Konstruksi Sosial Masyarakat Badawi

115 BAB III CITRA PEREMPUAN BADAWI

A. Konstruksi Sosial Masyarakat Badawi

Sebagaimana disebutkan pada bab III, bahwa masyarakat Arab Jahiliyah secara umum terbagi ke dalam dua struktur sosial yang satu sama lain sangat kontradiktif, yaitu komunitas hadhari perkotaan dan badawi nomaden. Komunitas hadlari sendiri identik dengan penduduk Yaman yang memang secara politik maupun finansial lebih stabil dan mapan. 349 Adapun yang dimaksud dengan badawi yaitu bangsa Arab bagian Utara atau dikenal juga dengan kaum Hijaz. 350 Komunitas badawi ini, secara umum terbagi ke dalam dua bagian yang biasa mereka sebut dengan ahl al-wabar 351 dan ahl al-madar 352 . Ahl al-wabar pada dasarnya adalah badawi tulen yang hidup secara nomaden, atau yang biasa disebut dengan al-A`rabi. Sedangkan ahl al-madar pada dasarnya adalah penduduk kota semi hadlari yang biasanya memiliki kehidupan yang 349 Pembahasan tentang negeri Yaman yang merupakan asal mula kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Jazirah Arab dapat dilihat pada bab III yang membahas secara khusus kehidupan perempuan- perempuan istana, atau lih. Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili , tp: al-Bayân al- ‘Arabi, 1961, cet. 1, hal. 24 350 Arab bagian Utara biasanya disebut juga dengan kaum Adnan karena mereka –sebagaimana disebutkan para genealogis- berasal dari keturunan Adnan, dan Adnan keturunan Ismail bin Ibrahim as. Selain itu dinamakan juga dengan Arab musta’ribah Arab keturunan atau arabist, karena Ismail bukan keturunan asli bangsa Arab dan bahasanya pun bukan bahasa Arab original. Ia mulai berbahasa Arab pada saat melakukan perjalanan bersama ayahnya ke Hijaz dan menikahi keturunan Jurhum yang berasal dari Kabilah Yamâniyah, lalu mempelajari bahasa mereka dan berkomunikasi dengan bahasa mereka 351 Wabar secara bahasa berarti bulu unta. Bangsa Arab biasanya menggunakan bulu binatang untuk membuat kemah. Kemah biasanya digunakan oleh komunitas badawi tulen yang kehidupannya selalu berpindah-pindah dari satu wâhah sumur air ke wâhah yang lain. Untuk itu mereka dinamakan dengan ahl al-wabar penghuni kemah. 352 Madar itu sendiri arti sebenarnya adalah tanah liat yang tidak tercampur dengan pasir. Ia juga memiliki arti perkampungan qaryahqura dan perkotaan madinahmudun. Kedua arti tersebut memiliki korelasi makna yang kuat, karena biasanya penduduk kampung atau kota menggunakan bahan bangunan untuk tempat tinggal mereka dari tanah liat madar tersebut. Jika ahl al-wabar diartikan sebagai badawi, maka ahl al-madar itu sendiri adalah sinonim dari hadlari. Dalam kamus al-Munjidi hal. 752, ahl al-madar itu sendiri disebutkan sebagai antonim hadlari. Namun demikian, yang dimaksud dengan hadlari di sini jelas bukan hadlari yang disebutkan pada bab III yaitu penduduk negeri Yaman, namun hadlari sebagai salah satu sistem sosial yang dianut bangsa Arab Utara Hijaz yang pada dasarnya adalah penduduk badawi. Al-Qur`an al-Karim sendiri lebih suka menyebutnya dengan istilah al- A`râbi dan al-`Arabi untuk menggambarkan kedua komunitas tersebut. 116 semi permanen, baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Mereka biasanya menyebut ahl al-madar ini dengan sebutan al-`Arabi. Al- Qur’an sendiri lebih suka menyebut عأ untuk ahl al-wabar badawi nomaden dan عل untuk ahl al-madar badawi yang menetap. 