Citra Perempuan Ghair Sha’âlîk

151

D. Citra Perempuan Ghair Sha’âlîk

Di antara sekian banyak penyair Ghair Sha`âlîk, Antarah 436 ibn ‘Amr ibn Syaddâd al- ‘Abasi 437 adalah satu-satunya penyair yang memiliki dîwan syair yang paling banyak. Ia seorang prajurit yang sangat populer di kalangan masyarakat Arab Jahiliyah. 438 Dalam dunia sastra, Antarah termasuk dalam jajaran penyair Badawi yang sangat terkenal dan disegani. Syair-syairnya banyak berbicara tentang hamâsah spirit dalam berperang, fakhr, peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan terutama ghazal- ghazal nya yang menghiasi hampir semua syairnya. Syair ‘Antarah sendiri banyak yang menjadi syair Mu’allaqah. Dari syair ‘Antarah, banyak hal yang dapat diungkap tentang 436 Sebagian orang menyebutnya dengan Antara tanpa ta marbuthah seperti ia menyebutkan dirinya dalam syair, namun mayoritas menyatakan bahwa menggunakan ta marbuthah lebih valid. Antarah ibn ‘Amr ibn Syaddad al-‘Abasi adalah seorang panglima perang dan penyair Arab Jahiliyah yang sangat terkenal. Lahir di Najed. Ayahnya, adalah salah seorang petinggi Bani Abas, sedangkan ibunya seorang budak berkulit hitam yang beras al dari Habasyah bernama Zabibah. Karena itu ‘Antarah memiliki kulit hitam legam seperti ibunya, sehingga ia dijuluki dengan “aghrabah al-arab’ burung gagak dari Arab. Sebagaimana tradisi Arab, jika ada seorang anak lahir dari budak perempuan, anak tersebut tidak diperkenankan untuk menasabkan dirinya pada ayahnya, kecuali ia telah membuktikan dirinya sebagai seorang laki-laki yang istimewa dalam kabilahnya. Tradisi ini menyeret Antarah menjadi hamba sahaya abîd. Oleh karena itu ia hidup sebagai anak yang terbuang di tengah-tengah para budak lainnya, menggembala kuda dan unta. Namun jiwanya yang besar menentang keadaan tersebut, ia selalu mendambakan kebebasan dan penghargaan. Lalu ia bergabung dengan pasukan perang, sehingga iapun menjadi seorang panglima perang yang sangat disegani karena keberaniaannya. Lajnah tim penulis, al- Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi , Libanon: Dâr al- Ma’ârif, 1962, hal. 97, lih. Juga Muhammad Ali al-Shabbâh, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 50, atau Abd. Al-Mun’im Abd. Al- Ra’uf Sulma dan Ibrâhîm al-Ibyâri, Syarh Dîwan Antarah ibn Syaddâd, Libanon: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1400 H1980 M, hal. tha 437 Bani Abas merupakan salah satu kabilah yang sangat disegani di Jazirah Arab. Di kabilah inilah Antarah dilahirkan dan dibesarkan. Bani Abas adalah saudara dari bani Dzubyân kabilah dari penyair Arab terkenal al-Nabighah al-Dzubyani. Keduanya adalah keturunan dari Bani Ghathfân ibn Sa’ad ibn Qais ‘Ailân. Qais ‘Ailan adalah suku kedua dari kabilah Mudhar yang sangat besar. Muhammad Ali al-Shabbâh, `Antarah ibn Syaddâd; Hayâ tuhu wa Syi’ruhu, hal. 45 438 Keberanian dan kepahlawan Antarah telah membawanya ke dalam kemuliaan dan kebesaran yang membebaskannya dari keterhinaan seorang budak. Ia akhirnya memperoleh nasab dari ayahnya dengan nama Antarah ibn Syaddad, bukan ‘Antarah ibn Zabîbah. Hal itu bukan berarti ia tidak menghormati ibunya, namun kondisi mengharuskannya demikian, demi kehormatan dan kemuliaan, serta perasaan ingin diakui dan dihargai, sesuai dengan tradisi dan budaya bangsa Arab saat itu yang mengagungkan budaya patrialkhal. Perasaan seperti ini kemudian mendorongnya untuk dapat berbagi kebahagiaan dengan saudara laki-laki seibunya yang bernama Hanbala yang selama ini tidak diakui sebagai manusia merdeka seperti dirinya. Muhammad Ali al-Shabbâh, `Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 66 152 citra perempuan dalam tradisi dan budaya masyarakat Badawi khususnya kelompok Ghair Sha’alik. 1. Budak perempuan imâ’, kedudukan dan peran 439 Syair- syair ‘Antarah, selain mengisahkan tentang patriotisme seorang prajurit Badawi, hal lain yang menonjol adalah kisah cinta sang penyair. Cinta, rindu, duka, dan lara, selalu menjadi topik utama dalam setiap syair-syairnya sebelum beralih pada tema lainnya, seperti fakhr, madh, ighâr hija, hamâsah , dan lainnya. Kisah cinta ‘Antarah dengan seorang gadis yang bernama ‘Ablah binti Malik anak dari pamannya yang sangat cantik rupawan yang berasal dari kalangan elite petinggi kabilah, adalah kisah cinta yang penuh romansa namun m enyedihkan. ‘Antarah adalah simbol laki-laki Badawi yang cintanya kandas karena nasib yang tidak berpihak padanya. Ayah Ablah dan saudara-saudaranya tidak pernah mengijinkan keduanya untuk bersatu dalam cinta. 440 Kisah cinta ‘Antarah-Ablah yang tidak mulus, bahkan terkesan menyakitkan, bukan lahir tanpa sebab, namun banyak faktor yang memicunya yang semuanya terkait erat dengan tradisi dan budaya serta cara pandang masyarakat Jahiliyah saat itu, seperti persoalan ras antara kulit putih dan hitam, juga stratifikasi sosial yang mengkotak- kotakkan manusia ke dalam kelas-kelas yang mirip dengan kasta dimulai dari abnâ’ al- qabilah sebagai kelompok elite, al-mawâli sebagai kelas menengah dan al-`abd sebagai kelas terendah. Hal ini, secara eksplisit terlihat dari balik syair- syair ‘Antarah berikut ini: يب مس ا ن ل نء س م ئ ع ه نع ق 441 Kulitku ataupun nama Zabibah tak pernah membuatku terhina Saat musuh-musuhku meremehkan ambisiku 439 Perbudakan adalah salah satu bentuk penindasan manusia terhadap manusia lainnya. Praktek perbudakan dianggap menyalahi hak asasi manusia yang seharusnya dijunjung, yaitu hak kemerdekaan liberty. Untuk itu perbudakan menjadi satu objek pembahasan yang sangat krusial dalam kajian feminisme. Banyak fakta dikemukakan oleh sejarawan, mengenai keterlibatan bangsa Arab Jahiliyah dalam praktek-praktek perbudakan. Hal ini dibenarkan oleh al- Qur’an, namun demikian, dalam kajian ini penulis sekali lagi ingin membuktikan hal tersebut melalui syair-syair. 440 Kisah cinta Antarah- ‘Ablah dibahas secara singkat oleh Muhammad Ali al-Shabbâh, `Antarah ibn Syaddâd; Hayâ tuhu wa Syi’ruhu, hal. 77 441 Bahr kâmil: mutafâ’ilun-mutafâ’ilun, dengan qâfiyah mutawâtir 153 ئ ع نع صأ تي ب ن ف ء ح ل غاب ن بأ 442 Andai aku tetap hidup, akan kubuat keajaiban Dan kubungkam kehebatan orang-orang yang fasih ahli bicara ن ل ب ن ل يعي ج نم س ث ل ب م ل عف 443 Mereka mengejekku karena kulitku yang hitam Padahal kejahatan mereka lebih buruk dari kelamnya kulitku ن يعت ج ب عل ل ح ت ل خ ضيب 444 Musuh-musuh menghinaku karena hitamnya kulitku Padahal putihnya sifat-sifatku menghapus kehitamanku ع ني ل ن ح حي م لك 445 Akulah si hajîn 446 Antarah Setiap laki-laki melindungi kehormatan perempuannya س ع ب نم ف هم ي ح آ نم هم ب 447 Ia dibesarkan oleh seorang pemuda dari bani abas Yang menjadi Ayahnya, dan ibunya dari keluarga Ham 448 ه ع خ ل عل ن م ف نم م ق ج تيع Akulah si budak yang diceritakannya Kujaga kehormatan bangsaku dari cerai berai Dari bait-bait syair di atas, ada beberapa kata kunci yang akan mengungkap cara pandang bangsa Arab terhadap seseorang baik laki-laki maupun perempuan, pertama kata-kata seperti: ل warna, ج kulit, dan س hitam, yang dipadankan oleh 442 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 7 443 Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 62 444 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 57 445 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 92 446 Yang dimaksud dengan Hajîn adalah seorang anak yang lahir dari seorang Ayah keturunan Arab dan ibunya seorang hamba sahaya. Al-Munjid, hal. 856 447 Muhammad Ali al-Shabbâh, `Antarah ibn Syaddâd; Hayâ tuhu wa Syi’ruhu, hal. 76. Kata ي هم dalam Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 159 tertulis هم ي yang artinya diperlihatkan atau diberikan, sesuai dengan bait sebelumnya. 448 Hâm, yakni keluarga ibunya seorang budak berkulit hitam. Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd , hal. 159 154 penyair dengan kata-kata ء س membuat hina, يعي mencela, menghina, dan يعت mencela, menghina . Ungkapan seperti ل ب ن ل يعي ‘mereka menghinaku karena hitam kulitku ’ dengan menggunakan dlamîr kata ganti untuk jamak, menunjukkan, bahwa persoalan diskriminasi rasial antara kulit-putih dan hitam, bukan persoalan individu, namun menggambarkan perilaku sosial yang terjadi saat itu di dalam masyarakat Jahiliyah. Dari kata-kata tersebut, bisa dipastikan bahwa masyarakat Arab Jahiliyah saat itu telah melakukan diskriminasi rasial antara kulit putih dan kulit hitam, yang kemudian menempatkan kaum kulit hitam pada posisi yang sangat rendah dan hina. 449 Ada ungkapan yang menarik yang berkaitan dengan Black women perempuan kulit hitam dalam dunia feminisme, seperti yang diutarakan oleh Joseph yang dikutip oleh Ensiklopedi Feminisme , “Saya memakai huruf besar pada kata ‘Hitam’, karena saya menganggap kata tersebut bukan sekedar warna, namun sebagai identitas kultural, perso nal, dan politis”. Maka menjadi kulit hitam dan perempuan merupakan peran ganda yang harus dihadapi dalam kehidupan nyata. 450 Ungkapan ini membuktikan, bahwa betapa persoalan rasial yang dihadapi perempuan kulit hitam sangat berpengaruh terhadap kehidupannya baik individual maupun sosial. Hal ini terbukti dalam kasus dan kisah `Antarah. Bila pilihan kata di atas merupakan indikasi adanya diskriminasi rasial antara kulit putih dan hitam, yaitu bangsa Arab murni dengan Arab keturunan, maka pilihan kata seperti: يب , , ح آ, ني ل , ع , dan ب ن , akan mengungkapkan perilaku diskriminatif lainnya yang terjadi pada masyarakat Jahiliyah. Zabibah يب adalah nama seorang perempuan, kedudukannya adalah ibu kandung dari ‘Antarah sang 449 Persoalan ras adalah salah satu ragam kritik sastra feminis yang menyoroti terjadinya diskriminasi terhadap kaum perempuan yang disebabkan oleh perbedaan ras, yang dalam hal ini antara kulit putih dan kulit hitam. Terbukti bahwa persoalan ras telah ada sejak zaman dahulu, dan upaya penentangan terhadap ideologi ini juga telah lama diupayakan oleh manusia. Lih. Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 36 450 Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, terjemah Mundi Rahayu, hal. 43 155 penyair. Zabibah adalah keturunan dari keluarga Ham si budak hitam 451 ح آ , yang kemudian menikah dengan seorang laki-laki Arab tulen dan melahirkan seorang hajîn ني ل , yaitu anak yang lahir dari seorang laki-laki Arab tulen dengan istri seorang budak. Akibat dari perkawinan tersebut lahir seorang budak ع yang diberi nama ‘Antarah. Antarah tidak dapat mengikuti garis keturunan ب ن ayahnya yang merdeka, karena ia lahir dari seorang ibu budak, kecuali ia dapat membuktikan dirinya sebagai seorang kesatria dan pahlawan besar bagi kabilahnya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa budak dalam stratifikasi sosial masyarakat Jahiliyah, menempati posisi yang sangat rendah dan terhina. Inilah salah satu tradisi sosial yang terjadi dalam masyarakat Jahiliyah. Seorang ibu yang berasal dari kalangan budak, bisa menjerumuskan anaknya menjadi seorang budak pula, bahkan seorang ayah yang terhormat pun tidak dapat mengangkat derajat anaknya menjadi seorang yang merdeka, kecuali karena perjuangannya sendiri. 452 Inilah bentuk diskriminasi bangsa Arab Jahiliyah yang kedua setelah diskriminasi rasial, yaitu adanya perbudakan dalam sistem sosial yang sangat merugikan dan melukai hak-hak asasi manusia, yaitu hak untuk hidup secara merdeka. Praktek-praktek perbudakan yang menjadikan manusia layaknya harta benda yang dapat dimiliki dan diperjualbelikan adalah salah satu bentuk dari 451 Penulis yakin bahwa yang dimaksud dengan keluarga Hâm oleh penyair adalah keluarga ibunya yang merupakan keturunan budak berkulit hitam, sebab salah satu makna dari kata hamma di dalam kamus adalah hitam. Selain itu, dalam Syarah Dîwân `Antarah maupun dalam buku `Antarah ibn Abi Syaddâd: Hayâtuhu wa Syi`ruhu , tidak didapat penjelasan makna lain dari kata ح آ selain budak berkulit hitam. 