Penyair Badawi: Sha`âlîk dan Ghair Sha`âlîk

125 Adanya masyarakat hadlari dan badawi dalam sistem sosial bangsa Arab Utara Hijaz, serta stratifikasi sosial dalam kabilah, juga tradisi perang yang mereka anut, memegang peranan penting terhadap seluruh aspek kehidupan bangsa Arab Jahiliyah, termasuk cara pandang mereka terhadap kaum perempuan.

B. Penyair Badawi: Sha`âlîk dan Ghair Sha`âlîk

Secara mayoritas, penyair badawi berasal dari kelompok ghair Sha’âlîk, karena kelompok ini pada dasarnya adalah komunitas inti dari bangsa Arab Jahiliyah. Sedangkan komunitas Sha’âlîk, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hanyalah komunitas kecil yang merupakan sempalan dari al- khulâ`â’ yaitu orang-orang yang tersingkir dari kabilah inti, dan menjadi kaum pinggiran. Namun untuk memudahkan pembahasan, penulis terlebih dahulu meletakkan penyair Sha’âlîk sebelum ghair Sha’âlîk. 1. Penyair Sha’âlîk Secara terminologi kata Sha’lakah berarti fakir atau kondisi di bawah garis kemiskinan. Sha’lûk singular atau Sha’âlîk plural dalam Lisân al-Arab diartikan sebagai orang-orang fakir yang tidak memiliki harta benda. 383 Dalam sejarah sastra Arab kata Sha’âlîk bukan semata-mata diartikan sebagai orang-orang fakir, namun di samping itu ia juga memiliki makna tambahan yaitu orang-orang yang fakir namun memiliki keberanian dan kekuatan yang luar biasa serta perasaan dan fikiran yang sangat sensitif yang timbul karena faktor perbedaan antara kehidupan mereka yang sangat miskin di satu sisi dengan orang-orang kaya di sisi lain. Hal inilah yang kemudian menjadikan mereka berada dalam perasaan sakit dan teraniaya yang tumbuh karena ketiadaan harta benda dan tidak mampu memperoleh kehidupan yang mereka impikan. 384 383 al-tasha`luk diartikan dengan al-faqr kefakiran. Ibnu Manzhûr, Lisân al-Arab, materi pembahasan ك عص, d ikutip oleh Yûsuf Khalîf, al-Syu`arâ al-Sha`âlîk fi al-`Ashr al-Jâhili, Mesir: Dâr al- Ma`ârif, tth, cet. 2, hal. 21 384 Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Ward; Amîr al-Shâ’alîk, Beirut: Dâr al- Kutub al-Ilmiyah, 1412 H1992 M, cet. 1, hal. 34 . Fenomena kehidupan Sha`âlîk pada bangsa Arab, sebenarnya tidak hanya terjadi pada masa Jahiliyah saja, namun masih berlangsung hingga masa Bani Umayyah. Demikian halnya pada dunia sastranya yang tetap eksis meski tidak sepopuler pada masa 126 Kondisi ini memotivasi mereka untuk melakukan sebuah revolusi ekonomi dengan cara merampas yang sebenarnya mereka haramkan. Mereka adalah penguasa padang pasir, berlalu lalang untuk merampas dan merampok kabilah dagang yang melewati jalan tersebut. Sebuah kehidupan yang sangat keras, namun bukan berarti mereka sama sekali tidak memiliki sisi kemanusiaan. Tercatat dalam sejarah maupun syair, bahwa mereka selain memiliki sisi negatif, juga memiliki banyak sisi positif. Dalam buku Dîwan Urwah ibn al-Ward disebutkan bahwa ada beberapa hal yang menjadi karakteristik dari kelompok Sha’âlîk, yaitu: pertama bahwa mereka sangat membenci orang-orang kaya namun kikir. Orang-orang seperti inilah yang menjadi target serangan dan rampasan mereka, sedangkan orang-orang yang kaya namun dermawan, mereka tidak mau mendekati harta bendanya. Cerita ini sangat mirip dengan Robinhood dan Zorro yang merampok demi rakyat miskin dan keadilan. Kedua menjadikan keadilan sebagai landasan mereka dalam membagikan hasil rampasan perang, karena mereka tidak membeda-bedakan pembagian hasil rampasan antara satu dengan yang lainnya, bahkan seorang pemimpin