18 persamaan antara laki-laki dan perempuan disebabkan oleh lemahnya posisi perempuan
dalam sistem stratifikasi sosial.
47
Teori class dan power oleh Nickie Charles dijadikan sebagai landasan teoritis untuk menganalisis praktek politik perempuan Amerika, sedangkan oleh Chistine
Griffin teori kekuasaan dijadikan alat untuk menganalisis dimensi gender, ras dan kelas dalam berbagai aspek kehidupan perempuan.
48
Tokoh-tokoh peneliti tersebut menggunakan teori class dan power untuk menganalisis fenomena sosial yang tampak
dalam kehidupan secara rill, namun dalam kajian ini, power dan class dijadikan sebagai landasan teoritis untuk mengetahui pengaruh kedua konsep ideologis tersebut terhadap
citra perempuan Jahiliyah yang tersirat dalam syair. Ideologi, bahwa power dan class adalah dua faktor yang turut mempengaruhi konstruksi gendering dalam tradisi dan
budaya Arab Jahiliyah, oleh penulis dijadikan sebagai landasan reading as women, atau membaca syair Jahiliyah berdasarkan kaca mata dan sudut pandang perempuan.
D. Syair Jahiliyah Antara Karya Sastra dan Fakta Sejarah
Syair dalam tradisi dan budaya Arab Jahiliyah, selain sebagai karya sastra juga sebagai fakta sejarah yang tak terbantahkan, sebab syair bagi bangsa Arab bukan
semata-mata sebagai media untuk mengekspresikan perasaan dan fikiran, lebih dari itu syair adalah kebanggaan dan identitas mereka selama berabad-abad lamanya, sehingga
tidak salah bila ada yang menyatakan bahwa bangsa Arab Jahiliyah tidak memiliki seni dan budaya apapun selain dari syair. Syair
–sebagaimana dinyatakan oleh Umar ibnu al- Khathâb- adalah pengetahuan bangsa Arab dan tidak ada ilmu lain selain syair yang
melebihi kebenarannya.
49
Maka syair selain sebagai karya sastra, bagi masyarakat Arab Jahiliyah adalah representasi dari pola fikir, sikap, sejarah dan realitas kehidupan.
Untuk itu, maka untuk mengetahui citra perempuan Jahiliyah dalam syair, maka
pembahasan tentang syair Jahiliyah itu sendiri adalah hal yang sangat urgen.
47
Tim Curry dkk, Sociology for the Twenty First Century, hal. 244
48
Nickie Charles dan Felicia Hughes editor, Practising Feminism; Identity, Difference, Power, hal. 1 180
49
Badawi Thabâbah, Dirâsat fi al-Naqd al-Adabî, Kairo: Maktabah al-Enjelo al-Mishriyah, 1965, cet. 4, hal. 43, dikutip dari Ibnu Salâm al-Jamahi, Thabaqât al-
Syu’arâ, hal. 17
19 1.
Syair Jahiliyah sebagai karya sastra a.
Pengertian Syair Jahiliyah Syair adalah sebuah seni yang menggunakan bahasa sebagai medianya,
sebagaimana musik dengan iramanya, gambar dengan aneka warnanya, tarian dengan gerakannya, dan lain-lain.
50
Banyak definisi diberikan oleh para kritikus sastra agar dapat memahami syair dengan benar. Definisi klasik yang diberikan para sastrawan
Arab terhadap syair selalu merujuk pada makna yang diberikan para ahli Arûdh,
51
sebagai contoh definisi yang diberikan oleh Qudâmah ibn Ja’far, yaitu ‘al-kalâm al- mauzûn al-
muqaffâ’, yakni untaian kata yang disusun dengan berdasarkan wazan
52
dan qâfiyah
53
.
54
Definisi ini pada dasarnya dibuat untuk membedakan antara jenis puisi dan prosa dalam sastra Arab, sehingga hanya menampilkan aspek fisik semata.
Bila pada awal perkembangannya, definisi syair hanya mengacu pada bentuk fisiknya saja, Setelah mengalami perkembangan, definisi tersebut ditambahkan dengan
aspek lainnya yang turut mempengaruhi syair. Definisi klasik oleh para fakar sastra Arab dianggap kurang representatif, karena tidak menunjukkan makna syair yang
50
Muhammad Zaghlûl Sallâm, Târikh al-Naqd al-Adabi wa al-Balâghah, al-Iskandariyah: Mansya’ah al-Ma’ârif, 1996, hal. 34
51
Arudh adalah ilmu yang mempelajari tentang wazan-wazan yang benar dan yang salah dalam syair. Chatîb al-Umam, al-
Muyassar fi ‘Ilm al-‘Arûdl, Jakarta: Syirkat Hikmat Syahîd Indah, 1992, cet.2, hal. 4
52
Wazan dan qâfiyah biasanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan metre dan rhyme, atau dalam bahasa Indonesianya matra dan rima. Keduanya merupakan unsur pembentuk fisik syair.
Wazan adalah kumpulan taf`îlah Pola-pola kata yang terdapat dalam bahr. Wazan dinamakan juga
dengan bahr atau al-buhûr al- syi’riyah, yakni bentuk-bentuk pola irama yang membentuk corak musik
yang beranekaragam dalam syair Arab. Wazan dinamakan dengan bahr karena menyerupai lautan yang tidak pernah kehabisan air meskipun terus dikuras, demikian pula halnya dengan syair.
53
Adapun yang dimaksud dengan qâfiyah dalam syair Arab adalah lafaz terakhir pada bait syair, yang dihitung dari huruf akhir bait sampai dengan huruf hidup sebelum huruf mati yang ada di antara
keduanya. Sebagai contoh:
دل م يل حا ءايض ا نمف ْكأ رئاس ىرْصب هب ءاضأ
نا ا
كم ضرأ نم اشلا ر صق ح نب خما ش ا نم همأ أر
ناي
Kedua akhir kata yang digaris bawahi adalah contoh qâfiyah . Seperti kata ‘kuat’ dan ‘buat’ yang
terdapat dalam bahasa Indonesia.
54
Muhammad Zaghlûl Salâm, Târikh al-Naqd al-Adabi wa al-Balâghah, Iskandariah: Mansya’ah al-Ma’ârif, 1996, hal. 34. Definisi ini juga diadopsi oleh Emil Badi’ Ya’qub dalam al-
Mu’jam al-Mufashshal fi ‘Ilm al-‘Arûdl wa al-Qûfiyah wa Funûn al-Syi’r, Beirut: Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiyah, 1991 M1411 H, hal. 376. Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Adab fi Adabiyât wa Insyâ wa
Lughât al- ‘Arab, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1978 M 1398 H, hal. 250
20 sebenarnya, namun hanya mengacu pada aspek bentuk semata. Untuk itu, beberapa
fakar sastra merumuskan definisi lain untuk menyempurnakannya, sehingga tidak terbatas pada makna performa saja. Seperti menurut Ahmad Hasan al-Zayyat, syair
adalah ungkapan kalâm yang disusun dengan berdasarkan wazan dan qâfiyah, untuk menggambarkan imajinasi denga
n cara yang indah dan menarik”.
55
Untuk itu dalam kesusateraan Arab, syair adalah ucapan atau susunan kata-kata yang fasih yang terikat
pada rima pengulangan bunyi dan matra unsur irama yang berpola tetap dan biasanya mengungkapkan imajinasi yang indah, berkesan dan memikat.
56
Definisi lain yang lebih rinci dikemukakan oleh al-Âmadi, menurutnya syair tidak lain adalah ungkapan yang bagus, mudah dipahami, menggunakan diksi yang
tepat, meletakkan lafaz sesuai dengan maknanya, dan meletakkan makna sesuai dengan konteksnya, serta menggunakan metafora
isti’ârah dan perumpamaan tamtsîl secara tepat. Untuk itu, sebuah syair tidak dianggap bagus dan elegan bila belum memenuhi
persyaratan tersebut.
57
Definisi syair seperti di atas, tidak jauh berbeda dengan definisi yang diberikan pakar sastra Indonesia, misalnya Herman J. Waluyo, menurutnya, puisi adalah salah
satu bentuk kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair secara imajinatif dan disusun dengan mengkonsentrasikan semua kekuatan bahasa yakni
dengan mengkonsentrasikan struktur fisik dan stuktur batinnya. Untuk itu puisi terdiri atas dua unsur pokok pembentuk yakni struktur fisik dan struktur batin. Kedua bagian
itu terdiri atas unsur-unsur yang saling mengikat keterjalinan dan semua unsur tersebut membentuk totalitas makna yang utuh.
58
55
Ahmad Hasan al-Zayyât, Târikh al-Adab al- ‘Arabi, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1422 H 2001
M, cet. 7, hal. 25. Hal senada diungkapkan oleh Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Adab fi Adabiyât wa Insyâ wa Lughât al-
‘Arab, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1978 M 1398 H, hal. 250. Ahmad al- Iskandari dan Mushtafa ‘Inâni, al-Wasîth fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, Mesir: Dâr al-Mâ’arif , tth,
hal. 42
56
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999, jilid 4, hal. 340
57
Muhammad Zaghlûl Sallâm, Târikh al-Naqd al-Adabi wa al-Balâghah, hal. 34
58
Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, ttp: Erlangga, 1995, hal. 28-29
21 Secara garis besar ada dua unsur pembangun sebuah puisi, yaitu unsur fisik dan
unsur batin. Adapun yang dimaksud dengan unsur fisik yaitu unsur estetik yang membangun struktur luar dari puisi. Unsur-unsur estetik tersebut pada dasarnya dapat
dikaji secara terpisah, meskipun merupakan satu kesatuan utuh. Menurut Herman J. Waluyo, yang termasuk unsur-unsur fisik sebuah puisi, yaitu: diksi, pengimajian, kata
konkret, bahasa piguratif majas, ferifikasi, dan tata wajah puisi.
59
Dengan demikian, syair dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu aspek bentuk dan aspek kandungan. Dari definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa syair terbentuk dari
beberapa unsur, yaitu: wazan, qâfiyah, al-ghardh tujuan dan khayâl imajinasi. Wazan
dan qafiyah, keduanya adalah unsur pembentuk syair dari aspek fisik atau performace
, sedangkan al-ghardh atau tema dan unsur khayâl merupakan unsur pembangun batin atau kandungan syair. Unsur-unsur inilah yang membangun sebuah
syair dan menjadi karakteristiknya. Adapun yang dimaksud dengan Jahiliyah adalah periode sejarah bangsa Arab
sebelum datangnya agama Islam.
60
Definisi ini dijumpai di hampir setiap buku yang
59
.Keterangan lengkap lih. Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, hal. 71-101
60
Terjadi perbedaan pendapat ketika istilah Jahiliyah diartikan sebagai masa kebodohan dan kebiadaban time of ignorance and barbarism sebagaimana dipahami dari maknanya secara leksikologi
yang berasal dari kata ja-hi-la yang berarti bodoh dan tidak berperadaban. Pemahaman seperti ini menjadikan masyarakat Arab Jahiliyah secara umum identik dengan masyarakat yang bodoh, biadab dan
tanpa peradaban. Padahal menurut Philip K. Hitti sebagaimana dikutip oleh Ismail Hamid, istilah Jahiliyah adalah masa sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. menjadi Rasul dan belum memiliki
Kitab suci sebagai pedoman hidup. Apabila Jahiliyah dimaknai sebagai jaman kebodohan, hal itu jelas tidak relevan dengan situasi dan kondisi Arab bagian selatan Yaman yang sangat maju dan memiliki
peradaban yang tinggi. Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradtion, Kuala Lumpur: Utusan Publications Distributors Sdn. Berhad, 1982, hal. 1.
Menurut Goldziher, mengartikan zaman Jahiliyah dengan zaman kebodohan adalah sebuah konsepsi yang salah dan tidak beralasan, sebab apa yang diekpresikan oleh Nabi Muhammad dengan
istilah tersebut tidak lebih dari kondisi masyarakat Arab sebagaimana yang terdokumentasi dalam puisi- puisi Arab Jahili. Nabi Muhammad saw. diutus bukan untuk menghapus tradisi dan budaya bangsa Arab,
namun untuk memperbaiki moral mereka, seperti kesombongan kabilah, permusuhan yang terus menerus, memuja dendam, tidak mau memaafkan dan watak buruk lainnya sebelum kedatangan Islam. Menurut
Goldziher, istilah Jahiliyah diberikan oleh Nabi Muhammad saw. hanya untuk membedakan waktu sebelum dan sesudah kedatangan agama Islam. Untuk mendukung pendapatnya tersebut, Goldziher
memberikan argumentasi lain dari sisi kebahasaan. Menurutnya dalam dokumen bahasa Arab klasik terdapat kata ilm knowladege yang dikonfrontasikan dengan kata jahl ignorance, sehingga jahl
merupakan antonim dari ilm. Namun istilah ilm hanyalah makna antonim kedua dari suku kata ja-hi-la, sebab makna antonim yang pertama adalah hilm, yang berarti tegas, kuat, kekuatan fisik, sehat, integritas
22 membahas tentang sejarah Islam maupun sejarah sastra Arab. Istilah Jahiliyah itu
sendiri muncul setelah agama Islam datang. Definisi ini disimpulkan dari beberapa ungkapan yang beredar di kalangan masyarakat Arab sendiri, seperti ungkapan Umar
Ibn al-Khathab ra.,
ف ع ي ه ل ف ن ن
, “aku bernazar pada saat Jahiliyah untuk melaksanakan i’tikaf
61
”. Ungkapan lain disampaikan oleh Aisyah ra.,
ل ك ء حن عب ع ي ه ل ف
,
“
Nikah pada masa Jahliyah dilakukan dengan empat cara”, dan lain sebagainya. Dalam al-Qur’an sendiri banyak ayat yang menyebutkan
kata jahiliyah seperti “
غ ت ي ه ل م حف
“, Apa hukum Jahiliyah yang kamu inginkan?.
Istilah yang muncul tersebut selanjutnya disimpulkan bahwa Jahiliyah adalah sebuah masa di mana bangsa Arab tidak mengenal Tuhan dan ajaran Agama
dengan benar.
62
Menurut penulis, kesimpulan ini pada dasarnya bersifat generalisasi dari tradisi bangsa Arab yang mayoritas menganut ideologi watsaniyah kepercayaan
terhadap berhala dan benda-benda kongkrit lainnya, seperti matahari, bintang, dan lainnya.
