Kritik Sastra Feminis Citra Perempuan Dalam Syair Jahiliyah

6 BAB I SEKILAS TENTANG KRITIK SASTRA FEMINIS DAN SYAIR JAHILIYAH

A. Kritik Sastra Feminis

1. Feminisme dan Gender Feminisme dan gender adalah dua istilah yang satu sama lain saling berkaitan, dan merupakan sebuah fenomena kausalitas. Gender sebagai sebab, sedangkan feminisme merupakan akibat. Kaum feminis membedakan antara istilah seks dan gender, meskipun dalam kamus kedua kata tersebut adalah sinonim. Menurut Ensiklopedia Feminisme , gender adalah kelompok atribut yang dibentuk secara kultural yang ada pada laki-laki atau perempuan. 1 Sedangkan seks adalah jenis kelamin yakni kondisi biologis seseorang apakah dia secara anatomi laki-laki atau perempuan. 2 Jenis kelamin adalah suatu hal yang bersifat alamiah takdir yang seharusnya tidak menimbulkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan, sedangkan gender pada hakekatnya adalah persoalan sudut pandang dan penilaian sosial budaya masyarakat yang berbeda antara satu budaya dengan budaya lainnya. 3 Untuk itu Kamla Bahsin menegaskan bahwa gender lebih bersifat sosial budaya dan merupakan produk manusia, merujuk pada tanggung jawab peran, pola perilaku, kualitas, kapabilitas, dan lain-lain yang bersifat maskulin dan feminine. Selain itu, gender juga bersifat tidak tetap, ia berubah dari waktu ke waktu, dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya, bahkan dari 1 Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme, terjemah Mundi Rahayu, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002, hal. 158 2 Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme, hal.421 3 Menurut konsep gender, jenis kelamin dan gender adalah dua hal yang berbeda. Setiap orang lahir sebagai laki-laki dan perempuan, namun setiap kebudayaan memiliki cara pandang tersendiri dalam menilai laki- laki dan perempuan, serta cara memberikan mereka peran. Semua proses ‘pengemasan’ sosial dan budaya yang dilakukan terhadap perempuan dan laki-laki semenjak lahir itulah yang dinamakan dengan pengenderan gendering. Kamla Bhasin, Memahami Gender, Jakarta: Teplok Press, 2001, hal. 1-2 7 satu keluarga ke keluarga lainnya. Suatu hal yang pasti adalah bahwa gender merupakan sesuatu hal yang dapat dirubah. 4 Menurut Mansur Fakih, gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki- laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal dengan sifatnya yang lemah lembut, cantik, emosional, dan keibuan, sedangkan di sisi lain laki-laki selalu dianggap kuat, rasional, gagah, dan perkasa.. 5 Perbedaan perlakuan akibat penggenderan gendering tersebut kemudian menjadi persoalan karena menimbulkan banyak ketidakadilan bagi kaum perempuan, sehingga selanjutnya menimbulkan reaksi menentang fenomena tersebut. Muncullah kemudian sebuah gerakan yang diberi nama feminisme. Untuk itu yang dimaksud dengan feminisme, menurut Moelino ialah gerakan perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki. 6 Sedangkan menurut Goefe, feminisme ialah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial, atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. 7 Untuk itu di dalam kamus sosiologi disebutkan bahwa semua varian teori feminis cenderung mengandung tiga unsur atau tiga asumsi pokok, pertama, gender adalah suatu konstruksi yang menekan kaum perempuan, sehingga cenderung menguntungkan kaum laki-laki. Kedua, konsep patriarkhi atau dominasi laki-laki dalam lembaga sosial, dianggap sebagai landasan utama konstruksi tersebut. Ketiga, untuk itu, pengalaman dan pengetahuan kaum perempuan harus dilibatkan dalam mengembangkan suatu masyarakat non-seksis di masa mendatang. 