuah simbol dari laki-laki yang hanya pandai berbicara dan bermulut besar namun memiliki sifat yang pengecut,
hingga tidak mampu mengahadapi kenyataan. Pada bait terakhir terkandung sebuah pelajaran hidup, bahwa seseorang yang
memiliki harta dan kekayaan yang melimpah belum tentu memiliki kepedulian dan jiwa sosial yang tinggi terhadap sesama. Namun sebaliknya, orang yang miskin dan memiliki
kedudukan yang rendah terkadang lebih sensitif dan peka terhadap persoalan hidup orang lain. Ada sebuah nilai filosofis yang ingin disampaikan penyair, yaitu janganlah
memandang seseorang dari harta dan kedudukan semata, sebab terkadang orang yang dianggap lebih rendah dan hina memiliki moral yang lebih baik dari mereka.
Pada intinya, dianggap sebagai syair hikmah atau tidak, ungkapan kedua penyair perempuan di atas bila diresapi maknanya tetap memiliki nilai-nilai filosofis yang
tinggi. Hal ini membuktikan bahwa perempuan Jahiliyah, bukanlah sosok yang dungu, tertindas, dan menerima apa adanya, namun membuktikan bahwa mereka juga adalah
236
perempuan-perempuan yang cerdas, berani, dan bijak dalam menyikapi kehidupan.
Sehingga teori Betty Friedan dalam bukunya The Feminine Mystique yang menyatakan bahwa kelemahan daya fikir sebagai salah satu ciri dari wanita tradisional tidak
sepenuhnya benar.
622
Fakta-fakta di atas membuktikan bahwa perempuan Arab Jahiliyah yang hidup jauh sebelum masa modern, adalah manusia-manusia cerdas, baik
secara IQ maupun EQ. 4.
Jiwa yang peduli Banyak sikap dan sifat positif dimiliki oleh perempuan Jahiliyah, salah satunya
adalah sifat pemurah dan suka menolong. Sebagai contoh Ghaniyyah binti ‘Afîf, penyair perempuan Jahiliyah ibunda dari Hatim al-
Tha’i seorang penyair yang juga terkenal dengan sifatnya yang dermawan.
623
Dalam Mu’jam al-Nisâ’ al-Syâ’irât
diceritakan bahwa Ghaniyyah adalah sosok perempuan yang memiliki hobi membantu orang lain, hingga akhirnya harta bendanya habis tak tersisa diberikan pada pengemis
dan tamu-tamunya. Untuk itu, saudara-saudaranya mencoba menghalanginya dan menahan harta Ghaniyyah yang masih berada di tangan mereka. Pada saat Ghaniyyah
sudah benar-benar fakir, saudaranya memberikan seekor unta untuknya. Namun tidak lama kemudian datang seorang perempuan meminta unta tersebut. Lalu Ghaniyyah
berkata:”untukmu unta ini, ambillah, Demi Allah rasa lapar telah menggigitku, lapar yang tak hilang meski dengan meminta-minta. Maka keluarlah bait-bait syair yang
menggambarkan tentang perasaannya tersebut:
ع ل
ع م ق عل
عئ ج ه ل ع م ا تيل ف
Demi hidupmu,dulu rasa lapar penah menggigitku Maka aku bersumpah tidak akan kubiarkan zaman kelaparan
ع يل ئال ل ا ف عب صأ ضعف لع ت مل تن
622
Betty Friedan, The Feminine Mystique, New York: Garden City, 1977, hal. 271, dikutip oleh Soenardjati Djayanegara, Citra Wanita dalam Lima Novel Terbaik Sinclair Lewis dan Gerakan
Wanita di Amerika , Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1995, 91
623
Pada masa Jahiliyah, kedermawanan Hatim al- Tha’i sangat terkenal hingga namanya
dijadikan sebagai perumpamaan matsal atau kinayah untuk sifat kedermawanan. Sifat dermawan Hatim ternyata banyak dipengaruhi oleh ibunya. Hal ini membuktikan betapa seorang ibu dapat memberi
pengaruh yang besar terhadap anaknya.
237
Katakanlah pada semua orang yang menghina hari ini, maafkanlah aku Jika kalian tidak melaksanakannya, gigitlah jari-jari kalian
م خأ ل ت م ي ع ف عن م ك نم ع م ل ع س
Tidak akan kalian katakan pada saudara perempuan kalian Selain mencela atau mengejek orang yang kikir
عي ا ق ل ت م ا
ي ف عئ ل نب ي ك ب ف
624
Tidak ada suatu tingkah laku pun yang kalian lihat,melainkan sebuah kebiasaan Lalu bagaimana aku akan meninggalkan kebiasaanku wahai anak ibuku?
