Citra Perempuan Sha`âlîk

133 Dalam dunia sastra, Antarah termasuk dalam jajaran penyair Badawi yang sangat terkenal dan disegani. Syair-syairnya banyak berbicara tentang hamâsah spirit dalam berperang, fakhr, peristiwa-peristiwa yang terjadi, dan ghazl yang menceritakan penderitaannya dalam bercinta yang sangat halus. Syair-syairnya banyak yang menjadi syair Mu`allaqah. Keberanian dan kepahlawan Antarah telah membawanya ke dalam kemuliaan dan kebesaran yang membebaskannya dari keterhinaan seorang budak. Ia akhirnya memperoleh nasab dari ayahnya dengan nama Antarah ibn Syaddad, bukan ‘Antarah ibn Zabibah. Hal itu bukan berarti ia tidak menghormati ibunya, namun kondisi mengharuskannya demikian, demi kehormatan dan kemuliaan, serta perasaan ingin diakui dan dihargai, sesuai dengan tradisi dan budaya bangsa Arab saat itu yang mengagungkan budaya patrialkhal. Perasaan seperti ini kemudian mendorongnya untuk dapat berbagi kebahagiaan dengan saudara laki-laki seibunya yang bernama Hanbala yang selama ini tidak diakui sebagai manusia merdeka seperti dirinya. 406 Meskipun antarah berkulit hitan legam namun hatinya putih seputih kapas. Ada beberapa alasan mengapa Antarah diangkat sebagai sampel dalam kajian ini, yaitu; pertama, bahasanya yang elegan dan natural mencerminkan gaya bahasa badawi murni. Kedua, `Antarah adalah representasi kelas sudra yang berasal dari budak berkulit hitam. Ketiga, ia prajurit sekaligus panglima perang yang sangat dihormati dan disegani kaumnya, meskipun berasal dari keturunan budak hitam. Keempat, ia adalah simbol budak yang kemudian menjadi manusia merdeka. Untuk itu, selain representasi kelas bawah, ia juga representasi kelas menengah, bahkan sebagai penyair kabilah, ia juga dapat dikategorikan sebagai anggota kabilah kelas atas.

C. Citra Perempuan Sha`âlîk

Sebagaimana disebutkan pada bab II tentang syair Jahiliyah, bahwa salah satu karakteristik syair Jahiliyah yang paling populer adalah terletak pada mukadimahnya 50, atau Abd. Al- Mun’im Abd. Al-Ra’uf Sulma dan Ibrahim al-Ibyari, Syarh Dîwan Antarah ibn Syaddâd , Libanon: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 1400 H1980 M, hal. tha 406 Muhammad Ali al-Shabbâh, ‘Antarah ibn Syaddâd; Hayâtuhu wa Syi’ruhu, hal. 66 134 yang selalu menyebutkan terlebih dahulu berbagai hal yang ada hubungannya dengan perempuan yang biasa mereka sebut dengan istilah ghazal atau nasîb. Ghazal-ghazal tersebut pada hakikatnya bukan semata-mata berbicara tentang perempuan, namun dijadikan sebagai prolog setiap tema syair, baik dalam duka maupun suka, dalam damai maupun perang. Namun karakteristik tersebut tampaknya tidak berlaku bagi kaum Sha`âlîk , mereka tidak terbiasa menyebutkan perempuan dalam syairnya sebagai prolog, jika pun berbicara tentang perempuan, pada hakekatnya memang sedang berbicara tentang itu. Sebagai kelompok minoritas, bagaimana sesungguhnya kaum Sha`âlîk mamandang dan memperlakukan perempuan, serta peran apakah yang dimainkan para perempuan Sha`âlîk bagi kaumnya? Inilah beberapa citra perempuan Badawi yang tersirat dalam syair-syair Sha`âlîk. 1. Antara tawanan dan kehormatan kabilah ‘Urwah ibn al-Ward salah seorang penyair yang sangat terkenal dari kelompok ini, bercerita dalam syair-syairnya tentang perempuan-perempuan yang ada disekitarnya dan bagaimana ia memperlakukan mereka, sebagai contoh: يل ء س نيب Antara Asma dan Laila ع س فق م ،ء س خ ت ب ع ،ء ع ه ، يل خ ف Jika kalian menawan Asma hanya sebentar saja Sesungguhnya menawan Laila yang masih perawan lebih menakjubkan ب ش ح ن م ل بيش ل ،ء عش ل Sekian lama kami pakai kecantikan dan masa