353 Saya sendiri penulis menyebutnya dengan istilah semi hadlari, karena secara sosial, politik, maupun ekonomi, mereka belum memiliki sistem yang permanen seperti Yaman. Hal ini tampak dari gambaran yang diberikan oleh Muhammad `Ali Shabbah yang menyatakan bahwa, masyarakat Arab badawi selain berdampingan dengan kerajaan Habasyah di Yaman dan sekitarnya, juga berdampingan dengan dua kerajaan besar lainnnya, yaitu kerajaan Romawi yang berkedudukan di Syam dan sekitarnya dan kerajaan Persia di Irak dan sekitarnya. Untuk itu arus politik mereka tergantung pada angin yang berhembus, terkadang masuk di bawah kekuasaan Irak, namun terkadang masuk di bawah kekuasaan Syam sesuai dengan kepentingan masing-masing. Hal itu disebabkan karena Jazirah Arab saat itu tidak memiliki pemerintahan yang permanen yang bisa memimpin, mengarahkan, dan menyatukan keanekaragaman mereka. Tidak adanya pemerintahan yang permanen dalam kehidupan mereka disebabkan banyak faktor, di antaranya adalah kehidupan mereka yang bersifat kesukuan, persaingan antar suku, dan senang memamerkan kekuatan satu sama lain, sehingga siapa kuat dia menang dan pada akhirnya timbul dendam yang berkepanjangan. Meskipun demikian, beberapa kabilah yang berada di sekitar Hijaz 354 memiliki sebuah pemerintahan kecil, yang dikenal dengan pemerintahan Quraisy. 355 Pemerintahan ini berfungsi untuk mengatur pemeliharaan Masjid al-Haram, menjaga berhala dan patung mereka, mengatur ibadah haji, serta menjaga Baitullah. Hanya saja pemerintahan ini tidak terlalu 353 Yûsuf Khalîf, Dirâsât fi al-Syi`r al-Jâhili, tp: Maktabah Gharîb, tth, hal. 9 354 Hijaz ditempati oleh beberapa kabilah Arab, di Madinah ditempati oleh Kabilah Arab dari suku Aus dan Khazraj, sedangkan di Mekah oleh suku Quraisy, di Thaif oleh suku Tsaqif, sedangkan suku Hudzail menempati bukit-bukit di sebelah selatan kota Mekah. Suku Hudzail ini terkenal dengan syair-syairnya yang halus. Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 6 355 Pemerintahan ini secara resmi dimulai sekitar akhir abad ke-4 Masehi atau awal abad ke-5 Masehi. Qushay ibn Kilâb adalah orang pertama dari kabilah Quraisy yang secara resmi menjadi pemimpin yang ditaati oleh penduduk Mekah. Di tangannya terletak segala keputusan perang dan pemeliharaan Ka`bah. Kisah lengkap tentang asal mula terjadinya pemerintahan ini, lihat Jurji Zaedân, al- `Arab Qabla al-Islâm , ttp: Dâr al-Hilâl, tth, hal. 277 117 kuat untuk dapat mempengaruhi kehidupan bangsa Arab. Bahkan ketidakberdayaannya tersebut tampak nyata pada saat kerajaan Habasyah bermaksud menyerang dan menghancurkan Ka’bah. Meskipun pada akhirnya peristiwa ini memberi dampak politik yang positif bagi bangsa Arab, sebab dengan adanya kejadian tersebut mereka berbondong-bondong menuju al- Haram demi mempertahankan Ka’bah dari serangan Abrahah. Kekuasaan dalam pemerintahan Quraisy yang berada di Mekah ini terbagi menjadi dua bagian yang pertama bagian yang mengurus masalah keagamaan dan yang kedua bagian yang mengurus urusan umum duniawi. 