63
moral, stabil, matang, sikap yang halus. Maka seorang halîm secara singkat diartikan sebagai seseorang yang berperadaban. Dikutip oleh Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradtion, hal. 1-2
Namun Ibrâhîm Ali al-Khasyab dan Ahmad Abd. Al- Mun’im al-Bahâ berpendapat, bahwa sama
saja apakah Jahiliyah itu diartikan sebagai antonim kata ilm knowledge, hilm firmness atau diartikan langsung dengan kebodohan, karena hal tersebut memang pantas untuk orang-orang yang hidup di
sebuah jazirah, menyembah berhala, mengotori akidah, dan menyekutukan Allah, memuja hawa nafsu, senang menumpahkan darah, fanatik kesukuan yang amat berlebihan, dan sifat biadab lainnya. Ibrâhîm
‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, tp: al-Bayân al- ‘Arabi, 1961, cet. 1, hal. 11
Menurut penulis kedua pendapat tersebut adalah benar, hanya persepsi sejarah dan sudut pandang mereka yang berbeda. Jika istilah Jahiliyah diberlakukan kepada bangsa Arab secara luas,
meliputi semua keturunan Semit Qahthân dan Adnân, jelas kata Jahiliyah itu tidak tepat, karena salah satu keturunannya yaitu Qahthan yang lebih dikenal dengan bangsa Arab Selatan menempati suatu
wilayah yang memiliki peradaban yang tinggi yaitu Yaman dan sebagian dari mereka sudah memeluk agama Samawi. Sedangkan argumen yang menyatakan bahwa istilah Jahiliyah adalah tepat bagi bangsa
Arab, maka sesungguhnya bangsa Arab yang dimaksud adalah bangsa Arab Utara keturunan Adnan yang menempati Jazirah Arab dan wilayah Hijaz lainnya tempat Nabi Muhammad saw. dilahirkan. Kedua ras
besar tersebut memiliki garis kehidupan yang berbeda satu sama lain, baik secara sosiologi, ekonomi, politik, maupun tingkat intelektual.
61
I’tikaf adalah mengasingkan diri dengan tujuan beribadah
62
Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, tp: al-Bayân al-
‘Arabi, 1961, cet. 1, hal. 12.
63
Berdasarkan fakta sejarah, bangsa Arab bukanlah sebuah bangsa yang tidak mengenal Tuhan dan ajaran agama sama sekali, sebab terbukti di antara mereka ada yang memeluk agama Nasrani,
23 Berdasarkan hal itu, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
syair Jahiliyah adalah syair yang digubah sebelum datangnya agama Islam. Meskipun, sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa secara historis sangat sulit menentukan
kapan syair Arab Jahiliyah mulai lahir dalam tradisi masyarakat Arab. Jika yang dimaksud dengan syair Jahiliyah adalah syair yang digubah sebelum datangnya agama
Islam, maka yang dimaksud dengan perempuan Jahiliyah adalah perempuan yang hidup pada periode tersebut.
b. Tema Syair Jahiliyah aghrâd al-syi’r al-jâhili
Para ahli sastra Eropa, biasanya membagi puisi ke dalam tiga jenis, yang pertama adalah puisi kepahlawanan
syi’r a-malhamah atau heroic poem atau disebut juga dengan epik al-
syi’r al-qashasi atau epic poetry
64
. Kedua adalah puisi lirik al-
Yahudi, ataupun agama Ibrahim yang hanîf. Sebagaimana banyak dilansir dalam buku-buku sejarah Islam, bahwa pemeluk agama Yahudi menempati kota Yatsrib yang kemudian dinamakan Madinah.
Mereka terdiri dari Bani Nadhîr, Bani Qainuqâ, dan Bani Quraizhah. Mereka menempati kota Madinah bersama-sama dengan suku Aus dan Khazraj. Hubungan mereka terkadang bersahabat, namun juga
terkadang bermusuhan.
Adapun Agama Nasrani tersebar di kabilah Rabi’ah dan Ghassan, serta sebagian kabilah Qudla’ah, hal ini karena mereka sering berhubungan dengan bangsa Romawi. Di kerajaan Hirah sendiri
dari berbagai suku yang mendiaminya terdapat sebuah kabilah Arab yang biasa dipanggil dengan ‘al- ‘Ibad’, yang merupakan keturunan Bani Taghlib yang memeluk agama Nasrani. Kota yang paling
terkenal yang tempati pemeluk Nasrani adalah Nejran yang terletak di Yaman. Di antara penyair yang terkenal dari wilayah ini yaitu Qiss, ‘Adi ibnu Zaid dan Umayah ibnu abi al-Shilat. Dari sekian banyak
penduduk Arab, terdapat kelompok yang mempercayai adanya Tuhan dan menyembahnya secara murni tanpa menyekutukannya, seperti Waraqah ibn Naufal. Bahkan sebagaimana diungkapkan Philip K. Hitti,
bahwa salah satu konsep keagamaan penting yang dikenal di kawasan Hijaz adalah konsep tentang Tuhan. Bagi masyarakat Hijaz, Allah adalah Tuhan yang paling utama, meskipun bukan satu-satunya. Al-
Ilah
itu sendiri berasal dari bahasa kuno. Tulisannya banyak muncul dalam tulisan-tulisan Arab Selatan, yaitu tulisan orang Minea di al-Ula, dan tulisan orang Saba, tetapi nama tersebut mulai berbentuk dengan
untaian huruf HLH dalam tulisan-tulisan Lihyan pada abad ke-5 S.M. Philip K. Hitti., History of The Arabs
, terjemah, hal. 126. Bandingkan dengan Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 26. Kisah beberapa penyair religi Arab Jahiliyah dapat dilihat
pada pembahasan kategorisasi syair Jahiliyah.
64
Epik epic, epique adalah sajak kisahan panjang yang bercerita tentang seorang pahlawan, biasanya berdasarkan peristiwa dalam sejarah. Ada yang termasuk tradisi lisan, ada yang termasuk sastra
tulisan. Beberapa cirri khasnya, tokoh utama yang harum namanya dan luar biasa sifatnya, petualangan yang berbahaya, pengaruh adikodrati yang menyelamatkan atau menghukum, pengulangan dalam uraian,
digresi, gaya yang melambung. Istilah lain: epos dan wiracarita. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: UI-Press, 1990, hal. 28
24 syi’r al-ghinâ’ilyric, lirique
65
, yaitu puisi dalam bentuk nyanyian yang digubah penyair untuk mengekspresikan perasaannya dan segala emosi yang berkecamuk di
dadanya, seperti puisi ghazal percintaan dan fakhr narsisisme
66
yang terdapat dalam sastra Arab. Ketiga adalah puisi drama atau teatrikal al-
syi’r al-tamtsîli dramatic poetry
, yaitu puisi yang digunakan untuk menggambarkan suatu peristiwa yang diperankan oleh berbagai tokoh atau lakon dengan menggunakan puisi sebagai alat
komunikasinya.
67
Sebagaimana kita ketahui sebelumnya, bahwa kehidupan masyarakat Arab Jahiliyah tidak pernah terlepas dari peperangan antar kabilah, namun demikian, di
dalam khazanah sastra Arab tidak ditemukan puisi-puisi heroik malhamah yang panjang. Hal ini menurut al-Iskandari dkk., disebabkan keterbatasan daya imajinasi dan
pengetahuan mereka, di samping peradaban mereka yang masih rendah, sehingga tidak semua orang mampu mengungkapkan perasaan mereka ke dalam susunan puisi yang
indah dan berkesinambungan. Namun berdasarkan bentuknya yang lebih mengutamakan matra dan rima, maka bisa dipastikan bahwa mayoritas syair Arab
Jahiliyah masuk ke dalam kategori puisi lirik al- syi’r al-ghinâ’i, yaitu puisi yang lebih
mengutamakan aspek keindahan irama dan musik.
68
Para ahli sastra Arab biasanya membagi jenis syair Arab ke dalam beberapa bagian yang dikenal dengan istilah aghrâdl al-
syi’r. Adapun yang dimaksud dengan aghrâd al-
syi’r di dalam syair Jahiliyah adalah tema yang dibuat para penyair yang berkaitan dengan tujuan mereka dalam menggubah syairnya atau secara singkat tujuan
pembuatan syair. Sebagai contoh, jika penyair menggubah syairnya dengan tujuan untuk mengagung-agungkan dirinya atau sukunya, maka syairnya disebut dengan fakhr,
namun bila penyair menggubah syairnya untuk menyanjung dan mengagumi seseorang,
65
Lirik lyric, lirique adalah 1 sajak yang merupakan susunan kata yang berbentuk nyanyian. 2 karya sastra yang berisi curahan perasaan pribadi yang mengutamakan lukisan perasaan. Panuti
Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, hal. 49
66
Narsisisme narcissism adalah kekaguman yang berlebih-lebihan akan sifat fisik atau watak diri sendiri. Narcissus adalah nama seorang pemuda
–dalam mitologi Barat klasik- yang tertarik sekali kepada bayangannya sendiri dalam sebuah kolam. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, hal. 54
67
al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 43
68
al-Iskandari dkk, al-Mufashshal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 43 dan 45
25 baik keberaniannya, kedermawanannya, atau sifat lainnya, maka syairnya tersebut
disebut madh, dan lainnya.
69
Tema-tema tersebut terkait erat dengan kondisi sosiologi dan budaya bangsa Arab saat itu. Ada beberapa tema yang biasanya digemari oleh
penyair Jahiliyah, di antaranya; ghazal
70
, madh, hijâ, hamâsah, ritsâ, fakhkhar, dan washaf
. Ghazal
71
merupakan salah satu tema syair Jahiliyah yang sangat terkenal. Ghazal
, menurut Husein ‘Athwan merupakan muqadimah syair Jahiliyah yang paling populer. Oleh sebab itu, setiap penyair dianggap kurang afdal bila belum mengucapkan
ghazal dalam pembukaan syairnya.
72
Ghazal sendiri secara bahasa mengandung arti menyebut atau membicarakan tentang perempuan
73
, yang kemudian di dalam istilah sastra Arab lebih cenderung pada rayuan, cinta dan asmara. Ghazal sangat erat
kaitannya dengan nasîb atau tasybîb. Ketiga istilah tersebut, sering kali dipadankan artinya. Ketiga istilah tersebut secara semantik memiliki keterkaitan makna yaitu sama-
sama membicarakan berbagai hal tentang perempuan, baik kecantikannya maupun tingkah lakunya, lahir maupun batin. Namun sebagian para kritikus berupaya
membedakan kedua istilah tersebut, sebagai contoh Qudâmah ibn Ja’far memberikan definisi ghazal dengan trik-trik merayu perempuan dengan menggunakan elemen-
elemen perempuan itu sendiri sebagai mediatornya. Rayuan tersebut dimaksudkan untuk menarik perhatian perempuan, sehingga akhirnya menyukainya. Adapun yang
dimaksud dengan nasîb adalah berbagai upaya yang dilakukan seorang laki-laki untuk memperoleh cinta perempuan dengan menunjukkan bukti-bukti kecintaannya tersebut,
seperti dengan cara menyebutkan hal-hal yang berhubungan dengan kerinduan,
69
Nabilah Lubis, al- Mu’în fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi, Jakarta: Kuliyyat al-Adab wa al-
‘Ulûm al-Insâniyah Jâmiah Syarîf Hidâyatullah, 2005, hal. 27
70
Dalam kamus Istilah Sastra disebutkan bahwa ghazal adalah salah satu jenis puisi lirik asmara terdiri dari delapan larik, tiap lariknya berakhir dengan kata yang sama. Gazal berasal dari sastra Persia
dan berpengaruh pada sastra Melayu Lama. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: UI-Press, 1990, hal. 33
71
Menurut Abu al-Faraj al-Ishfahâni, al- Muhalhil ibn Rabî’ah adalah orang yang pertama kali
menggunakan ghazal sebagai mukadimah dalam syairnya. Pendap at ini juga didukung oleh ‘Abd al-Qâdir
al- Baghdâdi. Husein ‘Athwân, Muqaddimah al-Qasîdah al-‘Arabiyah fi al-‘Ashr al-Jâhili, Mesir: Dâr
al- Ma’ârif, tth, hal. 92
72
Husein ‘Athwân, Muqaddimah al-Qasîdah al-‘Arabiyah fi al-‘Ashr al-Jâhili, hal. 92
73
Al-Munjid fi al-Lughah wa al- A’lâm, hal. 550
26 mengingat tempat-tempat percintaan dengan semilir angin, kilat yang berkilau, burung
merpati pembawa kabar, mimpi-mimpi yang hadir, puing-puing bangunan yang masih tersisa, serta benda-benda lainnya yang mulai menghilang.
74
Nasîb dalam literature sastra Arab Jahiliyah memiliki peranan yang sangat
penting, dan menempati posisi awal dalam tema-tema syair lainnya. Sehingga meskipun yang diinginkan adalah tema-tema lain, namun nasîb akan disajikan terlebih dahulu
sebagai prolog
75
. Nasîb dianggap sebagai hiburan hati dan kesenangan jiwa, karena spiritnya adalah cinta, dan cinta adalah rahasia dalam setiap kehidupan manusia. Dan
masyarakat Badawi adalah kelompok manusia yang paling merindukan cinta, karena perasaan sepi yang selalu meliputi mereka, pertemuan dengan beraneka macam suku
baik pada saat musim panas maupun musim semi. Maka pada saat perpisahan terjadi, setiap pecinta menguntai kata cintanya, lalu di kemudian hari mereka kembali ke tempat
tersebut dan membangkitkan perasaan duka akibat perpisahan, lalu kembali menguntai kata dengan syair untuk mengingat kembali hal yang telah terjadi di antara mereka pada
saat melihat jejak-jejak dan puing-puing yang ditinggalkan kekasihnya.
76
Berkaitan dengan kedudukan perempuan dalam syair Jahiliyah, al-Iskandari dkk., dalam bukunya al-Mufashshal fi al-Adab al-
‘Arabi menyatakan bahwa, penyair Jahiliyah, selain dalam syair ritsâ, biasanya hanya menggunakan satu metode dalam
menyusun kasidahnya, yaitu selalu diawali dengan tasybîb, yakni menyebutkan terlebih dahulu dalam kasidahnya perempuan dan segala hal yang berkaitan dengannya, seperti
menyebutkan kepergian mereka dari satu tempat ke tempat lain, berhenti di atas puing- puing peninggalan mereka, menangisi rumah sepeninggal mereka, kecantikannya,
perasaan cintanya pada perempuan, kendaraan atau unta yang dikendarainya, cepat dan lambatnya cara mereka berjalan, dan lain sebagainya.
77
74
Muhammad Ridla Marawwah, Umru al-Qais; al-Malik al-Dlillîl, Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1411 H 1990 M, cet. 1, hal. 45-46
75
Prolog prologue adalah pembukaan atau permulaan yang mengantarkan karya sastra dan yang merupakan bagian karya sastra tersebut, namun sifatnya berbeda dari prakata. Dalam bahasa Arab
disebut dengan mukadimah.