pun memperoleh bagian yang sama. Sebagai contoh pada saat ‘Urwah dan kelompoknya menyerang dan memperoleh ghanîmah rampasan perang yang sangat banyak, di antara ghanîmah tersebut terdapat seorang perempuan, lalu Urwah menentukan perempuan tersebut untuk dirinya dan menentukan harganya sendiri, lalu kelompoknya menolak dan berkata: Kami tentukan harga perempuan tersebut seharga satu ekor unta, dan masing-masing dari kita bebas untuk memilikinya bila menginginkannya. Ketiga, memiliki kepedulian sosial yang sangat tinggi, karena itu hasil rampasan yang mereka peroleh selalu ada bagian untuk orang-orang miskin di sekitarnya. Keempat, mereka tidak menganggap perbuatan mereka sebagai sebuah aib namun sebaliknya mereka menganggapnya sebagai sebuah kebanggaan, sikap ksatria, hukuman bagi orang-orang yang kikir, pemaksaan sosial, dan solidaritas sosial. 385 Jahiliyah. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad `Arafah al-Magribi, Dirâsât fi al-Adab al- Umawîwa al-`Abbâsî , Kairo: Mathba`ah al-Husein al-Islâmiyah, tth, hal. 81 385 Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Ward; Amîr al-Shâ’alîk, hal. 39-40 127 Dari gambaran tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan syair Sha’âlîk adalah syair Jahiliyah yang lahir dari para penyair Sha’âlîk. Menurut penulis buku Dîwan Urwah ibn al-Ward, ada beberapa karakteristik yang tercermin dari syair Sha’âlîk yang sekaligus mencerminkan pribadi dan kehidupan mereka. Dari segi isi misalnya, syair Sha’âlîk adalah gambaran tingkah laku, sikap, kepribadian, serta ambisi komunitas Sha’âlîk, di samping gambaran aspek-aspek psikologis yang mereka rasakan. Selain itu, syair mereka juga menggambarkan realitas kehidupan baik pekerjaan maupun perbuatan yang mereka jalani. Syair mereka juga terkenal dengan tema tunggal, atau kesatuan tema. Di dalamnya tidak terdapat muqadimah pendahuluan syair, seperti ghazal rayuan, bukâ’ al-athlal menangisi puing-puing kenangan, washaf li al-rahîl menggambarkan orang yang sedang bepergian, dan lainnya. Mayoritas syair Sha’âlîk berbentuk maqtha`ât penggalan- penggalan, bukan qashîdah rangkaian syair. Hal ini memberi gambaran tentang kehidupan mereka yang tidak suka bertele-tele, namun lugas sesuai sasaran. Mayoritas syair yang berbicara tentang perempuan, adalah pembicaraan suami terhadap istrinya. 386 Beberapa penyair Sha’âlîk yang sangat terkenal adalah Urwah ibn al-Warad dikenal sebagai Amîr al- Sha’âlîk atau pemimpin kaum Sha’âlîk sekaligus seorang prajurit perang, Ta’abbath Syarran, dan Syanfara. `Urwah ibn al- Warad ibn Zaid menurut sebagian ibn ‘Amr ibn Zaid ibn `Abdillah ibn Nâsyib ibn Hurrayim ibn Ludaim ibn ‘Ûdz ibn Ghâlib ibn Quthai`ah ibn `Abas. Nasabnya berakhir pada kabilah ‘Abas, sebuah kabilah yang sangat terkenal saat itu. 387 Berdasarkan hal tersebut, maka tampak jelas bahwa ia sesungguhnya berasal dari sebuah kabilah yang sangat terhormat, akan tetapi ayahnya mengalami nasib naas karena dianggap sebagai pemicu perang antara kabilahnya dengan kabilah Fazârah karena mengadakan taruhan dengan Hudzaifah. 388 Sedangkan mengenai ibunya, tidak banyak informasi yang dapat digali kecuali sebagaimana yang Urwah sebutkan dalam 386 Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Warad; Amîr al-Shâ’alîk, hal., 40-41 387 Bani `Abas adalah kabilah yang sangat terkenal yang juga kabilah dari `Antarah ibn Syaddad al-`Abbasi. 