mudanya Lalu ia kami kembalikan pada keluarganya dengan kepala beruban ، عم ، ه ك ء ح ن خ ك ب ي ، ب غم ، ل ْ غ 407 Sebagaimana kami menawan Hasna’ dengan paksa, sehingga air matanya 407 Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Ward; Amîr al-Shâ’alîk, Beirut: Dâr al- Kutub al-Ilmiyah, 1412 H1992 M, cet. 1, hal. 47 135 terpaksa bercucuran sepanjang hari Syair ini menceritakan tentang sebuah kisah di mana Bani ‘Âmir menawan seorang perempuan dari Bani Abas yang bernama Asma. Asma berada di tangan mereka hanya selama satu hari karena kelompoknya segera dapat membebaskannya. Namun demikian ‘Urwah mendengar bahwa ‘Âmir ibn Thufail membangga-banggakan dirinya atas kejadian tersebut. Cerita tersebut ia dengar langsung dari Asma saat ia ditawan mereka. Untuk menjatuhkan ‘Âmir, Urwah membalasnya dengan menawan Laila binti Sya’wa al-Halaliyah anak gadis dari Bani ‘Âmir. Lalu muncullah syair tersebut sebagai balasan atas perbuatan Bani Amir. 408 Ada dua nama perempuan yang disebutkan dalam syair tersebut, yang pertama Asma dan yang kedua Laila. Secara status sosial kedua perempuan tersebut tidak berbeda keadaannya, yaitu sama-sama menjadi tawanan kabilah yang menang dalam peperangan. Keduanya adalah perempuan yang direnggut kebebasannya demi memuaskan harga diri kaum laki-laki. Tampak sangat jelas dalam syair tersebut, bagaimana seorang laki-laki dengan bangga menceritakan keperkasaannya dalam merampas hak asasi seorang perempuan yaitu hak kemerdekaannya dan memperlakukannya tidak jauh berbeda dengan harta rampasan lainnya seperti hewan, maupun benda lainnya tanpa ada rasa peduli sedikitpun dengan perasaan mereka. 409 Hal ini terlihat jelas dari ungkapan penyair, ‘Jika kalian menawan Asma hanya sebentar saja, sesungguhnya menawan Laila yang masih perawan lebih menakjubkan,’. Syair ini, bukanlah sebuah bentuk misogini 410 yang ditunjukkan oleh laki-laki terhadap 408 Asmâ ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Ward; Amîr al-Shâ’alîk, hal. 47 409 Safia Iqbal menyebutkan hak-hak asasi manusia yang mutlak harus dimiliki perempuan, seperti hak memperoleh kemerdekaan Rights to freedom dalam berbagai aspek, termasuk bebas bekerja di luar rumah, hak memperoleh persamaan right to equality antara laki-laki dan perempuan, hak bebas berekspresi Rights to freedom of expression, baik perasaan, opini, maupun ide, hak memperoleh stabilitas ekonomi right to economic stability, hak-hak yang bersifat pribadi right to individuality seperti hak waris, memiliki, hak-hak sosial social rights, hak memperoleh rasa aman right to security, dan hak berpoliti political rights. Hak-hak ini tentu saja tidak mungkin dijadikan sebagai barometer kesetaraan perempuan pada masa Jahiliyah. Namun paling tidak untuk hal yang paling asasi sekalipun yaitu hak untuk hidup dan memiliki kebebasan pun perempuan Jahiliyah sulit untuk mendapatkannya. Lihat. Safia Iqbal, Women and Islamic Law, Delhi: Adam Pulishers Distributors, 1994, hal. 5-134 410 Misogini adalah istilah yang digunakan dalam kritik sastra feminis yang mengacu pada kebencian laki-laki terhadap perempuan. 136 perempuan, namun lebih pada sebab-akibat dari kondisi peperangan yang memaksa manusia untuk melakukan hal-hal yang sebetulnya berada di luar batas kemanusiaan. Menjadi tawanan ataupun dibebaskan, kedua-duanya bagi perempuan sama saja hanya dijadikan sebagai alat supremasi kekuasaan dan kekuatan kaum laki-laki dan dominasi mereka dalam setiap aspek kehidupan. Kondisi ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Elizabeth Fox pada saat menggambarkan hubungan kekuasaan dan kekuatan power dengan gender, bahwasanya power yang dimiliki kaum laki-laki terkadang berubah fungsi dari yang semula sebagai alat legitimasi lalu berubah menjadi media kekerasan violence. 