356 Adapun aspek perekonomian, Arab badawi nomaden sangat bergantung pada pemeliharaan unta, selain dari mengandalkan hasil perang, berburu, dan mengawal kafilah rombongan pedagang. Sedangkan penduduk badawi perkotaan, mata pencaharian mereka lebih luas lagi, karena pada dasarnya mereka telah mengenal tiga prinsip dasar ekonomi, yakni: perdagangan tijârah, pertanian zirâ’ah dan industriprofesi keahlian shinâah. Di Mekah sendiri terdapat beberapa pasar yang biasa diselenggarakan pada waktu-waktu tertentu. Pasar tersebut biasa digunakan untuk transaksi jual beli dan demonstrasi puisi. Pasar terbesar adalah Pasar ‘Ukâzh 357 , Daumat al- Jandal, Dzû Majâz, dan al-Majnah. Di pasar-pasar tersebut bangsa Arab Hirah biasanya bertransaksi dengan pedagang Persia atau menawarkan jasa untuk menjadi pengawal kafilah dalam menghadapi kerasnya gurun pasir. 358 Pertanian juga merupakan andalan sebagian penduduk Arab perkotaan bagian utara seperti, Thaif, Yatsrib, Khaibar, Wadi al- Qura, dan Tîma’. Adapun profesi keahlian, penduduk badawi sangat minim dan terbatas, bahkan menurut Ibnu Khaldun mereka adalah bangsa yang sangat jauh dari hal-hal seperti itu. Namun meskipun 356 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, , hal. 26 357 Pasar Ukazh selain digunakan sebagai tempat transaksi jual beli, ia juga berfungsi sebagai tempat untuk berorasi dan mendeklamasikan puisi. Tempat ini adalah tempat pertemuan para pembesar Arab dalam membicarakan berbagai persoalan mereka. Tidak jauh dari pasar Ukazh terdapat pasar Dzu al-Majâz. Muhammad Ridla Marwah, Umru al-Qais al-Malik al-Dlillil, hal. 13 358 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 21 118 demikian mereka telah mengenal pandai besi, seni pahat, menjahit dan pandai emas. Hal itu bisa ditemui di beberapa lokasi yang ramai seperti Mekah, Yatsrib dan Thaif. 359 Dengan demikian maka bisa dipastikan bahwa kondisi perekonomian dan peradaban penduduk Arab Utara secara global tidak sama dengan penduduk Arab Selatan Yaman. Faktor penyebabnya adalah tingkat kemakmuran yang sangat berbeda antara keduanya. Untuk itu, masyarakat Arab Badawi berusaha mengatasi dengan jalan perang, merampas, menawan, dan memelihara unta dengan sebaik mungkin. Karena unta bagi penduduk Arab Badawi adalah problem solver yang membantu menyelesaikan setiap persoalan, seperti digunakan sebagai alat transportasi, dikonsumsi daging dan susunya, bulunya digunakan untuk membuat pakaian dan membangun kemah-kemah, menebus tawanan, transaksi jual beli, sebagai mahar perkawinan, membayar diyat serta untuk membayar utang. 360 Kondisi seperti itu mengharuskan mereka untuk selalu membangun perkemahan-perkemahan sebagai tempat tinggal sementara yang selalu mereka bawa setiap berpindah tempat. Kemah-kemah tersebut biasanya terbuat dari bulu unta dan kambing. Dalam syair Jahiliyah, tema tentang kemah menjadi topik yang banyak dibicarakan, seperti pada saat mereka menangisi bakas-bekas yang mereka tinggalkan atau puing-puing yang memberikan mereka kenangan. 361 Selain itu, menurut Ahmad Hasan al-Zayyât, kondisi alam yang kering dan jarang tersentuh hujan turut membentuk gaya hidup, karakter serta sistem sosial bangsa Arab yang keras, dan menjadikan sebagian dari mereka menjadi masyarakat badawi hidup di bawah kemah-kemah dan berpindah-pindah. Permusuhan dan peperangan yang terjadi antar kabilah menjadikan mereka tidak memiliki sistem pemerintahan, sosial, politik, kekuatan militer, maupun falsafah hidup dan agama. Siapa yang kuat dialah 359 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 21-22 360 Muhammad ‘Ali al-Shabbah, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 22 361 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, tp: al-Bayân al- ‘Arabi, 1961, cet. 1, hal. 24 119 yang menang, dan perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah, dianggap tidak berguna dalam kehidupan keras yang mereka jalani. 