76
Ahmad al- Iskandari dan Mushtafa ‘Inani, al-Wasîth fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, hal. 47
77
Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al- ‘Arabi, tp: Maktabah al-Adab, tth, hal. 112-
113
27 Untuk itu menurut Yûsuf Khalîf, perempuan menempati posisi yang sangat
penting dalam tradisi sastra Arab Jahiliyah, sehingga dalam budaya tersebut, ia ibarat ruh yang menghidupkan sebuah syair. Tasybîb
78
dalam syair Jahiliyah sudah dianggap sebagai tardisi sakral yang tidak boleh terlewatkan.
79
Syair dalam bentuk seperti ini sangat disukai para penyair Arab Jahiliyah bahkan hingga saat ini.
80
Berikut ini contoh ghazal dari penyair Badawi terkenal ‘Antarah ibn Syaddad
untuk sang kekasih ‘Ablah:
ء ع حي م ل تم
81
م ظحل ب
ء ن ل
82
Gadis cantik nan rupawan itu memanah hatiku Dengan panah kerlingan matanya yang tidak ada obatnya
ه ن نيب يعل م
83
ء ن حل ل ل م
Pada hari raya ia berjalan di antara gadis-gadis Bagai mentari-mentari, kerlingan mata mereka bagaikan kijang
Tradisi ghazal, nasîb ataupun tasybîb ini, biasanya hanya dilakukan oleh para penyair pria, untuk itu saya penulis menganggap bahwa inilah salah satu corak syair
feminis yang terdapat dalam syair Jahiliyah, yaitu syair hasil karya kaum laki-laki yang secara khusus berbicara tentang perempuan, sikap dan cara pandang mereka terhadap
perempuan, baik mewakili individu masing-masing ataupun hal-hal yang menggambarkan perilaku sosial secara umum.
Tema lainnya yang disukai penyair Jahiliyah adalah madh. Madh adalah sejenis syair yang dibuat dengan tujuan untuk memuji sesuatu atau seseorang. Pada dasarnya
ada kemiripan antara syair madh dan fakhr, yaitu keduanya sama-sama berisikan pujian.
78
Yusuf Khalif menyebut al-tasybib dengan sebutan al-muqaddimat al-gharamiyah yang artinya pendahuluan puisi cinta.
79
Yusuf Khalîf, Dirâsat fi al- Syi’r al-Jâhili, ttp: Maktabah Gharîb, tth, hal. 74
80
Muhammad Sa’ad ibnu Husain, al-Adab al-‘Arabi wa Tarikhihi, al-Mamlakah al-‘Arabiyah al-
Su’udiyah: Wuzarat al-Ta’lim al-‘Ali, 1410 H, hal.
81
‘Adzrâ adalah gadis yang belum disentuh laki-laki virgin
82
Bahr kâmil: mutafâ’ilun-mutafâ’ilun, dengan qâfiyah mutawâtir
83
Nawâhid adalah bentuk jamak dari nâhid atau nâhidah yang artinya anak gadis dengan payudara yang bulat dan membusung, artinya gadis remaja yang sedang ranum.
28 Akan tetapi jika madh merupakan pujian untuk orang lain, fakhr adalah pujian yang
digunakan untuk membanggakan diri sendiri narsis.
84
Di dalam syair Jahiliyah, tradisi madh biasanya tidak dilakukan kecuali jika orang yang dijadikan objek pujian itu memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari sang
penyair. Untuk itu, madh seperti ini, biasanya dibuat secara berlebih-lebihan dengan tujuan untuk mengambil hati seseorang atau mencari muka agar orang tersebut tertarik
dan memberikan imbalan padanya. Corak syair seperti ini, mayoritas dilakukan oleh para penyair istana.
85
Sebagai contoh, syair madh yang dibuat al-Nâbighah al-Dzubyâni penyair istana penyair komersil yang ditujukan untuk al-
Nu’mân ibn al-Mundzir saat ia mohon pengampunan atas kesalahan yang ia lakukan, yang salah satunya bait berikut
ini:
س ع ه ت مل
ب ي ن ،ك م لك ت
86
Tidakkah engkau melihat, bahwa Allah telah memberikan kedudukan yang tinggi padamu, yang dengan itu engkau dapat menyaksikan semua raja yang ada di bawahnya
merasa tergoncang
بك ك ل س ش كن ف
بك ك ن م ي مل تع
87
Sesungguhnya engkau adalah mentari, dan raja-raja itu bintangnya Jika mentari terbit, tidak ada satupun bintang yang tampak
Tema yang ketiga adalah hijâ’ atau syi’ir ejekan
88
. Syair hijâ adalah syair yang dibuat untuk membangkitkan permusuhan, kemarahan, kebencian, kedengkian,
84
Ibrâhîm ‘Alî Abu al-Khasyâb dan Ahmad ‘Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili
, hal. 54
85
Ibrâhîm ‘Alî Abu al-Khasyâb dan Ahmad ‘Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al- Jâhili
, hal. 55-56
86
Bahr Thawîl: fa`ûlun - mafâ`îlun - fa`ûlun - mafâ`ilun
87
‘Abbâs ‘Abd al-Sâtir, Dîwân al-Nâbighah al-Dzubyâni, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1416 H1996 M, hal. 28
88
Di dalam sastra Barat hija’ mungkin yang dikenal dengan istilah sarkasme sarcasm,
sarcasme , sebuah bentuk ironi yang mengandung kepahitan serta kekasaran. Sarkasme bersifat
mencemoohkan, menyakitkan hati, selalu ditujukan kepada pribadi tertentu. Kamus Istilah Sastra, hal. 71
29 perselisihan, perpecahan, fanatisme kesukuan, membela seseorang, dan yang paling
popular pada masa Jahiliyah adalah untuk mengobarkan api peperangan.
89
Penulis buku al-Hija, membagi jenis syair ini ke dalam lima bagian, yaitu al- hijâ al-syakhshî, al- hijâ al-akhlâqî, al- hijâ al-siyâsî, al- hijâ al-dînî,
dan al- hijâ al- ijtimâ’î. Al- hijâ al-syakhshî adalah syair yang dibuat untuk mengejek pribadi seseorang
dari segi fisik seperti mulut, gigi, mata, jenggot, rambut, kulit yang hitam, suara, dan
lain sebagainya. Al- hijâ al-akhlâqî digunakan untuk mengejek seseorang dari segi mental, seperti sifat pengecut, pelit, dungu, dan sifat-sifat negative lainnya. Al- hijâ al-
siyâsî adalah syair yang dibuat untuk kepentingan politik. Pada masa Jahiliyah syair
seperti ini sangat digemari oleh masyarakat karena terkait erat dengan fanatisme kesukuan sebagai salah satu sistem politik yang mereka anut, di samping itu tentu saja
untuk membangkitkan semangat peperangan dan balas dendam di antara mereka. Al- hijâ al-dînî
adalah bentuk syair yang dibuat dalam rangka membela dan mempertahankan agama. Jenis ini lebih banyak dilakukan pasca kedatangan agama
Islam, sebab pada masa Jahiliyah, agama bukanlah suatu elemen yang dapat memicu suatu peperangan. Sebagaimana kita ketahui, peperangan pada masa itu biasanya lebih
disebabkan oleh persoalan ekonomi. Al- hijâ al- ijtimâ’î adalah syair yang dibuat untuk
mengkritisi kondisi sosial yang tidak sesuai dengan apa yang mereka inginkan dan harapkan. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat Arab Jahiliyah memiliki tradisi
yang mengagungkan keberanian, kedermawanan, memelihara kehormatan tetangga, dan membalas dendam, maka jika ada anggota masyarakat yang tidak melakukan hal-hal
seperti itu, inilah yang kemudian menjadi sasaran dari Al- hijâ al- ijtimâ’î kritik
sosial.
90
Sebagai contoh syair yang diucapkan oleh Ubaid ibn al-Abrash untuk Umru al- Qais, setelah kaumnya membunuh ayah Ubaidh:
89
Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, tp: al-Bayân al-
‘Arabi, 1961, cet. 1, hal. 56
90
Keterangan lengkap tentang syair hijâ , lih., Tim Penulis, al-Hijâ, ttp: Dâr al- Ma’arif, tth,
hal. 5-91
30
ع ج ف لأ نحن ج
يل م ج مث كع
91
Kamilah yang terbaik, maka kumpulkanlah pasukanmu Lalu hadapkan pada kami
ي ح ل حي م ا ـي ح م حب ل
92
Kami halalkan yang kamu lindungi Namun tidak halal bagimu apa yang kami lindungi
Syair ini adalah salah satu contoh dari al-hija al-siyasi yang dibuat oleh penyair untuk menantang seseorang atau kelompoknya yang dalam hal ini adalah kaum dari
Umru al-Qais untuk berperang. Hamâsah
heroic poems. Secara umum yang dimaksud dengan hamâsah adalah syair kepahlawanan. Di dalam sastra Arab yang dimaksud dengan hamâsah adalah salah
satu jenis syair yang bertemakan tentang peristiwa peperangan yang sangat terkenal, tempat peristiwa peperangan, kisah kepahlawanan yang fenomenal, kemenangan yang
terus menerus, kekuatan dan keberanian, intrik dan strategi perang, pertahanan dan perlindungan terhadap kabilah, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan dunia
perang. Dunia padang pasir yang sangat keras juga tradisi mereka yang suka berperang, menjadikan hamâsah sebagai salah satu corak syair yang digemari di kalangan
masyarakat Arab Jahiliyah.
93
Syair hamâsah terkait erat dengan syair fakhr, bedanya adalah jika fakhr merupakan syair yang digunakan untuk membanggakan diri secara umum, sedangkan
hamâsah digubah secara khusus sebagai spirit saat maju ke medan perang, mengahadapi
marabahaya. Sebagai contoh syair Shafiyyah binti Tsa’labah al-Syaibâniyah yang
91
Bahr Kâmil: mutafâ`ilun - mutafâ`ilun - mutafâ`ilun
92
Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 57
93
Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 61
31 bergelar al-Hujajiyah
94
, saat ia datang pada Kabilah Dzuhl mengajak mereka untuk memerangi Kisrâ
95
berikut ini:
ل ي ا عل ي يل خ يج م ي
96
Hari ini adalah hari kemenangan, bukan hari penyesalan Hari bagi orang-orang yang bersenjata lembing, para pahlawan, dan prajurit
م ت ج
أ هب ي غ ضي ل ت ف س
م ل
Hari di mana para arwah terpisah dengan jelas Kalian pasti akan melihat bangsa ini esok pagi tersenyum bahagia
مت يل عف له ص
Andai Bani Dzuhl bersabar, pasti kemenangan hari ini akan sempurna
Jenis syair lainnya yang sangat digemari terutama oleh penyair perempuan adalah ritsâ. Jenis syair ritsâ telah dikenal lama di dalam perjalanan sastra Arab
Jahiliyah. Di dalam sastra dunia, ritsâ dikenal dengan istilah elegi, yaitu sajak atau lagu yang mengungkapkan rasa duka atau keluh kesah karena sedih, rindu, atau murung,
terutama karena kematian seseorang.
97
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan ritsâ dalam syair Arab adalah syair ratapan. Syair ini biasanya
digubah sebagai ungkapan bela sungkawa atas kejadian yang menyedihkan. Menurut tim penulis buku al-Ritsâ
98
, ada tiga jenis ritsâ yang biasanya dibuat oleh penyair, yaitu al-nadb, al-
ta’bîn, dan al-‘azâ. Al-nadb adalah ritsâ yang dibuat untuk meratapi dan menangisi orang yang meninggal dunia sebagai ungkapan duka cita,
dengan menggunakan kata-kata yang menyayat hati, sehingga mampu membuat luluh hati yang keras dan melelehkan air mata yang beku. Bagaimana tidak, sebab biasanya
ritsâ ini diungkapkan secara berlebihan, diucapkan dengan suara yang keras dan
94
al-Hujajiyyah berasal dari kata hujjah yang berarti argumen. Gelar ini diberikan pada Shafiyyah karena kemampuannya dalam berdiplomasi politik, sehingga ia mampu mempersatukan
kabilah-kabilah Arab untuk menyerang raja Persia.
95
Gelar bagi raja Persia
96
Bahr Rajaz: mustaf`ilun - mustaf`ilun - mustaf`ilun
97
Istilah lain dalam bahasa Indonesia adalah puisi ratapan atau sajak ratap. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra
, hal. 27
98
Tim Penulis, al-Ritsâ, ttp: Dâr al- Ma’ârif, tth. Penjelasan lengkap mengenai ritsâ, dapat
dilihat dalam buku tersebut.
32 menyayat hati, disertai dengan cucuran air mata yang tiada henti. Al-nadb banyak
dijumpai dalam syair-syair Jahiliyah. Biasanya para perempuan sengaja berkumpul untuk meratapi mayat, tradisi ini masih dilakukan setelah datangnya Islam. Pada masa
Jahiliyah, para penyair perempuan biasa membuat syair jenis ini untuk meratapi kematian seseorang.
99
Secara umum ada lima objek ratapan dalam al-nadb, yaitu sanak keluarga dan kerabat, diri sendiri, Rasulullah saw dan keluarganya, juga kerajaan dan kota yang
hilang. Dalam syair Jahiliyah yang paling terkenal adalah ratapan yang pertama, yaitu ratapan untuk sanak keluarga dan kerabat. Pada masa Jahiliyah, jenis ini didominasi
oleh para penyair perempuan, mereka terbiasa meratapi ayahnya maupun saudara- saudaranya yang meninggal dunia, baik meninggal secara biasa, ataupun yang
disebabkan oleh peperangan, seperti tertembak panah dan tertusuk pedang. Penyair perempuan yang sangat terkenal dengan ritsâ al-nadb adalah al-Khansa. Selain untuk
keluarga, ratapan lain yang berkembang sejak masa Jahiliyah adalah ratapan untuk diri sendiri. Ratapan ini dibuat menjelang kematian seseorang.
100
Jenis ritsâ yang kedua adalah al- ta’bîn yaitu pujian terhadap orang yang telah
meninggal dunia. Makna dasar dari al- ta’bîn pada dasarnya adalah pujian untuk
seseorang, baik yang masih hidup ataupun sudah meninggal. Lalu istilah tersebut mengalami penyempitan makna, menjadi pujian yang khusus untuk orang yang telah
meninggal. Salah satu tradisi yang biasa dilakukan masyarakat Arab Jahiliyah adalah berhenti di depan kuburan seseorang untuk mengingat perbuatan dan tingkah lakunya
semasa hidup, serta kebaikan-kebaikan yang dilakukannya, lalu memujinya. Hal itu mereka lakukan agar kenangan tentang si mayit terus terjaga sepanjang masa.