388 Yusûf Khalîf, al- Syu`arâ’ al-Sha`âlîk fi al-`Ashr al-Jâhili, Mesir: Dâr al-Ma`ârif, tth, cet. 2, hal. 322, dari Abu al-Faraj al-Ishfahâni, al-Aghânî, jilid 3, hal. 88 128 syairnya bahwa ia berasal dari kabilah Nahd garis keturunan Qudlâ`ah. Namun suatu hal yang menarik perhatian adalah kebencian Urwah terhadap hubungan keluarga antara ayah dan ibunya, bahkan ia banyak mencerca saudara-saudaranya dengan pedas, hal ini mungkin disebabkan karena ibunya berasal dari kabilah Nahd yang kedudukannya lebih rendah dari kabilah ayahnya `Abas atau mungkin juga karena ada alasan lain. Dengan demikian, secara psikologis Urwah ibn al-Warad tumbuh di antara perasaan benci dan marah, sebab ayahnya adalah penyebab ia dikeluarkan dari kabilahnya, sedangkan ibunya berasal dari kabilah yang kurang terhormat. 389 Dari hal tersebut, Urwah sepertinya mengambil pelajaran bahwa siapa berkuasa ia akan dihormati, dan siapa yang lemah, maka akan menjadi hina. Selain kedua hal tersebut, hal lain yang mempengaruhi cara pandang Urwah adalah perlakuan ayahnya yang lebih menghargai kakaknya yang kaya, tanpa peduli pada dirinya yang miskin. Kondisi ini kemudian mempengaruhi cara pandangnya terhadap kehidupan, di mana masyarakat ternyata terbiasa menghargai orang karena kekayaannya, dan di sisi lain masyarakat juga mengganggap hina orang karena kemiskinannya. Hal ini kemudian menjadi landasan dirinya sebagai seorang Sha`âlîk yang sangat mengagungkan keadilan. 390 Dalam syair-syairnya, Urwah tidak banyak berbicara tentang kehidupan rumah tangganya maupun perempuan-perempuan di sekitarnya. Menurut penulis Diwan `Urwah ibn al-Warad, hal ini disebabkan karena `Urwah lebih banyak mencurahkan hidupnya untuk kelompoknya Sha’âlîk. Ta’abbath Syarran adalah Tsabit ibn Jabir al-Fahmi. Fahm adalah salah satu kabilah keturunan Qais ‘Aylan al-Mudlariyah. Banyak mitos seputar kehidupannya, namun yang pasti ia adalah seorang Arab Badawi dari kelompok Sha’âlîk yang sangat terkenal karena sifat-sifat antagonisnya. Ia satu dari sekian perampok Sha’âlîk yang paling licin, kejam, bengis dan sangat berbahaya yang terkenal dengan permusuhan- permusuhannya. Ta’abbath Syarran sendiri adalah nama julukan yang diberikan oleh 389 Yusûf Khalîf, al- Syu`arâ’ al-Sha`âlîk fi al-`Ashr al-Jâhili, hal. 322 390 Keterangan lengkap mengenai kehidupan Urwah ibn al-Warad, lihat Yusûf Khalîf, al- Syu`arâ’ al-Sha`âlîk fi al-`Ashr al-Jâhili, hal. 322-330 129 kelompoknya. Diceritakan bahwa pada suatu hari seseorang menanyakan keberadaan Ta’abbath Syarran pada ibunya, lalu si ibu menjawab, bahwa ia tidak tahu, namun ia menyatakan bahwa anaknya sedang menjalankan kejahatan yang dalam bahasa Arab ta’abbath syarran 391 . Setelah pernyataan ibunya tersebut, berdasarkan riwayat, ia mulai dipanggil dengan nama tersebut. Tabbath Syarran mati terbunuh di wilayah Hudzail dan jasadnya dibuang ke dalam sebuah gua. 392 Syair-syair Tabbath Syarran tersebar dalam buku-buku sastra. Sebagian besar syair-syairnya menerangkan tentang hal-hal yang berkaitan dengan dirinya dan kehidupannya yang keras. Selain menggambarkan kehidupannya yang keras, dari balik syair-syairnya juga terungkap sisi lain kepribadian seorang Sha’âlîk. Sebagaimana penyair-penyair Sha`âlîk lainnya, di balik kehidupan badawi yang keras, kejam, tanpa aturan, dan penuh dengan kesulitan, terlihat kepriadian lain yang menonjol dan menjadi karakter tersendiri bagi kelompok Sha’âlîk. Ta’abbath Syarran adalah seorang Sha’âlîk yang sangat terkenal dengan kemandiriannya, tidak ada yang menemaninya selain sebuah pedang yang tumpul al-yamâni al-âfil, ia adalah seorang laki-laki yang kuat yang memadukan antara keberanian dan kecerdasan. Di samping itu, ia juga seorang laki-laki yang bijaksana, dermawan dan suka menolong kaum yang lemah. Itulah gambaran singkat tentang seorang putra asli Arab Jahiliyah. 