362 Karena mereka selalu berpindah-pindah tempat, maka unta merupakan tonggak kehidupan bangsa Arab Badawi, baik sebagai kendaraan maupun untuk dikonsumsi susunya. Mereka dalam istilah sosiologi termasuk dalam kategori masyarakat pastoral, yaitu masyarakat yang menggembala sekawanan binatang ternak. 363 Unta termasuk binatang yang paling tahan haus dan lapar, untuk itu dibandingkan binatang lainnya, unta memiliki makna tersendiri bagi bangsa Arab, karena selain digunakan sebagai kendaraan, unta juga digunakan untuk aktivitas kehidupan mereka sehari-hari lainnya, seperti untuk menebus tawanan, membayar diyat dalam kasus pembunuhan, dijadikan sebagai mahar perkawinan, dan lain sebagainnya. Untuk itu bangsa Arab dalam syair- syairnya juga banyak berbicara tentang unta, perjalanan bersamanya, menggembalakannya, atau juga tentang kesetiaannya. Selain unta mereka juga memiliki kuda, hanya saja hewan ini jarang dimiliki karena termasuk kendaraan mewah yang mungkin hanya bisa dimiliki oleh kaum bangsawan saja. Untuk itu wacana tentang kuda tidak banyak didapati dalam bahasa dan sastra Arab, seperti halnya wacana unta. 364 Masyarakat pastoral biasanya tetap hidup secara nomadik, sementara masyarakat holtikultural menjalani kehidupannya dengan cara menetap. 365 Baik kelompok semi hadlari maupun nomad, keduannya menganut sistem sosial politik yang sama yaitu, sistem kabilah. Kabilah adalah kelompok atau unit yang dibentuk berdasarkan sistem sosial masyarakat Arab. Kabilah merupakan keluarga besar 362 Ahmad Hasan al-Zayyat, Târikh al-Adab al- ‘Arabî, Kairo: Dâr al-Nahdhah, tth, cet. 25, hal. 8-9. `Abd al-Rahmân ibn Ibrâhîm Al-Dabbâsi, al-Syi`r fi Hâdlirat al-Yamâmah hattâ Nihâyat al-`Ashr al- Umawi , Riyâdl: Maktabah al-Malik `Abd al-`Azîz, 1416, hal. 194 363 Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, Jakarta: UIN Press, 2006, cet. 1, hal. 39 364 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, tp: al-Bayân al- ‘Arabi, 1961, cet. 1, hal. 25 365 Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, Jakarta: UIN Press, 2006, cet. 1, hal. 117 120 yang meyakini bahwa mereka berasal dari ayah dan ibu yang sama. 366 Biasanya kabilah diberi nama dengan nama ayah seperti Rabî`ah, Mudhar, Aus, dan Khazraj. Mereka adalah nama-nama laki-laki yang dari mereka muncul generasi-generasi baru sebagai keturunan untuk kemudian dinasabkan kepadanya, dan hanya sedikit kabilah yang dinasabkan pada ibu seperti kabilah Khindaf dan Bajilah. Terkadang nama kabilah juga diambil dari suatu kejadian tertentu. Sebagai contoh, kabilah yang menetap dekat sumur air bernama Ghassan, ia dipanggil dengan kabilah Ghassan. Akan tetapi secara mayoritas mereka menasabkan kabilahnya pada ayah. 367 Terkadang pemimpin kabilah memiliki banyak anak, sehingga kemudian muncul darinya kabilah-kabilah baru dengan nama lain namun tetap dinasabkan padanya. Kemudian antara kabilah inti dan kabilah cabangnya tersebut terjalin hubungan kekerabatan yang erat. Adapun faktor yang menjadikan terbentuknya nama baru dalam kabilah adalah popularitas yang dimiliki bapak dari cabang tersebut, baik karena kepemimpinannya, keberaniannya, ataupun