101
Jenis ratapan al- ta’bîn, biasanya ditujukan untuk raja dan menteri, para
bangsawan, pembesar, dermawan, panglima perang, tokoh-tokoh agama maupun sastrawan. Jenis syair yang terkenal pada masa Jahiliyah adalah al-
ta’bîn untuk raja dan menteri yang digunakan mengenang mereka ketika telah meninggal dunia. Selain itu,
99
al-Ritsâ, hal. 12
100
lih. al-Ritsâ, hal. 13-53
101
al-Ritsâ, hal. 54
33 jenis lainnya yang tidak kalah penting adalah al-
ta’bîn untuk para bangsawan, dermawan, para panglima perang, dan tentu saja untuk para penyair itu sendiri.
102
Ratapan pujian ini, terkait erat dengan kondisi sosiologi bangsa Arab saat itu, yang sangat menghormati unsur-unsur masyarakat tersebut.
Jenis ritsâ yang terakhir adalah al- ‘azâ. Makna dasar dari al-‘azâ itu sendiri
adalah sabar. Istilah ini lalu dipersempit artinya menjadi sabar dan ikhlas atas cobaan yang disebabkan kematian. Pada zaman Jahiliyah, penyair dalam syairnya biasanya
menyabarkan terlebih dahulu dirinya sendiri, lalu keluarga, para pemimpin kabilah, dan terakhir untuk orang-orang yang ada di sekitarnya. Intinya adalah bahwa para penyair
Jahiliyah biasanya menggubah ratapan al- ‘azanya, pertama kali ditujukan untuk dirinya,
lalu untuk orang lain.
103
Pada masa Jahiliyah, syair ritsâ terutama al-nadb, lebih banyak digubah oleh penyair perempuan. Hal ini terkait erat dengan perasaan perempuan yang sangat
sensitif, sehingga ketika ia mengalami sebuah tragedi kematian, ia lebih emosional dibanding dengan kaum laki-laki. Namun demikian, ini tidak berarti penyair pria tidak
menyukai jenis ritsâ, hanya saja kondisi dan tradisi yang mengelilingi mereka, menuntutnya untuk selalu berjiwa besar, pemberani dan tidak cengeng, sehingga
terkesan maskulin. Sedangkan ritsâ bagi kaum perempuan biasanya bersumber dari rasa cinta dan sayang, sehingga terkesan bersifat feminin.
104
Adapun fakhr
105
adalah jenis syair yang digubah untuk tujuan membanggakan diri, nasab, keluarga, maupun kabilah, serta sifat-sifat istimewa yang mereka miliki.
Sebagai contoh syair fakhr ‘Antarah ibn Syaddad, saat membanggakan dirinya sebagai
prajurit yang gagah berani:
102
al-Ritsâ, hal. 55, 62, dan 70
103
al-Ritsâ, hal. 86
104
Hal ini senada dengan apa yang diutarakan oleh`Abd al-Rahmân Al-Dabbâsi pada saat menggambarkan hubungan syair dengan kehidupan sosial` penduduk Yamamah. Abd al-Rahmân ibn
Ibrâhîm Al-Dabbâsi, al-Syi`r fi Hâdlirat al-Yamâmah hattâ Nihâyat al-`Ashr al-Umawi, Riyâdl: Maktabah al-Malik `Abd al-`Azîz, 1416, hal. 272
105
Di dalam satra dunia dikenal dengan istilah narsisisme narcissism, yaitu kekaguman yang berlebihan akan sifat fisik atau watak diri sendiri. Narcissus adalah nama pemuda dalam mitologi Barat
klasik yang tertarik sekali pada bayangannya sendiri dalam sebuah kolam. Kamus Istilah Sastra, hal. 54
34
ي ب حض ف نم مك
مي ه ني يل
م ل
Berapa banyak prajurit yang remuk kepalanya dan terpenggal tangannya karena pedangku
ي ل ع هي ع حي نيب ب غ هل ح ل حت
106
Dikelilingi rajawali kematian Dan sekelilingnya berlalu lalang gagak-gagak kematian
Washf adalah jenis syair yang dibuat untuk mendeskripsikan atau
menggambarkan sesuatu, seperti keindahan alam, pemandangan, kehancuran, peperangan, dan lain sebagainya. Pada masa Jahiliyah, selain alam, objek lain yang
paling dominan dalam washf adalah perempuan.
107
Tema ini termasuk tema yang sangat disukai dan biasanya dijadikan sebagai mukadimah prolog syair, sebelum
membicarakan tema-tema lainnya. Syair ini banyak berkembang dari waktu ke waktu karena lebih imajinatif dan inspiratif. Untuk itu, gaya bahasa pada syair washf banyak
menggunakan tasybih, majas dan isti’arah. Sebagai contoh, syair Amru al-Qais berikut
ini:
ض م يغ ء يب م
ل ل ك ل
م ئ ت
108
Langsing, putih, ramping Dadanya berkilau bagai cermin
ت ليس نع ت ت ب
ل م ج شح نم
Ia berpaling, menampakan pipinya yang ranum, dan ia jauhkan pandangannya dari buasnya mata sapi yang telah beranak
109
شح ب سيل مئ ل ي ك يج ل ع ب ا ه ن ه
Lehernya bagaikan leher kijang yang putih tanpa noda, Saat ia biarkan terbuka dengan perhiasan yang menghiasinya
106
Syarh Dî wan ‘Antarah ibn Syaddâd, hal. 172-173
107
Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 64
108
Sajanjal: Kaca Yunani
109
dalam bait ini perempuan diumpamakan bagai kijang yang sedang melihat sapi yang galak, lalu dengan perlahan-lahan ia memalingkan lehernya darinya.
35 Itulah beberapa tema syair Jahiliyah yang sangat poluler. Tema-tema tersebut,
terkait erat dengan situasi dan kondisi sosiologis dan psikologis bangsa Arab saat itu, juga mencerminkan tingkah laku, watak dan cara pandang bangsa Arab Jahiliyah.
c. Karakteristik dan kategorisasi syair Jahiliyah
Syair Arab Jahiliyah dianggap sebagai catatan sejarah dîwan bangsa Arab pada masa Jahiliyah yang menggambarkan perjalanan hidup mereka, dari tradisi, norma
maupun budaya. Secara bahasa, syair Arab Jahiliyah memiliki karakteristik tersendiri, seperti bersifat natural dan tidak terkesan dipaksakan. Hal ini merupakan cermin
kehidupan masyarakat badawi yang biasa hidup bebas tanpa ada aturan yang mengikatnya. Untuk itu jarang sekali didapati suatu syair yang terlihat dipaksakan,
kalau pun ada hanyalah untuk mubâlaghah hiperbola. Penyair Arab Jahiliyah cenderung memilih kata-kata yang simpel, singkat, dan
padat ijâz. Untuk menggambarkan suatu objek, biasanya mereka mengambil kata yang terdekat maknanya sehingga tidak terasa asing di telinga. Jika ditemukan kata-kata
asing di telinga kita, hal itu disebabkan jarak waktu yang memisahkan antara masa itu dengan masa sekarang, di samping kita tidak mengetahui dengan pasti kehidupan yang
bagaimana yang mereka jalani selama ini, selain dari peninggalan yang mereka tinggalkan yang tidak mungkin bisa dipahami secara utuh. Syair Jahiliyah tidak banyak
yang memperdulikan aksesoris-aksesoris seni yang menambah keindahan, untuk itu tidak banyak digunakan jinas
110
maupun aksesoris badi’ lainnya.
111
Ciri khas lainnya yang tedapat dalam syair Jahiliyah adalah hampir selalu didahului dengan kata-kata rayuan untuk perempuan atau menyebutkan hal-hal yang
berbau perempuan tasybîb, dengan melukiskan perempuan saat bepergian dan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, kemudian penyair berhenti di atas puing-
puing yang ditinggalkannya dan menangisinya. Terkadang tasybîb tersebut digunakan untuk melukiskan kecantikan perempuan dan perasaan cinta sang penyair pada
perempuan tersebut. Selanjutnya penyair melukiskan kuda dan unta yang dikendarai
110
Penggunaan lafaz yang sama atau serupa, namun untuk makna yang berbeda homonim, seperti kata
sâ’ah yang bermakna waktu dan hari kiamat.
111
al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, tp: Maktabah al-Adab, tth, hal. 47
36 perempuan, serta cepat maupun mudahnya perjalanan mereka. Terkadang para penyair
tersebut mengibaratkan perempuan dengan binatang-binatang liar seperti kambing hutan, kijang dan lain sebagainya. Untuk itu mereka terbiasa membuat perumpamaan-
perumpamaan untuk perempuan sesuai dengan tradisi dan adat istiadat mereka. Penulis buku Buhuts fi al-Adab al-Jahili secara singkat menyebutkan
karakteristik bahasa yang terdapat pada syair Jahiliyah sebagai berikut, pertama menggunakan bahasa yang simpel terutama pada syair-syair hamâsah patriotisme,
fakhr membanggakan diri dan
tawa’ud ancaman. Kedua, konten pembicaraan didominasi tentang kehidupan badawi, seperti, binatang buruan, kijang, binatang buas,
gunung, di samping itu hal-hal yang berkaitan dengan kedermawanan, perlindungan, bepergian, dan lain sebagainya. Ketiga, dari segi gaya bahasa, banyak digunakan
kosakata-kosakata asing jika dibandingkan dengan bahasa saat ini. Keempat daya imajinasi mereka yang masih sangat minim, menjadikan makna yang mereka gunakan
mudah untuk dipahami. Selain hal tersebut, syair Jahiliyah adalah syair yang natural tidak banyak yang dipaksakan seperti pada syair-syair setelahnya. Hal ini
mencerminkan kehidupan mereka yang bebas alamiah.
112
Sedangkan penulis al-Wasîth mendeskripsikan secara singkat beberapa kriteria khusus syair Arab Jahiliyah, seperti
makna yang terkandung dalam syair sangat jelas sesuai dengan fakta dan realita, tidak banyak hiperbola atau makna-makna yang berlebihan, sehingga menjadi tidak logis dan
tidak natural, selain itu makna yang digunakan juga tidak asing
113
dan tidak banyak mengandung metafora.
114
Syair Jahiliyah itu sendiri dibagi menjadi beberapa kategorisasi. Penulis buku Al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Tarikhihi
membagi penyair Jahiliyah ke dalam enam
112
Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 47
113
Yang dimaksud tidak asing di sini bukan berarti mudah dipahami saat ini, namun bahasa yang digunakan lebih bersifat kongkrit tidak banyak mengandung metafora. Sebab jika dibandingkan dengan
bahasa Arab kontemporer tentu saja bahasa syair Jahiliyah lebih rumit untuk dipahami karena jauhnya masa yang memisahkan.
114
Ahmad al- Iskandari dan Mushtafa ‘Inâni, al-Wasîth fi al-Adab al-‘Arabi wa Târikhihi,
Mesir: Dâr al- Ma’ârif, tth, hal. 50. Pendapat penulis yang menyatakan bahwa syair Jahiliyah tidak
banyak mengandung metafora dan makna asing perlu dibuktikan lagi melalui penelitian.
37 kategori, yaitu: penyair Badawi yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu
Sha’âlîk dan ghair Sha’âlîk, penyair aristokrat, penyair istana atau penyair komersil bilâth wa
takassub
115
, penyair filsuf hikmah, penyair religi madzhab, dan penyair perempuan.
116
Kategorisasi syair ini dijadikan sebagai landasan penelitian, untuk itu penyair istana, penyair aristokrat dan penyair komersil, penyair Badawi Sh
a’âlîk dan ghair Sha’âlîk, dan penyair perempuan akan dibahas secara khusus dalam bab analisis.
Namun untuk penyair hikmah dan madzhab akan dibahas secara ringkas dalam
pembahasan ini, meski dalam analisis keduanya dimasukan dalam penyair Badawi. Secara literal, hikmah berarti mengetahui yang benar, meletakan sesuatu pada
tempatnya, selalu objektif dalam berfikir, matang dalam berfikir, atau dalam bahasa yang singkat adalah sikap bijaksana. Untuk itu yang dimaksud dengan hikmah dalam
syair adalah ungkapan yang indah dan menarik sehingga mampu menyentuh hati pendengarnya. Atau dengan kata lain adalah kata-kata bijak yang diungkapkan lewat
syair dengan menggunakan bahasa yang sangat indah dan menarik.
117
Penyair yang banyak menggubah syair-syair seperti ini disebut dengan penyair hikmah atau mungkin
sederajat dengan filsuf karena besarnya pengaruh yang ia miliki bagi masyarakat umum. Di dalam syair Jahiliyah, ada dua nama yang biasanya dikategorikan sebagai
penyair hikmah, yaitu Zuhair ibn Abî Sulmâ dan Labîda ibn Rabî’ah al-‘Âmirî
118
. Di antara keduanya yang paling terkenal adalah Zuhair ibn Abi Sulma. Zuhair Ibn Abi
Sulma oleh para sejarawan dianggap sebagai penyair komersil. Hal ini disebabkan karena ia banyak memperoleh keuntungan pribadi dari syair-syairnya. Pujian-pujiannya
yang abadi yang ia ciptakan untuk Harim ibn Sinân al-Murrî dan al-Hârits ibn `Auf dua
115
Penyair kerajaan yang secara khusus dibayar demi kepentingan istana dan para raja. Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada bab III.
116
Karl Brookman, dikutip oleh Tim penulis Lajnah, al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili
, Libanon: Dâr al- Ma’ârif, 1962, hal. 64. Pembagian yang dilakukan oleh
Karl Brookman tersebut cenderung mengacu pada kondisi sosial dan budaya Arab saat itu.
117
Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, hal. 70
118
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Uqail Labida ibn Rabi’ah al-‘Amiri, satu dari tujuh ashab al- mu’allaqat. Ia tumbuh di lingkungan keluarga yang terhormat, suka menolong orang yang lemah. Pada
saat Islam datang, ia memeluk agama Islam pada tahun 629, lalu pindah ke Kufah dan menghabiskan waktunya di sana hingga akhir hayatnya.
38 dari pemuka-pemuka kabilah Ghatfan
119
yang sangat ia banggakan karena kepemimpinannya yang sangat peduli terhadap kaumnya, menjadikannya memiliki
banyak harta.