411 Ungkapan penyair ‘ Sesungguhnya menawan Laila yang masih perawan lebih menakjubkan’ membuktikan bahwa menawan s eorang ‘adzrâ yaitu gadis yang masih perawan, sebagaimana dilukiskan oleh penyair, dianggap sebagai suatu hal yang sangat menakjubkan dan menjadi prestise tersendiri jika dibandingkan dengan menawan perempuan biasa. Syair di atas membuktikan bahwa laki-laki dari zaman dahulu kala, sangat memuja virginitas perempuan. Untuk itu, bagi komunitas Sha`âlîk merenggut virginitas seorang tawanan perempuan, memiliki arti tersendiri sekaligus menjadi prestasi dan prestise untuk membuktikan terhadap kelompok lain, bahwa mereka memiliki power yang tidak bisa disepelekan. Terkait virginitas perempuan, banyak mitos yang diyakini oleh kaum laki-laki sejak zaman dahulu kala, sebagai contoh apa yang diungkapkan oleh Simone De Behavior, bahwa tubuh perawan menyimpan kesegaran rahasia musim semi, cahaya pagi dalam kelopak bunga yang belum terbuka, kemilau mutiara yang belum tersentuh sinar matahari. Laki-laki seperti halnya anak kecil, sangat terpesona pada tempat-tempat teduh tertutup yang belum tersentuh apapun, menunggu pengorbanan jiwa, yang dapat ia ambil dan jelajahi seolah-olah ialah pemiliknya. 412 Mitos ini mungkin tidak dapat dibuktikan oleh syair di atas, namun ungkapan pada bait berikutnya, ‘Sekian lama kami 411 Http:www.jstor.org.stable493546 , Elizabeth Fox-Genovese, Gender Class and Power; Some Theoretical Considerations , Society for the History of Education, accesed: 28042008, 01:12 412 Simone De Beauvior, Second Sex: Fakta dan Mitos, terjemah Toni B. Febriantono, New York: Pustaka Promothea, 2003, hal. 230-231 137 pakai kecantikan dan masa mudanya, lalu ia kami kembalikan pada keluarganya dengan kepala beruban, menguatkan pendapat Behaviour yang menyebutkan bahwa, keperawanan menjadi daya tarik erotis hanya bila dihubungkan dengan kemudaan, jika tidak, maka misteri dibalik keperawanannya itu menjadi sesuatu yang tidak menarik. 413 Maka ungkapan ‘kami pakai kecantikan dan masa mudanya’ terkait erat dengan ‘sesungguhnya menawan Laila yang masih perawan itu lebih menakjubkan’. Hal ini membuktikan bahwa mitos seputar virginitas perempuan telah lama diyakini sehingga banyak diabadikan dalam karya-karya sastra. Meyakini ataupun tidak bangsa Arab Badawi Sha`âlîk mitos seputar keperawan tersebut, tetap saja membuktikan bahwa ada perbedaan cara pandang laki-laki terhadap keperawanan perempuan. Hal ini tampak pada saat kedua mashra` syair ini dikonfrontasikan, yang pertama Jika kalian menawan Asma hanya sebentar saja, dan ‘maka sesungguhnya menawan Laila yang masih perawan lebih menakjubkan’. Mashra` yang pertama menunjukkan bahwa Asma yang ditawan oleh musuh sudah tidak dalam keadaan perawan adalah hal yang biasa saja, sedangkan menawan Laila adalah hal yang sangat luar biasa dan membanggakan karena pada saat ditawan terbukti dalam keadaan perawan. Maka dalam hal ini, merampas virginitas perempuan merupakan salah satu bentuk perwujudan kekuasaan yang ditunjukkan laki-laki Jahiliyah terhadap perempuan yang dilakukan dengan sewenang- wenang tanpa peduli terhadap perasaan perempuan itu sendiri. Perampasan virginitas perempuan pada masa Jahiliyah adalah sebuah wujud penindasan fisik dan psikis yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan sebagai konsekuensi tradisi dan budaya perang yang merupakan pengejawantahan dari kekuasaan yang dimiliki kaum