452 Kondisi `Antarah seperti ini, sama dengan apa yang disampaikan oleh Sugihastuti dalam kasus novel Siti Nurbaya, menurutnya kebangsawanan seorang anak adalah warisan dari kedua orang tuanya. Jika bapak ibunya berbangsa tinggi, anaknya juga akan berbangsa tinggi. Akan tetapi yang paling menentukan sesungguhnya adalah status sosial ibu. Jika ayah ibunya berbangsa tinggi, anaknya pun akan berbangsa tinggi. Sebaliknya jika ayahnya berbangsa tinggi, sedangkan ibunya tidak, maka anaknya akan turun berbangsa rendah. Untuk itu Sugihastuti mengambil contoh tokoh Samsulbahri dalam kisah Siti Nurbaya, di mana ayahnya seorang yang berbangsa tinggi, tetapi kawin dengan perempuan dari kalangan rendah yang hanya seorang sitti. Akibatnya Samsulbahri pun turun bangsanya, hanya menjadi seorang marah gelar anak sutan yang menikah dengan perempuan biasa atau anak putri hasil perkawinan dengan laki-laki biasa. Sugihastuti Suharto, kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, hal. 80-81. Marah dalam adat Minangkabau atau hajîn dalam tradisi Arab Jahiliyah, keduanya adalah sama, hanya saja gelar hajîn khusus bagi laki-laki, sedangkan marah berlaku bagi laki-laki maupun perempuan. 156 social violence kekerasan sosial yang banyak dilakukan bangsa-bangsa kuno, termasuk bangsa Arab Jahiliyah. 453 Kondisi inilah yang kemudian membawa kisah cintanya bersama `Ablah kandas. Kulitnya yang hitam legam, serta kedudukannya sebagai hamba sahaya telah membawanya ke dalam sebuah penderitaan yang berkepanjangan. Sebagai seorang budak perempuan, secara individu Zabibah memiliki kedudukan yang sangat rendah di mata masyarakat. Sebab secara status sosial ia sangat berbeda dengan perempuan merdeka al-Hurrah yang memiliki kedudukan yang tinggi, 454 namun tidak demikian halnya sebagai seorang ibu, dari bait-bait syair di atas sangat jelas bahwa Antarah sebagai seorang anak sangat mengagumi ibunya, dan tidak merasa minder karena terlahir dari seorang hamba sahaya berkulit hitam. Ungkapan salah satu bait syairnya ‘Akulah si hajîn anak yang lahir dari ibu budak dan ayah Arab Antarah, dan setiap laki-laki pasti melindungi kehormatan perempuannya’, menunjukkan bahwa betapa ia menghormati dan bangga terhadap ibunya, meskipun dalam kata al-hajin itu sendiri terdapat makna ayahnya, namun bukan ia yang dibanggakannya, sebab ayahnya sendiri tidak mampu menariknya dari lembah perbudakan. Ungkapan senada terlihat dalam syair-syairnya berikut ini: ب ن ل ف س يعي ن ل ب ل ت ف م ل ي 455 Jika mereka menghinaku karena aku hitam, sesungguhnya hitam itu membuktikan siapa nasabku saat dilahirkan, jika suatu ketika keluarga meninggalkanku. 453 Dalam feminisme ada sebuah definisi yang telah disepakati secara internasional tentang kekerasan terhadap perempuan gender based violence, yaitu: segala tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat pada kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual dan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi. Lih. Euis Amalia dkk., Isu-isu Gender Dalam Islam, hal. 18 454 Berdasarkan hasil penelitian sejarawan, terbukti bahwa dalam struktur sosial masyarakat Arab Jahiliyah, perempuan dibagi ke dalam dua kelas, pertama hamba sahaya Ima’, yaitu mereka yang memiliki kedudukan yang sangat rendah, seperti penyanyi bar atau pelayan. Kedua adalah perempuan merdeka al-Hurrah yang memiliki kedudukan yang tinggi, seperti juru masak, penjahit, dan tukang servis kemah. Termasuk ke dalam kelompok ini perempuan bangsawan yang biasanya memiliki beberapa pelayan, dan mereka ini memiliki kedudukan yang tinggi dalam struktur sosial masyarakat Arab Jahiliyah. Muhammad Ridla Marwah, Umru al-Qais al-Malik al-Dlillil, hal. 12 455 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 10 157 ف ف س تب ع ح ل ن نم ف نأ 456 Jika ia ‘Ablah menghina kulit hitamku, maka sesungguhnya hitam itu kebanggaanku, karena aku prajurit perang dari keturunan Ham ن نب ح ب نم ع ي ج ك ل ح 457 Perempuan tua dari keturunan Ham budak hitam ibn Nuh Parasnya bagaikan batu mulia Nasab memiliki kedudukan yang sangat penting dalam tradisi bangsa Arab, karena ia membuktikan garis keturunan seseorang, apakah dari keturunan terhormat atau k eturunan rendah. Namun demikian, ‘Antarah tampak dengan bangga menyebut nama Ham yang merupakan nasab ibunya yang berasal dari kaum budak, tanpa ada rasa rendah diri, bahkan disertai madah pujian untuk ibunya. Seorang ibu, tampaknya memiliki kedudukan yang mulia dalam tradisi dan budaya masyarakat Arab Jahiliyah. Pujian yang dilontarkan ‘Antarah untuk ibunya berikut ini membuktikan hal itu: ع عيب م س ف ت ق ل م نب ب ج ب ي ل Ku bunuh prajurit mereka, prajurit Rabi’ah dengan sangat kejam Begitu juga al-Haidzuban dan Jabir ibn al-Muhalhil ن ك ني ل ء س نب ن ل س ف ع ت ع ض Padahal aku hanyalah anak dari perempuan berwajah hitam, ia bagai Serigala yang tumbuh di atas puing-puing rumah م عن س ل م م ل ل ل بح ل م م ع ل Betisnya bagaikan kaki burung unta Rambutnya bagai biji lada هن ك ل تحت نم غ ل ل ا ل ف أأت ب 458 Dan giginya, dari balik cadar terlihat bagaikan Kilat yang menyambar di gelapan 456 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 169 457 Syarah Diwan ‘Antarah, hal. 159 458 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 135 158 Dalam syair tersebut, tampak ada suatu kebanggaan dari `Antarah sebagai seorang prajurit yang kuat dan disegani, karena selalu menang dalam peperangan, padahal ia hanyalah seorang anak yang lahir dari seorang hamba sahaya berkulit hitam. Untuk menggambarkan sosok ibunya, penyair menggunakan gaya bahasa majâz, dan tasybîh . Misalnya, kata sawâd al-jabîn yang berarti berwajah hitam atau berdahi hitam, ia gunakan untuk menggambarkan tubuh ibunya yang hitam legam, padahal yang hitam bukan hanya wajah atau dahinya, namun seluruh tubuhnya berkulit hitam. Untuk itu ia gunakan majâz 459 mursal 460 dengan alâqah 461 juz’iyah 462 dan qarînah 463 isytimâlah 464 atau dalam bahasa Latin dikenal dengan istilah pars pro toto, sebuah majas yang menyebutkan sebagian untuk menyatakan keseluruhan. Selain menggunakan majas, untuk mengilustrasikan sosok ibunya, penyair juga menggunakan banyak tasybîh 465 , contoh, ibunya bagai serigala yang ada di atas puing-puing reruntuhan rumah. Sebuah kiasan bahwa ibunya, bukanlah sosok yang anggun nan cantik, namun terlihat garang bak binatang buas. Betisnya bagai betis burung unta, yakni besar dan kuat, sedangkan rambutnya bagai biji lada. Habb al-fulful biji lada adalah sebuah kiasan bagi seseorang yang berambut kribo sangat keriting. Adapun giginya, karena sangat putih dan berkilau, penyair mengumpamakannya bak kilat yang menyambar di malam hari. Malam itu sendiri adalah sebuah kiasan dari kulit ibunya yang hitam legam ibarat gelapnya malam. Maka secara fisik, ilustrasi `Antarah tentang ibunya menunjukkan bahwa ia bukanlah perempuan ideal bagi kaum laki-laki Arab Jahiliyah yang lebih mengagungkan kecantikan fisik dibanding kecantikan dalam, terutama perempuan yang 459 Majaz adalah penggunaan kata bukan pada makna yang sesungguhnya, karena adanya alaqah dan qarinah yang tidak menghendaki untuk diartikan sebenarnya. 460 Dikatakan majaz mursal apabila alaqah yang menghubungkan antara makna yang sebenarnya dengan makna yang dipindahkan bukan bersifat perumpamaan. 461 Alaqah adalah kesesuaian antara makna yang sebenarnya dengan makna yang dipindahkan. 462 Alaqah Juz’iyah adalah menyebutkan bagian namun yang diinginkan adalah keseluruhan 463 Qarînah adalah indikasi yang menunjukkan bahwa pembicara bukan menghendaki makna yang sesungguhnya. 464 Qarinah istimâlah adalah qarînah yang menunjukkan bahwa yang diucapkan mencakup keseluruhan. 465 Gaya bahasa kiasan 159 berkulit putih, langsing dan ramping seperti yang digambarkan oleh Umru al-Qais dalam bab sebelumnya. Apa yang diilustrasikan `Antarah tentang ibunya yang seorang perempuan kulit hitam, senada dengan apa yang diutarakan oleh Mary Helen Washington bahwa dalam sastra, ada citra yang kuat mengenai ibu kulit hitam yang perkasa. Untuk itu, hubungan ibu kulit hitam dengan anaknya, hanya bisa ditemukan ketika seseorang sampai pada terma-terma sejarah. 466 Hal ini terlihat jelas dalam syair `Antarah di atas yang semuanya merujuk pada sebuah penggambaran tentang seorang ibu kulit hitam yang perkasa dan kuat yang melakukan perannya sebagai seorang ibu dengan sangat baik. Bagi ‘masyarakat Arab Jahiliyah, ibu memiliki peranan yang besar dalam kehidupan yang sangat keras, hal ini terbukti dalam syair Antarah berikut ini: ا ل ف يب عت ح ل ي ف قإ ع Zabibah mengingatkanku agar jangan maju pada saat perang terjadi م ح ل ع ف ت حل ض حم ل نع ب 467 Ia takut kalau nanti aku mati terkena tusukan tombak atau tebasan pedang Dalam syair tersebut, Zabibah adalah sosok ibu yang sangat menyayangi dan mengasihi anaknya, selalu membimbingnya, dan mengingatkan agar tetap waspada. Peperangan selalu membuat seorang ibu takut akan kehilangan anak yang amat dikasihinya. Sikap affective penyayang yang ditunjukkan oleh Zabibah terhadap anaknya, bukan seperti yang digambarkan oleh Betty Friedan, dalam The Feminine Mystique 468 yang beranggapan bahwa peran istri, ibu, dan ibu rumah tangga hanyalah merupakan peran subsider atau peran pembantu, sebab terbukti dalam syair `Antarah bahwa ibunya adalah seorang yang memegang peranan penting dalam kehidupannya. Dari ungkapan penyair sebelumnya, ‘Ku bunuh prajurit mereka, prajurit Rabi’ah dengan sangat kejam, begitu juga al-Haidzuban dan Jabir ibn al-Muhalhil, padahal 466 Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, hal. 43 467 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 162 468 Betty Friedan, The Feminine Mystique, New York: Garden City, 1977, hal. 271, dikutip oleh Soenardjati Djayanegara, Citra Wanita dalam Lima Novel Terbaik Sinclair Lewis dan Gerakan Wanita di Amerika , Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1995, 91 160 aku hanyalah anak dari perempuan berwajah hitam, ia bagai serigala yang tumbuh di atas puing- puing rumah’, menunjukkan bahwa ada peran besar dalam diri seorang ibu. Ibu, dalam hal ini bukan lagi sebagai peran subsider atau pembantu, sebab justru ialah yang memegang peran utama membimbing dan mendidik anaknya, sebab karena tradisi ayahnya justru tidak dapat mengangkatnya dari kehinaan sebagai seorang budak. Ibu adalah sosok yang ada dibelakang `Antarah yang siap mendukungnya dalam susah dan senang, dan menjadikannya sebagai seorang prajurit perang yang gagah berani. Sebagai seorang prajurit sekaligus penyair kabilah, `Antarah pada dasarnya adalah seorang laki- laki yang terhormat dalam kabilahnya, meski karena status sosialnya ia menjadi rendah, namun hal itu tidak menjadikannya rendah diri namun berjuang hingga akhirnya ia berhasil menjadi manusia merdeka, dan semua itu tidak lepas dari bimbingan seorang ibu yang kuat dan perkasa si budak berkulit hitam. Dengan demikian, pendapat Friedan yang menyatakan bahwa rendahnya kedudukan perempuan disebabkan karena perempuan hanya memainkan peranan sekunder atau suportif atau pembantu tidaklah semuanya benar. Peran tradisional yang dimainkan oleh Zabibah seorang ibu yang berasal dari kalangan budak berkulit hitam, ternyata terbukti mampu membuat sang anak menjadi seorang yang dapat diandalkan oleh kelompoknya, bahkan menjadi seorang penyair yang sangat terkenal. Dan penyair, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dalam budaya Arab Jahiliyah memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam kabilah. 