120
Namun bagi sebagian sejarawan yang mengikuti perkembangan dan kehidupannya, serta berdasarkan karakter yang ia miliki, mereka sangat percaya bahwa
syair-syair Zuhair meskipun dibuat untuk mencari rizki dan dijadikan sebagai mata pencaharian hingga membuatnya hidup senang, namun mereka tidak menganggapnya
sebagai penyair komersil atau dikategorikan sebagai penyair yang hanya mencari keuntungan semata tanpa memperdulikan kualitas yang hanya menghasilkan karya
kacangan. Zuhair menggubah syair-syairnya dan memuji Harim bukan semata-mata untuk memperoleh uang dan kekayaan, namun didorong oleh rasa salut dan takjub akan
segala kebaikan dan kemulian akhlaknya, serta kehebatannya. Haram selalu menganjurkan umat manusia untuk saling menghargai dan mengasihi, serta
menyebarkan perdamaian melalui aturan-aturan yang ia buat di saat memerintah.
121
Berikut gambaran syair hikmah Zuhair ibn Abi Sulma:
م س ن ف م ه ن ت اف م عي ه ،ْم ي م
يل
Janganlah kalian sembunyikan apa yang terdapat dalam hatimu dari Allah Agar tersembunyi, sebab apapun yang disembunyikan, Allah pasti mengetahuinya
خ يف ك ف عض يف خ ي م يف ل عي
حل يل
119
Bani Ghathfân adalah kabilah besar tempat dibesarkannya Zuhair ibn Abi Sulma, sedangkan paman-pamannya berasal dari Kabilah Dzubyân. Untuk itu, ia pada dasarnya memiliki keturunan yang
sama dengan penyair al-Nabighah al-Dzubyâni. Muhammad Yûsuf Farran, Zuhair ibn Abi Sulmâ; Hayâtuhu wa Syi`ruhu
, hal. 33
120
Tim penulis Lajnah, al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 188. Muhammad Yûsuf Farran, Zuhair ibn Abi Sulmâ; Hayâtuhu wa Syi`ruhu, Beirut: Dâr al-Kutub al-
`Ilmiyah, 1411 H 1990 M, cet. 1, hal. 35
121
Kehidupan Zuhair sendiri tidak banyak diketahui para sejarawan. Namun sebagaimana diriwayatkan bahwa Zuhair ibn Abi Sulma merupakan keturunan kabilah Mudlar, sekaligus penyair
kabilah ini. Zuhair dan kabilahnya tinggal di wilayah Ghatfan. Ia lahir dari sebuah keluarga penyair, sebab sebagaimana diketahui bahwa pamannya dari ayah yang bernama Busyamah ibn al-Ghadir terkenal
dengan syair-syair dan hikmahnya juga kecerdasannya. Bila kabilah Ghatfan ingin berperang, sebelumnya mereka mendatangi terlebih dahulu Busyamah untuk bermusyawarah dan meminta
pendapatnya. Dan jika pulang dari peperangan, mereka tidak lupa membagi penghasilannya untuk Busyamah dengan jumlah yang sama dengan para pimpinan kabilah. Hal ini diikuti oleh Zuhair, baik dari
kepandaiannya membuat syair maupun kecerdasannya. Selain itu suami ibunya yaitu Aus ibn Hajar juga seorang penyair, ayah kandungnya juga seorang penyair, demikian pula saudara perempuannya Salma,
dan dua orang saudara laki-
lakinya Ka’ab dan Bajîr.Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al- Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, tp: al-Bayân al-‘Arabi, 1961, cet. 1, hal. 91
39
Ditunda lalu di simpan dalam Kitab catatanTuhan Untuk hari pembalasan, atau dipercepat lalu dibalas di dunia
ه ب ل يف ل ف كي نم مم ي ه ع نغ ي هم ق ع
Siapa yang memiliki kelebihan, lalu kikir dengan kelebihannya tersebut Terhadap kaumnya, ia tidak dibutuhkan dan terhina
ه ق ي نم مم ي ا ف ي نم م
ي ا ْْبل ن م ل
122
Siapa yang menepati janji, ia tidak terhina, dan siapa yang hatinya dibimbing Pada kebaikan yang menenangkan, ia tak akan merasa cemas
Berangkat dari syair-syairnya yang seperti inilah, sepertinya para satrawan Arab memasukkan Zuhair ibn Abi Sulma ke dalam kategori penyair hikmah.
Adapun tentang penyair religi, tim penulis al-Mûjaz fi al-Adab al- ‘Arabi wa
Târikhihi , sebagaimana pada kategorisasi sebelumnya, sama sekali tidak menyebutkan
alasan mengapa ada kategorisasi penyair religi. Namun berdasarkan nama-nama yang disebutkan, latar belakang kehidupan mereka, serta contoh-contoh syairnya, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan penyair madzhab adalah para penyair yang berasal dari kalangan ahli agama, seperti Yahudi, Nasrani, maupun agama
hanîf Ibrahim. Ada tiga nama yang disebutkan dalam buku tersebut, yaitu; al-
Samual
123
, ‘Iddi ibn Zaid
124
, dan Umayyah ibn Abi al-Shalt.
125
Agar lebih jelas tentang apa yang dimaksud dengan penyair madzhab oleh penulis, sebagai sampel, berikut gambaran salah seorang penyair madzhab, yaitu
Umayyah ibn Abi al-Shalt wafat pada tahun 624 M. Umayyah ibn Abi al-Shalt ibn Abi
122
Syair lengkap dapat dilihat pada, Syarah al- Mu’allaqat al-Sab’, hal. 62-76
123
Al- Samual ibn Gharîdl ibn ‘Âdiyâ’, seorang penyair beragama Yahûdi, pemilik kuda pacuan
yang diberi nama Ablaq yang sangat terkenal di Taimâ. Ia sangat terkenal dengan sifatnya yang selalu menjaga amanah, sehingga namanya menjadi perumpamaan bagi orang yang selalu menjaga amanah al-
wafa’. Ia wafat sekitar tahun 560 M. al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 191
124
‘Addi ibn Zaid ibn Hamâd ibn Ayyûb, dari keturunan Zaid Munât ibn Tamîm. Ia seorang penyair yang beragama Nasrani dan tinggal di kerajaan Hirah. Ia sering berhubungan dengan kerajaan
Persia dan banyak mempelajari bahasa Persia, sehingga syair-syairnya banyak terkontaminasi bahasa Persia. Untuk itu para ulama bahasa Arab, biasanya tidak menjadikan syair-
syair ‘Addi sebagai argumen kebahasaan. al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 195
125
Keterangan lengkap mengenai penyair-penyair tersebut, lih. Tim penulis Lajnah, al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili
, hal. 191-204
40 Rabî`ah dari Qais ‘Ailan, seorang penyair Jahili yang banyak mendedikasikan hidupnya
untuk mengkaji buku-buku klasik terutama Kitab Taurat. Ia adalah orang yang sangat
terbuka terhadap agama, hal itu terbukti pada saat ia melakukan perjalanan niaga ke Syam dan bertemu dengan sejumlah ahli agama, yang menganjurkannya agar menjauhi
dunia. Ia akhirnya memilih jalan zuhud hidup sederhana, mensucikan diri dan mengabdi pada Tuhan. Dalam syair-syairnya ia menyebutkan nama-nama seperti
Ibrahim, Isma’il, dan agama hanîf, selain itu ia juga menyebutkan hal-hal seperti surga dan neraka, larangan untuk meminum khamr, meragukan keberadaan berhala-berhala,
dan juga rindu akan nubuwwat kenabian.
126
Sebagai contoh syair religi Umayyah ibn Abi al-Shalt:
ح م ن م ه حل ي ل ب
م ب ح ص
127
Segala puji bagi Allah di pagi hari dan sore hari Wahai Tuhanku, berikan kami kebajikan di pagi dan sore hari
ئ خ ت مل ي حل ن س فآ ق ء م
Tuhan agama Hanif yang kekayaannya tidak pernah habis Kuasanya meliputi seluruh lapisan cakrawala
ب ك ل ء ع ل حل كل م م ك م ع ءيش اف
Segala puji bagi-Mu, begitu juga segala kenikmatan dan kekuatan, wahai Tuhanku Tak ada sesuatu pun yang lebih tinggi dan mulia dari-Mu
Berdasarkan biografi singkat penyair dan juga syairnya, diharapkan dapat memberi gambaran tentang apa yang dimaksud dengan penyair religi.
Kategorisasi penyair yang terakhir adalah penyair perempuan. Dalam kajian ini, karya-karya penyair perempuan adalah salah satu unsur dalam sastra feminis.
Sayangnya, dalam buku al-Mûjaz hanya ada satu nama penyair perempuan yang disebutkan yaitu al-Khansa. Sebagai bagian penting dari kritik sastra feminis, satu
penyair tidak cukup memberi gambaran tentang citra perempuan Jahiliyah melalui syair-syairnya. Al-Khansa memang memiliki sebuah dîwan syair, hanya saja ia lebih
126
Tim penulis Lajnah, al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, hal. 201
127
Bahr Basîth: Mustaf`ilun – fâ`ilun - Mustaf`ilun - fâ`ilun
41 banyak bercerita tentang kesedihannya saat ditinggalkan kedua saudara laki-laki yang
mati terbunuh dalam peperangan. Untuk itu, penulis mengambil beberapa sampel lain yang termuat dalam
Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm yang banyak menulis tentang syair-
syair perempuan Jahiliyah, seperti Shafiyyah binti Tsa’labah al- Syaibaniyah yang bergelar al-Hujaijah
128
ahli debat, dua bersaudara Jum’ah dan Hindun binti al-Khuss yang juga banyak menggubah syair-syair hikmah, dan lain
sebagainya. Mu’jam al-Nisâ al-Syâ’irât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, yang ditulis oleh ‘Abd
Mehanna
129
, memuat ratusan syair-syair karya penyair perempuan pada masa Jahiliyah dan Islam, dan yang paling banyak adalah penyair Jahiliyah, bahkan jumlahnya
mencapai ratusan. Dari kamus tersebut terbukti, bahwa tradisi bersyair tidak hanya didominasi oleh kaum laki-laki, namun juga banyak dilakukan oleh kaum perempuan
dalam rangka mengekspresikan perasaannya. Kiprah mereka tidak hanya sebatas menjadi perempuan-perempuan peratap seperti al-
Khansâ’, namun lebih jauh dari itu terbukti bahwa mereka juga memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial, politik
dan ekonomi. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa ghazal, nasîb, dan tasybîb adalah
syair Jahiliyah yang digubah secara khusus oleh penyair laki-laki dengan menggunakan perempuan sebagai mediumnya, oleh sebab itu penulis mengkategorikannya sebagai
syair feminis.
130
Namun demikian, bukan berarti tema-tema lainnya seperti, ritsâ’,
madah, hija’, hamâsah, maupun washaf, tidak termasuk dalam objek kajian ini. Sebab dalam tradisi syair Jahiliyah, tema-tema tersebut terkait erat dengan kondisi sosial
masyarakat Arab saat itu. Oleh karena itu, tema-tema tersebut dapat dijadikan sebagai
128
ي حل
129
‘Abd Mahannâ, Mu’jam al-Nisâ’ al-Syâirât fi al-Jâhiliyah wa al-Islâm, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1990 M1410 H
130
Dalam konteks ini, makna feminis yang dimaksud oleh penulis bukan feminis sebagai sebuah gerakan yang berusaha untuk mengkounter pelecehan dan penindasan terhadap perempuan, namun
merujuk pada definisi sastra feminis sebelumnya, yaitu sastra yang di dalamnya membicarakan tentang perempuan, baik yang ditulis oleh perempuan ataupun laki-laki.
42 pintu masuk bagi kritik sastra feminis dalam rangka menemukan citra perempuan
Jahiliyah. Selain tema-tema tersebut, sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa syair
Jahiliyah juga dibagi ke dalam enam kategori, yaitu: syair Badawi yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu
Sha’âlîk dan ghair Sha’âlîk, syair aristokrat, syair komersil takassub, syair bijak hikmah, syair religi madzhab, dan syair perempuan.
Kategorisasi ini selain berdasarkan pertimbangan kandungan syair, sepertinya cenderung berdasarkan pada konstruksi sosial bangsa Arab Jahiliyah. Berdasarkan hal
itu, penulis membagi citra perempuan Jahiliyah ke dalam tiga bagian, tanpa menghilangkan unsur yang lainnya sehingga dapat mewakili keenam unsur tersebut,
yaitu; penyair istana termasuk di dalamnya penyair aristokrat dan penyair komersil, penyair badawi termasuk di dalamnya penyair ghair Sha`âlîk dan Sha`âlîk, serta penyair
perempuan sebagai bagian yang tidak kalah penting dalam rangka memahami citra perempuan Jahiliyah. Adapun penyair religi dan filsuf, selain datanya kurang lengkap,
mereka dianggap sudah masuk dalam kategori badawi ghair Sha’âlîk, karena mayoritas
dari mereka berasal dari kelompok tersebut. Kajian ini pada hakikatnya tidak terpaku pada satu ragam kritik, sebab semua
ragam kritik sastra feminis, selain kritik lesbian, pada hakikatnya dapat diaplikasikan dalam kajian ini, tentu saja dengan mempertimbangkan kekhasan dari syair Jahiliyah itu
sendiri. Hanya saja penulis lebih cenderung pada kritik ideologis, yang melibatkan perempuan sebagai pembaca atau dikenal dengan istilah reading as women.
131
membaca sebagai perempuan yang dipadukan dengan teori power kekuasaan, class kelas dan gender, sebab dalam kritik ini yang menjadi pusat perhatian adalah citra
atau stereotipe perempuan yang terkandung dalam karya sastra sesuai dengan objek penelitian. Adapun ragam kritik lainnya, penulis menempatkannya sebagai ilmu bantu
analisis.
131
Konsep reading as women yang diperkenalkan oleh Culler digunakan untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patrialkhal, yang hingga kini
diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan dalam dunia sastra. Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty,
hal. 37
43 2.
Syair Jahiliyah sebagai fakta sejarah Syair Jahiliyah lahir dari atas punggung unta dan kuda, di bawah bayang-bayang
oase pohon kurma, di atas debu gurun pasir, di bawah naungan langit yang kering, serta irama alam padang sahara lainnya.
132
Menurut penulis buku al-Mufashshal fi Târikh al- Adab al-Arabi
, secara historis sangat sulit menentukan kapan syair Arab Jahiliyah mulai muncul dalam tradisi masyarakat Arab, sebab biasanya setiap ilmu atau suatu kreatifitas
seni, muncul pertama kalinya dalam ketidaksempurnaan dan banyak kekurangan yang kemudian secara perlahan-lahan berproses menuju kesempurnaan, sedangkan syair
Jahiliyah sampai ke tangan kita dengan performa dan gaya bahasa yang matang dan sempurna, baik dari aspek wazan matra, lafaz, maupun maknanya.