karena banyak melahirkan anak. 368 Di dalam kabilah itu sendiri terdiri dari beberapa stratifikasi 369 , pertama; abnâ al-qabîlah , yaitu anggota kabilah yang memiliki ikatan darah dan keturunan. Kelompok ini merupakan ujung tonggak suatu kabilah. Kedua, Al-`abîd, yaitu hamba sahaya yang biasanya sengaja didatangkan dari negeri tetangga terutama dari Habasyah. Kelompok ketiga , al-mawâli 370 , yaitu hamba sahaya yang sudah dimerdekakan, termasuk dalam 366 Dalam ilmu sosiologi pola hubungan antar masyarakat seperti ini disebut dengan kinship kekerabatan yaitu ikatan sosial di antara individu yang terbentuk karena adanya hubungan perkawinan atau karena adanya pertalian darah melalui garis keturunan. 367 Berdasarkan hal itu maka bangsa Arab Jahili pada dasarnya merupakan sebuah bangsa penganut patrialkal murni yaitu sebuah keyakinan bahwa suami atau anak laki-laki tertua adalah penentu kebijakan keluarga 368 Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 11 369 Stratifikasi sosial adalah tingkatan kedudukan sosial dalam masyarakat yang ditentukan oleh perbedaan privilegeproperty kekayaan, pertige kehormatan, dan power kekuasaan. Sistem stratifikasi seperti ini hampir sama dengan sistem stratifikasi kasta yang bersifat tertutup dan berdasarkan prestise. Stratifikasi tertutup biasanya membuat sebagian golongan kehilangan hak-hak politik, ekonomi, pendidikan dan lainnya, seperti halnya yang terjadi pada minoritas kulit putih yang berkuasa karena prestise rasial, di sisi lain mayoritas kulit hitam kehilangan hak-hak politik, ekonomi, dan pendidikan. Sistem seperti ini dikenal dengan istilah apartheid. Lih. Amin Nurdin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi , Jakarta: UIN Press, 2006, cet. 1, hal. 117 370 Mawâlî adalah bentuk jamak dari maulâ. Istilah ini memiliki banyak pengertian, di antaranya: sayyid tuan lawan dari `abd hamba sahaya, mu`tiq orang yang memerdekakan, mu`taq 121 kategori ini al-khulâ`a yaitu orang-orang yang dikeluarkan dari kabilah karena melanggar norma-norma kabilah, seperti kelompok Sha`âlik yang sangat terkenal. 371 Untuk itu, mawâlî secara status sosial berbeda dengan budak dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Golongan ini tetap dianggap sebagai manusia meredeka, hanya saja mereka dibebani beberapa kewajiban kepada pelindungnya. Dalam struktur sosial bangsa Arab Jahiliyah, kelompok mawâlî hanya berada setingkat di atas budak, dan tetap dianggap rendah statusnya di dalam masyarakat. Untuk itu mereka tidak diperkenankan untuk mengawini keluarga pelindungnya. 372 Di dalam kabilah terdapat seorang tetua syaikh yang diangkat sebagai pemimpin kabilah. Ia bertanggungjawab dalam menyelesaikan setiap perbedaan atau pertikaian yang terjadi dengan berdasarkan kepada adat dan tradisi yang dibuat kabilah. Pemimpin diangkat berdasarkan kemuliaan dan rasa hormat dari anggota kelompok. Sedikit sekali yang dibangun dengan berdasarkan pemaksaan dan penindasan. Oleh karena itu sikap berpura-pura para pemimpin lebih banyak dibanding sikap berpura- pura anggota terhadap para pemimpinnya. Dalam bingkai sistem seperti ini, kebebasan individu terhadap sistem kepemimpinan menjadi lebih leluasa. Selain ketua, terdapat hakim-hakim agung dari kaum pria yang memiliki kecerdasan dan kecermatan. Terkadang mereka juga dihadapkan pada persoalan pertikaian di dunia sastra, seperti saling membanggakan keturunan dan lain sebagainya. 