Syair tersebut menggambarkan tentang kepedulian seorang perempuan terhadap orang lain yang membutuhkan bantuannya. Untuk menggambarkan jiwa sosialnya
tersebut, penyair menggunakan gaya bahasa yang indah dan menyentuh, namun tegas dan lugas. Sebagai contoh, pada bait pembuka, penyair menggunakan gaya bahasa
personipikasi, di mana ia mengumpamakan rasa lapar musyabbah dengan gigi musyabbah bih yang dapat menggigit dan menyakiti siapapun yang digigitnya, dalam
ungkapannya ‘Demi hidupmu, dulu rasa lapar penah menggigitku’. Lalu untuk menambah keindahan ungkapannya tersebut, dan sebagai kata penegas, ia tambahkan
gaya bahasa hiperbola yang lebih mendekati pada musyabbah dalam mashra’ kedua
‘Maka aku bersumpah tidak akan kubiarkan zaman kelaparan’. Kata ‘kelaparan’ dalam ungkapan tersebut, merupakan penegas dari ungkapan ‘rasa lapar’ sebelumnya. Gaya
bahasa seperti ini di dalam ilmu Balâghah disebut dengan istilah isti`ârah makniyah.
Selain itu, bila pada mashra` pertama rasa lapar diumpamakan dengan gigi yang dapat menggigit, pada mashra`
kedua kata ‘zaman’ disandarkan pada kata sifat ‘kelaparan’. Rasa lapar tidak mungkin menggigit, karena yang menggigit biasanya gigi, demikian
juga halnya dengan zaman yang dikorelasikan dengan kelaparan. Padahal zaman tidak mungkin merasakan kelaparan, sebab yang merasakan kelaparan adalah orang yang ada
pada masa itu. Itulah yang dinamakan dengan al-isnad ila al-sabab dan al-isnad ila al- zaman
, yaitu menyandarkan kata kerja dan semisalnya pada sebab dan waktu. Pola gaya bahasa seperti ini di dalam ilmu Balâghah disebut juga dengan majaz `aqli.
624
Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irat fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, hal. 199-200, dari Busyair Yamût, Syâ
’irat al-‘Arab, hal. 199
238 Adapun pesan moral yang ingin disampaikan oleh penyair dalam syairnya
tersebut ialah, bahwa manusia biasanya lebih suka mengolok-olok orang lain yang suka membantu, atau mengejek orang yang kikir, tanpa ia menyadari bahwa yang ia lakukan
tidak ada bedanya, tidak suka pada orang kikir, namun ia juga tidak suka membantu orang lain. Hal ini tercermin dari ungkapan Ghaniyyah binti ‘Afîf, “ Tidak ada yang
kalian katakan pada saudara perempuan kalian, selain mencela atau mengejek orang yang kikir”.
Ditinjau dari aspek kandungan syair, tampaknya penyair adalah seorang perempuan yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi, sedangkan dari sudut pandang
sastra, gaya bahasa yang ia gunakan menunjukkan bahwa ia adalah seorang perempuan yang cerdas dan berjiwa seni tinggi. Sifat-sifat seperti inilah yang dimaksud dengan
sifat-sifat natural yang ada pada jiwa seorang perempuan, yaitu perempuan yang bersifat affective penyayang, emphatic ikut merasakan perasaan orang lain, dan
nurturant peduli. Namun demikian menurut Soenarjati Djayanegara, karakter yang
melekat pada perempuan tersebut, pada dasarnya bukanlah sesuatu yang bersifat alami, bukan pula takdir, sebab karakter tersebut dibentuk oleh lingkungannya, yaitu
masyarakat patrialkal.
625
Hal lain yang bisa diungkap dari syair di atas adalah adanya suatu nada satire
626
hijâ’ yang diarahkan penyair pada saudara laki-lakinya. Sindiran tersebut menampakkan sebuah perlawanan yang nyata yang ditunjukkan perempuan atas
dominasi kaum laki-laki. Dan ia merasa bahwa ia memiliki hak yang sama dengan saudara laki-lakinya untuk melakukan apa yang diinginkannya. Hal ini terlihat dari bait
syair:
Tidak akan kalian katakan pada saudara perempuan kalian Selain mencela atau mengejek orang yang kikir
Tidak ada suatu tingkah laku pun yang kalian lihat,melainkan sebuah kebiasaan Lalu bagaimana mungkin aku akan meninggalkan kebiasaanku wahai anak ibuku?