469 Namun demikian perlu dicatat bahwa meskipun secara individual sebagai ibu, Zabibah tetap dihormati anaknya, secara sosial sebagai seorang perempuan ia tetap seorang manusia kelas rendah yang tidak dapat memperoleh hak kemerdekaannya meski ia telah melahirkan seorang anak dari laki-laki Arab tulen dan memiliki kedudukan tinggi. Kedudukannya tetap sebagai seorang budak yang bisa dijual dan dibeli kapanpun pemiliknya mau, dan kedudukannya sebagai seorang ibupun tidak mampu merubah statusnya tersebut. Sebaliknya `Antarah, sebagai seorang laki-laki meski ia seorang hajin, namun dapat merubah kedudukannya menjadi orang yang 469 Betty Friedan, The Feminine Mystique, hal. 271 161 merdeka. Slavery pada dasarnya tidak sama dengan sistem kasta, sebab dalam perbudakan kemungkinan untuk merdeka selalu ada, berbeda dengan sistem kasta yang tidak memungkinkan anggotanya berpindah dari satu level ke level yang lain. Berdasarkan hal itu, dalam perbudakan pada dasarnya menganut dua macam status sekaligus, yaitu ascribed status, yaitu status yang diperoleh secara langsung, seperti status `Antarah yang lahir sebagai seorang budak, karena lahir dari ibu yang budak. Namun demikian, karena ia juga merupakan keturunan dari bangsa Arab murni, maka berhak memiliki status sebagai manusia merdeka meski untuk meraih status tersebut, harus melalui perjuangan yang sangat keras dan berliku. Berdasarkan hal itu, maka status `Antarah dapat berubah dari ascribed status menjadi achieved status. 470 `Antarah sebagai seorang anak laki-laki diberi kesempatan oleh ayahnya untuk merubah statusnya tersebut dari budak menjadi orang yang merdeka, namun sebaliknya Zabibah sebagai perempuan, meskipun telah melahirkan seorang anak laki-laki yang hebat, panglima perang sekaligus penyair kabilah yang handal, namun ia tidak diberi kesempatan untuk merdeka. Statusnya tetap sebagai seorang budak, tidak berhak menjadi seorang istri yang pantas dihargai dan dihormati, padahal wewenang power untuk memerdekakan keduanya ada di tangan sang ayah dan tuan. Zabibah tetap saja memiliki status layaknya harta benda yang dapat dijual dan dibeli kapanpun pemiliknya mau, di sisi lain anak laki-lakinya berhak memperoleh status yang lebih tinggi menjadi orang yang merdeka dan dihargai dalam kabilah. Dalam hal ini, terlihat ketidakadilan perlakuan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan terhadap perempuan dan laki-laki. Dari syair-syair yang digubah `Antarah membuktikan, bahwa tradisi perbudakan di kalangan bangsa Arab Jahiliyah adalah sebuah fakta yang tak dapat dibantah. Maka apa yang diungkapkan oleh Ahmad Masruch Nasucha dalam bukunya Kaum Wanita 470 Dalam sosiologi status sosial seseorang dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu ascribed status dan avhieved status. Ascribed status yaitu status yang diberikan pada seseorang tanpa memperdulikan bakat dan kemampuan yang dimilikinya, baik yang diperoleh karena perkawinan, bangsawan, kasta, ras, gender atau umur. Sedangkan avhieved status adalah status yang diperoleh seseorang berdasarkan hasil usaha dan perjuangannya. Richard T. Schaefer, Sociology, New York: McGraw-Hill Higher Education, 2003, edisi 8, hal. 111, lih. juga Munandar Sulaiman, Ilmu Sosial Dasar , Bandung: PT. Eresco, 1995, hal. 94 162 Dalam Pembelaan Islam , yang menyatakan bahwa perempuan dalam tradisi dan budaya Arab Jahiliyah diperlakukan sebagai budak sahaya oleh kaum laki-laki, diperjual belikan seolah-olah mereka itu binatang, 471 tidaklah salah. Namun demikian pernyataan tersebut tidak dapat digeneralisasi, sebab perbudakan tersebut ternyata selain dilakukan terhadap kaum perempuan, juga dilakukan terhadap laki-laki yang salah satunya adalah `Antarah. Bahkan `Antarah pada hakekatnya adalah anak laki-laki keturunan dari Arab murni, namun karena sang ibu seorang budak, maka ia juga terjerumus dalam kasta budak. Perbudakan pada hakekatnya adalah salah satu bentuk penindasan yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya, karena telah menghilangkan salah satu hak asasi manusia, yaitu hak kebebasan untuk menentukan nasib diri sendiri. Meski di mata bangsa Arab, Zabibah adalah sosok rendah tanpa status sosial, namun sesungguhnya ia telah memberi gambaran nyata pada kita tentang citra perempuan yang berasal dari budak berkulit hitam, bahwasanya ia adalah figur perempuan yang kuat, tegar dan penuh kasih. Secara umum, kedudukan imâ’ budak perempuan bagi bangsa Arab Jahili tak ada bedanya dengan harta benda yang dapat dijual dan dibeli kapanpun mereka menginginkannya. Oleh karena itu, seorang imâ’ tentu saja tidak memiliki hak apapun dari tuannya apalagi hak untuk dinikahi, karena pernikahan yang resmi hanya berhak dimiliki oleh perempuan hurrah, sedangkan imâ’ tanpa status pernikahan pun secara biologis si tuan berhak untuk memperlakukannya layaknya seorang istri. Hal ini senada dengan apa yang diutarakan Simone De Beauvoir dalam bukunya Second Sex, bahwa pada zaman patrialkal dan purbakala klasik, perempuan tersingkirkan dengan munculnya sistem kepemilikan pribadi, yang kemudian menjadikan nasib perempuan selama berabad-abad lamanya selalu dikaitkan dengan kepemilikan pribadi. Oleh karena itu sebagian besar sejarah perempuan terlibat dengan apa yang dinamakan patrimoni 471 Ahmad Masruch Nasucha, Kaum Wanita dalam Pembelaan Islam, Semarang: CV. Toha Putra, tth, hal. 10-11 163 atau garis ayah atau leluhur. 472 Sehingga ketika Islam datang dan memerintahkan untuk menikahi seorang hamba sahaya, hal itu merupakan sebuah revolusi ideologi yang sesungguhnya melawan harga diri bangsa Arab yang sangat mengagungkan kedudukan mereka sebagai bangsa kulit putih. Di dalam al- Qur’an al-Karim sendiri terdapat beberapa ayat yang membicarakan tentang praktek-praktek perbudakan yang biasa dilakukan oleh bangsa Arab Jahiliyah serta upaya untuk mengentaskannya. Ayat ini misalnya: نم ي ح ك ل ح ت ا { ح ت ا ،م ع ل ك م نم يخ م م مأ }م ع ل م نم يخ نم م عل ، م ي ح نيك ل 473 “Janganlah kalian menikahi perempuan-perempuan musyrik hingga mereka beriman, karena sesungguhnya budak perempuan mu’min itu lebih baik dari perempuan musyrik, meskipun ia menakjubkanmu, dan jangan pula kau nikahkan perempuan-perempuan muslim dengan laki-laki musyrik, karena sesungguhnya budak laki- laki mu’min itu lebih baik dari laki- laki musyrik, meskipun ia menakjubkanmu”. Dalam ayat tersebut, tampak sebuah upaya yang luar biasa untuk membebaskan manusia dari praktek-praktek perbudakan dari tradisi dan budaya masyarakat Jahiliyah. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa secara fisik, biasanya seorang budak berkulit hitam dan memiliki penampilan yang kurang menarik dibanding dengan bangsa Arab tulen. Untuk itu, baik secara fisik maupun kedudukan dalam struktur sosial bangsa Arab Jahiliyah, mereka termasuk kelompok yang rendah dan hina. Berdasarkan hal tersebut, al- Qur’an dengan tegas mengangkat kaum budak dari sisi lain yang selama ini tidak banyak dijadikan sebagai tolak ukur derajat seseorang dan belum disentuh bangsa Arab Jahiliyah, yakni melalui keimanan seorang manusia, yang menjadikan seorang budak memiliki nilai, tanpa harus melihat dari segi fisik dan kedudukannya di hadapan manusia. Sesungguhnya yang dimaksud dengan imâ’ itu sendiri tidak hanya budak perempuan, sebab selain itu juga termasuk ke dalam kategori ini penyanyi bar atau 472 Simone De Beauvoir, Second Sex; Fakta dan Mitos, terjemah Toni B. Febriantono, Indonesia: Pustaka Promethea, 2003, cet. 1, hal. 120 473 Al-Baqarah ayat 221 164 pelayan. Peranan mereka dalam tradisi masyarakat Jahiliyah tidaklah sedikit, sebagaimana tergambar dalam kehidupan Zabibah ibunda `Antarah. Contoh lain misalnya terungkap dalam syair `Antarah berukut ini: ه : ل ت ق ، ي ج ت ع ف ع ل ه خ ت Lalu kuutus pelayanku, dan kukatakan padanya, pergilah Cari tahu tentang keadaannya dan beritahukan hasilnya padaku غ عأ نم تي :تل ق ت م ه ن ل م ل 474 Ia pelayannya pun berkata: aku melihat musuh-musuh sedang dalam keadaan lengah Dan kambing memungkinkan bagi yang ingin memanahnya. Diriwayatkan bahwa suatu hari `Ablah tertawan dalam sebuah peperangan dan `Antarah bermaksud untuk membebaskannya. Untuk itu ia mengirimkan pelayannya sebagai mata-mata untuk mengintai keadaan musuh dan mengetahui keadaan `Ablah dalam tawanan. Setelah pelayannya tersebut berhasil mengetahui keadaan musuh, ia mengirimkan berita dengan menggunakan kata- kata sandi “aku melihat musuh-musuh sedang dalam keadaan lengah, dan kambing memungkinkan bagi yang ingin memanahnya”. Artinya, bila ingin menyerang dan membebaskan `Ablah maka sekarang adalah saat yang tepat, karena musuh dalam keadaannya lengah. Kata Al-syât, arti yang sebenarnya adalah kambing, namun dalam bahasa Arab kata tersebut terkadang diartikan perempuan sebagai kinayah 475 . Selain al-syât kata al- na`jah yang juga artinya kambing dijadikan pula sebagai kinayah untuk perempuan. 476 Bedanya adalah jika kata al-syât diambil dari kata ش لج ل ت yang artinya laki- laki berburu kambing, sedangkan kata al-na`jah diambil dari kata جعن ل yang artinya berwarna putih mulus. Berdasarkan hal tersebut, maka kedua kata tersebut pada hakekatnya sama saja, yang pertama kinayah perempuan sebagai objek buruan laki-laki, dan yang kedua kinayah perempuan sebagai objek pemandangan laki-laki. Kinayah yang mengkiaskan perempuan dengan kambing pada dasarnya adalah salah satu bentuk 474 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 152 475 Kinayah dalam Balaghah adalah menyebutkan kata namun yang dimaksud bukan makna yang yang sebenarnya, tanpa menutup kemungkinan untuk mengartikannnya sebagaimana makna aslinya. 476 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 152 165 pelecehan peran gender dalam bahasa. Untuk itu dalam teori feminisme, bahasa dianggap turut memberikan efek psikologi yang negatif terhadap kehidupan perempuan. Bahasa menurut penulis Psychology of Women memberi kontribusi yang kuat dalam konstruksi gendering, selain itu bahasa juga turut membentuk konsep dan cara pandang dunia terhadap perempuan. 477 Selain itu, dalam syair di atas juga tampak fenomena lain tentang perempuan kelas bawah dan perannya dalam masyarakat. Jâriyah dalam sistem sosial bangsa Jahiliyah termasuk dalam golongan ima’. Jâriyah itu sendiri sama halnya dengan hamba sahaya. Sebagaimana kata al-syât di atas, jâriyah itu sendiri mengandung arti kinayah untuk perempuan. Jâriyah secara derivasi diambil dari kata ج - ي yang artinya berlari dan melompat dengan lincah. Menurut kamus al-Munjid, dinamakan demikian karena ada hubungannya dengan gerakannya yang ringan dan cepat bagai berlari. Berdasarkan hal tersebut bisa dipastikan bahwa kinayah budak perempuan dengan kata jâriyah itu sendiri terkait erat dengan peranannya sebagai pelayan yang harus selalu bergerak cepat untuk melayani tuannya. Hal ini dibuktikan oleh budak perempuan `Antarah yang diberi kepercayaan untuk memata-matai musuh dan mencari informasi tentang kekasihnya. Kepercayaan untuk melakukan suatu hal yang sangat penting sebagai seorang mata-mata tidak mungkin diberikan pada seseorang yang kurang cermat dan cekatan. Hal ini adalah sebuah contoh bahwa budak perempuan memiliki peranan yang tidak mudah dalam tradisi bangsa Arab Jahiliyah. Selain menjadi pelayan rumah tangga, fungsi ima’ lainnya adalah menjadi pelayan kedai minuman. Hal ini tersirat dalam mukadimah syair mu`allaqah `Amr ibn Kaltsum 478 berikut ini: يح ف ك ح ب ه ا ي نأ خ ت ا 477 Joan C. Chrisler, dkk., Psychology of Women, New York: McGraww-Hill, 2004, hal. 5 478 Penulis buku al-Mûjaz fi al-Adab al-`Arabi wa Târikhihi memasukkan `Amr ibn Kaltsûm ke dalam kelompok penyair ghair Sha`âlîk. Nama lengkapnya adalah Abu al-Aswad `Amr ibn Kaltsûm ibn Malik al-Taghlabi. Ibunya Laila binti al-Muhalhil saudara Kulaib. Sebagai seorang penyair, ia tidak banyak dikenal kecuali lewat syair-syair mu`allaqatnya yang di antaranya dua bait syair di atas. Ia lebih banyak dikenal sebagai seorang panglima perang yang gagah berani dan percaya diri. Tim penulis, al- Mujaz fi al-Adab al-`Arabi wa Tarikhihi , hal. 91 166 Hai kemarilah dengan membawa gelas yang besar, lalu tuangkan minuman untuk kami, dan jangan kau sisakan khamr Andarina 479 يف صحل ك ع ع م ي س ل خ ء ل م Yang dicampur dengan air, pada saat dicampurkan, hush 480 di dalamnya bagai penghangat Salah satu tradisi yang sudah melekat di masyarakat Arab Jahili adalah kebiasaan berkumpul dan minum arak di kedai minuman. Di tempat seperti inilah biasanya para perempuan dari kalangan imâ’ dipekerjakan. Mereka bertugas melayani kaum laki-laki yang hendak bermabuk-mabukkan. Gambaran seperti ini terlihat jelas pada bait pertama dari syair di atas. Tradisi minum-minuman seperti ini pada dasarnya hampir mirip dengan salah satu tradisi di Yunani yaitu kebiasaan minum anggur yang dicampur dengan air di dalam kraters bersama teman-teman. Meminum anggur yang tidak dicampur air dipercaya dapat membahayakan jiwa, sebaliknya anggur yang dicampur air dengan benar, lalu disajikan bersama teman-teman sesama laki-laki dianggap sebagai sesuatu yang memiliki nilai positif. Dalam Simposion 481 tradisi minum bersama yang biasanya dilanjutkan dengan makan bersama merupakan saat bersenang-senang para laki-laki. Teman-teman yang selevel datang ke tempat tersebut untuk sekedar berbincang-bincang dan bernyanyi. Terkadang mereka hanya tidur-tiduran di atas sofa. Tidak ada tempat bagi perempuan dalam tradisi symposion ini, baik istri maupun saudara. Hanya perempuan yang bertugas melayani yang diizinkan berada di situ. Biasanya tradisi ini dilakukan pada saat-saat liburan. 