laki-laki. Untuk itu bagi kelompok Sha`âlîk, menganiaya tawanan perempuan adalah suatu kebanggaan, dan hal ini mereka lakukan demi melampiaskan perasaan dendam dan ambisi mereka terhadap lawan sebagai konsekuensi peperangan. Meskipun syair ini menceritakan tentang kisah sang penyair, namun tampak jelas bahwa sikap yang ia ambil sesungguhnya merupakan paduan suara dari kabilah yang dipimpinnya. Perlakuan kelompok Sha`âlîk yang tanpa perasaan terhadap tawanan perempuan, bila dilihat dari 413 413 Simone De Beauvior, Second Sex: Fakta dan Mitos, hal. 231 138 aspek sosiologi berkaitan erat dengan tradisi dan budaya mereka yang keras yang hanya mengandalkan kehidupan dari hasil merampas dan menyerang orang lain, sehingga pada akhirnya mereka menjadikan perempuan sebagai alat komoditi dalam mencapai tujuan mereka yang kedudukannya sama dengan harta rampasan lainnya. Perlakuan kejam yang dilakukan kaum Sha`âlîk terhadap perempuan yang menjadi tawanannya tergambar dalam bait, “Sekian lama kami pakai kecantikan dan masa mudanya, lalu ia kami kembalikan pada keluarganya dengan kepala beruban”. Dalam bait tersebut kecantikan dan keremajaan perempuan diumpamakan dengan sebuah baju. Kedua-duanya bagi penyair memiliki kedudukan yang sama, yaitu sesuatu yang diambil untuk dipakai, dilepaskan atau dibuang saat telah usang. Maka pada saat kecantikan telah hilang dan berganti dengan uban, perempuan tidak memiliki makna lagi bagi seorang laki-laki. Hal ini dapat kita pahami dari gaya bahasa penyair yang menggunakan kata kata ‘ س ل ‘ dalam bait ب ش ح ن م ل yang secara leksikal berarti memakai baju, lalu digunakan untuk memakai kecantikan dan keremajaan perempuan. Gaya bahasa perumpamaan seperti ini dalam ilmu balaghah disebut dengan isti`ârah makniyah 414 , yaitu gaya bahasa yang hanya menyebutkan musta`âr lah yang diumpamakan yang dalam hal ini adalah al-husn kecantikan dan al-syabab keremajaan, tanpa menyebut musta`âr minhu unsur pembanding yaitu pakaian, namun demikian perumpamaan tersebut dapat dipahami dari takhyîl kata yang menunjukkan pada makna yang diinginkan yang terdapat dalam kata labisa yang artinya memakai baju. Berdasarkan hal itu, tampak jelas bahwa penyair menggunakan gaya bahasa perumpamaan metafora yang sangat kasar. Gaya bahasa yang bersifat sarkasme 415 dan kurang elegan dalam syair-syair Sha`âlîk tersebut, seolah-olah ingin menunjukkan tentang jati diri mereka sebagai kaum Sha`âlîk yang terkenal dengan 414 Ahmad al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah fi al-Ma`ani wa al-Bayan wa al-Badi`, hal. 305 415 Sarkasme adalah sejenis majas yang menggunakan kata-kata pedas untuk menyakiti hati orang lain, arti lainnya adalah cemoohan atau ejekan kasar. Sarkastis artinya bersifat mengejek. Kamus Besar Bahasa Indonesia , hal. 881. Dalam bahasa Arab jenis puisi dengan kata-kata yang mengandung sarkasme seperti di atas lebih dekat pada makna hijâ atau puisi ejekan. 139 kekejaman dan kebengisan mereka. Sebuah gaya bahasa yang sengaja dibuat guna merendahkan harkat dan martabat kaum perempuan. Kata-kata seperti `adzrâ kegadisan, husn kecantikan, syabâb masa muda, dan dumû’ air mata, adalah sekian dari beberapa aspek yang dikorbankan kaum perempuan Jahiliyah akibat peperangan, ambisi dan egoisme kaum laki-laki. Istilah- istilah tersebut adalah simbol-simbol keterampasan hak asasi manusia dari perempuan yang mengalami nasib buruk sebagai tawanan. Tidak ada simbol-simbol misogini kebencian terhadap perempuan dalam syair-syair Sha`âlîk. Perlakuan yang kejam terhadap perempuan lebih disebabkan faktor pembalasan dendam terhadap