625
Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 31-32
626
Satire adalah gaya bahasa yang digunakan untuk mencemooh sesuatu atau orang lain yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan muak terhadap penyalahgunaan dan kebodohan manusia dan
pranatanya. Lihat bab I, hal. 66
239 Ungkapan penyair pada larik terakhir, ‘Lalu bagaimana mungkin aku akan
meninggalkan kebiasaanku wahai anak ibuku? Dengan menyebut ‘wahai anak ibuku’
seolah-olah ingin menegaskan, bahwa ia memiliki kedudukan yang sama dengan saudara-saudara laki-lakinya, sama-sama sebagai seorang anak yang lahir dari rahim
yang sama. Keinginan perempuan untuk diperlakukan sama dan tidak dibeda-bedakan, sepertinya bukan hanya dilakukan oleh kaum perempuan saat ini saja, namun upaya
tersebut pada hakekatnya telah ada jauh sebelum agama Islam lahir, hanya saja kuatnya ideologi kekuasaan dan budaya patrialkhal yang pertontonkan oleh kaum laki-laki
menjadikan perempuan selalu berada di bawah dominasi laki-laki. Ghaniyah, selain simbol perempuan Jahiliyah yang berjiwa sosial, ia juga merupakan simbol perlawanan
perempuan atas dominasi laki-laki. 5.
Anak-anak perempuan simbol perlawanan terhadap wa’d al-banât
627
Secara fisik perempuan Arab berkulit kuning langsat, dan dianggap lebih cantik bila berkulit putih, berambut hitam dan bermata hitam. Postur tubuh tegap dengan
pinggang yang ramping dan pinggul yang besar. Masyarakat Arab Badawi menempatkan perempuan sebagai alat bersenang-senang dan regenerasi. Mereka
menjadikan perempuan sebagai alat reproduksi agar memperoleh anak laki-laki untuk dijadikan ajang persaingan. Persaingan dengan banyak anak laki-laki adalah tradisi
masyarakat Arab, karena dengan banyak anak laki-laki diharapkan dapat melindungi keluarga dan melangsungkan keturunan. Untuk alasan itu pula masyarakat Arab
Jahiliyah sangat membenci kelahiran anak perempuan.
628
Dalam Mu`jam al- Nisâ’ al-Syâi’rat yang dikutip dari kitab Akhbâr al-Nisâ’
karya Ibn Qayyim al-Jauziyah diceritakan, bahwa Umru al-Qais meskipun sudah menikah dengan sejumlah perempuan, namun ia sama sekali tidak memiliki keturunan
627
Makna sesungguhnya dari istilah wa’d al-banât adalah mengubur anak perempuan hidup-
hidup. Penulis menggunakan istilah pembunuhan karena pada hakekatnya adalah sama, yaitu menghilangkan nyawa anak perempuan.
628
Muhammad Ali al-Shabbâh, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 15
240 laki-laki atau yang dikenal dengan istilah
mi’nâts
629
. Dalam budaya perang yang mengandalkan kekuatan, secara otomatis kehadiran seorang anak laki-laki adalah
sebuah keharusan, yang terkadang hal ini menjadikan seorang ayah gelap mata hingga rela membunuh anak-anak perempuannya, karena ia merasa telah kehilangan
kehormatannya. Dalam kitab tersebut, diceritakan bahwa Umru al-Qais bahkan tega membunuh anak-anak perempuannya
630
. Kronologis penindasan Umru al-Qais terhadap anak perempuannya, tergambar
dalam kisah syair berikut ini. Menurut Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah, Umru al- Qais ibn Hujr adalah seorang mi`nâts. Ia juga seorang laki-laki yang sangat
pencemburu. Selain itu, ia juga gemar membunuh anak perempuan yang dilahirkannya. Pada saat istri-istrinya menyaksikan kebiasaannya tersebut, mereka menyembunyikan
anak-anak perempuan mereka dalam kabilah-kabilah Arab. Hal ini akhirnya sampai juga ke telinga Umru al-Qais. Pada saat mendengar berita tersebut, ia mengendarai
kendaraannya dan langsung menuju tempat persembunyian mereka, hingga akhirnya ia tiba di salah satu kabilah Arab. Pada saat itu, kaum perempuannya sedang berkumpul-
kumpul, lalu ia mengatakan pada mereka: “Siapa di antara kalian yang berani menyembunyikan istriku di rumahnya?”. Mereka semua terdiam, namun anak
perempuannya berkata: “kemarilah”. Lalu Umru al-Qais mulai berkata lewat syair:
ي ع تض ع ف ت ت
ل ل ي ع ب ء يب
Kau sudah kehilangan akal saat menampakkan awan putih dan wangi yang di atasnya mutiara.