482 Namun pada masyarakat Jahiliyah tradisi seperti ini bukan hanya pada saat-saat tertentu, namun biasa terjadi setiap saat dan kesempatan. Namun tugas yang diperankan perempuan, tidaklah berbeda, yaitu bertugas melayani kaum laki-laki yang sedang bermabuk-mabukkan. 479 Andarina adalah salah satu kota yang terdapat di negeri Syam. Khamr yang berasal dari tempat tersebut sangat terkenal sehingga dinisbatkan pada tempatnya yaitu Andarina. 480 Sejenis tumbuhan berbunga merah mirip dengan pohon za`faran. 481 Symposium adalah kumpulan lukisan yang terdapat dalam museum yang dijadikan sebagai peninggalan bersejarah 482 Georges Duby and Michelle Perrot, A. History of Women; From Ancient Goddesses to Christian Saint , London: The Belknap Press Combridge, 2000, cet. 6, hal. 216 167 Pada tahun sekitar 520-470 sebelum Masehi, dalam lukisan-lukisan Yunani, anggur, perempuan, nyanyian dan tarian, dilukiskan dalam berbagai kombinasi. Dalam lukisan Aphrodite and Dionysus love and wine, cinta dan anggur dilukis secara bersamaan. Eros erotisme tentu saja bagian dari rombongan lukisan Aprodite dan menjadi simbol seks yang dipenuhi hasrat seksual. 483 Bedanya adalah bila pada masa Yunani klasik, erotisme digambarkan melalui lukisan, dalam tradisi Arab Jahiliyah dilukiskan secara verbal melalui syair. Hal ini menunjukkan adanya kesamaan perlakuan terhadap perempuan dari masa ke masa, antara satu budaya dengan budaya yang lainnya, atau antara satu tradisi dengan tradisi lainnya. Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa keterlibatan perempuan kelas bawah imâ’ dalam tradisi bangsa Arab Jahiliyah, lebih banyak memainkan peranan domestik atau dalam dunia feminisme dinamakan dengan peran tradisional. Hal ini dapat dimengerti karena kedudukan mereka yang sangat rendah dalam struktur sosial saat itu, tidak memungkinkan mereka untuk berperan lebih banyak lagi. Dan hal ini pada dasarnya tidak saja terjadi di dalam tradisi dan budaya Arab Jahiliyah, namun terjadi di hampir seluruh budaya dan tradisi setiap bangsa kuno atau bahkan hingga saat ini. Namun satu hal yang pasti adalah, bahwa secara fisik maupun psikis para budak perempuan tersebut merupakan makhluk Tuhan yang kuat yang mampu melakukan hal- hal yang mungkin saja tidak dapat dilakukan perempuan-perempuan biasa. 2. Cinta dalam belenggu budaya patrialkal Syair dan perempuan dalam tradisi masyarakat Jahiliyah ibarat dua sisi mata uang yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Bila penyair-penyair lainnya, menyebutkan perempuan hanya sebatas basa-basi dan tradisi bersyair yang mereka sebut dengan al-nasîb , lain halnya dengan ‘Antarah, ia menyebutkan nama perempuan yang sama di hampir seluruh syair-syairnya, baik syair fakhr, ritsâ’, hijâ’, maupun madah . Ablah, adalah nama perempuan yang menjadi ikon syair-syairnya. Bagi Antarah, tiada syair tanpa ‘Ablah, dalam perang dan luka, dalam sedih dan senang, 483 Georges Duby and Michelle Perrot, A. History of Women; From Ancient Goddesses to Christian Saint , hal. 218 168 semuanya kembali pada ‘Ablah. ‘Ablah adalah simbol cinta sejati seorang laki-laki Badawi untuk perempuan. 484 Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa kulit `Antarah yang hitam legam serta kedudukannya sebagai hamba sahaya yang menempatkannya berada pada posisi yang paling rendah dalam stratifikasi sosial bangsa Arab Jahiliyah, membawa dampak yang sangat luar biasa terhadap perjalanan cintanya bersama `Ablah. Kisah cinta ‘Antarah-‘Ablah, pada dasarnya adalah gambaran besar tentang kehidupan dan budaya Arab Jahiliyah dalam memperlakukan perempuan yang pada hakekatnya bukan hanya menyakiti kaum perempuan, namun juga mencederai aspek-aspek kemanusian. Bukan persoalan gender semata, namun posisi ‘Antarah sebagai seorang budak kulit hitam telah menjadi penghalang besar dalam menggapai cinta mereka. Hal ini tergambar dalam syair- syair ‘Antarah berikut ini: ب ل ق ل ع ي ا ب ع ف كم ق يل جل Ahai Ablah, kerinduan semakin bertambah Namun semakin hari semakin keras juga kaummu menyiksaku ي لك ي ه ل ب ش ف ي م ي ك Setiap hari cintaku semakin besar padamu Bagai uban yang tumbuh di usia mudaku ح كيف ه ف ص ت ع عل ف ع كيب ف Kumaki berlalunya waktu saat-saat bersamamu, hingga Ajalku tiba, dan ayahmu terus mencercaku 484 Semasa hidupnya Antarah jatuh cinta pada seorang gadis anak dari pamannya sendiri yang bernama ‘Ablah binti Malik. Ablah adalah seorang gadis yang sangat cantik dan cerdas dari kalangan atas. Sayangnya cintanya terhadap Ablah menemui banyak rintangan, terutama dari ayah dan saudara laki-laki Ablah. Meskipun Antarah merupakan panglima perang yang gagah berani, namun keduanya tetap menganggap bahwa Antarah hanyalah keturunan seorang budak. Hal inilah yang membuat syair- syair ghazal Antarah penuh dengan rintihan dan penderitaan. Dan hal ini terus berlangsung dalam kehidupan Antarah hingga ia menemukan perempuan penggantinya bernama Umu Baqi yang kemudian ia nikahi. Sedangkan Ablah menikah dengan pria lain. Namun sebagian peneliti menyatakan bahwa ‘Antarah setelah ia dimerdekakan oleh ayahnya, dan dianggap telah memiliki nasab yang terhormat, ia dikabulkan untuk menikah dengan Ablah. Muhammad Ali al-shabbah, ‘Antarah ibn Syaddad; Hayatuhu wa Syi’ru, hal. 81, dikutip dari Bathras al-Bustani, Udaba al-Arab fi al-jahiliyah wa Shadr al-Islam, Beirut: Dar Shadr, tth, hal. 172-173 169 م ق ت ح عل تيقا ب ج ع ي مل ن ع ض Aku dimusuhi, namun tetap kujaga kaum yang telah menghancurkanku dan tidak menjaga kehormatanku ن ي ع ل ع ي س ق اك ب م ع لئ Tanyakan ‘Ablah, tentang kami saat turun perang melawan Kabilah-kabilah Bani Âmir 485 dan Bani Kilâb م تي خ ف نم مك خ اب ني ح ل بي خ Berapa banyak prajurit yang kutinggalkan dalam keadaan terbujur Penuh warna merah tangannya, meski tanpa celupan 486 ح ني ئ م م م ق ل ف ع ل ف ل 487 Kami bunuh sebanyak dua ratus orang yang merdeka Dan seribu orang yang ada di lereng-lereng gunung dan di bukit-bukit ‘Ablah, kerinduan, siksaan, cercaan dan Ayah ‘Ablah, adalah rangkaian kata yang disusun oleh ‘Antarah untuk menggambarkan percintaannya dengan ‘Ablah. Ada banyak kesakitan yang diungkapkan penyair dari balik cintanya. Inilah salah satu metaphor cinta yang disebut dengan desire is pain cinta itu sakit yang dikemukakan oleh Alice Deignan. 488 Meskipun ‘Antarah dikenal sebagai seorang prajurit yang gagah berani dan juga penyair yang sangat terkenal, namun tetap saja kondisinya sebagai seorang budak hitam, tela h menjadi penghalang besar cintanya dengan ‘Ablah. Pada persoalan ini, bukan hanya perempuan yang dirugikan, namun kondisi tersebut sesungguhnya telah menyakiti perasaan manusia secara umum. Cinta ‘Antarah-`Ablah hanyalah simbol dari ketidakadilan sosial, bukan semata-mata persoalan gender. Berikut keluh kesah ‘Antarah karena terpisah dari kekasih hatinya akibat dipisahkan oleh ayah ‘Ablah: عل تعيض ل ع ي ا ص ض ل ك ح م 489 485 Syair ini sebenarnya ditujukan pada Bani Âmir untuk membuatnya marah ighâr 486 ungkapan ini sepertinya menggambarkan kondisi korban perang yang bergelimang darah 487 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 13-14 488 Keith Harvey and Celia Shalom editor, Languange and Desire, London and New York: Routledge, 1997, hal. 28 489 Bahr wâfir 170 Wahai Ablah, perjanjian itu telah kau lenyapkan 490 Dan tali cintamu yang lalu jadi terhalang ك ا ل م ي ج ل م ل ب ا Tetap dalam keremajaan, dan kita tetap tidak menikah juga Dan waktu bukan sekali ini menguji cinta kita ح م ص تل م ي حل م ن ب ت 491 Ketegaran cinta kita selalu saja menjadi duka, bagai Jari-jari kami yang merobek-robek baju besi Diriwayatkan bahwa ayah `Ablah dan saudara laki-lakinya pernah merestui hubungan cinta Antarah dengan anaknya dan keduanya berjanji akan menikahkan keduanya. 492 Namun tiba-tiba `Umârah ibn Ziyâd al-`Abasi datang meminang `Ablah pada ayahnya Mâlik dengan membawa sejumlah pembesar kabilah Bani `Abas. Ayah `Ablah dan saudara laki-lakinya sangat menyukai `Umârah karena ia berasal dari keluarga yang kaya raya dan sangat terkenal. Akhirnya keduanya menerima pinangan dari `Umarah, padahal saat itu, mereka telah berjanji pada `Antarah untuk menikahkannya dengan `Ablah. 493 Inilah yang dimaksudkan oleh `Antarah dalam syairnya, “Wahai Ablah, perjanjian itu telah kau lenyapkan, dan tali cintamu yang lalu jadi terhalang”. “Ketegaran cinta kita selalu saja menjadi duka, bagai jari-jari kami yang merobek- robek baju besi”. Ada nada putus asa dalam syair tersebut, setelah akhirnya tanpa pemberitahuan janji pernikahan itu dibatalkan secara sepihak. Nada putus asa itu tersirat saat penyair mengumpamakan ‘ketegaran cinta mereka’ dengan ‘jari-jari yang merobek-robek baju besi’, yang artinya mustahil akan terjadi, meskipun berjuang dengan sekuat tenaga. 490 Diriwayatkan bahwa ‘Antarah sempat dijanjikan dapat menikahi ‘Ablah oleh ayahnya, namun perjanjian itu d ibatalkan sepihak oleh ayahnya ‘Ablah, karena ia dilamar oleh laki-laki yang kaya raya dan dari kalangan atas. Dalam hal ini, jelas bahwa motif ekonomi dan kedudukan membuat perempuan dianggap tidak berharga, dan tidak pantas untuk mempertahankan cintanya. Dominasi laki-laki ayah dalam tradisi Jahiliyah sangat kuat, sehingga perempuan dapat dijadikan sebagai alat tukar. 491 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 55-56 492 Berdasarkan riwayat, selepas `Antarah dimerdekakan oleh ayahnya karena kepahlawanannya, ayah `Ablah dan saudara laki-lakinya menyetujui Antarah untuk menikahi `Ablah. 493 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 50-51 171 Jika dalam syair sebelumnya ke dudukan ‘Antarah sebagai budak hitam menjadi penghalang bersatunya cinta dua anak manusia, dalam syair ini tampak ketidakberdayaan ‘Ablah dalam menentang kehendak ayahnya yang ingin memisahkan mereka. Betapa perempuan sebagai seorang anak, tidak diberi kebebasan untuk memilih pasangan hidupnya. Dominasi ayah bahkan saudara laki-lakinya sangat kuat, sehingga ia tidak diberi hak untuk mempertahankan cintanya. Selain itu motif ekonomi dan juga prestise, turut berperan menjadikan perempuan sebagai alat tukar yang menguntungkan. Semua yang terjadi itu, menunjukkan adanya dominasi yang sangat kuat yang dimiliki seorang ayah atau saudara laki-laki terhadap perempuan. Dalam hal ini kisah cinta `Antarah-Ablah tidak ubahnya dengan kisah fiksi Siti Nurbayah yang dipaksa oleh ayahnya untuk menikah dengan Datuk Meringgih seorang laki-laki kaya yang menghalalkan segala cara guna mencapai tujuannya. Dominasi ayah terhadap anak gadisnya dalam kisah nyata Antarah-Ablah ataupun kisah fiksi Siti Nurbaya, oleh Sugihastuti dikategorikan sebagai domestic violence atau kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan secara psikis. 