kelompok lain sebagai konsekuensi peperangan yang mereka jalani. Dan inilah cara pandang dan perlakuan kaum Sha`âlîk terhadap perempuan yang berasal dari luar komunitas mereka. Tokoh Laila dalam syair di atas adalah simbol perempuan yang teraniaya dan dirampas hak kemerdekaan hidupnya. Jika sikap kelompok Sha`âlîk terhadap tawanan perempuan yang dalam hal ini adalah Laila amat sangat kejam dan tanpa perasaan, namun hal ini justru menampilkan sosok perempuan lain yang bernama Asma yang juga sempat ditawan oleh kelompok lainnya. Asma dalam syair ini, adalah simbol perempuan yang sangat dilindungi dan dijaga kehormatannya oleh kabilahnya. Ini memberikan indikasi bahwa perempuan dalam interen kelompok sangat dilindungi, bahkan demi membebaskannya dari tawanan mereka rela untuk berperang dan mengorbankan nyawa. Penghargaan dan penghormatan terhadap perempuan di dalam komunitas Sha’alik juga terlihat dalam syair Urwah berikut ini: ل ل هن ف عي يس ن عيب ل ح ن يس Setiap orang pasti punya seorang pemimpin yang ditaatinya Dan pemimpin kami hingga ajal tiba adalah Rabî’ 416 ي خ عل ب ت م عي ل ن ، ع م ف 417 Namun jika engkau menyuruhku untuk mendurhakai istriku Aku tak akan pernah mentaatinya, sebab jika aku lakukakan itu, aku akan hancur 416 al- Rabi’ ibn Ziyad al-‘Abbasi salah seorang pemimpin kabilah Bani Abas 417 Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Warad; Amîr al-Shâ’alîk, hal. 84 140 Dalam syair tersebut, penyair mensejajarkan kedudukan perempuan istri dengan pimpinan kabilah dalam hal kesetiaan kepada keduanya. Hal ini terlihat pada ungkapannya yang menyatakan, bahwa jika pemimpinnya sekalipun menyuruhnya untuk mengkhianati dan menyakiti istrinya, ia tidak akan pernah menuruti perintahnya, karena ia menyadari betul, bahwa betapa berharganya kedudukan seorang istri dan tanpa seorang istri kehidupannya pun tidak berarti lagi. Bagi bangsa Arab Jahiliyah, keberhasilan menawan perempuan dari kabilah lain, ataupun kesuksesan mereka dalam melindungi perempuan yang ada dalam kabilah, pada hakekatnya sama saja. Keduanya sama-sama sebuah prestise yang sangat membanggakan kaum laki-laki. Namun demikian, secara faktual, apapun alasannya, dalam interen kabilah, perempuan tetap menjadi sosok yang diidolakan dan dihargai keberadaannya, bahkan kabilah siap melindungi kehormatannya sampai titik darah penghabisan, sebab bila para perempuan tersebut tertawan, hal itu tentu saja akan menghancurkan kehormatan yang selalu mereka banggakan. Di sisi lain, perang selain merampas hak hidup dan kemerdekaan perempuan, juga memberi pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk citra perempuan Sha`âlîk secara psikis. Hal ini tampak jelas dalam syair yang diungkapkan oleh Urwah ibn a- Warad saat berbicara terhadap istrinya: ، م ت ب ي ل ع ق س ف ل ت مل م ن Wahai putri Mundzir, janganlah kau terlalu banyak mencercaku Tidurlah, meski kau tak menginginkannya, lalu bangunlah ن ،ن ح ، ن ي م ،عي ل ك م ا ل ق ، ب Relakanlah diriku, wahai Umu Hasan, sesungguhnya aku hanya membeli dengan ini, sebelum aku tidak mampu memjualnya. ل خ يغ ل ، ت ثي ح يص ف م ه م ه 418 Peristiwa-peristiwa itu akan tetap abadi, sedangkan pemuda ini aku tidaklah abadi Jika ia kemudian menjadi serangga yang terbang di atas kandang batu kuburan Cuplikan bait syair di atas, merupakan mukadimah syair Urwah ibn al-Warad yang ia ungkapkan ketika istrinya secara berulang kali memohon padanya ngeyel agar 418 Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Warad; Amîr al-Shâ’alîk, hal. 67-68 141 tidak pergi untuk berperang. Ada ketakutan yang tersirat dalam syair tersebut, ketakutan