393 Contoh syairnya : ج ج ق ل حي مل ء ل ب م ه م س ق ض Bila seseorang tidak pandai mengurus suatu masalah namun ia meminta bagian, sesungguhnya dia telah menghilangkan dan merusak haknya sendiri, dan ia lari dari tanggung jawab. ا ن سيل ل حل خ ن ل م ي ل ه ا ب ل هب Namun orang yang bijak adalah orang yang siap menghadapi kesulitan dan tahu apa yang dilakukannya. 391 ta’abbath adalah kata kerja dalam bahasa Arab yang berarti meletakkan sesuatu dalam ketiak, sedangkan syarran berarti kejahatan, sehingga ta’abbath syarran secara bahasa dipahami dengan melakukan kejahatan. 392 Tim penulis Lajnah, al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 65 393 Tim penulis Lajnah, al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 70- 71 130 ح ع م ه ل عي ق ف م ج م ه م س 394 Itulah penyakit zaman yang tidak mungkin dilakukan oleh orang yang melek, Jika lobang yang satu ditutup, muncul lobang yang lain. Adapun Syanfara diperkirakan hidup pada akhir abad ke-5 hingga awal abad ke-6 Masehi. Namanya adalah Tsâbit ibn Aus al-Azadi yang bergelar al-Syanfara 395 . Hidup sebagai Sha’lûk dan perampok yang ditakuti. Ia tidak memiliki tempat perlindungan kecuali gunung-gunung, menyerang lalu berlindung di baliknya. Diriwayatkan bahwa ia pernah bersumpah untuk membunuh 100 orang laki-laki dari Bani Salâmân. Ia berhasil membunuh sebanyak 99 orang, namun Bani Salâmân kemudian menjebaknya dan berhasil ditangkap oleh salah seorang musuhnya, yaitu Asîd ibn Jâbir yang kemudian membunuhnya. Pada suatu ketika lewat seorang laki-laki dari Bani Salâmân ke tempat itu dan menyepak tengkorak Syanfara. Tiba-tiba salah satu pecahan tulangnya menusuk kakinya, sehingga membuatnya meninggal dunia, maka genaplah 100 orang yang dibunuh olehnya. 396 Syanfara adalah salah seorang penyair dari kelompok Sha`âlîk. Syair-syairnya mayoritas berbicara tentang fakhr dan hamâsah. Syairnya yang paling popular, dikenal dengan nama “Lamiyat al-Arab” yang artinya ‘cercaan Arab’. Syair tersebut berbentuk kasidah terdiri dari 68 bait syair. Kehidupan kaum Sha’âlîk sebagai minority group yang selalu memberontak dan melawan kesewenang-wenangan, adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap diskriminasi dan dominasi yang dilakukan oleh majority group yang bersumber dari tidak adanya keadilan inequality yang mereka rasakan, sehingga pada akhirnya mereka menentukan sendiri nilai-nilai keadilan dengan cara mereka sendiri. Menurut Christopher Bates Doob dalam bukunya Sociology: An Introduction, ada empat bentuk respon yang biasanya muncul dari kelompok minoritas, pertama avoidance menghindar, Acceptance menerima, Assimilation membaur, dan Aggression 394 Tim penulis Lajnah, al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 66 395 Syanfara adalah anak keturunan dari al-Iwâs ibn al-Hijr ibn al-Hanw ibn al-Azad. Yûsuf Khalîf, al-Syu`arâ al-Sha`âlîk fi al-`Ashr al-Jâhili, Mesir: Dâr al-Ma`ârif, tth, cet. 2, hal. 331 396 Tim penulis Lajnah, al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 72 131 melawan. 