494 Sebagai bentuk penyesalan atas nasib malang percintaannya dengan `Ablah, `Antarah menggambarkan keadaannya dan menyesali waktu-waktunya sebagai berikut: ي ل ع ي ي ل في بي ل ف هب ي Wahai ‘Ablah, kehadiranmu dalam mimpiku menyembuhkan Dan mengobati hatiku yang merana ع ه بحل ف كاه بي حل ن ج ت يح نم Hancurnya aku dalam cinta lebih mudah daripada hidupku Jika harus berpisah dengan kekasih ت ا ل حل مي ن ي بي ل ج ق ن 495 Wahai angin Hijaz, kalau bukan karenamu, api cinta di hatiku pasti padam Melebur tubuhku yang membara 494 Siti Nurbaya Dalam Analisis Kritik Sastra Feminis dibahas secara rinci oleh Sugihastuti Suharto dalam bukunya Kritik Sastra Feminis, Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hal. 206-273 495 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 21 172 Dan inilah gambaran kerinduan `Antarah saat terpisah dari `Ablah kekasihnya: حج فيك ه ش عم ك ق ت حل ف ق ي ش ن Andai saja air mataku menyaksikan bagaimana aku berusaha menahannya Sedangkan api kerinduanku di dalam dada bergejolak ل نم نك م ي يه ي ي لك م س ث Tidak mungkin kusembunyikan rasa cinta ini Sedangkan rasa sakitnya setiap hari semakin bertambah ت ب ق ش لت ق ي م غل يق ف ق Kubunuh kerinduanku dengan rasa sabar Sedangkan hatiku terikat dalam cinta م م ق ج ش ه ل عي ع ل ع اخ ج مل Padamu Tuhan kuadukan penindasan dan penganiayaan kaumku Jika tidak kutemukan teman jauh yang akan membelaku ت ق ع بح م ي خ م حل ي ش س ب Saha bat, cintaku pada ‘Ablah telah membunuhku Namun karenanya keberanianku semakin kuat, dan pedang pun terhunus كل م ب ي ل ع ح ق ي فيك غل ج هش ف نم Haram bagiku untuk tidur, wahai anak gadis Malik Bagaimana bisa tidur, sedangkan kasurnya terbuat dari pohon bara api ن ي ل م عي ح ن س غ ل حل ل ث ي ني ح Aku akan meratap hingga burung itu tahu, bahwa aku Sedang berduka, burung darapun menyanyikan lagu ratapan untukku ي م يف تن ض م ل ث نم ي ل لعل ي أ Kukecup tanah tempat tinggal kamu Semoga saja gejolak cintaku karena airnya tanah menjadi dingin هئ ت معل ب ي ق ت ح ي بك ل ع أ ث ع Wahai anak gadis pamanku, kau pergi, sedang aku di sini tersesat Mengikuti jejak-jejak sekedup, sambil berdendang 173 كل م ت ب ي ء عأ ت ي ن ل عي ك م ف 496 Wahai anak gadis Malik, Andai musuh memakiku Sesungguhnya cintaku apapun yang terjadi tetap setia م عم م ع ف ك ح ل ع ي ح ج ل ج ق ب 497 Hai ‘Ablah, cintamu dalam balungku mengalir bersama darahku Seperti nyawaku yang berlari di tubuhku ب ل حي ه ت ه ه حي ل عم به ك ل Apakah ini gerangan, angin dari tanah Syarabbah Atau kesturi yang terbawa angin ب ن ع نم ه ع ميغل نم لس ل Apakah yang muncul dari rumah ‘Ablah itu api Atau percikan kilat yang jatuh dari awan م ق ش ق ع ه حأ ل ن ي ه ل Wahai ‘Ablah, kerinduanku semakin bertambah Namun tak kulihat waktu berpihak pada cinta تي ل ق يئ ن ج مك ه ن ع ت ب ي ك جأ Berapa banyak rintangan dan marabahaya yang kuterima Karenamu, wahai anak pamanku ء ل ي كي يع ف ه ح ل ف ل ق م ت Jika kedua matamu saat jumpa memandangku, semakin menambah cintaku padamu ح ل ء م ن س ضي ي ه ق ل عم ك ي حم 498 Pedangku mengucurkan darah dari leher-leher Dan tombakku menembus baju besi langsung ke jantungnya 499 496 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 74 497 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 92 498 Diceritakan bahwa pada suatu hari ‘Antarah keluar dari kabilahnya untuk menolong sahabatnya dari Bani Mâzin yang bernama Hishn ibn ‘Auf . Pada saat kepulangannya, ia teringat kota Syarabbah dengan alamnya yang menyenangkan. Kota ini adalah tempat tinggal ‘Ablah kekasihnya yang karena kepergiannya tersebut, ia lama tidak berjumpa dengannya dan merasakan kerinduan yang sangat dalam. Lalu ia pun mendendangkan syair tersebut. Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 8 499 Bait syair ini, sudah menceritakan tentang keganasannya saat bertempur menyelamatkan sahabatnya Hishn ibn ‘Auf. 174 Berdasarkan latar belakang penyair, sangat jelas bahwa perlakuan tidak adil masyarakat Jahiliyah terhadap perempuan tidak semata-mata persoalan gender, namun juga sikap diskriminatif rasial dan stratifikasi sosial yang mereka anut. Sikap diskriminatif itu berlaku bagi siapa saja, baik laki-laki ataupun perempuan, tanpa peduli siapa yang disakitinya. Dari syair-syair `Antarah di atas, dapat disimpulkan bahwa ada empat unsur yang memotivasi terjadinya diskriminasi dalam percintaan, pertama, ideologi rasial yang dianut bangsa Arab saat itu, yaitu ideologi yang membedakan antara kulit putih dan hitam, dan cara mereka memandang rendah kelompok kulit hitam. Kedua, praktek- praktek perbudakan baik yang dibeli ataupun hasil tawanan, menjadikan budak atau tawanan tersebut memiliki kedudukan yang sangat rendah dalam sistem sosial bangsa Arab. Ketiga, permusuhan dan perselisihan antar kabilah, yang terkadang demi kehormatan kabilahnya, harus rela memusuhi orang yang dicintai. Keempat, adanya stratifikasi sosial dalam kabilah, memunculkan kelompok aristokrat, kelompok menengah dan hamba sahaya. Hal ini menimbulkan perbedaan cara pandang antara kelompok atas dan bawah. Keempat hal tersebut pada akhirnya menimbulkan ketidakadilan sosial, yang pada hakekatnya tidak hanya menyakitkan kaum hawa, namun juga bagi kaum Adam. Ia bukan hanya tidak adil bagi perempuan, tapi telah merampas hak-hak asasi manusia, yaitu perasaan ingin mencintai dan dicintai. Budaya patrialkhal yang dianut oleh bangsa Arab Jahiliyah, selanjutnya berubah wujud menjadi dominasi kaum laki-laki terhadap perempuan. Di sisi lain ideologi rasial yang mereka anut telah menciptakan sikap dan budaya kesewenang-wenangan antara kelas atas terhadap kelas bawah, dan kekuasan yang dimiliki kaum laki-laki menjadi sebuah kekerasan violence terhadap perempuan baik secara fisik maupun psikis. Dalam tradisi Arab Badawi kekerasan terhadap perempuan secara psikis ternyata jauh lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki terutama keluarga dibanding kekerasan secara fisik. 175 Dari kisah dan syair di atas, tampak citra perempuan Jahiliyah yang tertindas dan terbelenggu cintanya, yang disebabkan oleh kekuatan budaya patrialkhal, perbedaan ras, dan sistem stratifikasi sosial yang dianut oleh mereka, sehingga dominasi kelompok yang kuat terhadap yang lemah tampak sangat menonjol. Meskipun secara budaya, perempuan Jahiliyah memiliki citra cinta yang buruk akibat kuatnya sistem patrialkhal, namun demikian, cinta dalam syair-syair `Antarah, diilustrasikan oleh penyair sebagai sesuatu yang agung dan abadi. Meskipun kisah cinta `Antarah-Ablah merupakan cerita tentang kasih tak sampai antara dua anak manusia, namun hal yang tak dapat dipungkiri adalah bahwa cinta selalu menjadi sumber kekuatan bagi pemiliknya. Hal ini tampak jelas dalam syair-syair `Antarah, yang selalu menceritakan tentang keberanian dan semangatnya dalam setiap peperangan setelah mengungkapkan perasaan cintanya pada sang kekasih, seperti dalam syair sebelumnya. “Jika kedua matamu saat jumpa memandangku, semakin menambah cintaku padamu” yang kemudian ia lanjutkan dengan bait berikutnya, ”Pedangku mengucurkan darah dari leher- leher, dan tombakku menembus baju besi langsung ke jantungnya”. Dua bait syair tersebut membuktikan bahwa ada korelasi yang kuat antara perempuan, kekuatan cinta, dan laki-laki. Hal ini menunjukkan betapa besar pengaruh perempuan terhadap kejiwaan seorang laki-laki pada masa Jahiliyah. Ia mampu membangkitkan semangat juang seorang prajurit, sekalipun hatinya hancur karena penderitaan cinta. Contoh lainnya terlihat dalam syair ini: ه ا ل ت ك م ل ع ي عأ ي ك قي ل لي ق Aku, wahai ‘Ablah, kalau saja bukan karena cintamu, tidak mungkin Kawanku sedikit, dan banyak musuh ل ا ك ح س ع يس ي م 500 Demi kamu, punggung kuda akan tetap jadi tempat tidurku, pedang dan baju besiku jadi bantalku Penyair dalam syairnya tersebut ingin menyatakan betapa besar arti sang kekasih bagi hidupnya, bahkan ia rela tidak memiliki banyak teman asal kekasih selalu di 500 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 52-53 176 sampingnya, ia juga rela bila harus menghadapi sekian banyak musuh demi membelanya. Demi kekasihnya pula, ia bahkan rela untuk berperang selamanya, asalkan ia mendapatkan cintanya. Bila bagi penyair Jahiliyah lainnya, al-nasib menyebutkan perempuan dalam syair mungkin hanyalah sebagai pemanis dan tradisi bersyair belaka, namun bagi `Antarah perempuan adalah seluruh hidupnya, sehingga nama `Ablah tidak hanya sebatas mukadimah syair, namun tersebar di hampir seluruh syair-syairnya, baik dalam fakhr, hamâsah, hijâ, maupun madhnya, semuanya terangkai menjadi satu dalam kisah cinta budak hitam dan perjuangannya sebagai seorang prajurit perang. Hal inipun terlihat dalam syair lainnya: ه ه س ا كيب عل م ع حم ت ح ل Demi ayahmu, aku tidak akan berhenti mencintainya Meski cintanya menghancurkan tulangku ي لك ع ي كي ع اس ف اس ف اس Untukmu hai Ablah, setiap hari damai, damai, dan damai Cinta yang digambarkan oleh penyair dalam syair tersebut, membuktikan tentang adanya kesetiaan seorang laki-laki Jahiliyah terhadap perempuan. Meskipun kesetiaan tersebut perlu diberi catatan, sebab secara the facto terbukti, bahwa `Antarah bukanlah seorang laki-laki yang berasal dari kelas atas, yang memiliki kekuasaan, kekayaan dan kehormatan, seperti para penyair aristokrat, namun ia hanyalah seorang budak berkulit hitam yang karena keberanian dan kecerdasannya mampu mengubah hidupnya menjadi seorang panglima perang dan laki-laki merdeka. Meski demikian, `Antarah melalui syair-syairnya memberikan gambaran lain tentang makna cinta dalam budaya Arab Jahiliyah, bahwa perempuan tidak selalu dijadikan sebagai objek seksualitas dan pornografis semata, seperti yang biasa dilakukan oleh para aristokrat yang hanya menjadikan perempuan sebagai pemuas nafsu belaka, namun lebih dari itu, perempuan adalah simbol kekuatan dan cinta yang abadi. 177 Bila cinta oleh kalangan aristokrat lebih dimaknai sebagai desire atau hasrat bercinta, maka bagi penyair badawi perwujudan cinta tampil dalam bingkai yang berbeda. Sebagai contoh dalam syair berikut: ن م ف ن ن ت س م ها م ه م ف ح Aku tak pernah menginginkan seorang perempuan di suatu tempat Hingga kuberikan mahar pada walinya ي ح ع يحل ف غ ه خ ا شي ل ف غ Kukunjungi gadis kabilah di saat ia ada di samping mahramnya Jika ia sedang berperang, aku tidak takut selalu menjaganya ت ج ل ب يف ضغ ه م ت ج ي ح 501 Kutundukkan kedua mataku, jika muncul tetangga perempuan di hadapanku Hingga ia kembali ke dalam rumahnya Dari syair di atas, secara universal ada nilai-nilai kemanusiaan yang ditunjukkan seorang badawi ghair Sha`âlîk terhadap perempuan. Pertama, sikap menghargai terhadap perempuan dengan tidak memaksakan kehendak sebelum memenuhi haknya, meskipun sesuai dengan tradisi saat itu, mahar diberikan pada pihak wali. Kedua, sikap menjaga kehormatan perempuan dengan tidak membiarkan dirinya berada dengan perempuan tanpa didampingi mahramnya, namun bila dalam keadaan darurat perang, ia tidak berlepas tangan dan membiarkannya dalam bahaya, namun berusaha tetap melindunginya. Ketiga, ada upaya pencegahan terhadap eksploitasi tubuh perempuan maupun sikap-sikap yang merendahkan lainnya dengan menghindarkan pandangannya terlebih dahulu dari perempuan sebelum hasrat birahi menguasainya. Keempat, sudah menjadi asumsi publik, bahwa perempuan pada masa Jahiliyah dianggap sebagai barang yang tidak berharga dan poligami sudah dianggap sebagai suatu budaya. Bila kembali pada pembahasan sebelumnya tentang kehidupan kaum laki-laki aristokrat, maka bisa dipastikan bahwa asumsi tersebut adalah sebuah kebenaran. Namun demikian asumsi tersebut juga perlu dibuktikan secara adil ditinjau dari seluruh unsur masyarakat 501 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 185-186 178 Jahiliyah lainnya. Kesan bahwa poligami adalah sebuah tradisi dan budaya masyarakat Jahiliyah secara umum terbantahkan oleh orientasi monogami `Antarah yang tertuang dalam syair-syairnya. Sebagai contoh ungkapan `Antarah yang sangat mengagungkan kesetiaan: ج م ي ل ح س م ن ه ه ل س ل ع ت ا Akulah laki-laki berakhlak mulia dan terhormat Tak kubiarkan jiwa ini sekehendak hati خ ع ب تل س ن ل ه س ء ل نم ي ا 502 Namun jika kau tanyakan pada`Ablah tentang hal itu, ia pasti ber cerita Bahwa tak ada perempuan yang kuinginkan selain dia Pernyataan “Namun jika kau tanyakan pada `Ablah