Dalam syair tersebut, Umru al-Qais memperingatkan pada anak perempuannya, bahwa ketika ia mengakui dan menunjukkan jati dirinya sebagai seorang putri raja yang
berbeda dari yang lainnya, bahkan berani berkata-kata padanya, maka sesungguhnya ia telah menggali lobang untuk kematiannya sendiri, dan dianggap sudah gila karena
dengan keberaniannya untuk berbicara, telah menunjukkan siapa dia sebenarnya.
629
Mi’nâts diambil dari kata untsâ yang berarti perempuan, sehingga kata Mi’nâts diartikan sebagai seseorang hanya memiliki anak perempuan atau tidak melahirkan anak laki-laki.
630
Mu’jam al-Nisâal-Syâ’irat fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1990 M 1410 H, hal. 280
241 Pada saat mendengar ucapan tersebut, anak perempuan tersebut terdiam sesaat,
lalu menjawab dengan syair:
ي عل
631
ح أ
632
حي ب ك
633
مي ل
634
ج ل ع
635
Sesungguhnya burung unta betina gurun pasir yang selalu dikelilinginya, bagai tulang lengan burung unta jantan yang kehilangan dadanya kesombongannyakebesarnnya
Ada sebuah keberanian yang luar biasa yang ditunjukkan oleh anak perempuan Umru al-Qais saat mendengar ancaman dari ayahnya, bahkan ia dengan tegas menyindir
perilaku bejat ayahnya yang selalu mempermainkan perempuan, meski pada akhirnya ia harus kehilangan nyawanya. Ia umpamakan perempuan-perempuan yang baik hati
ibunya itu dengan burung unta betina padang pasir tempat yang selalu siap bertelur. Hal ini terlihat dari kata al-udhî yang artinya tempat bertelur burung unta jantan, yang
sebelumnya ditegaskan dengan kata al-`aqîlah yang berarti perempuan baik-baik. Ungkapan anaknya tersebut menegaskan, bahwa ibu-ibu mereka yaitu istri-istri Umru
al-Qais hanya memiliki fungsi reproduksi tempat ia menyalurkan hasrat binatangnya. Lebih lanjut, ia bahkan mengumpamakan ayahnya dengan sebuah tulang lengan burung
unta jantan yang telah kehilangan kekuatannya. Gaya bahasa yang digunakan dalam syair tersebut, pada dasarnya adalah kinâyah sindiran. Seperti pengumpamaan seorang
laki-laki yang sudah kehilangan kekuatan bagai tulang lengan burung unta yang kehilangan ototnya, karena kata-kata tersebut dapat diartikan sebagai makna aslinya
atau diartikan sebagai seorang laki-laki yang tidak berdaya. Seusai anak tersebut mengucapkan kata-kata tersebut, Umru al-Qais langsung
memukulnya dengan pedang dan membunuhnya. Lalu ia melanjutkan perjalanannya menuju kabilah lainnya, hingga terhenti di suatu kabilah di mana terdapat para
perempuan sedang bersenda gurau. Lalu ia bertanya hal yang sama yaitu menanyakan rumah yang dijadikan tempat perlindungan istri-istrinya. Namun tidak seorang pun di
631
`Aqîlah: perempuan baik-baik
632
al-udhî: tempat bertelur burung unta di dalam pasir
633
al-naqâ : tulang lengan
634
al-zhalîm: burung unta jantan
635
al- ju’ju : dada burung
242 antara mereka yang menjawab, hingga anak perempuannya berkata, kemarilah Lalu
Umru al-Qais berkata dengan syairnya:
ه ف م ل عت تك ب ل ل م ع
خ ل نم ي ح
Jika ia berlutut, ia akan mengangkat kedua tangannya Di atas permadani bak pualam
Sebagaimana kisah sebelumnya, namun dengan redaksi yang berbeda, Umru al- Qais melalui syairnya mengancam bahwa bila ada yang melakukan hal-hal yang
menunjukkan bahwa dirinya seperti anak raja, maka dialah sesungguhnya yang ia cari. Mendengar hal tersebut, anak itu pun terdiam sesaat dan menjawab dengan syair
pula:
ه ب يل عل ب م ق
قي ل ك ت ف
636
ع ل نم
Mereka datang dengan membawa pentungan untuk memukulnya Ia pun berlalu bagai burung unta yang dikeramatkan
Keberanian yang serupa ditunjukkan oleh putrinya yang lain. Ia pun tanpa rasa takut menentang apa yang dilakukan ayahnya pada mereka. Bahkan ia menyindir, hanya
untuk membunuh seorang gadis kecil saja, ia harus membawa sejumlah orang untuk membunuhnya tanpa merasa malu, namun ia tidak merasa takut karena ia bagai hewan
keramat yang tidak mungkin ada yang menyakitinya. Ungkapan ini juga sebagai sebuah sindiran bagi ayahnya, bahwa ia tidak dapat disentuh dan disakiti siapapun.