8 Berdasarkan hal tersebut, maka yang dimaksud dengan feminisme secara umum adalah ideologi pembebasan perempuan. Hal ini terlihat dari semua pendekatan yang 4 Kamla Bhasin, Memahami Gender, Jakarta: Teplok Press, 2001, hal. 1-2 5 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 8 6 Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, Bandung: Nuansa, 2000, hal. 37 7 Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, hal. 37 8 Adam Kuper Jessica Kuper, Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Jakarta: PT Rajawali Grafindo Persada, 2000, cet. 1, jilid 2, hal. 354 8 digunakannya yang berkeyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan akibat jenis kelaminnya. 9 Dengan demikian, feminisme pada intinya adalah gerakan untuk menuntut persamaan gender. 2. Sastra feminis dan kritik sastra Sebelum membahas secara detail tentang kritik sastra feminis, perlu dipahami terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud dengan sastra feminis itu sendiri. Menurut A. Teww sebagaimana dikutip oleh Atmazaki, istilah sastra itu sendiri tidak memiliki definisi yang baku, definisi-definisi yang dibuat terkadang hanya menekankan pada satu aspek karya sastra saja, atau hanya berlaku pada sastra tertentu, atau sebaliknya batasan yang dibuat terlalu luas dan longgar, sehingga masuk ke dalamnya hal-hal yang sebenarnya bukan termasuk unsur sastra. 10 Namun demikian Syauqi Dlaif, memberikan definisi sastra dengan “ungkapan kalâm yang bagus balîgh, 11 yang mampu mempengaruhi perasaan pembaca maupun pendengar, baik dalam bentuk puisi maupun prosa. 12 Dari definisi tersebut, dapat dipastikan bahwa yang dimaksud dengan sastra secara spesifik adalah puisi dan prosa sebagai karya cipta manusia. Berdasarkan definisi tersebut, Ibrâîhim Mahmûd Khalîl mengklasifikasikan sastra feminis al-adab al- nisa’i ke dalam dua kategori. Pertama, sastra puisi atau prosa yang dibuat oleh penulis perempuan yang mengilustrasikan penilaiannya tentang dirinya sendiri, pandangannya terhadap laki-laki, serta keterkaitannya dengan laki-laki, atau yang menceritakan tentang pengalaman dan perjalanan hidup seorang perempuan, baik fisik maupun mental, maupun problem personal sebagai seorang perempuan. Kedua , sastra puisi atau prosa yang ditulis laki-laki namun di dalamnya membicarakan perempuan serta bagaimana ia memperlakukan perempuan dalam karyanya tersebut. 13 9 Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002, hal. 158 10 Atmazaki, Ilmu Sastra; Teori dan Terapan, Padang: Angkasa Raya, 1990, hal. 16 11 Istilah balîgh dalam sastra Arab biasanya mengacu pada makna fasih dan juga sesuai dengan situasi dan kondisi. 12 Syauqi Dlaif, Târikh al-Adab al-Arabi, Kairo: tp, 1960, hal. 10 13 Ibrâîhim Mahmûd Khalîl, al-Naqd al-Adabi al-Hadîts; min al-Muhâkah ila al-Tafkîk, Oman: Dâr al-Masîrah, 1424 H 2003 M, cet.1, hal. 134-135. Lihat juga Yûsuf `Izzuddîn, Fi al-Adab al-`Arabi al-Hadîts: Buhûts wa Maqâlât Naqdiyah , Riyâdl: Dâr al-`Ulûm, 1401 H 1981 M, cet. 3, hal. 261. Bandingkan pengertian al-Adab al-nisâ ’i sastra feminis di atas dengan al-shahâfah al-nisâ’iyah media 9 Adapun yang dimaksud dengan kritik secara terminologi berasal dari bahasa Yunani yaitu krinein yang artinya menghakimi, membanding, dan menimbang. 14 Maka kegiatan menilai, menghakimi, menimbang sebuah karya sastra itulah yang dimaksud dengan kritik sastra. Sedangkan menurut Ahmad al-Syâyib, kritik sastra adalah menimbang atau mengukur suatu karya sastra secara akurat, serta menjelaskan nilai dan kualitas karya sastra tersebut. Untuk itu menurutnya, proses penilaian sebuah karya sastra adalah dimulai dengan memahaminya, menafsirkannya, menganalisanya, menimbangnya, dan yang terakhir adalah memberikan penilaian tentang baik buruknya karya tersebut secara objektif dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip dasar sastra dan kritik sastra, baik secara umum, maupun berdasarkan pada jenis sastra tertentu. 