tentang hal itu, maka ia menceritakan bahwa tak ada yang kuinginkan selain dia”, adalah sebuah bukti kongkrit tentang sebuah kesetiaan seorang laki-laki terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun poligami adalah sesuatu yang dilegitimasi bahkan cenderung jadi budaya, namun tidak bisa diabaikan bahwa secara kasuistis, kecenderungan seorang laki-laki untuk melakukan monogami dalam setiap kehidupan manusia selalu ada. Jika fenomena ini dibandingkan dengan kasus Umru al-Qais sebelumnya, muncul sebuah pertanyaan besar, benarkah bahwa poligami itu sebuah budaya atau hanya hasrat individu? Berdasarkan kasus Antarah dan Umru al-Qais, maka diperoleh suatu jawaban bahwa poligami pada hakekatnya adalah hasrat individu yang berubah menjadi budaya yang disebabkan oleh faktor kekayaan privilegeproperty, kehormatan pertige, dan kekuasaan power yang dimiliki oleh laki-laki. Berdasarkan penjelasan di atas, ada perbedaan pandangan tentang makna cinta antara kelompok aristokrat dan kelompok badawi terhadap perempuan. Kelompok aristokrat memahami cinta ghazal terhadap perempuan sebagai sebuah desire atau hasrat seksual dan erotisme, sedangkan kelompok Badawi memahami cinta sebagai sesuatu yang agung dan sumber kekuatan. Sudut pandang yang berbeda ini tentu saja 502 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 185-186 179 dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi yang berbeda antara keduanya. Sebagai kelompok Aristokrat, Umru al-Qais dapat dengan mudah memperoleh perempuan manapun yang diinginkannya, sedangkan `Antarah sebagai seorang budak harus berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkan perempuan yang diinginkannya, sehingga kondisi tersebut akhirnya menciptakan sudut pandang dan perlakuan yang berbeda terhadap perempuan yang mereka cintai. Di sisi lain, perempuan, baik dalam lingkungan istana ataupun dalam lingkungan badawi, tetap saja sebagai objek yang tidak dapat memainkan peranannya secara mandiri, dan selalu berada di bawah bayang- bayang dan dominasi kaum laki-laki. Meskipun perempuan dalam dalam syair istana maupun badawi menjadi ikon tersendiri, namun demikian mereka tetap saja selamanya sebagai objek impian, the second sex warga kelas dua, dan subordinatif, sedangkan figur laki-laki terus menjadi the authority yang selalu membayangi dan mendominasi setiap langkah perempuan. 503 3. Kecantikan di mata seorang Badawi Setiap kelompok penyair Jahiliyah mempunyai karakteristik tersendiri dalam memvisualisasikan perempuan. Visualisasi 504 ini biasanya terkait erat dengan tradisi dan budaya masing- masing. Lalu bagaimanakah ‘Antarah sebagai seorang penyair Badawi Ghair Sha’alik mendeskripsikan perempuan? Berikut beberapa gambaran syair washf 505 `Antarah saat mencitrakan perempuan dalam syairnya: ء ع حي م ل تم 506 ء ن ل م ظحل ب 507 503 Hal ini senada dengan ungkapan Suwardi Endraswara yang menyatakan bahwa, “Karya sastra sejak zaman dahulu kala telah menjadi culture regime dan memiliki daya pikat kuat terhadap persoalan gender. Persepsi wanita sebagai makhluk yang lemah lembut, permata, bunga, dan sebaliknya pria sebagai kaum yang cerdas, aktif, kuat dan sejenisnya- selalu mewarnai di hampir semua sastra di dunia. Citra wanita seperti itu seakan-akan telah mengakar dalam benak penulis dari masa ke masa. Dan paham yang sangat sulit dihilangkan hingga kini adalah terjadinya hegemoni pria terhadap wanita. Hampir seluruh karya sastra, baik yang dihasilkan oleh penulis pria maupun wanita, dominasi pria selalu lebih kuat. Figur pria terus menjadi the authority, sehingga memberikan asumsi bahwa wanita adalah impian, the second sex , warga kelas dua dan tersubordinasi”. Suwardi Endraswara dalam bukunya Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi Model, Teori, dan Aplikasi , Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003, hal. 143, 504 Visualisasi adalah pengungkapan suatu gagasan atau perasaan dengan menggunakan gambar, tulisan, kata maupun angka. 505 Syair yang sengaja dibuat untuk mendeskripsikan sesuatu 506 ‘Adzrâ adalah gadis yang belum disentuh laki-laki virgin 180 Gadis cantik nan rupawan memanah hatiku Dengan panah kerlingan matanya yang tidak ada obatnya ه ن نيب يعل م ء ن حل ل ل م Pada hari raya ia berjalan di antara gadis-gadis Bagai mentari-mentari, kerlingan mata mereka bagai kijang تك ح ب بي ق ت ف خ ء ص ل عب هف ع Ia ‘Ablah melenggang, lalu kukatakan ‘ia bagai pohon Ben’ yang ketiaknya dahan digerakan oleh angin Shibâ semilir setelah angin Janûb panas ع م ل غ ت ف تن ءاي ا ل طس ع ق Ia memandang 508 dan kukatakan ‘matanya bagai kijang yang ketakutan Yang terkejut saat melihat bahaya ه ت يل ل ت ف ب ء ل م ن هت ق ق Ia muncul, dan kukatakan ‘bagai bulan purnama yang sempurna Dihiasi bintang-bintangnya oleh rasi gemini ه غث ل ل ء يض اف ت ب ء ش ني ش عل ء ل هيف Ia tersenyum, tampak kilau mutiara dari mulutnya Mengobati rasa sakit orang-orang yang sedang jatuh cinta ت ي ف ب م عت س ء عل ب ب لا ل Ia bersujud mengagungkan Tuhannya, sehingga karena pesonanya tuhan-tuhan kamipun memperhatikannya هف عض ه ل م ل ع ي ء ج يإ عق ع 509 Wahai ‘Ablah, karena cintamu yang kumiliki atau bahkan lebih dalam lagi Maka, dalam putus asa selalu ada harapan حأ ي ع ل نم ي ل ش ل نيب نع ي Milik siapakah gerangan mentari-mentari itu, perempuan terhormat di dalam sekedup, mereka muncul di antara hiasan dan sutra 510 507 Bahr kâmil: mutafâ’ilun-mutafâ’ilun, dengan qâfiyah mutawâtir 508 Arti sebenarnya adalah memandang dengan mata yang lebar, atau membelalak 509 Abd al- Mun’im Abd al-Rauf Syulmâ dan Ibrâhim al-Abyârî, Syarh Dîwan ‘Antarah ibn Syaddâd , Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1980 M 1400 H , hal. 5-6 181 يم ك ل ئ ف لك نم ع ف ص ق ل ل نم Kecantikan yang tiada taranya, bagai boneka yang terbuat Dari mutiara yang diletakan di atas gading gajah ن ك ي ل ف لف ت ت ج ن ف حن ت ن غ Ia berjalan dan menarik ekor bajunya, bagai Dahan pohon berjalan di atas pasir yang bergerak لب لص م ن ب ت ح ج ن لم ن ب ت م Dikelilingi pedang dan lembing Dan berjalan bersama mereka unta-unta yang berlari kencang dan lamban ن ك ْقل ء يه ن يف مأ ع ع م ك ف Di antara mereka tampak seorang gadis ramping bunga desa, bagai Perahu yang berlayar di atas ombak Seperti halnya Umru al-Qais, dalam mendeskripsikan kecantikan perempuan, `Antarah juga lebih suka menggunakan simbol perumpamaan yang bersifat kongkrit hissi daripada yang bersifat abstrak. Untuk menggambarkan kecantikan dan keanggunan seorang perempuan penyair memilih simbol-simbol seperti kijang ل غ ء , matahari س ل , pohon ben 511 ب بي ق , bulan purnama ل , dan untuk gigi غث biasanya diumpamakan dengan ل ل sebagai perumpamaan. Kijang bagi masyarakat Jahiliyah yang memiliki tradisi berburu adalah binatang yang sangat familier dan mudah dijumpai. Menariknya adalah, istilah kijang yang digunakan untuk perempuan ini seakan-akan sudah melekat dalam tradisi Arab Jahiliyah , bahkan di dalam kamus sendiri kata zhabi atau ghazalah kijang diartikan sebagai gadis. 512 Hal ini erat hubungannya dengan tradisi berburu dan juga imajinasi mereka pada saat berjauhan dengan perempuan, sehingga pada saat mereka melihat seekor kijang yang 510 yang dimaksud dengan al-wasy dan al-dîbâj yaitu baju yang dihiasi gambar-gambar yang terbuat dari kain sutra. Penyair dalam hal ini menggunakan majâz mursal dengan ‘alâqah juz’iyah, yaitu majaz yang menyebutkan sebagian, namun yang diinginkan oleh komunikan adalah keseluruhan. 511 pohon Ben adalah sejenis pohon yang tumbuh lurus dan tinggi, biasanya terdapat di benua Asia. Perempuan diumpamakan dengan pohon ini, jika bertubuh tinggi semampai. 512 Lih. kamus, al-Munjid, hal. 478 182 sangat cantik dan memiliki beberapa kemiripan dengan perempuan, seperti kerling matanya, halus bulunya, juga kelincahannya, yang tersirat dalam benak mereka adalah perempuan yang mereka tinggalkan. Namun demikian dalam menggambarkan sosok perempuan, ada perbedaan yang sangat nyata antara Umru al-Qais sebagai seorang penyair bangsawan dan `Antarah sebagai seorang penyair sekaligus prajurit perang. Jika Umru al-Qais banyak menggunakan gaya bahasa yang vulgar dan seronok, tidak demikian halnya dengan `Antarah, gaya bahasa yang digunakannya sangatlah halus dan elegan. Sebagai contoh, kata Malihah gadis cantik, ‘adzra gadis perawan oleh penyair diumpamakan dengan anak panah. Kedua-duanya memiliki persamaan yaitu mampu menusuk hati seseorang. Kata memanah itu sendiri, tidak mungkin diartikan dengan makna hakiki, maka untuk menjelaskan makna yang ia inginkan, penyair menambahkan kata lahz kerlingan mata setelah kata siham panah, sehingga tidak mungkin pendengar atau pembaca memahaminya dengan makna yang sesungguhnya, karena yang ia inginkan adalah kerlingan mata gadis itu mampu membuat hatinya bagai terpanah. Dalam ilmu Balaghah, gaya bahasa seperti itu disebut dengan isti`ârah 513 . Dari aspek gaya bahasa, jelas `Antarah memiliki kapabilitas sastra yang lebih unggul dibanding Umru al-Qais. Bait syair ini misalnya “Milik siapakah gerangan mentari-mentari itu, perempuan terhormat di dalam sekedup, mereka muncul dengan gambar hiasan baju dan sutra ” menunjukkan sebuah penuturan yang halus yang ditujukan untuk perempuan. Hal inilah yang membedakan antara Umru al-Qais dan `Antarah pada saat menggambarkan sosok perempuan. Umru al-Qais lebih banyak menggunakan gaya bahasa tasybîh, sedangkan `Antarah selain tasybîh, `ia juga banyak mengunakan isti`ârah. Meskipun tidak sevulgar Umru al-Qais dalam mendeskripsikan perempuan, namun erotisme dalam puisi Jahiliyah tampaknya sudah menjadi budaya. Hal ini terlihat dari ungkapan penyair “Pada hari raya ia berjalan di antara nawâhid, mereka 513 Dalam bahasa Indinesia dikenal dengan istilah kiasan atau metafora yang berarti majas yang mengandung perbandingan yang tersirat sebagai pengganti kata atau ungkapan lain untuk melukiskan kesamaan atau kesejajaran makna di antara keduanya. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: UIP, 1990, hal. 43 183 bagaikan mentari, kerlingan mata mereka bagai kijang”. Al- nawâhid merupakan bentuk jamak dari nâhid atau nâhidah yaitu anak gadis dengan payudara yang bulat dan membusung, artinya gadis remaja yang sedang ranum. Gadis-gadis yang memiliki payudara yang bulat itu selanjutnya oleh penyair diumpamakan dengan matahari, karena keduanya sama-sama dapat memukau dan membuat silau pandangan manusia, sedangkan kerlingan matanya bagaikan mata kijang yang besar dan selalu waspada terhadap setiap gerakan. Sepertinya visualisasi objek-objek seksual dalam puisi-puisi Arab Jahiliyah sudah dianggap sebagai suatu hal yang wajar dan biasa, meskipun derajat kevulgarannya itu sendiri berbeda-beda. Cinta yang sangat besar yang dirasakan penyair ternyata sangat mempengaruhi gaya bahasa yang ia gunakan. Sebagai contoh, ‘Ia Ablah bersujud mengagungkan Tuhannya, sehingga karena pesonanya tuhan-tuhan kamipun memperhatikannya ’, atau Kecantikan yang tiada taranya, bagai boneka yang terbuat dari mutiara yang diletakan di atas gading gajah’. Ketika penyair mengatakan bahwa karena kecantikan `Ablah tuhan-tuhan pun memperhatikannya, atau ia bagai boneka yang terbuat dari mutiara yang diletakkan di atas gading, hanyah sebuah ungkapan yang berlebihan. Kedua ungkapan tersebut tidak lebih dari gaya bahasa hiperbola yang berlebihan. Namun dari bait tersebut ada hal yang menarik perhatian ketika dikaitkan dengan kondisi ideologis bangsa Arab saat itu. Bait syair: ت ي ف ب م عت س ء عل ب ب لا ل Ia bersujud mengagungkan Tuhannya, sehingga karena pesonanya tuhan-tuhan kamipun memperhatikannya Kata س yang berarti bersujud atau م عت yang berarti mengagungkan, ternyata bukanlah istilah yang khusus digunakan umat Muslim, namun sudah terbiasa mereka ucapkan sejak masa Jahiliyah. Pada saat penyair mengatakan ‘ia bersujud dan mengagungkan’ yang menjadi objek dari kedua kata tersebut adalah Rabb Tuhan yang Esa dengan menggunakan bentuk tunggal, namun sebaliknya pada saat mengucapkan ’karena pesonanya tuhan-tuhan kamipun memperhatikannya’ penyair menggunakan 184 bentuk jamak dari rabb yaitu arbâb. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan dalam al- Qur’an pada saat bangsa Arab Jahiliyah ditanya, tentang siapa yang menciptakan langit dan bumi, mereka pasti menjawabnya dengan Tuhan. Artinya ada keyakinan terhadap ketuhanan, namun manivestasi dari keyakinan itulah yang tidak benar, karena terwujud dalam bentuk yang banyak. Dalam syair tersebut, penyair sesungguhnya bukan ingin menampilkan sisi religius seorang perempuan, namun ingin memuji kecantikan perempuan, sehingga secara hiperbola ia menyatakan ’sehingga karena pesonanya tuhan-tuhan kamipun memperhatikannya’. Kata jalâl dalam لا ل secara semantis berarti agung atau mulia, sehingga mengartikannya dengan kecantikan fisik tidaklah tepat. Maka kecantikan yang diinginkan oleh penyair yang sesungguhnya adalah kecantikan dalam inner beauty perempuan atau keagungannya. Hal ini dipertegas oleh bait syair berikutnya yang menyatakan, ‘Milik siapakah gerangan mentari-mentari itu, perempuan terhormat di dalam sekedup, mereka muncul di antara hiasan dan sutra ’. Dalam bait tersebut, penyair mengumpamakan perempuan dengan mentari, sebagai apresiasi penghormatan dan kekaguman terhadap mereka. Hal ini bisa dipahami, bila dikaitkan dengan ideologi sebagian masyarakat Jahiliyah yang meyakini bahwa matahari adalah salah satu kekuatan yang diagungkan dan dianggap sebagai kekuatan metafisika, sehingga beberapa di antara mereka diberi nama dengan Abd al-Syams yang artinya penyembah matahari. Hal ini tidak jauh berbeda dengan perumpamaan perempuan dengan bulan, seperti dalam bait, ‘Ia pun muncul, dan kukatakan ‘bagai bulan purnama yang sempurna, dihiasi bintang-bintangnya oleh rasi gemini . Baik matahari, bulan 514 , maupun bintang 515 bagi sebagian masyarakat Arab Jahiliyah , ketiganya memiliki arti tersendiri dalam kehidupan mereka. 516 Dan salah satu fenomena bahasa Arab yang tidak dapat dipungkiri kebenarannya adalah bahwa baik lafaz syams matahari maupun qamar bulan, keduanya dikategorikan sebagai mu’annats feminine meskipun 514 Kabilah yang terkenal dengan menyembah bulan adalah Kinanah 515 Sebagian dari kabilah Lakhm, Khuza’ah dan Quraisy menyembah bintang Sirius Dog Star 516 Tentang kepercayaan bangsa Arab Jahili lih., Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al- Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961, cet. 1, hal. 26. lih. Juga Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 34 185 bentuknya mudzakkar masculine. 517 Benar atau tidak, maka terlihat ada korelasi yang nyata antara fenomena bahasa dengan tradisi mereka yang terbiasa mengumpamakan perempuan dengan matahari dan bulan. Dan dalam ideologi sebagian bangsa Arab Jahili, baik matahari maupun bulan keduanya memiliki makna tersendiri sebagai kekuatan yang harus mereka agungkan. Sehingga ketika perempuan dalam syair Jahiliyah diumpamakan dengan matahari, bulan dan bintang, maka dapat dipahami bahwa perumpamaan tersebut memberikan citra positif terhadap nilai perempuan dalam struktur sosial masyarakat Arab Jahiliyah , meskipun nilai tersebut hanya sebatas individu. Berdasarkan visualisasi syair di atas, dapat disimpulkan bahwa perempuan badawi selain memiliki citra fisik yang cantik, mereka juga memiliki kecantikan dalam yang membuat kaum laki-laki kagum dan terpesona. Bagi masyarakat Arab Jahiliyah , mentari, bulan dan bintang adalah simbol-simbol kecantikan perempuan. Simbol-simbol yang bukan hanya cantik dan indah dalam pandangan mata, namun juga memberikan kekuatan supranatural terhadap kehidupan mereka. Meski tidak dapat dipungkiri bahwa pencitraan kecantikan perempuan secara fisik dalam syair laki-laki adalah hal yang sangat dominan. Hal ini tampak dalam bait awal dan akhir syair di atas yang menyatakan, ‘Gadis cantik nan rupawan memanah hatiku, dengan panah kerlingan matanya yang tidak ada obatnya ’, lalu diakhiri dengan, ‘Di antara mereka tampak seorang gadis ramping bunga desa, bagai perahu yang berlayar di atas ombak’. Berdasarkan kedua bait syair tersebut, maka Beauty cantik yang diartikan oleh teori feminisme sebagai penampilan yang menarik adalah benar. Namun kebutuhan perempuan untuk selalu tampil cantik sehingga menciptakan objek-diri semu dalam hal ini tidak seluruhnya benar. Sehingga teori De Beauvoir yang menyatakan bahwa fungsi objektivikasi adalah untuk mengabadikan supremasi laki-laki, dan pendapat Susan Griffin yang menyatakan bahwa objektivikasi perempuan pada dasarnya adalah 517 Secara lafaz baik syams maupun qamar, keduanya adalah muannats perempuan, sebab keduanya adalah isim noun yang tidak menggunakan tâ marbûthah pada akhir kata sebagai ciri keperempuannya, seperti kata sya`irat ع ش . 186 pornografis, dalam hal ini tidaklah benar. 518 Teori-teori tersebut bisa saja benar, bila ada hukum kausalitas antara laki-laki dan perempuan. Seperti jika perempuan cantik, dan laki-laki memiliki tiga unsur status sosial yakni kekayaan privilegeproperty, kehormatan pertige, dan kekuasaan power, maka teori yang menyatakan bahwa fungsi objektivikasi kecantikan adalah untuk mengabadikan supremasi laki-laki dan pornografis adalah benar, namun jika hukum kausalitas itu tidak terpenuhi maka teori tersebut menjadi batal. Kisah dalam syair di atas membuktikan bahwa supremasi laki- laki terhadap perempuan tidak dapat terwujud karena tokoh laki-laki sebagai kelas inferior kehilangan faktor-faktor supremasinya. Maka perempuan, dalam hal ini, meski tetap sebagai the culture regime, kecantikannya tidak berfungsi sebagai alat supremasi laki-laki, namun menjadi simbol kekalahan laki-laki. 4. Perempuan dalam budaya perang Perang bagi bangsa Arab Jahiliyah adalah tradisi. Tiada hari tanpa perang antar kabilah. Perang bahkan sudah menjadi watak bangsa Arab Jahiliyah dan telah mendarah daging dalam tubuh mereka, sehingga syair-syair yang digubah oleh penyair Jahiliyah pun sebagian besar bercerita tentang perang atau selalu ada kaitannya dengan konteks peperangan, baik dalam madah pujian, hijâ’ cercaan, ritsâ’ ratapan, hamâsah patriotisme, ataupun dalam washaf deskripsi. Dan tentu saja perang juga turut malatarbelakangi perlakuan dan cara pandang bangsa Arab Jahiliyah terhadap kaum perempuan. Bila kembali pada syair-syair `Antarah sebelumnya, timbul suatu penilaian bahwa `Antarah adalah seorang laki-laki yang sangat romantis, melindungi dan menghormati perempuan. Namun demikian sikap `Antarah yang sangat manis terhadap kekasihnya ataupun sikapnya yang sangat melindungi dan menghormati kaum perempuan, akan terlihat berbalik seratus delapan puluh derajat jika yang ia perlakukan adalah perempuan dari luar kabilah dan menjadi musuhnya dalam peperangan. Syair- syair berikut ini akan menampilkan sisi lain dari sikap dan cara pandang `Antarah 518 Teori Beauty lih. Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, terjemah Mundi Rahayu, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002, cet. 1, hal. 35 187 secara khusus dan kaum laki-laki Arab Jahiliyah pada umumnya terhadap perempuan yang berada di luar kabilahnya: ه ح ف حم خ 519 غ عاض ع عم ك ي Panahku melesat ke dalam tubuhnya Menembus baju besi hingga tulang rusuknya ب ن ه ن تح ص ع ن ت ج ع 520 Jadilah para perempuannya meratapi laki-laki, Untuk menangisi kematiannya Atau dalam syair berikut ini: ت ء ن تك ت ل ب مك ن ح هي ع ل ي 521 Berapa banyak tentara yang kubiarkan istri-istrinya menangis Berulang-ulang meratapi kematiannya dengan sedih ل نيي ل ع س ل س ف نم ي ش Ceritakan tentang kami orang yang mengoyak-ngoyak, saat Kami renggut jantung-jantung itu dari prajurit-prajuritnya يح مهء ن ي خ ل ن ي ح ل لي ق 522 Lalu kami biarkan perempuan-perempuan mereka kebingungan, menampari pipinya menjelang subuh Dalam syair tersebut, tampak ada kepuasan dalam batin penyair saat menyaksikan kaum perempuan meratapi kematian orang-orang yang dicintainya. Meratapi kematian sesorang, bagi masyarakat Jahiliyah adalah sebuah tradisi yang biasa mereka lakukan. Ratapan ini biasanya ditujukan bagi orang-orang yang sangat mereka kasihi. Sikap antipati `Antarah terhadap perempuan di luar kabilahnya, bukanlah tanpa sebab. Peranglah yang membuat seseorang kejam terhadap orang lain tanpa pandang bulu. Sebagai seorang prajurit perang, dapat membunuh lawan, dan membuat para 519 Dlamirkata ganti ه untuk Bani Syaiban lawan dari ‘Antarah 520 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 99 521 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 176 522 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 55-56 188 perempuan menangisi mayat-mayat yang menjadi korbannya adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Situasi dan kondisi yang kacau akibat peperangan, mengharuskan seseorang berhati kejam, meskipun sikap tersebut bertentangan dengan hati dan jiwanya. Dari syair di atas ada dua jenis kebanggaan yang negatif yang dimiliki kaum laki-laki Jahiliyah, pertama bangga jika dapat membunuh lawan dalam perang, kedua, bangga jika melihat para perempuannya menangisi dan meratapi kematian mereka. Sikap kejam dan kasar terhadap perempuan yang menjadi lawannya, sangat kontras dengan sikapnya terhadap kekasih dan perempuan yang ada dalam lindungannya, seperti dalam syairnya berikut ini: مآ لم ل ب ق ل ع ي ت ا تف خ عل نم Wahai `Ablah berjalanlah di lembah Ramal dengan perasaan aman dari musuh-musuh, jika ada yang mengancammu maka janganlah kau merasa takut م ن ف س ك يب ف ضيب ف حل ضي ل ل ع ت 523 Sebab di kolong rumahmu ada banyak singa yang di jari-jarinya Ada cakar yang akan mematahkan pedang dan mengoyak perisai Dalam syair tersebut, tampak rasa kasih dan sikap melindungi seorang laki-laki terhadap perempuan yang sangat dikasihinya. Ia tidak menginginkan jika kekasihnya terluka, untuk itu ia menjaganya dengan sepenuh jiwa. Jika sikap melindungi di atas secara khusus ditujukan untuk perempuan karena adanya ikatan emosional individual, maka dalam syair berikut ini akan terlihat bahwa sikap melindunginya terhadap perempuan, selain karena ikatan emosional individual, juga sebagai bentuk pertanggungjawaban sosial: كل م ت ب ي نمأ ي م ي ف يل ل ء ج ل عب ح ت ا Berjalanlah dengan perasaan aman, wahai anak gadis Malik Dan janganlah kau berputus asa setelah berharap نء ن ل ب ع م نحن يش غ اع م ع ف ن Dan kami cegah perempuan-perempuan kami dari tercerai berai 523 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 108 189 Kami halangi mereka agar tetap terlindungi ن ء ل ع ظ حن ن ي ع ي م م ي ني ي 524 Kami juga melindungi kehormatan perempuan, dan kami lindungi Mereka, agar suatu ketika mereka tidak menemui kehinaan ي ل ي ل ش ت اف ع ف ل تع س م عف Jangan kau takuti kematian dan juga utusannya Lawanlah semampumu ي ح نم ش ف ت ا ع ل ل ك ت ا Jangan pula kau pilih permadani dari sutera Jangan pula kau tangisis rumah dan tempat tinggal ن ح نب ي ن كل ح ع ل عق ل ن ي 525 Sedangkan sekelilingmu kaum perempuan meratap dengan sedih Merobek-robek cadar dan kerudung Bila pada bait pertama, syairnya ia tujukan secara khusus untuk `Ablah agar ia selalu merasa aman dalam lindungannya, maka pada bait-bait berikutnya ditujukan untuk semua perempuan yang ada dalam lindungannya. Hal ini terlihat dari kata yang digunakannya yaitu al-nisâ dan al-niswah perempuan-perempuan yang keduanya sebagai bentuk jamak dari mar’ah perempuan. Dua bait terakhir menunjukkan adanya ketidakrelaan penyair bila perempuan dalam kabilahnya menangis dan meratapi mayat karena kalah dalam peperangan, “Jangan pula kau pilih permadani dari sutera, jangan pula kau tangisi rumah dan tempat tinggal, sedangkan sekelilingmu kaum perempuan meratap dengan sedih, merobek- robek cadar dan kerudung”. Syair ini ditujukan bagi para prajurit kabilah yang akan maju ke medan perang agar mereka tetap bersemangat. Nasib perempuan dalam hal ini dijadikan sebagai motivator agar mereka tidak menelan pil pahit akibat kekalahan, sehingga pada akhirnya akan mengorbankan perasaan kaum perempuan karena menangisi kematian orang-orang yang mereka cintai. Sebuah bentuk perlindungan psikis dan pertanggungjawaban emosional sosial. 