Mendengar hal itu, Umru al-Qais pun membunuhnya. Setelah itu ia melanjutkan perjalanan ke kabilah berikutnya, hingga menemukan para perempuan sedang bermain-
main, dan bertanya hal yang sama. Ia pun mendapat respon dan jawaban yang sama pula, hingga anak perempuannya mengatakan kemarilah Lalu Umru al-Qais
mengucapkan syair berikut ini:
لئ ه لم عن ن ن ك ل ي ي ك ي ف ب
Perempuan- perempuan itu bagai kambing padang pasir yang menakutkan di ketinggian, bergoyang-gayang bagai orang yang sedang mabuk
636
al-fanîq: binatang jantan yang dikeramatkan sehingga tidak boleh disakiti atau dikendarai sekalipun.
243 Dalam syair tersebut, Umru al-Qais bermaksud membangkitkan kemarahan
anak-anak perempuan yang sedang bermain dengan mengumpamakan mereka dengan kambing padang pasir yang sedang menakut-nakuti seseorang dari ketinggian yang
tampak bagai orang mabuk. Mendengar hal tersebut, tentu saja anaknya tersinggung. Ia terdiam sesaat dan menjawab:
ل ف ق نه لب ه خ نم
م ي م ئ ل
Tapi langkah tingkah laku mereka lebih baik daripada kambing-kambing itu Karena gadis-gadis itu langkahnya ada yang baik dan yang buruk
Dengan jawaban tersebut, maka Umru al-Qais tahu siapa sebenarnya anaknya, sebab jika bukan anak-anaknya tidak mungkin punya keberanian untuk menjawab
seperti itu. Kemudian Umru al-Qais pun turun dan langsung membunuhnya, dan pergi meninggalkannya.
637
Berdasarkan kisah tersebut, tampak ada sebuah kebencin misogini yang sangat dalam dalam hati Umru al-Qais terhadap anak-anak perempuannya. Namun demikian
saya lebih melihatnya pada individu Umru al-Qais daripada faktor sosial budaya. Sebagai seorang laki-laki yang gemar bermain perempuan, ketidakberdayaan Umru al-
Qais untuk memperoleh keturunan laki-laki merupakan sebuah pukulan telak yang akan mempertanyakan kejantanannya sebagai seorang laki-laki tulen. Hal inilah yang
kemudian menjadi faktor munculnya rasa benci terhadap anak perempuannya misogini yang akhirnya berakibat fatal karena ia dengan tega membunuh anak-anak
perempuannya. Perlakuan buruk dan kejam yang dilakukan Umru al-Qais terhadap anak-anak
perempuannya lebih disebabkan faktor psikologis daripada faktor sosial. Hal ini tampak dalam syairnya berikut ini:
هت ب يغل خي ل س ي ا م لئ ل ي ج ف م
Ahai, laki-laki tua pencemburu ini memenjarakan anak-anak perempuannya Takut mereka terjerumus dalam kebiasaan yang menyimpang, untuk itu ia melakukan
banyak tipu daya
637
Mu’jam al-Nisâal-Syâ’irat fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, hal. 280-281
244
هل غ قي ل ن ع ي
ن غل لي ق
638
ل ف ي ل ف
Aku qatîl al-ghawâni
639
batasi jalan hidup mereka dalam kelambu dan baju-baju yang tipis
ل ج بك مل ن ك خ ع ك ن ت مل
640
Seakan-akan aku sendiri tidak pernah mengendarai kuda dan menyetubuhi perempuan bergelang kaki untuk kesenangan semata
Dari syair di atas tampaknya Umru al-Qais tidak rela bila anak perempuannya diperlakukan sama seperti ia memperlakukan perempuan-perempuan di sekelilingnya.