15 Untuk menilai apakah sebuah karya sastra berpihak pada perempuan atau tidak, dibutuhkan sebuah tolak ukur yang mengacu pada prinsip-prinsip dasar feminisme. Namun demikian, keterkaitan sastra feminis dengan banyak aspek lainnya, membuat kritik sastra feminis tidak memiliki definisi tunggal dan baku. Banyak definisi kritik sastra feminis yang diberikan oleh para pakar. Masing-masing definisi tergantung dari sudut pandang mana ia membidik perempuan dalam karya sastra. Ibrahim Muhammad Khalil misalnya, ia mendefinisikan kritik sastra feminis dengan sebuah kritik yang secara khusus mengkaji sejarah perempuan yang terdapat dalam karya sastra. Kritik ini bertujuan guna mengungkap perbedaan perlakuan terhadap perempuan dalam tradisi dan budaya di samping untuk mengungkap peranannya dalam berkarya. 16 feminis yang digambarkan oleh Farûq Abu Zaid sebagaimana dikutip oleh Ridlâ `Abd al-Wâhid, bahwa yang dimaksud dengan al-shahâfah al-nisâ ’iyah menurutnya adalah media yang menyajikan secara khusus berbagai problematika perempuan dan eksistensinya dalam semua aspek kehidupan, baik yang disajikan oleh perempuan itu sendiri maupun oleh laki-laki, dan bukan media yang dikelola oleh perempuan namun menyajikan problematika secara umum. Untuk itu Najwâ Kâmil membedakan media feminis ke dalam dua kategori, yaitu majallât taqlîdiyah womens magazines majalah perempuan yang di dalamnya membicarakan tentang makanan, keluarga, fashion, dan furniture. Dan yang kedua adalah majallât ghair taqlîdiyahfeminist magazines majalah feminis, yang di dalamnya membicarakan tentang hal-hal yang ada hubungannya dengan gerakan perempuan feminisme. Ja`far Abd al-Salâm editor, Shûrat al- Mar’ah fi al-I`lâm, Kairo: Râbithat al-Jâmi`at al-Islâmiyah, 1427 H2006 M, hal. 107-108 14 Atar Semi, Kritik Sastra, Bandung: Angkasa, 1989, hal. 7 15 Ahmad al-Syâyib, Ushul al-Naqd al-Adabi, tth: Maktabah al-Nahdlah al-Misriyah, 1964, cet. 7, hal. 16 16 Ibrâhîm Muhmud Khalîl, al-Naqd al-Adabî al-Hadîts min al-Muhâkah ilâ al-Tafkîk, Oman: Dâr al-Masîrah, 1424 H 2003 M, hal. 135 10 James Romesburg dalam Definitions of Feminist Literary Criticism, menyajikan tidak kurang dari lima belas definisi maupun pendapat tentang kritik sastra feminis yang ia rangkum dari berbagai pakar sastra feminis. Di antaranya, kritik sastra feminis adalah sebuah metode analisis sastra dengan cara mengkaji perempuan, peran dan kedudukannya dari balik karya sastra. Secara umum kajian ini bertujuan untuk mengkounter dan menentang, atau bahkan berupaya menghapus pemikiran, tradisi, budaya, dan ideologi patriarkhi, juga dominasi dan superioritas kaum adam terhadap kaum hawa baik dalam konteks pribadi maupun publik dalam karya sastra. 17 Maggie Humm, dalam Ensiklopedia Feminisme memberikan definisi bahwa kritik sastra feminis adalah sebuah kajian dengan cara membaca tulisan, ideologi, serta kultur dengan perspektif yang berpusat pada perempuan. Untuk itu, suatu kritik dinilai berperspektif feminis jika mengkritik disiplin yang ada, paradigma tradisional mengenai perempuan, peran sosial atau alamiah, atau dokumen-dokumen karya feminis lain dari sudut pandang perempuan. 18 Dari gambaran di atas, dapat dipastikan bahwa kritik sastra feminis pada dasarnya adalah perpanjangan tangan dari gerakan feminisme. Untuk itu, ada tiga tujuan utama dari kritik ini, pertama mengkaji karya sastra yang ditulis oleh penulis-penulis perempuan untuk menampilkan inferioritasnya sebagai perempuan, dan yang kedua adalah untuk menampilkan citra stereotype perempuan dalam karya penulis-penulis laki-laki untuk menampilkan superioritasnya sebagai laki-laki. Sedangkan yang terakhir adalah mengetahui peranan dan perjuangan perempuan yang tersirat dalam karya sastra. 