524 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 192-193 525 Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 102 190 Di sisi lain, ratapan-ratapan perempuan yang merupakan ekspresi kejiwaan yang menyakitkan tersebut memberi dampak yang sangat luar biasa bagi kaum laki-laki. Ratapan tersebut terkadang diungkapkan dalam bentuk syair. Inilah yang dalam istilah syair Jahiliyah dinamakan dengan ritsâ’ al-nadb. Kata ini terlihat dalam bait syair Antarah, ع ل عق ل ن ي ’ ن ح نب ي ن كل ح , ‘Sedangkan sekelilingmu kaum perempuan meratap dengan sedih, merobek- robek cadar dan kerudung mereka’. Al- nadb adalah ritsâ yang dibuat untuk meratapi dan menangisi orang yang meninggal dunia sebagai ungkapan duka cita, dengan menggunakan kata-kata yang menyayat hati, sehingga mampu membuat luluh hati yang keras dan melelehkan air mata yang beku. Bagaimana tidak, sebab biasanya ritsâ ini diungkapkan secara berlebihan, diucapkan dengan suara yang keras dan menyayat hati, disertai dengan cucuran air mata yang tiada henti. Biasanya para perempuan sengaja berkumpul untuk meratapi mayat, tradisi ini masih dilakukan setelah datangnya Islam. 526 Dampak dari ratapan perempuan tersebut bukanlah hal yang sepele dan tiada bermakna. Sebab bagi interen kabilah, ratapan tersebut merupakan sebuah pukulan yang telak dan menyakitkan karena meruntuhkan sikap angkuh dan rasa bangga mereka sebagai kabilah yang kuat dan tak terkalahkan. Sedangkan bagi lawan, ratapan perempuan adalah sebuah kepuasan dan kebanggaan tersendiri, karena hal itu sebagai tanda bahwa mereka berada di pihak yang menang yang tentu saja akan menjadi prestise tersendiri di mata kabilah lain. Bagi kaum perempuan sendiri, baik sebagai pihak yang dilindungi ataupun yang ditindas, dalam budaya perang tetap saja sebagai pihak yang dikorbankan, sebab pada dasarnya kedua perlakuan tersebut adalah sama, sama-sama menjadikan perempuan sebagai taruhan kehormatan dan kesombongan kaum laki-laki. Dalam tradisi dan budaya perang yang selalu meliputi bangsa Arab Jahiliyah, pada akhirnya `Antarah memberikan sebuah dikotomi tentang makna kehormatan yang membedakan antara laki-laki dan perempuan, seperti yang terdapat dalam syairnya berikut ini: 526 Penulis, al-Ritsâ, ttp: Dâr al- Ma’ârif, tth, hal. 12 191 ف يق لساس ج ل ع قن ب ء ل ك Kehormatan seorang laki-laki terletak pada rantai senjata Sedangkan perempuan terletak pada penutup muka dan kalung perhiasan Dari bait syair tersebut, sebagai konsekuensi budaya perang, tampaknya kehormatan dan kemuliaan seorang laki-laki tetap saja diukur dari kekuatan dan keberaniannya dalam peperangan, sedangkan perempuan tetap saja diukur dari kecantikan yang ditampilkannya dalam busana dan perhiasan. Bagi kelompok badawi, baik Sha`alik maupun ghair Sha`alik, secara umum perempuan memiliki makna tersendiri dalam kehidupan mereka. Sebagai anggota kabilah ingroup, perempuan adalah makhluk yang sangat dilindungi dan dijaga kehormatannya, sedangkan bagi perempuan di luar kabilah outgroup, perempuan hanyalah sebuah alat supremasi hukum yang digunakan untuk membalas dendam, sehingga perempuan terbiasa dijadikan sebagai tawanan perang yang dapat mereka perlakukan dengan sewenang-wenang, baik secara fisik maupun psikis. Maka inilah citra perempuan badawi yang sesungguhnya. Selain itu, berdasarkan sudut pandang sastra, penulis melihat ada beberapa corak tasybîb 527 yang digunakan para penyair laki-laki Jahiliyah yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Corak pertama, bagi Umru al-Qais sebagai seorang penyair aristokrat, ghazal atau merayu perempuan tidak semata-mata dibuat sebagai prolog syair untuk menarik perhatian orang lain yang mendengarkannya, namun lebih dari itu, ghazal juga merupakan tema sentral dalam syair-syairnya, sehingga sebagian besar syairnya selalu bercerita tentang perempuan dan segala hal yang berhubungan antara dirinya dengan perempuan. Corak kedua, bagi `Antarah ibn Abi Syaddad, ghazal adalah semangat hidup yang selalu menemani setiap saat baik dalam suka maupun duka, namun tidak menjadi topik utama, tidak juga sebatas basa-basi atau prolog melainkan tersebar di hampir seluruh syairnya. Corak ketiga, jenis yang paling banyak digemari para penyair laki-laki Jahiliyah, seperti al-Nabighah al-Dzubyani, Tharfah ibn al-`Abd, 527 lihat pengertian tasybîb, nasîb dan ghazal dalam bab II tentang tema-tema syair Jahiliyah. 192 Zuhair ibn Abi Sulma dan lain-lain, yaitu ghazal yang murni sebagai prolog dan biasanya hanya disebutkan pada bait pertama atau kedua, atau sekedar basa-basi. Bagi penyair jenis ini, penyebutan nama perempuan atau hal-hal yang berkaitan dengannya tidak lebih dari sekedar penarik perhatian audience, untuk mendengarkan tema utama yang ingin ia sampaikan atau hanya sekedar pemanis syair karena sudah dianggap sebagai suatu tradisi. Dan ironisnya, jenis ghazal seperti ini adalah ghazal yang paling banyak diminati penyair Jahiliyah. Corak keempat, adalah syair-syair yang sama sekali tidak menggunakan tasybîb sebagai prolognya, seperti yang terdapat dalam syair-syair Sha`âlîk . Dan Sha`âlîk sebagaimana telah dibahas sebelumnya, hanyalah kaum minoritas Arab dengan kehidupannya yang unik akibat tersingkir dari struktur sosial bangsa Arab saat itu. Berdasarkan hal itu, maka apakah perempuan itu dijadikan sebagai tema utama, ataukah sebagai semangat hidup individu tertentu, atau mungkin hanya dijadikan sebagai alat penarik perhatian, hal itu membuktikan bahwa pada masa Jahiliyah, perempuan tetap dijadikan sebagai ikon yang diakui eksistensinya dalam tradisi dan budaya bangsa Arab. 193 BAB IV CITRA DIRI PEREMPUAN JAHILIYAH: PERAN DAN KONTRIBUSI Pada bab sebelumnya, yaitu citra perempuan Hadlari dan Badawi, teks sastra yang dikaji merupakan karya para penyair laki-laki, sehingga citra perempuan yang muncul adalah citra perempuan berdasarkan ilustrasi dan visualisasi laki-laki. Maka tidak adil rasanya, bila penulis juga tidak menampilkan bagaimana sesungguhnya kaum perempuan Jahiliyah mencitrakan dirinya dalam syair, apakah seperti apa yang digambarkan kaum laki-laki, ataukan ada sesuatu yang membedakannya. 528 Melalui kajian syair perempuan inilah, dapat diketahui tentang bagaimana perasaan yang sesungguhnya yang dialami, dirasakan, dan diekspresikan oleh perempuan Jahiliyah tentang dirinya dan juga tentang bagaimana mereka memandang kaum laki-laki. Bila mayoritas kaum laki-laki Jahiliyah -sebagaimana yang terungkap dalam dua bab sebelumnya- menganggap perempuan sebagai objek seksualitas semata, lalu bagaimana sesungguhnya kaum perempuan Jahiliyah memberi identitas pada diri mereka? Serta peran apa saja yang mereka mainkan baik secara individual maupun sosial? Budaya patrialkhal yang dianut bangsa Arab Jahiliyah membuktikan bahwa perempuan hanyalah sebagai the second sex warga kelas dua. Namun demikian perlu dibuktikan, apakah kekuasaan yang dimiliki kaum laki-laki tersebut menjadikan kaum perempuan sebagai kaum yang tertindas, terbelenggu dan didominasi kaum laki-laki ataukah tidak? Bagaimanakah sesungguhnya peran dan kontribusi perempuan pada masa Jahiliyah, apakah sebagaimana yang digambarkan para penyair laki-laki, ataukah mereka memiliki cara pandang tersendiri tentang diri dan kehidupannya? Syair Jahiliyah sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa selain sebagai sebuah karya 528 Dalam kritik sastra feminis, kritik yang bertujuan untuk mencari perbedaan antara tulisan laki-laki dan perempuan dinamakan dengan ginokritik. Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 30 194 sastra, ia juga berfungsi sebagai fakta sejarah yang menggambarkan pola fikir, ideologi, cara pandang, dan juga ekspressi kemanusiaan bangsa Arab Jahiliyah lainnya. Untuk itu, kajian tentang syair perempuan Jahiliyah, adalah salah satu alat pembuktian tentang bagaimana mereka memaknai hidup, sehingga membentuk citra diri mereka yang sesungguhnya. Jika dibandingkan dengan syair karya laki-laki, syair karya perempuan Jahiliyah tidak banyak terekspos oleh para sejarawan sastra Arab. Hal ini terkait erat dengan tradisi dan budaya bangsa Arab Jahiliyah yang menganut sistem patrialkhal murni. Salah satu bukti konkret bahwa bangsa Arab Jahiliyah menganut budaya patrialkhal terlihat dari cara mereka menasabkan nama-nama kabilah. 529 Biasanya kabilah diberi nama dengan nama ayah seperti Rubai’ah, Mudhar, Aus, dan Khazraj. Mereka adalah nama-nama laki-laki yang dari mereka muncul generasi-generasi baru sebagai keturunan untuk kemudian dinasabkan kepadanya, dan hanya sedikit kabilah yang dinasabkan pada ibu seperti kabilah Khindaf dan Bajilah. Terkadang nama kabilah juga diambil dari suatu kejadian tertentu. Sebagai contoh, kabilah yang menetap dekat sumur air bernama Ghassan, ia dipanggil dengan kabilah Ghassan. Akan tetapi secara mayoritas mereka menasabkan kabilahnya pada ayah. 530 Terkadang pemimpin kabilah memiliki banyak anak, sehingga kemudian muncul darinya kabilah-kabilah baru dengan nama lain namun tetap dinasabkan padanya. Kemudian antara kabilah inti dan kabilah cabangnya tersebut terjalin hubungan kekerabatan yang erat. Adapun faktor yang menjadikan terbentuknya nama baru dalam kabilah adalah popularitas yang dimiliki bapak dari cabang tersebut, baik karena kepemimpinannya, keberaniannya, ataupun karena banyak melahirkan anak. 531 529 Kabilah adalah kelompok atau unit yang dibentuk berdasarkan sistem sosial masyarakat Arab. Kabilah merupakan keluarga besar yang meyakini bahwa mereka berasal dari ayah dan ibu yang sama. Dalam ilmu sosiologi pola hubungan antar masyarakat seperti ini disebut dengan kinship kekerabatan yaitu ikatan sosial di antara individu yang terbentuk karena adanya hubungan perkawinan atau karena adanya pertalian darah melalui garis keturunan. 530 Berdasarkan hal itu maka bangsa Arab Jahiliyah pada dasarnya merupakan sebuah bangsa penganut patrialkal murni yaitu sebuah keyakinan bahwa suami atau anak laki-laki tertua adalah penentu kebijakan keluarga 531 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 11 195 Sebagai kaum minoritas, tidak banyak penyair perempuan yang terkenal seperti penyair laki-laki. Dalam buku al-Mûjaz fi al-Adab al-`Arabi wa Târikhihi, hanya ada satu nama penyair perempuan yang disebutkan yaitu al-Khansa. Sebagai bagian penting dari kritik sastra feminis, satu penyair tidak cukup memberi gambaran tentang citra perempuan Jahiliyah melalui syair-syairnya. Al-Khansa memang memiliki sebuah dîwan syair, hanya saja ia lebih banyak bercerita tentang kesedihannya saat ditinggalkan kedua saudara laki-laki yang mati terbunuh dalam peperangan. Untuk itu, penulis mengambil beberapa sampel lain yang termuat dalam Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irât fi al- Jâhiliyah wa al-Islâm yang banyak menulis tentang syair-syair perempuan Jahiliyah, seperti Shafiyyah binti Tsa’labah al-Syaibaniyah yang bergelar al-Hujaijah 532 ahli debat, dua bersaudara Jum’ah dan Hindun binti al-Khuss yang juga banyak menggubah syair-syair hikmah, dan lain sebagainya. Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, yang ditulis oleh ‘Abd Mehanna 533 , memuat ratusan syair-syair karya penyair perempuan pada masa Jahiliyah dan Islam, dan yang paling banyak adalah penyair Jahiliyah, bahkan jumlahnya mencapai ratusan, hanya saja syair-syair tersebut berupa penggalan-penggalan, sehingga dan tidak banyak disertai dengan penjelasan. Namun dari kamus tersebut terbukti, bahwa tradisi bersyair tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki, namun juga banyak dilakukan oleh kaum perempuan dalam rangka mengekspresikan perasaannya. Kiprah mereka tidak hanya sebatas menjadi perempuan-perempuan peratap seperti al-Khansa, namun lebih jauh dari itu terbukti bahwa mereka juga memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial, politik dan ekonomi.

A. Perempuan Jahili dalam Konstruksi Sejarah