133
Namun demikian, sebagaimana diungkapkan sebelumnya pada Bab I, bahwa tradisi bersyair di kalangan masyarakat Arab, diduga telah ada jauh sebelum agama
Islam lahir, sekitar dua abad sebelum Hijriyah, yang saat ini lebih dikenal dengan istilah syair Jahiliyah.
134
Menurut penulis al-Mufashshal, syair pertama yang sampai ke tangan kita adalah syair Ayyâm Harb al-Basûs atau kisah perang Basûs
135
. Dari data tersebut,
132
Tim penulis Lajnah, al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, Libanon: Dâr al-
Ma’ârif, 1962, hal. 56. Dalam suasana gurun pasir yang sangat gersang dan tandus, unta bagi bangsa Arab Jahiliyah adalah hewan yang selalu mewarnai hampir setiap aspek kehidupan
mereka. Selain berfungsi sebagai sumber makanan dan juga minuman, unta juga merupakan kendaraan yang dapat diandalkan karena daya tahan tubuhnya yang sangat kuat dan tidak banyak memerlukan air.
Unta adalah problem solver bagi bangsa Arab Jahiliyah, baik untuk kehidupan sosial, ekonomi maupun politik. Dan syair Jahiliyah lahir tidak jauh dari kehidupan unta. Irama langkah unta yang harmoni saat
menapaki gurun pasir memberi inspirasi tersendiri bagi para penyair Jahiliyah untuk menciptakan nada- nada yang indah yang kemudian dikenal dengan istilah bahr al-sy`r yang beraneka macam dan menjadi
cikal bakal musik irama padang pasir. Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili
, tp: al-Bayân al- ‘Arabi, 1961, cet. 1, hal. 24
133
Al-Iskandari dkk, al-Mufashshal fi al-Adab al- ‘Arabi, tp: Maktabah al-Adab, tth, hal. 41
134
.Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1999, jilid 4, hal. 340
135
Basûs adalah nama perempuan penyebab perang. Perang Basus itu sendiri adalah salah satu perang paling terkenal yang pernah terjadi di Zaman Jahiliyah di dalam Kabilah Rabi’ah. Perang ini
terjadi antara Kabilah Bakr dan Taghlib, dua kabilah besar dalam rum pun Rabi’ah. Perang ini
berlangsung hampir empat puluh tahun lamanya pada akhir abad ke-5 Masehi. Adapun faktor penyebab perang ini, diceritakan bahwa Kulaib ibn Rabi’ah pemuka Bani Taghlib karena kebesarannya, ia memiliki
sebuah tempat terlarang himâ yang disebut dengan al- ‘Âliyah yang tidak boleh diinjak tanpa seijinnya.
Tidak seorang pun diperbolehkan minum dari ontanya dan tidak boleh menyalakan api dari apinya. Kulaib menikahi seorang perempuan dari Bani Syaibân salah seorang keturunan Bâkr. Basûs bibi dari
Jassas ibn Murrah al-Syaibâni memiliki seekor unta yang diberi nama Sarâbi. Pada suatu ketika Kulaib ibn Wâ’il melihat unta tersebut berada di himânya dan menghancurkan telur burung merpati yang telah ia
44 syair Jahiliyah diperkirakan lahir sekitar 130 tahun sebelum Hijrah sebelum munculnya
syair tersebut.
136
Para penyair Arab Jahiliyah biasanya menggubah syair untuk mengungkapkan peristiwa yang terjadi, atau mengekspresikan emosi yang mereka rasakan. Menurut
sebagian riwayat, penyair pertama Arab Jahiliyah yang melakukan hal itu adalah al- Muhalhil ibn Rabî’ah paman Umru al-Qais dan Umru al-Qais sendiri pada akhir abad
ke-5 Masehi.
137
Al-Muhalhil sendiri menggubah syairnya untuk mengekspresikan perasaannya saat ditinggal saudaranya Kulaib dan korban lainnya yang mati terbunuh
pada perang yang terjadi antara Bani Bakr dan Taghlib. Menurut pendapat lain, syair Jahiliyah awal menggunakan bahr Rajaz yang dianggap sebagai performa syair yang
paling sederhana, yaitu menggunakan wazan mustaf’ilun-mustaf’ilun-mustaf’ilun, lalu
setelah itu para penyair bereksplorasi dengan bahr-bahr lainnya.
138
Syair, selain berfungsi sebagai media untuk mengekspresikan imajinasi dan emosi, oleh bangsa Arab digunakan juga untuk menginformasikan hal-hal yang
berhubungan dengan kehidupan mereka, seperti untuk melukiskan peperangan yang mereka alami, kondisi lingkungan yang mereka tempati, hal-hal yang membanggakan,
dan lain sebagainya, sehingga selain disebut dengan istilah syair ia juga dinamakan dengan dîwan al-Arab atau catatan sejarah bangsa Arab.
139
selamatkan. Lalu ia pun melepaskan anak panahnya tepat di susu unta tersebut. Pada saat Jassas melihat kejadian tersebut, ia meloncat dan membunuh Kulaib. Semenjak itu perang antara kedua kabilah tersebut
terus berkecamuk, sehingga menjadi legenda dalam sejarah bangsa Arab dan peristiwa tersebut dijadikan sebuah perumpamaan. Keterangan lengkap mengenai sejarah perang Basus, lih. Yusuf Khalif, Dirâsat fi
al-
syi’r al-Jâhili, Kairo: Maktabah Gharib, 1981, hal. 200-202, atau lih. Al-Iskandari dkk., al- Mufashshal fi al-Adab al-
‘Arabi, hal. 22
136
Al-Iskandari dkk, al-Mufashshal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 41
137
Al-Iskandari dkk, al-Mufashshal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal.41
138
Dalam sastra Arab ilmu tentang bahr dibahas secara khusus oleh ilmu `Arudl, yaitu ilmu yang membahas prinsip-prinsip dasar atau kaidah-kaidah pembuatan syair, juga untuk mengetahui
ketepatan dan kesalahan sebuah syair. Ilmu ‘Arûdl termasuk hal paling penting untuk diketahui oleh
sastrawan maupun penyair yang ingin membaca atau menggubah syair Arab, terutama syair multazim klasik. Ada dua belas bahr yang sangat terkenal dalam syair Arab, yaitu: basîth, rajaz, sarî`, raml,
khafîf, madîd, mutadârik, thawîl, mutaqârib, wâfir, hajaz, dan kâmil .
139
Zaghlûl Salâm, Atsâr al- Qur’an fi Tathawwur al-Naqd al-Arabi ila Âkhir al-Qarn al-Râbi’
al-Hijri , Mesir: Dâr al-
Ma’ârif , 1961, hal. 193
45 Sangat disayangkan, bahwa dalam sejarah sastra Arab tidak banyak dokumen
yang membahas peranan penyair wanita pada masa Jahiliyah. Hal itu diduga karena berbagai faktor, di antaranya budaya patrialkal yang mendominasi kehidupan bangsa
Arab sehingga memberi pengaruh yang sangat kuat terhadap lemahnya peranan perempuan dalam setiap aspek kehidupan, termasuk bidang sastra. Budaya patrialkal itu
sendiri muncul akibat dinamika kondisi sosiologi yang mereka hadapi, seperti kondisi geografi yang menimbulkan ketidakadilan ekonomi, dan menimbulkan peperangan
antar suku, dan lain sebagainya. Dalam tradisi masyarakat Arab Jahiliyah, pasar memiliki peranan sosial yang
sangat besar. Selain dijadikan sebagai tempat transaksi, pasar juga dijadikan sebagai tempat untuk unjuk kebolehan, seperti untuk berorasi, berdebat, bermusyawarah, dan
yang paling penting adalah unjuk kebolehan dalam mendeklamasikan syair, sehingga mirip dengan pasar seni dan budaya.
Salah satu pasar yang sangat terkenal saat itu adalah pasar `Ukâzh. Pasar ‘Ukâzh
adalah satu tempat pertemuan terpenting yang diselenggarakan oleh bangsa Arab untuk berbagai kepentingan. Diselenggarakan setiap awal bulan Dzul Qa`dah hingga hari
kedua puluh. Pasar ini didirikan setelah tahun Gajah,
140
mampu bertahan hingga lima belas tahun lamanya, hingga datangnya Islam, meskipun kemudian fungsinya tidak
seperti semula lagi. Biasanya di Pasar ini berkumpul para pembesar Arab, baik untuk berniaga, menebus tawanan, menyelesaikan pertikaian, mendeklamasikan dan
memamerkan syair, orasi tentang harta, keturunan, kehormatan, kefasihan, kecantikan dan keberanian. Hal itu baru akan berhenti bila sudah ada pemenangnya. Juri syair
muhâkim yang paling terkenal saat itu adalah al-Nâbighah al-Dzubyâni, sedangkan orator paling handal adalah Qissa bin Sâ’adah al-Iyâdi.
141
140
Tahun Gajah adalah tahun yang bertepatan dengan dilahirkannya Nabi Muhammad saw., 571 M, saat Abrahah raja kerajaan Habasyah menyerang Mekah untuk menghancurkan Ka’bah.
141
Ahmad al- Iskandari dan Mushtafa ‘Inâni, al-Wasîth fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi, Mesir:
Dâr al- Mâ’arif , tth, hal.12-13
46 Pasar `Ukazh memiliki hubungan erat dengan syair Al-
Mu’allaqât.
142
Adapun yang dimaksud dengan al-
Mu’allaqât dalam terminologi sastra Arab adalah syair-syair pemenang festival yang biasa diadakan setiap tahun di pasar `Ukazh pada bulan Haram.
Syair-syair yang menang ditulis dengan tinta emas lalu digantungkan di dinding Ka’bah. Syair-syair karya ketujuh orang penyair yang menjadi juara, dikenal dengan al-
sab’ al-mu’allaqât atau tujuh syair yang digantung.
143
Dengan demikian Al- Mu’allaqât adalah julukan yang diberikan untuk syair
papan atas dan berkualitas pada masa Jahiliyah. Menurut sebagian riwayat, istilah tersebut diberikan, karena kebiasaan bangsa Arab saat itu untuk memilih sebanyak tujuh
syair yang berkualitas lalu ditulis dengan tinta emas di atas kain Qibthi yang bagus, lalu digantungkan di tirai Ka’bah. Maka timbullah istilah al-Mudzahhabât karya emas
Umru al-Qais, al-Mudzahhabât Zuhair dan al-Mudzahhabât tujuh lainnya.
144
Al- Sab’ al-Mu’allaqât adalah syair-syair karya emas dari tujuh penyair Arab
Jahiliyah, dan menjadi simbol kebesaran syair pada masa itu. Adapun penyair-penyair tersebut adalah; Umru’ al-Qais, Tharfah ibn al-Abd, Zuhair ibn Abi Sulma, Labîd ibn
Rabî’ah, Amr ibn Kaltsûm, ‘Antarah ibn Syaddâd, dan al-Hârits ibn Halzah.
145
Syair bagi bangsa Arab memiliki pengaruh yang sangat kuat, untuk itu keberadaan penyair merupakan sebuah keharusan bagi setiap kabilah. Fungsinya adalah
untuk menginformasikan segala hal yang berhubungan dengan kabilah. Selain itu syair juga biasa digunakan untuk membalas intrik-intrik yang dilakukan musuh, menjadi
142
Al- Mu’allaqât, secara etimologis berarti yang tergantung. Al-Mu’allaqât itu sendiri memiliki
banyak nama, seperti; al-Mudzahhabât karya-karya emas atau yang tertulis dengan tinta emas, al- Sab’u
al-Thiwâl tujuh yang panjang, dan al-Samûth yang tergantung, benang, dan tali yang bermutiara.
namun nama yang paling terkenal adalah al- Mu’allaqât. Ada beberapa pendapat tentang penamaan al-
Mu’allaqât itu sendiri, sebagian berpendapat bahwa dinamakan demikian syair-syair yang terbaik diumpamakan dengan benang mutiara yang tergantung di leher. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Abd.
Rabbah penulis al- ‘Aqd al-Farid, Ibn al-Rasyiq penulis al-‘Umdah, dan Ibnu Khaldun dalam kitab
Muqaddimah nya. Tim penulis Lajnah, al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhuhu; al-Adab al-Jâhili,
hal. 61. lih. juga al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 49
143
Philip K. Hitti., History of The Arabs, terjemah, Jakarta: Serambi, 2006, footnot, hal. 100
144
al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, tp: Maktabah al-Adab, tth, hal. 49. lih.
al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili , hal. 61-62
145
Kumpulan dari tujuh syair al- Mu’allaqât dapat dilihat pada Syarah al-Mu’allaqât al-Sab’
yang ditulis oleh Ibnu ‘Abdillah al-Husein ibn Ahmad ibn al-Husein al-Zauzani, Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1405 H1985 M
47 penyemangat dalam peperangan, dan juga untuk misi perdamaian. Kedudukan syair
pada masa Jahiliyah tidak ubahnya dengan media propaganda yang biasa digunakan saat ini oleh partai-partai dalam rangka membentuk opini publik. Setiap media
menjelaskan pandangan partai masing-masing, mempertahankan pendapatnya, dan juga membantah serangan lawan.
146
Syair dalam budaya Arab Jahiliyah ibarat musik heroik yang mampu membangkitkan semangat juang seorang prajurit, oleh karena itu, syair memberi effek
yang luar biasa, sebab ia mampu mengendalikan fikiran para prajurit untuk senantiasa maju berperang, membunuh musuh-musuh lalu kembali dengan membawa
kemenangan. Untuk itu setiap kabilah pasti mengharapkan lahir darinya seorang penyair yang kelak akan melindungi dan membela kabilahnya. Ibnu Rasyîq dalam kitab al-
Umdah nya menyatakan bahwa bila lahir seorang penyair dari suatu kabilah, maka
kabilah-kabilah lainnya akan berdatangan untuk merayakannya dan memberinya selamat, lalu disedikan berbagai makanan untuk berpesta. Para gadis memainkan rebana
semacam alat tabuh, seperti biasa mereka lakukan dalam pesta perkawinan. Kaum laki-laki dan anak-anak laki-laki mereka bersuka ria dan bergembira dengan lahirnya
seorang penyair yang akan membela kabilahnya, melindungi keturunannya, mengabadikan segala yang mereka miliki, serta menebar pujian untuk kabilahnya.
Untuk itu, masyarakat Arab Jahiliyah berlomba-lomba untuk menghormati dan memuliakan para penyairnya.