3. Kritik Ideologi: gender, kelas class, dan kekuasaan power Tidak adanya acuan baku dalam kritik sastra feminis, memotivasi munculnya beragam metode analisis. Soenarjati Djayanegara dalam bukunya Kritik Sastra Feminis menyebutkan sebanyak enam corak kritik sastra feminis yang biasa digunakan para peneliti untuk menganalisis, yaitu ideologis, ginokritik, sosialis-Marxis, psikoanalitik, 17 James Romesburg, Definitions of Feminist Literary Criticism , hubcap.clemson.edu~sparkfcflitcrit,html, link update in July 2003 18 Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002, hal. 84 11 ras, dan lesbian. 19 Keenam ragam kritik tersebut terkadang memiliki keterkaitan satu sama lain, dan saling melengkapi. Kritik ideologis, adalah sebuah kritik yang melibatkan perempuan sebagai pembaca atau dikenal dengan istilah reading as women 20 membaca sebagai perempuan. Dalam kritik ini yang menjadi pusat perhatian adalah citra serta stereotipe perempuan yang terkandung dalam karya sastra. Kritik ini juga digunakan untuk meneliti kesalahpahaman tentang perempuan, dan faktor penyebab mengapa perempuan sering tidak diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan dalam kritik sastra. Kritik ideologis ini dengan sendirinya berbeda dengan male critical theory atau teori kritik laki-laki yang merupakan suatu konsep kreativitas sastra, sejarah sastra, serta penafsiran sastra yang seluruhnya didasarkan pada pengalaman laki-laki yang disodorkan sebagai suatu teori semesta yang berlaku secara universal. 21 Kritik sastra feminis yang kedua adalah kritik yang secara khusus mengkaji penulis-penulis perempuan. Dalam kritik ini, termasuk penelitian tentang sejarah karya sastra perempuan, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur tulisan perempuan. Di samping itu, dikaji juga kreativitas penulis perempuan, profesi dan juga adat istiadat, tradisi dan budaya yang mempengaruhi pola pikir penulis perempuan tersebut. Jenis kritik ini dinamakan dengan gynocritics yang berbeda dari kritik ideologis. Ginokritik bertujuan untuk mencari perbedaan antara tulisan laki-laki dan perempuan. 22 Ragam kritik ketiga adalah kritik sastra feminis sosialis atau disebut juga dengan kritik sastra feminis Marxis. Kritik ini digunakan untuk meneliti tokoh-tokoh perempuan yang terdapat dalam sastra ditinjau dari sudut pandang sosialis, yakni 19 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis; Sebuah Pengantar, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal. 27-39, menjelaskan secara singkat kelima ragam kritik tersebut. Akan tetapi sangat disayangkan, penulis tidak memuat secara rinci metode analisis dari masing-masing teori. Hal ini mungkin dikarenakan setiap peneliti memiliki persepsi yang berbeda tentang teori-teori tersebut, sehingga yang ia gambarkan hanya kerangka umumnya saja. 20 Konsep reading as women yang diperkenalkan oleh Culler digunakan untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patrialkhal, yang hingga kini diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan dalam dunia sastra. Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, hal. 37 21 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 28-29. lihat juga James Romesburg, Definitions of Feminist Literary Criticism, link update in July 2003 22 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 29-30 12 berdasarkan kelas-kelas dalam masyarakat. Menurut teori ini, perempuan dimasukkan ke dalam kubu rumah yang kehidupannya hanya ada dalam lingkungan rumah, sedangkan laki-laki menguasai kubu umum, yaitu lingkungan dan kehidupan di luar rumah. Kritik sastra feminis-sosialis ini berupaya menunjukkan bahwa tokoh-tokoh perempuan dalam karya sastra lama adalah manusia-manusia yang tertindas, yang tenaganya dimanfaatkan untuk kepentingan kaum laki-laki tanpa memiliki hak untuk menerima imbalan. 