373 orang yang dimerdekakan, dan masih banyak lagi. Akan tetapi makna yang paling terkenal adalah orang yang memerdekakan budak mu`tiq dan budak yang telah dimerdekakan mu`taq. Berkaitan dengan situasi politik, pada masa Abbasiyah istilah ini dimaknai berbeda, yaitu golongan umat Islam yang berasal dari non Arab terutama dari Persia, Armenia, dan lain sebagainya yang pada masa Bani Umayah dianggap sebagai warga kelas dua. Al-Munjid, hal. 919. `Abd al-Rahmân ibn Ibrâhîm Al-Dabbâsi, al- Syi`r fi Hâdlirat al-Yamâmah hattâ Nihâyat al-`Ashr al-Umawi , Riyâdl: Maktabah al-Malik `Abd al- `Azîz, 1416, H, hal. 64. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 46 371 Syauqi Dlaif, Târikh al-Adab al-Arabi; al- ‘Ashr al-Jâhili, tp: Dâr al-Ma’ârif, 1965, cet. 2, hal. 67. lih. Juga Muhammad Ridla Marwah, Amru al-Qais al-Malik al-Dlillil, Beirut: Dâr al-Kutub al- Ilmiyah, 1411 H1990 M, hal. 9 372 Rueben Levy, The social Structure of Islam, New York: Cambridge University Press, 1979, hal. 59. Dikutip oleh Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender, Jakarta: Paramadina, 2001, hal. 115 373 Al-Iskandari dkk., al-Mufashshal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 11 122 Setiap kabilah mempunyai penyair tersendiri yang secara khusus mendendangkan puji-puijian untuk kabilahnya serta menginformasikan sifat-sifat dan kebaikan yang dimiliki kabilahnya. Dan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa hubungan yang terjadi di antara mereka adalah hubungan darah, oleh karena itu mereka sangat fanatik terhadap kabilah masing-masing, untuk itu mereka selalu memuji dan membanggakannya serta menyebarkan berbagai kebaikan yang mereka miliki. Setiap anggota kabilah wajib menjaga anggota kabilah lainnya, dan mempertahankannya, serta berhak menuntut dengan darahnya. Mereka juga berhak meminta perlindungan terhadap kabilahnya di saat mengahadapi marabahaya dan kesulitan. Terkadang di antara anggota kabilah didapati seseorang yang banyak melakukan kesalahan dosa-dosa, sehingga menimbulkan berbagai persoalan bagi kabilahnya. Untuk anggota seperti itu, kabilah segera mengambil tindakan dengan tidak mengakui lagi sebagai anggota. Anggota kabilah yang mendapat sangsi seperti itu disebut dengan ‘al-khalî’, atau yang terbuang. Terkadang orang seperti ini meminta perlindungan kepada kabilah lain, sehingga dinamakan dengan ‘halîf yang bersekutu atau ‘maulâ’ sekutu. 374 Bila hubungan di dalam kabilah adalah hubungan darah, maka hubungan yang terjadi antar kabilah biasanya hubungan permusuhan. Kemungkinan yang terjadi antara kabilah tersebut hanya dua, menyerang atau diserang, kecuali kabilah-kabilah yang mengadakan perjanjian dan kesepakatan perdamaian. Oleh karena itu kisah peperangan antar kabilah ini menyita sebagian besar sejarah bangsa Arab, sehingga diriwayatkan bahwasanya Duraid ibn al-Shamah berusia hingga seratus tahun dan ia mengalami peperangan sebanyak seratus kali pula. Oleh karena itu pula tema-tema tentang perang, kemenangan, penyerangan, dan lain sebagainya, mendominasi sebagian besar syair- syair Jahiliyah. Oleh karena itu pula, untuk memahami syair dan peristiwa-peristiwa bersejarah yang terjadi pada masa Arab Jahiliyah seseorang harus memahami benar 374 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 11-12 123 kabilah-kabilah yang ada di wilayah Arab, termasuk semua bentuk permusuhan dan perjanjian perdamaian antar mereka. 