397 Pada komunitas Sha’âlîk, respon yang muncul adalah selain avoidance menghindar, mereka juga melakukan agresi guna menuntut keadilan yang mereka yakini. Itulah beberapa gambaran tentang Sha’âlîk, tokoh maupun falsafah hidup yang mereka anut. Penjelasan tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran tentang cara pandang dan perlakuan komunitas Sha’âlîk terhadap perempuan dalam syair-syair mereka. Tidak banyaknya syair-syair karya Sha`âlîk terutama yang berbicara tentang perempuan, mengharuskan penulis mengambil sampel syair dari semua penyair di atas, meskipun pada dasarnya hanya Urwah ibn al-Warad yang agak banyak berbicara tentang perempuan meskipun tidak sebanyak penyair kelompok lain. Minimnya penyair Sha`âlîk dalam menyebut dan menyinggung nama perempuan dalam syair mereka ini, perlu dikaji secara khusus dalam analisis. 2. Penyair Ghair Sha`âlîk: `Antarah ibn Abi Syaddâd Berdasarkan penjelasan di atas dan juga klasifikasi syair sebelumnya yang membagi penyair Jahiliyah ke dalam enam kategori, yaitu; penyair Badawi yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu Sha’âlîk dan ghair Sha’âlîk, penyair bangsawan, penyair istana atau penyair komersil, penyair filsuf hikmah, penyair religi madzhab, dan penyair perempuan, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan syair ghair Sha`âlîk adalah syair-syair yang lahir dari kelompok badawi murni, yang bukan berasal dari kelompok kerajaan, Sha`âlîk, para penyair kerajaan, penyair hikmah, maupun penyair perempuan. Biasanya penyair ghair Sha`âlîk berasal dari abnâ’ al-qabîlah yakni anggota kabilah murni. Tim penulis buku al-Mûjaz fi al-Adab al- ‘Arabi wa Târikhihi, menyebutkan sebanyak empat orang penyair Badawi Ghair Sha`âlîk, yaitu; al-Muhalhil 398 , al-Harits 397 Christopher Bates Doob, Sociology: An Introduction, New York: Holt, Rinehart and Winston, 1985, hal. 243-245 398 Al- Muhalhil wafat sekitar tahun 531 M, ia adalah ‘Addi ibn Rabî’ah al-Taghlibi, paman dari Umru al-Qais. Ia dijuluki dengan al-Muhalhil 398 karena syair-syairnya dianggap mudah. Selain al- Muhalhil , julukan lain yang diberikan untuknya adalah al-Zir orang yang lancung dan banyak berbuat maksiat, karena hobinya yang berlebihan bersama perempuan di kedai-kedai minuman. Ia juga terkenal sebagai pahlawan dalam perang Basus yang terjadi antara kabilah Taghlib dan Bakr. 132 ibn Halzah 399 , Amr ibn Kaltsum 400 dan ‘Antarah ibn Syaddad. 401 Keempatnya adalah Shâhib al- Mu’allaqât tokoh syair Mu’allaqat yang syairnya digantungkan di atas Ka’bah. 402 Di antara keempat penyair badawi tersebut, Antarah adalah penyair yang paling terkenal dan memiliki dîwan syair. Antarah 403 ibn ‘Amr ibn Syaddâd al-‘Abasi adalah seorang panglima perang dan penyair Arab yang sangat terkenal. Lahir di Najed. Ayahnya, adalah salah seorang tetua Bani Abas 404 , sedangkan ibunya seorang budak berkulit hitam yang berasal dari Habasyah bernama Zabibah. Karena itu ‘Antarah memiliki kulit hitam legam seperti ibunya, sehingga ia dijuluki dengan “aghrabah al- arab ’ burung Jalak dari Arab. Sebagaimana tradisi Arab, jika ada seorang anak lahir dari budak perempuan, anak tersebut tidak diperkenankan untuk menasabkan dirinya pada ayahnya, kecuali ia telah membuktikan dirinya sebagai seorang laki-laki yang istimewa karena itu ia hidup sebagai anak yang terbuang di tengah-tengah para budak lainnya, menggembala kuda dan unta. Namun jiwanya yang besar menentang keadaan tersebut, ia selalu mendambakan kebebasan dan penghargaan. Lalu ia bergabung dengan pasukan perang, sehingga iapun menjadi seorang panglima perang yang sangat disegani karena keberaniaannya. 405 Dan karena itu, ia akhirnya berhak menjadi seorang manusia yang merdeka dan menjadi abnâ’ al-qabîlah seutuhnya. 