seorang istri yang tidak rela bila harus kehilangan suami yang dicintainya. Sebaliknya, tampak dalam syair tersebut sikap seorang suami yang juga sangat menyayangi istrinya, namun tak kuasa untuk melaksanakan keinginannya. Untuk itu ia mengatakan ‘Tidurlah, meski kau tak menginginkannya, lalu bangunlah’ sebuah ucapan yang ditujukan kepada istrinya untuk meredakan ketakutan yang dirasakannya. Sang suami berharap dengan tidur tersebut, istrinya dapat menghilangkan kegelisahannya meski hanya sejenak saja. Konstruksi gendering yag membentuk citra perempuan Jahiliyah yang tampak lemah dan penuh ketakutan, dalam hal ini tidaklah muncul secara natural, namun lebih disebabkan oleh kondisi peperangan yang selalu mereka rasakan yang dapat merenggut nyawa siapapun yang mereka cintai. Rasa takut itu sendiri pada dasarnya tidak selalu hadir dalam jiwa perempuan, sebab ketakutan itu sendiri dirasakan oleh kaum laki-laki, hanya saja laki-laki lebih menampilkan sisi maskulinitasnya, sehingga yang tampak adalah keberanian mereka dalam menghadapi lawan. Hal ini tampak dalam syair Urwah: م ت ، غل ، ح ف خ س ل ،ء عأ ف ت Kulihat Ummu Hasan, di pagi hari, mencercaku Menakutiku dengan musuh-musuh, padahal jiwa ini lebih takut ن ل ت ق ل : ي س ت ف ل ن ت مل 419 Sulaima berkata: jika kau tinggal, pasti membahagiakan kami Dan ia tidak tahu, bahwa aku tidak mungkin diam saja Perang memberi dampak psikologis yang tidak sedikit bagi kaum perempuan Jahiliyah. Ungkapan Sulaima istri Urwah, Jika kau tinggal tidak pergi ke medan perang, pasti membahagiakan kami Sangat menonjolkan sisi feminitas perempuan yang penyayang affective , dan di sisi lain ungkapan Urwah, ‘Dan ia tidak tahu, bahwa aku tidak mungkin diam saja’ menampilkan kesempurnaan maskulinitas seorang laki-laki. Feminitas perempuan maupun maskulinitas seorang laki-laki, dalam 419 Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Warad; Amîr al-Shâ’alîk, hal. 87 142 hal ini tidak terlepas dari budaya perang yang lebih mementingkan kekuatan dibanding aspek kemanusian lainnya. Syair di atas mengungkapkan citra psikis perempuan Jahiliyah yang penuh kasih dan sayang terhadap orang yang dikasihinya. Dalam teori kritik sastra feminis, disebutkan bahwa karakter yang melekat pada perempuan, bukanlah sesuatu yang bersifat alami, bukan pula takdir, sebab karakter tersebut dibentuk oleh lingkungannya, yaitu masyarakat patrialkal. Syair di atas membuktikan bahwa karakter perempuan Jahiliyah yang penyayang affective secara tidak langsung terbentuk oleh budaya perang yang sangat mengagungkan kekuatan fisik, dan kakuatan fisik hanya lahir dari seorang laki-laki, sehingga tidak salah bila dinyatakan bahwa ada konstruksi gendering yang sangat kuat terhadap citra psikis perempuan Jahiliyah sebagai perempuan-perempuan yang lemah, ketakutan, dan penyayang. 420 2. Ibu di mata seorang Sha`alik عي ت م Ibuku seorang yang banyak berbuat salah عي ت م ن ت ع عئ ل يغ ل ف ن ي له Apakah kalian menghinaku, hanya karena ibuku seorang yang mudah berbuat salah Adakah dalam suatu kelompok seorang ibu yang tidak pernah berbuat salah نب ا ت أ بل م ح شأ ع في ل ن لي 421 Tidak akan menghunus panah, kecuali ia seorang anak dari orang yang merdeka, Yang kuat, gagah dan pemberani. Syair tersebut menurut riwayat ditujukan Urwah untuk paman-pamannya dari pihak ayahnya yang selalu merendahkan dan menghina ibunya yang berasal dari kabilah Nahd yang status sosialnya lebih rendah dibandingkan kabilah Abas. Kedua bait syair tersebut menggambarkan pembelaan seorang anak terhadap ibunya yang meskipun terus dihina dan direndahkan tetap dianggap sebagai