23 Kritik sastra feminis lainnya adalah kritik sastra feminis-psikoanalitik. Kritik ini diterapkan pada tulisan-tulisan perempuan yang dianggap sebagai cermin kepribadian penulisnya. Ragam kritik ini berawal dari penolakan kaum feminis terhadap teori-teori Sigmund Freud yang menyatakan bahwa perempuan iri pada laki-laki karena tidak memiliki penis penis-envy. Lalu perempuan melahirkan bayi yang kemudian dianggap sebagai pengganti penis yang dirawat dan diasuh dengan penuh kasih sayang. Maka secara natural, perempuan bersifat affective penyayang, emphatic ikut merasakan perasaan orang lain, dan nurturant peduli. Bagi kaum feminis, perempuan tidaklah iri pada penis yang dimiliki kaum laki-laki, namun pada kekuasaan yang mereka miliki. Selain itu, karakter yang melekat pada perempuan, bukanlah sesuatu yang bersifat alami, bukan pula takdir, sebab karakter tersebut dibentuk oleh lingkungannya, yaitu masyarakat patrialkal. 24 Ragam kritik sastra feminis yang kelima adalah kritik sastra feminis-ras atau kritik sastra feminis etnik. Kaum feminis-etnik di Amerika menganggap dirinya berbeda dari kaum feminis kulit putih. Mereka bukan saja mengalami diskriminasi seksual dari kaum laki-laki kulit putih dan kulit hitam, tetapi juga diskriminasi rasial dari kelompok mayoritas kulit putih baik laki-laki maupun perempuan. 25 23 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 30-31. Aliran Sosialis-Marxis terkenal dengan teorinya yang disebut teori pertentangan kelas. Teori ini pula yang melandasi aliran Sosialis dalam sastra. Menurut Marxisme, sastra adalah refleksi masyarakat yang secara terus menerus berusaha mencerminkan masyarakat. Setiap karya sastra mencerminkan cara pandang dan kepriabadian kelas tertentu, karena itu karya sastra dapat dijadikan sebagai alat perjuangan. Atmazaki, Ilmu Sastra; Teori dan Terapan , Padang: Angkasa Raya, 1990, hal. 45-46 24 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 31-32 25 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 36 13 Corak kritik sastra feminis yang terakhir adalah kritik sastra feminis lesbian. Jenis kritik ini menekankan kajian pada penulis dan tokoh perempuan yang bersifat individual. Karena berbagai faktor, kritik jenis ini masih terbatas kajiannya. Pertama, para feminis rupanya kurang menyukai kelompok perempuan homoseksual, dan memandang mereka sebagai kelompok feminis radikal. Kedua, tulisan-tulisan tentang perempuan bermunculan pada awal tahun 1970-an, sedangkan jurnal-jurnal kajian perempuan untuk kurun waktu yang cukup panjang tidak memuat tulisan tentang lesbianisme. Ketiga, kaum lesbian sendiri belum menemukan kesepakatan tentang definisi lesbianisme. Keempat, banyak kendala yang dihadapi oleh kritikus sastra lesbian. Sikap antipati para feminis dan masyarakat misogini 26 terhadap kaum lesbian, membuat penulis lesbian terpaksa menulis dunia lesbian dalam bahasa yang terselubung, menggunakan simbol-simbol, serta menyensor dirinya sendiri. Bagi penulis lesbian, menulis secara terang-terangan berarti mengundang problem dan konflik. 27 Di antara keenam ragam kritik tersebut, kritik ideologis atau lebih dikenal dengan reading as women adalah ragam kritik yang paling banyak digunakan untuk menganalisis karya satra. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa salah satu makna dari ideologi adalah cara berfikir seseorang atau suatu golongan. 