Untuk alasan itu, ia mengurung dan memenjarakan anak-anak perempuannya dalam istana di balik kelambu dengan pakaian-pakaian yang indah, agar anaknya senantiasa
terhindar dari kehancuran dan kenistaan. Berdasarkan hal tersebut, pada dasarnya ketakutan Umru al-Qais terhadap nasib anak-anak perempuannya, lebih disebabkan oleh
ketakutan akan tingkah lakunya sendiri dalam memperlakukan perempuan. Bahwa ia sendiri tidak rela, bila suatu saat anaknya diperlakukan hal yang sama oleh laki-laki
lain. Dengan demikian, kebencian Umru al-Qais terhadap anak perempuannya, dan kebiasaannya membunuh anak perempuan lebih disebabkan faktor psikologis individual
daripada sosial. Bila poligami menyangkut penindasan perempuan secara psikis, maka
penindasan yang tidak kalah kejamnya yang bersifat fisik adalah praktek keji yang biasa dilakukan oleh beberapa orang Arab Jahiliyah adalah membunuh anak perempuan baik
dengan cara memancungnya ataupun dengan menguburnya hidup-hidup yang disebut dengan istilah
wa’d al-banât. Hal ini terlihat jelas dalam kasus Umru al-Qais dalam pembahasan sebelumnya. Hanya saja dalam kasus Umru al-Qais, anak-anak
perempuannya dibunuh dengan cara dipancung dengan pedang. Apapun bentuknya, pada dasarnya adalah sama, yaitu tidak adanya larangan pada saat itu untuk membunuh
anak perempuan. Hal ini sama persis dengan apa yang diungkapkan Tuhan dalam al-
638
dirinya sendiri
639
dalam Diwan Imri al-Qais disebutkan bahwa yang dimaksud dengan qatîl al-ghawâni adalam Umru al-Qais sendiri.
640
Diwan Imri al-Qais, hal. 127
245 Qur’an: bayi perempuan yang -dan apabila bayi”
641
}ت ق بن ب ،ت س ء ل {
dikubur hidup-hidup ditanya ”. Ayat ini menegaskan bahwa praktek-praktek penindasan
secara fisik telah ada sejak zaman Jahiliyah. Selain ayat tersebut, masih banyak ayat-ayat yang menunjukkan sikap apriori
bangsa Arab Jahiliyah terhadap anak perempuan, seperti:
،هب ب م ء س نم ل نم ي{}مي ك ه
م ه ج ل نأ ب مه ح ب { }
حي م ء س ا ، ل ف هس ي ه ع ه ي
642
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, merah padamlah mukanya, dan ia sangat marah”, “Ia menyembunyikan dirinya
dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah,
alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”.
Kebanggaan bangsa Arab terhadap anak laki-laki dan menganggap anak perempuan kurang berharga, pada dasarnya bukanlah tanpa alasan, kehidupan mereka
yang tidak pernah lepas dari peperangan yang selalu membutuhkan kekuatan fisik, menuntut mereka untuk memiliki anak laki-laki sebanyak mungkin untuk dijadikan
sebagai prajurit-prajurit perang yang tangguh. Namun dalam kasus Umru al-Qais, sebagaimana dibahas sebelumnya, tampaknya kekejaman yang ia lakukan terhadap
anak-anaknya, lebih bersifat psikologis dibanding sosiologis. Dan hal ini semakin menguatkan hasil kajian pada bab III sebelumnya, bahwa perempuan di lingkungan
istana tidak lebih dihargai dibanding dengan perempuan-perempuan di luar istana. Baik sebagai istri ataupun sebagai anak, perempuan tetap saja sebagai kelas yang tertindas
akibat kekuasaan yang dimiliki kaum laki-laki.
C. Peran dan Kontribusi Perempuan Jahiliyah dalam Syair