147
Selain itu, para penyair juga dianggap sebagai manusia yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan juga memiliki sensitivitas yang tinggi, karena dipercaya
mampu mengetahui realitas kehidupan, dan merasakan apa yang mereka rasakan. Para penyair pada masa itu, bagaikan filsuf dan cendekiawan pada masa modern yang dapat
membuka mata seseorang untuk mengetahui kebenaran dan realitas kehidupan di sekitarnya.
148
146
Al-Iskandari dkk, al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal.42
147
Al-Iskandari dkk, al-Mufashshal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal.42
148
Al-Iskandari dkk, al-Mufashshal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal.43
48 Hal lain yang tidak kalah urgen yang membuat seorang penyair Jahiliyah amat
dihormati dan dihargai adalah karena ia dianggap sebagai orang yang memiliki kekuatan supernatural yang mereka yakini berasal dari Jin. Untuk itu mereka yakin
bahwa setiap penyair telah dibekali dengan kekuatan magis yang ia peroleh dari para Jin dan melalui kemampuan seninya tersebut ia diberi tanggung jawab untuk
menyampaikan pesannya bagi manusia. Jika yang menguasainya merupakan Jin yang baik, maka sang penyair akan mampu menggubah syair yang bagus dan menakjubkan,
namun sebaliknya bila yang menguasainya adalah jin yang jahat, maka yang dihasilkannya pun syair-syair yang tidak bermutu dan buruk. Berdasarkan keyakinan
inilah yang kemudian menjadikan para penyair memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam tradisi masyarakat Jahiliyah, yang bahkan saking tingginya kedudukannya
terkadang melebihi pemimpin kabilah itu sendiri. Penyair adalah tempat bertanya tentang segala hal, baik persoalan publik maupun individu.
149
Dari penjelasan tersebut, terlihat jelas kedudukan dan fungsi syair Jahiliyah bagi bangsa Arab saat itu, maka selain sebagai karya sastra, syair Jahiliyah pada dasarnya
adalah fakta sejarah yang tidak terbantahkan lagi eksistensinya. E.
Bahasa sebagai simbol
Bahasa merupakan fondasi semua budaya. Bahasa merupakan sistem arti kata yang bersifat abstrak dan menjadi simbol seluruh aspek kebudayaan. Bahasa dapat
berbentuk lisan, tulisan
150
, angka-angka, simbol, gerak dan isyarat, maupun ekspresi lainnya yang bersifat nonverbal.
151
Menurut Edward Sapir, bahasa adalah bentuk jasmani material atau medium dari sebuah karya sastra.
152
Dan syair adalah ungkapan
149
Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradtion, Kuala Lumpur: Utusan Publications Distributors Sdn. Berhad, 1982, hal. 19-20, dari Hannâ al-Fakhûrî, Târikh al-Adab, Beirut: Maktabah
al-Buhutsiyah, 1965, hal. 65
150
Sudarno dan Eman A. Rahman, membagi tulisan ke dalam dua kategori, yaitu ideografi dan fonografi. Tulisan ideografi adalah tulisan yang melambangkan ide atau pengertian, bukan
melambangkan ucapan seperti tulisan Cina. Sedangkan fonografi adalah tulisan yang melambangkan suara dan ucapan lafal. Sudarno dan Eman A. Rahman, Terampil Berbahasa Indonesia, Jakarta: PT
Hikmat Syahid Indah, tth, hal. 12-14
151
Schaefer, Richard T., Sociology, New York: McGraw-Hill, 2003, hal. 66. Sudarno dan Eman A. Rahman, Terampil Berbahasa Indonesia, Jakarta: PT Hikmat Syahid Indah, tth, hal. 1, 11, dan
152
Edward Sapir, Language, ttp: tp, tth, hal. 222
49 kalâm yang terikat, baik dari segi aransemen, jenis, wazan, maupun qâfiyahnya, di
samping unsur imajinasi yang digunakan untuk mengilustrasikan ide dan fikiran penyair.
153
Dan kalam pada hakekatnya adalah bahasa. Menurut J. Waluyo, secara garis besar ada dua unsur pembangun sebuah puisi
syair, yaitu unsur fisik dan unsur batin. Adapun yang dimaksud dengan unsur fisik yaitu unsur estetik yang membangun struktur luar dari puisi. Unsur-unsur estetik
tersebut pada dasarnya dapat dikaji secara terpisah, meskipun merupakan satu kesatuan utuh. Menurut Herman J. Waluyo, yang termasuk unsur-unsur fisik sebuah puisi, yaitu:
diksi
154
, pengimajian, kata konkret, bahasa piguratif majas, ferifikasi, dan tata wajah puisi.
155
Bila struktur fisik puisi adalah medium untuk mengungkapkan makna yang hendak disampaikan oleh penyair, maka struktur batin puisi adalah makna yang terdapat
dalam puisi itu sendiri. Untuk itu I.A. Richard, menurut J.Waluyo menyebutnya dengan hakikat puisi dan hakikat puisi tersebut terdiri dari empat unsur, yaitu: tema sense
156
, perasaan penyair feeling
157
, nada dan suasana tone, serta pesan intention. Keempat unsur tersebut selanjutnya menyatu dalam wujud penyampaian bahasa penyair.
158
Bahasa dalam puisi adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh J. Waluyo yang terdiri dari diksi atau pemilihan kata yang tepat, pengimajian, kata konkret, dan bahasa
153
Tim penulis Lajnah, al-Mûjaz fi al-Adab al-Arabi wa Târikhihi; al-Adab al-Jâhili, Libanon: Dâr al-
Ma’ârif, 1962, hal. 5
154
Lihat definisi sebelumnya dalam syair Jahiliyah sebagai sebuah karya sastra.
155
Keterangan lengkap lih. Herman J. Waluyo, Teori dan Apresiasi Puisi, ttp: Erlangga, 1995, hal. 71-101
156
Yang dimaksud dengan tema adalah gagasan, ide, ataupun pikiran utama di dalam karya sastra baik yang terungkap ataupun tidak. Tema tidak sama dengan pokok masalah atau topik. Tema
dapat dijabarkan dalam beberapa topik. Di dalam syair Arab tema lebih dikenal dengan istilah tujuan atau al-aghrahdh
. Maka tema puisi disebut dengan aghrâdh al- syi’r. Dalam puisi Jahiliyah
tema yang sangat terkenal adalah pujian, cercaan, rayuan, depiksi lukisan tentang sesuatu, dan nasihat.
157
Unsur perasaan, lebih dikenal dengan istilah makna emotif. Yaitu makna kata atau frase yang ditautkan dengan perasaan, dan ditentukan oleh perasaan. Karena unsur perasaan inilah yang kemudian
akan membedakan satu penyair dengan penyair lainnya, sebab perbedaan sikap penyair dalam menghadapi suatu objek akan menentukan puisi yang ia ciptakan. Meskipun objeknya sama, misalnya,
namun sikap yang muncul bisa beraneka ragam, bisa simpati, antipati, senang, cinta, benci, rindu, sedih dan lain sebagainya.
158
Herman J. Waluyo,Teori dan Apresiasi, hal. 106
50 piguratif seperti kiasan dan simbolpelambangan. Kiasan bisa berbentuk metafora,
159
perbandingan,
160
personifikasi,
161
hiperbola,
162
sinekdok,
163
dan ironi
164
. Sedangkan pelambangan bisa menggunakan lambang warna, benda, bunyi, suasana, dan lain
sebagainya sesuai dengan keadaan atau peristiwa yang dialami oleh penyair.
165
Unsur-unsur fisik yang disebutkan oleh J. Waluyo tersebut terangkum jelas dalam kajian ilmu Balaghah. Diksi atau pemilihan kata yang tepat, pengimajian
tasybîh, majâz, dan isti’ârah, serta tata wajah, semuanya merupakan kajian dari ilmu Ma’ani, Bayan, Badi’.
166
Sebagaimana diketahui bahwa secara umum ada dua jenis karya sastra, yaitu puisi
syi’r dan prosa natsr. Dari gambaran tersebut, sangat jelas korelasi antara kritik sastra feminis dengan syair. Selain itu, disebutkan sebelumnya bahwa salah satu tujuan
dari kritik sastra feminis adalah membaca tulisan, ideologi, serta kultur dengan perspektif yang berpusat pada perempuan yang salah satunya dengan cara menafsirkan
simbol-simbol tulisan yang berorientasi perempuan, sehingga tidak terjadi kesalahan
159
Metafora adalah bentuk kiasan langsung, yang artinya benda yang dikiaskan tidak lagi disebutkan, seperti wahai matahariku Engkau pujaanku. Di dalam sastra Arab, gaya bahasa seperti ini
disebut dengan isti’ârah.
160
Kiasan yang bandingannya disebutkan secara langsung, artinya benda yang dikiaskan kedua- duanya disebutkan dengan disebutkan alat kias yang digunakan, seperti kata: bagaikan, laksana, bak,
bagai, seumpama, dan lain sebagainya. Di dalam sastra Arab perbandingan seperti ini disebut dengan tasybîh
tepatnya tasybîh mursal.
161
Personifikasi disebut juga dengan insanan, yaitu majas yang mengibaratkan sifat-sifat kemanusiaan pada benda-benda yang tidak bernyawa. Personifikasi di dalam sastra Arab adalah bagian
dari majaz seperti dalam bahasa Indonesia. Majaz merupakan istilah serapan dari bahasa dan sastra Arab.
162
Bagian dari majas yang dalam ungkapannya melebih-lebihkan apa yang sebenarnya dimaksudkan.
163
Sinekdok merupakan bagian dari majas juga. Yaitu majas yang menggambarkan pertautan dengan menyebutkan nama bagian sebagai pengganti dari kesuruhan pars pro toto. Model ini di dalam
majas sastra Arab disebut majâz mursal juz’i. Selain itu ada juga pertautan dengan menyebutkan
keseluruhan sebagai pengganti nama bagian totum pro parte atau dalam sastra Arab majâz mursal kulli.
164
Majas yang menyatakan makna yang bertentangan dengan makna yang sesungguhnya.
165
Herman J. Waluyo,Teori dan Apresiasi, hal. 110
166
Ilmu Ma’âni yaitu ilmu yang secara khusus mengkaji kalâm Arab ditinjau dari aspek muqtadlal hâl
yakni apakah ucapan seseorang sesuai dengan situasi dan kondisi atau tidak. Adapun ilmu Bayân adalah ilmu yang digunakan untuk memahami perbedaan suatu makna karena perbedaan konteks
kalimat kalâm, yang disertai indikasi logis yang dapat menjelaskan makna yang diinginkan. Sedangkan ilmu Badî’ adalah ilmu yang digunakan untuk mengetahui unsur-unsur keindahan sebuah kalam, baik dari
segi lafaz maupun maknanya. Ilmu Badî’ pada dasarnya adalah pelengkap dari Ma’âni dan Bayân. Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-
Ma’âni wa al-Bayân wa al-Badî’, hal. 46, 244, dan 360
51 perspektif yang disebabkan sudut pandang kaum pria.
167
Salah satu metode penafsiran simbol di dalam satra Arab adalah ilmu Balâghah, terutama ilmu Bayan, seperti tasybîh,
majâs dan
isti’ârah. Untuk itu, di dalam literatur sastra Arab, balâghah dikenal juga sebagai salah satu metode kritik sastra. Dengan demikian, sangat jelas korelasi antara
syair, balâghah dan kritik sastra feminis. Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa syair adalah al-kalâm al-mauzûn al-
muqaffâ yaitu untaian kata yang disusun berdasarkan matra dan rima. Definisi tersebut
memberi gambaran bahwa unsur utama sebuah syair adalah kalâm yang pada hakekatnya adalah bahasa itu sendiri
168
. Hal ini senada dengan apa yang diutarakan Panuti Sudjiman, bahwa dalam menelaah unsur intrinsik sebuah karya sastra, bahasa
sebagai medium karya sastra tidak dapat diabaikan, sebab karya sastra pada hakekatnya adalah bahasa.
169
Sedangkan Teew menyatakan bahwa sastra adalah penggunaan bahasa yang khas yang hanya dapat dipahami dengan pengertian atau konsepsi bahasa yang
tepat. Untuk itu menurut Teew dalam menganalisis dan memberi makna sebuah teks sastra, selain diperlukan kode budaya dan kode sastra, juga diperlukan pengetahuan
tentang kode bahasa.
170
Apa yang diungkapkan oleh kedua ahli sastra Indonesia tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan erat antara kritik sastra dengan linguistik. Untuk menjembatani
keduanya menurut Panuti Sudjiman diperlukan stilistika karena ilmu ini mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik.
171
Di dalam kajian sastra Arab yang dimaksud dengan stilistika adalah ilmu Balâghah. Pusat perhatian keduanya adalah sama yaitu
167
Lihat definisi-definisi kritik sastra feminis sebelumnya.
168
Abdul Chaer menyebutkan sebanyak tiga belas ciri atau sifat hakiki bahasa, yaitu; 1 bahasa adalah sebuah sistem, 2 bahasa adalah lambang, 3 bahasa adalah bunyi, 4, bahasa bersifat arbitrer
mana suka, 5 bahasa memiliki makna, 6 bahasa bersifat konvensional kesepakatan, 7 bahasa bersifat unik, 8 bahasa bersifat universal, 9 bahasa bersifat produktif, 10 bahasa bervariasi, 11
bahasa bersifat dinamis, 12 bahasa berfungsi sebagai alat interaksi sosial, 13 bahasa merupakan identitas penuturnya. Abd. Chaer, Linguistik Umum, Jakarta: Rineka Cipta, 2003, hal. 33
169
Panuti Sudjiman, Bunga Rampai Stilistika, Jakarta: Pustakan Utama Grafiti, 1993, hal. 1-2, dikutip oleh Sugihastuti Suharto, Krititk Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: pustaka
Pelajar, 2005, cet. 2, hal. 55
170
A. Teew, Membaca dan Menilai Sastra, Jakarta: Gramedia, 1983, hal. 12, dikutip oleh Sugihastuti Suharto, Krititk Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi, hal. 55
171
Panuti Sudjiman, Bunga Rampai Stilistika, hal. 13, dikutip oleh Sugihastuti Suharto, Krititk Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi
, hal. 56
52 gaya bahasa style uslûb. Gaya bahasa adalah cara yang digunakan untuk menyatakan
maksud dengan menggunakan bahasa sebagai sarananya.
172
Adapun menurut Ahmad al- Hâsyimi dalam Jawâhir al-Balâghah yang dimaksud dengan uslûb adalah makna yang
diformulasikan dalam lafaz bahasa yang dibuat untuk menyampaikan maksud pembicaraan dengan cara yang tepat dan effektif sehingga sampai pada tujuan.
173
Kedua definisi tersebut pada hakikatnya adalah sama.