28 Maka yang dimaksud dengan kritik ideologis dalam kajian ini adalah cara pandang penulis dalam membaca perempuan yang terdapat dalam syair Jahiliyah. Konsep 26 Kebencian terhadap kaum perempuan 27 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 33-36 28 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Balai Pustaka, 1995, hal. 366. Dalam The Ensyclopedia of Philosophy disebutkan bahwa kata ideology pada mulanya bukanlah sebuah terma yang bersifat abuse salah pakai seperti yang dipahami saat ini, yaitu sebuah terma yang selalu dikaitkan dengan keyakinan tentang sesuatu, seperti kekuasaan, agama, dan lainnya. Istilah ideologi yang original, diperkenalkan pertama kalinya oleh Destutt de Tracy pada tahun 1796. Destutt dan kawan-kawannya menggulirkan istilah tersebut dengan sebuah harapan bahwa ide-ide ilmiahnya, yaitu sebuah program untuk mereduksi analisis berbasis semantik, diakui secara institusi dan disosialisasikan ke sekolah-sekolah yang ada di Perancis. Konsep ini lalu diadopsi oleh Marx dalam teori-teori ekonomi marxisnya. Paul Edward, The Ensyclopedia of Philosophy, New York: The Free Press, 1967, vol. 34, hal. 124-125 14 reading as women itu sendiri pertama kali diperkenalkan oleh Culler 29 dan digunakan untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patrialkhal, yang hingga kini diasumsikan menguasai penulisan dan pembacaan dalam dunia sastra. 30 Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa dalam kritik ideologis yang menjadi pusat perhatian adalah citra serta stereotipe perempuan yang terkandung dalam karya sastra. Berdasarkan hal tersebut, penulis dalam hal ini -sebagaimana Culler- ingin menjadikan ragam kritik ini sebagai alat untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang androsentris atau patrialkhal dalam budaya Arab yang tercitrakan dalam syair Jahiliyah yang kemudian menjadikan perempuan sebagai kelompok inferior dan subordinasi. Kritik sastra feminis yang diartikan sebagai reading as women, berpandangan bahwa kritik ini tidak mencari metodologi atau model konseptual tunggal, tetapi sebaliknya bersifat pluralis, baik dalam teori maupun praktiknya. Untuk itu, kritik ini menggunakan kebebasan dalam metodologi maupun pendekatannya, disesuaikan dengan tujuan dari penelitian. 31 Maka untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki, penulis menggunakan teori gender, class dan power. Gender, sebagaimana disebutkan di atas, yaitu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun cultural 32 yang kemudian berubah menjadi seksisme sexism, yaitu suatu ideologi bahwa jenis kelamin tertentu memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding dengan jenis kelamin lainnya yang kemudian membentuk superioritas dan inferioritas antara dua jenis kelamin 29 Nama lengkapnya Jonathan Culler. Ia memperkenalkan istilah tersebut dalam bukunya yang berjudul Stucturalist Poetics pada tahun 1977. Menurutnya yang dimaksud dengan ‘membaca sebagai perempuan’ adalah kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra. 30 Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, hal. 37 31 Sugihastuti Suharto, Kritik Sastra Feminis; Teori dan Aplikasinya, hal. 10 32 Lih. definisi sebelumnya, Maggie Humm, Ensiklopedi Feminisme, terjemah Mundi Rahayu, hal. 158. lih. juga, Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, hal. 8. Elizabeth Fox- Genovese, Gender, Class and Power: Some Theoretical Consedirations , http:www.jstor.orgstable493546 : Society for the History of Education, accessed: 28042008 01:12 15 tersebut dalam kehidupan sosial. Istilah ini secara umum terkait erat dengan praduga laki-laki male prejudice dan diskriminasi perempuan. 33 Dalam teori feminisme, ideologi seksisme atau konstruksi gendering ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, di antaranya disebabkan oleh sistem stratifikasi sosial class yang biasa dianut oleh masyarakat, serta ideologi kekuasaan power yang mewarnainya. Ketiga istilah gender, class dan power tersebut menurut Elizabeth Fox, semuanya merujuk pada konteks hubungan sosial, hanya saja jika gender dan class merujuk pada peta hubungan sosial, power adalah unsur yang mempengaruhi seluruh pola hubungan sosial tersebut. 