399 Harits ibn Halzah al-Yasykuri al-Bakri diperkirakan wafat pada akhir abad ke 6 M. Diriwayatkan bahwa saat ia mendendangkan syair mu’allaqahnya ia berusia 135 tahun. 400 Ia adalah Abu al- Aswad ‘Amr ibn Kaltsum ibn Malik al-Taghlibi. Ibunya Lalila binti al- Muhalhil saudara dari Kulaib. Ia adalah salah seorang panglima perang dan termasuk pemuka kabilah yang disegani. Ia diperkirakan wafat pada tahun 600 M di usianya yang ke-150. 401 Lajnah tim penulis, al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, hal. 80 402 Keempat penyair tersebut dapat dilihat dalam Syarah al- Mu’allaqat al-Sab’ yang ditulis oleh Ibn `Abdillah al-Husein al-Zauzani, Beirut: Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, 1985 M 403 Sebagian orang menyebutnya dengan Antara tanpa ta marbuthah seperti ia menyebutkan dirinya dalam syair, namun mayoritas menyatakan bahwa menggunakan ta marbuthah lebih valid. 404 Bani Abas merupakan salah satu kabilah yang sangat disegani di Jazirah Arab. Di kabilah inilah Antarah dilahirkan dan dibesarkan. Bani Abas adalah saudara dari bani Dzubyan kabilah dari penyair Arab terkenal al-Nabighah al-Dzubyani. Keduanya adalah keturunan dari Bani Ghathfan ibn Sa’ad ibn Qais ‘Ailân. Qais ‘Ailan adalah suku kedua dari kabilah Mudhar yang sangat besar. Muhammad Ali al-shabbah, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ru, Beirut: Dar al-Kutub al- Ilmiya, 1411 H 1990 M, hal. 45 405 Lajnah tim penulis, al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, Libanon: Dâr al- Ma’ârif, 1962, hal. 97, lih. Juga Muhammad Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ruhu, hal. 133 Dalam dunia sastra, Antarah termasuk dalam jajaran penyair Badawi yang sangat terkenal dan disegani. Syair-syairnya banyak berbicara tentang hamâsah spirit dalam berperang, fakhr, peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan ghazl yang menceritakan penderitaannya dalam bercinta yang sangat halus. Syair-syairnya banyak yang menjadi syair Mu`allaqah. Keberanian dan kepahlawan Antarah telah membawanya ke dalam kemuliaan dan kebesaran yang membebaskannya dari keterhinaan seorang budak. Ia akhirnya memperoleh nasab dari ayahnya dengan nama Antarah ibn Syaddad, bukan ‘Antarah ibn Zabibah. Hal itu bukan berarti ia tidak menghormati ibunya, namun kondisi mengharuskannya demikian, demi kehormatan dan kemuliaan, serta perasaan ingin diakui dan dihargai, sesuai dengan tradisi dan budaya bangsa Arab saat itu yang mengagungkan budaya patrialkhal. Perasaan seperti ini kemudian mendorongnya untuk dapat berbagi kebahagiaan dengan saudara laki-laki seibunya yang bernama Hanbala yang selama ini tidak diakui sebagai manusia merdeka seperti dirinya. 406 Meskipun antarah berkulit hitan legam namun hatinya putih seputih kapas. Ada beberapa alasan mengapa Antarah diangkat sebagai sampel dalam kajian ini, yaitu; pertama, bahasanya yang elegan dan natural mencerminkan gaya bahasa badawi murni. Kedua, `Antarah adalah representasi kelas sudra yang berasal dari budak berkulit hitam. Ketiga, ia prajurit sekaligus panglima perang yang sangat dihormati dan disegani kaumnya, meskipun berasal dari keturunan budak hitam. Keempat, ia adalah simbol budak yang kemudian menjadi manusia merdeka. Untuk itu, selain representasi kelas bawah, ia juga representasi kelas menengah, bahkan sebagai penyair kabilah, ia juga dapat dikategorikan sebagai anggota kabilah kelas atas.

C. Citra Perempuan Sha`âlîk