Bila berbicara tentang uslûb dalam ilmu Balâghah, pada dasarnya berkaitan dengan semua cabang ilmu Balâghah, yaitu Ma`âni, Bayân, dan Badî`. Namun
demikian sebagaimana yang dikemukakan Sugihastuti bahwa dalam kritik sastra feminis tidak semua gaya bahasa dianalisis. Yang dianalisis hanyalah gaya bahasa yang
berhubungan dengan masalah prasangka gender, emansipasi perempuan, dan feminisme, seperti repetisi
174
, erotesis
175
, eufimisme
176
, pleonasme
177
, hiperbol
178
, simile
179
, metafora, ironi
180
dan satire
181
, yang dalam bahasa Indonesia semuanya adalah
172
Panuti Sudjiman, Bunga Rampai Stilistika, hal. 13, dikutip oleh Sugihastuti Suharto, Krititk Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi
, hal. 56
173
Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma`âni, wa al-Bayân wa al-Badî`, hal. 32-33. Al-Hâsyimi membagi Uslûb ke dalam tiga bagian, yaitu; al-uslûb al-ilmi atau gaya bahasa ilmiyah, al-
uslûb al-adabi atau gaya bahasa sastra, dan al-uslûb al-khithâbi atau gaya bahasa orasi.
174
Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberikan tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Dalam ilmu Balâghah dikenal dengan
istilah takrîr dan termasuk dalam pembahasan ithnâb menambahkan lafaz dalam makna karena tujuan tertentu dalam ilmu Ma`âni.
175
Erotesis adalah pertanyaan retoris, semacam pertanyaan yang digunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar dan sama
sekali tidak menghendaki jawaban. Erotesis dalam Balâghah adalah salah satu jenis istifhâm pertanyaan yang terdapat dalam pembahasan ilmu Ma`ani.
176
Eufemisme adalah gaya bahasa berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang atau ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan
menghina, menyinggung perasaan atau menyugestikan sesuatu yang tidak meyenangkan.
177
Pleonasme adalah gaya bahasa yang menggunakan kata-kata yang lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyampaikan suatu pikiran bila kata yang berlebihan itu dihilangkan artinya
tetap utuh.
178
Hiperbol adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan dengan membesar-besarkan sesuatu hal.
179
Simile adalah perbandingan yang bersifat eksplisit yang menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain dengan menggunakan kata pembanding. Dalam ilmu Balâghah gaya bahasa ini sama dengan
tasybîh .
180
Ironi berasal dari kata eironeia yang berarti penipuan atau pura-pura. Ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-
katanya. Ironi merupakan suatu upaya literer yang efektif karena ia menyampaikan impresi yang
53 bagian dari pembahasan majas.
182
Dalam ilmu balâghah, uslub-uslub yang disebutkan oleh Sugihastuti tersebut beberapa di antaranya adalah kajian ilmu Bayân. Dalam ilmu
Bayân pembahasannya dibagi ke dalam tiga kerangka besar, yaitu; tasybîh, majâz dan kinâyah
yang masing-masing memiliki macam dan karakteristik tersendiri. Tasybîh sendiri dibagi ke dalam beberapa bagian, seperti tasybîh
mursal, mujmal, mu’akkad, mufashal,
dan lain sebagainya. Majas terdiri dari majas `aqli, majas lughawi, majas mursal,
dan isti`ârah. Sedangkan kinâyah misalkan kinâyah qarîbah dan ba`îdah.
183
Uslûb-uslûb inilah di antaranya yang biasanya dijadikan objek analisis dalam kritik
sastra feminis. Tasybîh
adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal atau lebih karena adanya persamaan sifat antara keduanya sesuai dengan tujuan pembicara. Ada empat
unsur yang membangun sebuah tasybîh yaitu al-musyabbah sesuatu yang dibandingkan, al-musyabbah bih unsur pembanding, wajh syibh unsur atau sifat
yang mempersatukan musyabbah dan musyabbah bih, dan adât al-tasybîh alat pembanding yang mengikat musyabbah dan musyabbah bih, seperti, bagaikan, laksana,
bak, dan lain sebagainya. Tasybîh ini dibagi ke dalam beberapa macam, tergantung dari sudut pandang pembagian. Sebagai contoh, bila sebuah ungkapan menggunakan wajh
syibh dan adat tasybîh sekaligus, maka dinamakan dengan tasybîh mursal mufashal,
namun sebaliknya jika tidak menggunakan keduanya maka dinamakan dengan tasybîh balîgh.
184
Demikian seterusnya.
mengandung penekanan yang besar. Disengaja atau tidak, rangkaian kata yang digunakan itu mengingkari maksud yang sebenarnya. Terkadang digunakan istilah lain yaitu sinisme, yaitu sebuah
kritikan yang lebih keras dari ironi. Di atas sinisme ada tahapan yang lebih keras lagi bahkan terkesan kasar yang disebut dengan sarkasme. Sarkasme adalah gaya bahasa yang sangat pedas, menyakiti hati dan
perasaan, dan tidak enak didengar.
181
Satire adalah gaya bahasa yang digunakan untuk mencemooh sesuatu atau orang lain yang bertujuan untuk menimbulkan perasaan muak terhadap penyalahgunaan dan kebodohan manusia dan
pranatanya.
182
Sugihastuti Suharto, Krititk Sastra Feminis; Teori dan Aplikasi, hal. 57
183
pembahasan lengkap mengenai ilmu Bayan, lih. Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma`âni, wa al-Bayân wa al-Badî`
, hal. 244-359
184
Pembahasan mengenai tasybîh lih. Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma`âni, wa al-Bayân wa al-Badî`
, hal. 247-286
54 Tasybîh
itu sendiri pada dasarnya merupakan dasar-dasar majas. Majas adalah ungkapan yang digunakan seseorang namun yang diinginkan bukan makna yang
sebenarnya karena adanya indikasi qarînah yang memalingkannya dari makna yang sebenarnya. Untuk itu dalam majaz disyaratkan adanya sesuatu yang menghubungkan
`alâqah antara makna hakiki sebenarnya dengan makna majâzi kiasan. Jika `alâqah sesuatu yang menghubungkan makna haqîqi dan majâzi tersebut ada unsur
tasybîh nya, maka disebut dengan isti`ârah, namun bila korelasi tersebut tidak ada unsur
tasybîh nya maka disebut dengan majas mursal. Sebagai contoh, dalam al-
Qur’an disebutkan
, م م ق ي ح ف
“ maka merdekakanlah leher seorang mukmin”. Dalam ayat tersebut
yang dimaksud bukan hanya memerdekakan leher seorang mu’min, namun sebuah gaya bahasa yang menyebutkan sebagian untuk keseluruhan. Inilah yang dalam
ilmu bayan disebut dengan majas dengan ` alâqah juz’iyah atau dalam sastra dunia
disebut dengan pars pro toto, kebalikannya adalah totum pro parte
185
atau dalam ilmu balâghah
disebut dengan majas dengan `al
â
qah kulliyah .
Apabila di dalam majas mengandung makna tasybîh, maka gaya bahasa tersebut dinamakan dengan isti`ârah. Isti`ârah itu sendiri dibagi ke dalam beberapa bagian,
sesuai dengan jenis masing-masing. Sebagai contoh, bila di dalam ungkapan yang disebutkan adalah unsur pembanding, maka isti`arah dinamakan dengan tashrîhiyyah.
Contoh: “mutiara itu menetes dari matanya”, dalam ungkapan tersebut mengandung isti`arah tashrîhiyyah kerena yang disebutkan adalah unsur pembanding musyabbah
bih , padahal makna yang sebenarnya dari mutiara itu sendiri adalah air mata. Adanya
kesamaan unsur antara mutiara musyabbah bih dengan air mata musyabbah menjadikan kalima
t tersebut dapat diartikan dengan “air matanya bak mutiara” menetes dari matanya. `Alâqahnya adalah sama-
sama berkilau pada saat tampak. Kata “menetes dari matanya” itu sendiri sebuah indikator qarînah bahwa yang diinginkan oleh
pembicara bukan makna yang sesungguhnya, namun makna kiasan. Indikator inilah
185
kedua istilah tersebut berasal dari bahasa Latin.
55 yang disebut dengan istilah qarînah lafzhiyyah
186
yang menjadikan gaya bahasa ini disebut dengan isti`arah tashrîhiyyah.
Selain majas mursal dan isti`arah dalam majas dikenal juga istila majas `aqli. Adapun yang dimaksud dengan majas `aqli yaitu menyandarkan lafaz tertentu seperti
kata kerja fi`il, isim fâ`il
187
, isim maf`ûl
188
dan mashdar
189
kepada hal yang bukan semestinya, karena adanya indikasi yang memalingkan dari makna yang sebenarnya.
190
Sebagai contoh dalam al- Qur’an,
نأ م حت نم ت “
mengalir di bawahnya sungai-sungai
”. Dalam ayat tersebut terdapat makna yang bukan sebenarnya, yaitu kata “mengalir” dan kata “sungai”, karena yang mengalir sesungguhnya bukanlah sungai
melainkan air. Inilah yang disebut dengan gaya bahasa penyandaran kata kerja pada
tempat sebagai salah satu jenis dari majâz `aqlî. Adapun yang dimaksud dengan kinâyah adalah mengucapkan sebuah lafaz
namun yang dimaksud bukan makna yang sebenarnya, tanpa menutup kemungkinan untuk diartikan dengan makna yang sebenarnya. Artinya dalam satu lafaz ada dua
kemungkinan, bisa makna sesungguhnya atau mungkin makna kiasannya. Sebagai contoh dalam bahasa Indonesia adalah kata ‘bermulut besar’ yang dapat diartikan
dengan gemar membual atau makna sebenarnya yaitu memiliki mulut yang besar. Di
dalam sastra Arab ada beberapa jenis kinayah, di antaranya kinâyah shifat yang menunjukkan watak dan kepribadian seseorang, dan kinâyah maushûf yang
menunjukkan aspek yang disifati, dan lain sebagainya.
191
Selain unsur-unsur yang terdapat dalam ilmu bayan, pada hakekatnya semua aspek linguistik yang ada kaitannya dengan kritik sastra feminis bisa dijadikan sebagai
bahan untuk menganalisis teks-teks sastra. Hal ini untuk mengungkap perilaku
186
Inikator dalam bentuk lafaz tersurat
187
Ism al-fâ`il secara derivatif ilmu sharf adalah lafaz yang mengandung makna subjek atau pelaku.
188
Ism al-maf`ûl adalah lafaz yang mengandung makna objek.
189
Mashdar adalah kata benda sebagai derivasi dari sebuah kata kerja, atau dalam bahasa Inggris disebut dengan gerund.
190
Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma`âni, wa al-Bayân wa al-Badî`, hal. 296
191
Ahmad al-Hâsyimi, Jawâhir al-Balâghah fi al-Ma`âni, wa al-Bayân wa al-Badî`, hal. 363
56 berbahasa yang ada dalam masyarakat yang cenderung merendahkan perempuan. Itulah
beberapa ilmu yang ada korelasinya dengan kritik sastra yang ada dalam kajian ini. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sastra feminis
al-adab al- nisa’i pada dasarnya adalah sastra puisi atau prosa, baik karya sastrawan
laki-laki maupun perempuan yang di dalamnya mengilustrasikan penilaiannya tentang perempuan, serta keterkaitannya dengan laki-laki, ataupun segala hal yang
menceritakan tentang pengalaman dan perjalanan hidup seorang perempuan, baik fisik, mental, maupun problem personal sebagai seorang perempuan.
Syair sebagai salah satu genre sastra, bagi masyarakat Arab Jahiliyah, selain sebagai karya sastra, ia juga representasi dari pola fikir, sikap, sejarah dan realitas
kehidupan. Untuk itu kritik sastra feminis sebagai sebuah metode analisis sastra dengan cara mengkaji perempuan, peran dan kedudukannya dari balik karya sastra, meskipun
sebagai sebuah kritik modern, namun dapat diaplikasikan ke dalam semua jenis sastra tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu, sebab yang ingin diungkap pada hakekatnya
adalah sejarah perempuan itu sendiri serta peranannya dalam struktur sosial suatu masyarakat. Kritik ideologis sebagai salah satu ragam dalam kritik sastra feminis, dalam
hal ini digunakan sebagai alat untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki- laki yang androsentris atau patrialkhal dalam budaya Arab yang tercitrakan dalam syair
Jahiliyah yang kemudian menjadikan perempuan sebagai kelompok inferior dan subordinasi.
57
BAB II
CITRA PEREMPUAN ISTANA HADLARI
Sejarah perkembangan sastra setiap bangsa erat kaitannya dengan sejarah sosial dan politik yang menyertainya, yang satu sama lain saling mempengaruhi.
192
Atar Semi menggambarkan hubungan antara sastra, masyarakat dan budaya sebagai berikut,
pertama , bahwa sastra adalah cermin dari sistem sosial yang ada dalam masyarakat,
sistem kekerabatan, sistem ekonomi, sistem politik, sistem pendidikan, dan sistem kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Kedua bahwa sastra
juga merupakan cermin dari sistem ide dan sistem nilai, serta gambaran tentang apa yang dikehendaki dan apa yang ditolak oleh masyarakat. Ketiga bahwa sastra juga
mencerminkan sarana yang digunakan masyarakat dalam mengekspresikan karya sastranya tersebut.
193
Persoalan gender dalam dunia sastra merupakan bagian dari persoalan budaya dan sistem sosial lainnya yang turut mempengaruhinya. Sebab gender menurut Kamla
Bhasin pada hakekatnya adalah persoalan sudut pandang dan penilaian sosial budaya masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan yang berbeda antara satu budaya dengan
budaya lainnya.
194
Dengan demikian tampak ada hubungan yang kuat antara isu gender sebagai bagian dari budaya, masyarakat sebagai lembaga sosial yang memberikan citra
terhadap perempuan dan perempuan sebagai komponen dari masyarakat itu sendiri, dengan sastra sebagai representasi dari keduanya. Berdasarkan hal tersebut, maka untuk
mengetahui bagaimana perempuan diperlakukan dan dicitrakan dalam sebuah karya sastra, perlu pula ditelusuri latar belakang sosial-budaya yang mempengaruhinya saat
itu hingga terlahir karya sastra tersebut.
192
Ahmad Hasan al-Zayyât, Târikh al-Adab al- ‘Arabî, Kairo: Dâr al-Nahdhah, tth, hal. 5
193
Atar Semi, Kritik Sastra, Bandung: Angkasa, 1989, hal. 55-56
194
Kamla Bhasin, Memahami Gender, Jakarta: Teplok Press, 2001, hal. 1-2.
58
A. Latar Balakang Sosial Politik Tiga Kerajaan Kecil