34 Berkaitan dengan kelas, dalam teori sosiologi, dikenal tiga sistem stratifikasi sosial, yaitu slavery perbudakan, castes kasta dan class kelas. Menurut Amin Nurdin dan Ahmad Abrari, stratifikasi sosial adalah tingkatan kedudukan sosial dalam masyarakat yang ditentukan oleh perbedaan privilegeproperty kekayaan, pertige kehormatan, dan power kekuasaan. 35 Perbudakan merupakan sistem sosial yang paling ekstrim karena melegalkan seorang manusia dimiliki dan dikuasai oleh manusia lain layaknya barang. Sedangkan kasta merupakan sistem stratifikasi sosial tertutup dan biasanya berhubungan dengan konteks ideologi. Seseorang yang lahir dalam kasta tertentu, secara otomatis menjadi anggota dari kasta tersebut, dan tidak dapat berpindah status ke dalam kasta yang lain. Kasta biasanya diasosiasikan dengan penganut agama Hindu di India. 36 Adapun yang dimaksud dengan kelas dalam sosiologi pada dasarnya adalah perbedaan status seseorang yang ditentukan oleh kedudukan ekonomi yang kemudian memberi pengaruh terhadap mobilisasi sosial, sehingga terkait erat dengan kekuasaan 33 Richard T. Schaefer, Sociology, New York: McGraw-Hill Higher Education, 2003, edisi 8, hal. 310 34 Elizabeth Fox-Genovese, Gender, Class and Power: Some Theoretical Consedirations, hal. 255 35 Amin Nurdin dan , Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, Jakarta: UIN Press, 2006, cet. 1, hal. 126. Tidak berbeda dengan Amin NurdinRichard T. Schaefer menyebutkan dua buah tolak ukur status sosial seseorang, yaitu proverty jumlah kekayaan dan prestige prestise. 36 Richard T. Schaefer, Sociology, New York: McGraw-Hill Higher Education, 2003, edisi 8, hal. 213-214 16 power. 37 Menurut Marx sebagai perintis teori ini, perbedaan kelas yang disebabkan oleh hasil produksi ini menimbulkan inequality antara kelas borjuis sebagai upper class dan proletar sebagai lower class. 38 Sedangkan bagi kaum feminis adanya kelas-kelas dalam masyarakat tersebut menjadikan perempuan sebagai manusia-manusia yang tertindas, yang tenaganya dimanfaatkan untuk kepentingan kaum laki-laki tanpa memiliki hak untuk menerima imbalan. 39 Menurut Max Weber, kelas maupun stratifikasi sosial lainnya, secara umum merupakan repleksi dari kekuasaan power. Kekuasaan itu sendiri diartikan sebagai kemampuan seseorang mempengaruhi orang lain sesuai dengan kehendaknya. 40 Bila kekuasaan itu melembaga dan diakui masyarakatnya maka disebut dengan wewenang authority. 41 Dalam sosiologi diakui bahwa kekuasaan sebagai bagian penolong dalam kehidupan masyarakat, namun bagi kaum feminis kekuasaan power terkadang berubah fungsi dari yang semula dimaknai sebagai hegemoni legitimasi atau fungsi pengaturan menjadi semacam penindasan violence atau upaya ke arah penindasan threat of violence . 42 Perwujudan dan sumber kekuasaan itu sendiri beragam, ada yang berdasarkan properti, kedudukan sosial, birokrasi dan intelektualitas. Sedangkan unsur-unsur pokok yang mendasari keberadaan kekuasaan biasanya berupa rasa takut, rasa cinta, kepercayaan, pemujaan, maupun sugesti. 43 Untuk itu menurut Barret, perkembangan 37 Richard T. Schaefer, Sociology, New York: McGraw-Hill Higher Education, 2003, edisi 8, hal. 214. Munandar Sulaiman, Ilmu Sosial Dasar, Bandung: PT. Eresco, 1995, hal. 91. Elizabeth Fox- Genovese, Gender, Class and Power: Some Theoretical Consedirations, hal. 255 38 Richard T. Schaefer, Sociology, New York: McGraw-Hill Higher Education, 2003, edisi 8, hal. 217. Lihat juga Atmazaki, Ilmu Sastra: Teori dan Terapan, Padang: Angkasa Raya, 1990, cet. 10, hal. 45 39 Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 30-31 40 Richard T. Schaefer, Sociology, New York: McGraw-Hill Higher Education, 2003, edisi 8, hal. 218. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006, hal. 35 41 Syahrial Syarbaini, dkk., Sosiologi dan Politik, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004, hal. 48 42 Elizabeth Fox-Genovese, Gender, Class and Power: Some Theoretical Consedirations, hal. 255 43 Syahrial Syarbaini, dkk., Sosiologi dan Politik, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004, hal. 48. Menurut Miriam Budiardjo, sumber kekuasaan terdapat dalam pelbagai aspek, bisa bersumber pada kekerasan fisik, seperti seorang polisi yang dapat memaksa penjahat untuk mengakui kejahatannya karena dari segi persenjataan polisi lebih kuat. Selain itu dapat juga bersumber pada kedudukan, seperti 17 konsep kekuasaan tidak terbatas pada negara, individu, ekonomi, dan lainnya, namun istilah tersebut merupakan sebuah konsep mikro, bahkan termasuk di dalamnya strategi dan teknologi kekuasaan. 44 Dengan demikian konsep kekuasaan dapat dipahami secara beragam, dari menguasai kekayaan atau produktivitas seperti yang diajarkan Marx, kemampuan mempengaruhi dan menguasai orang lain Weber, hingga konstitusi hubungan sosial, baik yang bersifat lembaga maupun individu. Kekuasaan bukan hanya eksis dalam sistem institusi, namun menjangkau seluruh aspek kehidupan dan interaksi sosial. 45 Sistem kelas dalam tradisi dan budaya menurut Max Weber selalu terkait erat dengan dimensi politik. 46 Untuk itu menurut kaum feminis, kelas class terkait erat dengan kekuasaan power antara kelompok superior dan inferior. Dan superioritas laki- laki di satu sisi, dan inferioritas perempuan di sisi lain pada hakekatnya menunjukkan adanya kekuasaan power yang memainkan peranan di antara keduanya. Di samping itu, perempuan sebagai kelompok inferior dan laki-laki sebagai kelompok superior juga menjelaskan tentang adanya kelas yang membedakan antara keduanya. Power dalam kajian ini dijadikan sebagai alat untuk menganalis kelas-kelas sosial yang terdapat dalam tradisi dan budaya bangsa Arab Jahiliyah serta akibatnya terhadap kontruksi gender yang tersirat dalam syair Jahiliyah. Konstruksi gender yang terjadi dalam sistem sosial masyarakat adalah salah satu problem sosiologi yang mengakibatkan terjadinya marginalisasi terhadap perempuan. Menurut teori konflik –sebagaimana disampaikan Tim Curry dkk- tidak adanya kedudukan komandan dengan bawahannya, kepala kantor dengan pegawainya, dan lainnya. Sumber lainnya adalah kekayaan, kepercayaan dan lain sebagainya. Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, hal. 36 44 Nickie Charles dan Felicia Hughes editor, Practising Feminism; Identity, Difference, Power, London and New York: Routledge, 1996, hal. 14, dikutip dari Michele Barret dan Mary McIntosh, Feminist Review , tp: Etnhocentrism and Socialist Feminist Theory, 1985, hal. 25-47 45 Nickie Charles dan Felicia Hughes editor, Practising Feminism; Identity, Difference, Power, hal. 13 dan 15 46 Richard T. Schaefer, Sociology, hal. 218 18 persamaan antara laki-laki dan perempuan disebabkan oleh lemahnya posisi perempuan dalam sistem stratifikasi sosial. 47 Teori class dan power oleh Nickie Charles dijadikan sebagai landasan teoritis untuk menganalisis praktek politik perempuan Amerika, sedangkan oleh Chistine Griffin teori kekuasaan dijadikan alat untuk menganalisis dimensi gender, ras dan kelas dalam berbagai aspek kehidupan perempuan. 48 Tokoh-tokoh peneliti tersebut menggunakan teori class dan power untuk menganalisis fenomena sosial yang tampak dalam kehidupan secara rill, namun dalam kajian ini, power dan class dijadikan sebagai landasan teoritis untuk mengetahui pengaruh kedua konsep ideologis tersebut terhadap citra perempuan Jahiliyah yang tersirat dalam syair. Ideologi, bahwa power dan class adalah dua faktor yang turut mempengaruhi konstruksi gendering dalam tradisi dan budaya Arab Jahiliyah, oleh penulis dijadikan sebagai landasan reading as women, atau membaca syair Jahiliyah berdasarkan kaca mata dan sudut pandang perempuan.

D. Syair Jahiliyah Antara Karya Sastra dan Fakta Sejarah