375 Perang bagi bangsa Arab Jahiliyah adalah tradisi. Tiada hari tanpa perang antar kabilah. Tercatat dalam sejarah mereka bermacam-macam perang yang dipicu oleh berbagai faktor, seperti perang Basûs 376 , Dâhis wa al- Ghabrâ’ 377 , dan Fijar 378 . Untuk itu, sebelum datangnya Islam, perang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Arab Jahiliyah. Diriwayatkan bahwa, Duraid yang berumur hingga seratus tahun menyatakan bahwa ia ikut berperang sebanyak hampir seratus kali pula. Perang telah menyita 375 Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 12 376 Perang Basus adalah salah satu perang paling terkenal yang pernah terjadi di Zaman Jahiliyah di dalam Kabilah Rabi’ah. Perang ini terjadi antara Kabilah Bakr dan Taghlib, dua kabilah besar dalam rumpun Rabi’ah. Perang ini berlangsung hampir empat puluh tahun lamanya pada akhir abad ke-5 Masehi. Adapun faktor penyebab perang ini, diceritakan bahwa Kulaib ibn Rabi’ah pemuka Bani Taghlib karena kebesarannya, ia memiliki sebuah tempat terlarang himâ yang disebut dengan al- ‘Âliyah yang tidak boleh diinjak tanpa seijinnya. Tidak seorang pun diperbolehkan minum dari ontanya dan tidak boleh menyalakan api dari apinya. Kulaib menikahi seorang perempuan dari Bani Syaibân salah seorang keturunan Bâkr. Basûs bibi dari Jassas ibn Murrah al-Syaibâni memiliki seekor onta yang diberi nama Sar âbi. Pada suatu ketika Kulaib ibn Wâ’il melihat onta tersebut berada di himânya dan menghancurkan telur burung merpati yang telah ia selamatkan. Lalu ia pun melepaskan anak panahnya tepat di susu onta tersebut. Pada saat Jassas melihat kejadian tersebut, ia meloncat dan membunuh Kulaib. Semenjak itu perang antara kedua kabilah tersebut terus berkecamuk, sehingga menjadi legenda dalam sejarah bangsa Arab dan peristiwa tersebut dijadikan sebuah perumpamaan. Keterangan lengkap mengenai sejarah perang Basus, lih. Yusuf Khalif, Dirâsat fi al- syi’r al-Jâhili, Kairo: Maktabah Gharib, 1981, hal. 200- 202, atau lih. Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 22 377 Perang Dâhis wa al- Ghabrâ’ adalah peristiwa peperangan yang terjadi dalam kabilah Mudlar, yaitu antara Bani ‘Abas dan Dzubyân. Faktor penyebabnya adalah Qais ibn Zuhair bertaruh dengan Hudzaifah ibn Badr al-Fazari dalam sebuah perlombaan semacam pacuan kuda. Al-Fazari melepaskan kudanya yang bernama al- Ghabrâ’, sedangkan al-‘Absi melepaskan kudanya yang bernama Dâhis. Pada pertandingan tersebut, Dahis seharusnya memenangkan perlombaan, kalau saja bukan karena jebakan yang dipasang oleh Bani Fazarah sebelum mencapai garis finis. Masing-masing pihak akhirnya mengaku sebagai pemenang, dan sejak itu peperangan antar dua kabilah mulai berlangsung hingga 40 tahun lamanya. Perang ini diabadikan oleh Zuhair ibn Abi Sulma dalam syair Mu`allaqatnya. Salah seorang pahlawan yang terkenal dalam peperangan ini adalah `Antarah ibn Syaddad al-`Abbasi yang syairnya dibahas dalam kajian ini. Al-Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 22-23, atau Yusuf Khalif, Dirâsat fi al- syi’r al-Jâhili, Kairo: Maktabah Gharib, 1981, hal. 203. Lois dan Ferdinand, Al- Munjid fi al-A`lâm , hal. 237 378 Selain perang Dâhis wa al- Ghabrâ’, perang lainnya yang terjadi di dalam kabilah Mudlar adalah perang Fijâr. Perang ini terjadi antara suku Quraisy dengan Kinanah yang terjadi menjelang lahirnya Islam. Perang ini terjadi selama empat kali, pertama disebabkan oleh peristiwa saling membangga-banggakan diri antara keduanya di Pasar Ukazh. Kedua terjadi akibat seorang pemudi Quraisy menyindir perempuan lain dari Bani ‘Âmir ibn Sha’sha’ah di Pasar Ukazh. Penyebab ketiga masih di Pasar Ukzh, seseorang menagih hutang dengan disertai hinaan. Penyebab terakhir yaitu bahwa Urwah al-Rahhal orang yang biasa bepergian, menjamin barang dagangan al- Nu’man ibn al-Mundzir tiba di Pasar Ukazh dengan selamat, namun pada kenyataannya di jalan ia dibunuh oleh al-Barâdl. Al- Iskandari dkk., al-Mufashal fi al-Adab al- ‘Arabi, hal. 24 124 separuh dari hidupnya. Setiap tahun ia ikut berperang sebanyak dua kali. 379 Namun demikian, dalam bulan-bulan tertentu yang dianggap suci mereka menghentikan peperangan, meski terkadang kesepakatan ini mereka langgar sendiri. 380 Untuk itu, menurut Philip K. Hitti, salah satu fenomena sosial yang menggejala di Arab menjelang kelahiran agama Islam adalah apa yang dikenal dengan sebutan Ayyâm al-Arab catatan perang bangsa Arab. Ayyâm al-Arab merupakan cara alami untuk mengendalikan jumlah populasi orang-orang Badui yang biasanya hidup dalam kondisi semi kelaparan, dan yang telah menjadikan peperangan sebagai jati diri dan watak sosial. Berkat ayyâm al-Arab itulah pertarungan antar suku menjadi salah satu institusi sosial keagamaan dalam kehidupan mereka. 381 Tidak adanya stabilitas kehidupan, ketentraman dan keamanan yang selalu mengancam, kesulitan dan kekurangan yang mengintai, serta rintangan dan tantangan yang selalu mereka hadapi, maka demi mempertahankan eksistensi kehidupannya, bangsa Arab Badawi hidup dengan cara saling menyerang dan merampas. Hubungan yang terjadi antar kabilah adalah hubungan permusuhan dan peperangan, meskipun terkadang ada angin segar yang menghembuskan perdamaian, sebagaimana terdapat dalam mu’alaqahnya syair Zuhair ibnu Abi Sulma. Oleh karena itu syair-syair yang mereka gubah biasanya tidak terlepas dari gambaran-gambaran peristiwa yang terjadi antar mereka, seperti menuntut balas, bangga karena menang, memberi julukan pada senjata-senjata yang digunakan perang, seperti panah, baju besi, dan pedang. Pola hidup yang seperti ini sangat mempengaruhi karakteristik mereka dan membuat mereka bangga dengan watak-watak peperangan, seperti kekuatan, keberanian, menepati janji, dan menjaga harga diri. Hal itu juga menjadikan sebagian dari mereka hobi berburu. 382 379 Sebagaimana dikutip oleh K. Hitti dari Charles James Lyall, Ancient Arabian Poetry, London: William Norgate, 1985, hal. xxii 380 Ismail Hamid, Arabic and Islamic Literary Tradition, Kuala Lumpur: Utusan Publications Distributors SDN. BHD, 1982, hal. 7 381 Philip K. Hitti., History of The Arabs, terjemah, hal. 110 382 Ibrâhîm ‘Ali Abu al-Khasab dan Ahmad Abd al-Mun’im al-Bahâ, Buhûts fi al-Adab al-Jâhili, tp: al-Bayân al- ‘Arabi, 1961, cet. 1, hal. 25 125 Adanya masyarakat hadlari dan badawi dalam sistem sosial bangsa Arab Utara Hijaz, serta stratifikasi sosial dalam kabilah, juga tradisi perang yang mereka anut, memegang peranan penting terhadap seluruh aspek kehidupan bangsa Arab Jahiliyah, termasuk cara pandang mereka terhadap kaum perempuan.

B. Penyair Badawi: Sha`âlîk dan Ghair Sha`âlîk