manusia yang mulia, bahwa pada intinya 420 Menurut Suwardi Endrasiswara, salah satu dari tujuan analisis feminisme adalah untuk mengungkap aspek psikoanalisis feminis, yaitu mengapa perempuan, baik tokoh maupun pengarang, lebih suka pada hal-hal yang halus, emosional, penuh kasih sayang, dan sebagainya. Suwardi Endrasiswara, Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi Model, Teori, dan Aplikasi, hal. 146 421 Asmâ’ Abu Bakr Muhammad, Dîwan ‘Urwah ibn al-Warad; Amîr al-Shâ’alîk, hal. 85 143 tidak ada seorang pun di dunia ini yang suci dari kesalahan dan kekurangan, lalu mengapa mereka harus menghina ibunya dengan segala kesalahan dan kekurangan yang ia miliki. Selanjutnya Urwah dengan bangga menyatakan bahwa tidak akan lahir ke dunia ini seorang laki-laki yang gagah berani kecuali di belakangnya ada seorang ibu yang hurrah. Dalam tradisi dan budaya Arab Jahiliyah, perempuan secara status sosial terbagi ke dalam dua strata, yakni hurrah perempuan merdeka dengan status sosial yang tinggi dan ima perempuan sahaya yang memiliki status sosial yang rendah. Untuk itu Hurrah yang dimaksud oleh penyair di sini adalah bukan semata-mata perempuan merdeka dan memiliki status sosial yang tinggi, namun juga wanita perkasa yang mampu menjadikan seorang sosok yang gagah berani dan perkasa seperti Urwah ibn al-Ward yang sangat terkenal. Perlakuan Urwah yang sangat membela dan menghargai ibunya, didukung oleh sikap Syanfara 422 yang terekspresikan dalam syair hamâsahnya berikut ini: م ي م ص م ب يق ليمأ مك س ق ل ن ف Wahai kabilah ibuku siapkanlah kendaraan kalian Karena selain kabilah kalian, aku pasti akan memeranginya Berdasarkan riwayat ibu Syanfara hanyalah seorang tawanan yang kemudian dinikahi ayahnya, sehingga berdasarkan nasab ibunya bukanlah perempuan terhormat dalam kelompoknya. Meskipun ayah Syanfara bukanlah termasuk tokoh kabilah, bahkan termasuk dalam kategori rendah, namun dalam tradisi masyarakat Arab Jahiliyah yang mengagungkan budaya patrialkal, nama ibu sangat jarang disebutkan apalagi dihubungkan dengan kabilah. Namun demikian, terbukti bahwa dalam tradisi kelompok Sha`âlîk, perempuan terutama dalam hal ini adalah ibu, sangat dihargai dan dibanggakan, bahkan dalam syair tersebut kata bani ummi dibuat sebagai mukadimah syair yang digunakan untuk menyemangati kelompok untuk mempersiapkan suatu peperangan. 422 Riwayat hidup Syanfara tidak banyak diketahui oleh sejarawan, namun demikian penulis buku al- Syu’âra al-Sha’âlik fi al-‘Ashr al-Jâhili menyatakan bahwa nasabnya adalah al-Iwâs ibn al-Hijr ibn al-Hanw ibn al-Azad. Bapaknya termasuk dalam jajaran kelompok menengah ke bawah dalam kabilahnya, sedangkan ibunya adalah seorang tawanan perang. Yûsuf Khalîf, al- Syu’âra al-Sha’âlik fi al- ‘Ashr al-Jâhili, Mesir: Dâr al-Ma’âif, tth, cet. 2, hal. 331 144 Sekejam apapun perlakuan kaum laki-laki terhadap perempuan dari masa ke masa, namun kisah ibu dan segala pengorbanannya untuk anaknya tetap menjadi sebuah legenda yang abadi. Tidak ada seorang laki-laki yang perkasa dan dikagumi kecuali berdiri di belakangnya seorang perempuan yang perkasa pula. 3. Simbol perempuan ideal Bila pada syair-syair lain, citra visual tubuh perempuan lebih mendominasi, lain halnya dengan citra perempuan Jahiliyah yang diungkapkan oleh penyair Sha`âlîk Syanfara. Dalam syairnya ini Syanfara lebih banyak menggambarkan inner beauty seorang perempuan. Mukadimah syair Syanfara oleh Yûsuf Khalîf dalam bukunya Dirâsat fi al- Syi’r al-Jâhili bahkan dianggap sebagai syair ghazal yang paling memukau dalam menggambarkan sosok perempuan ideal. ت س ف تع ج ع ا ن يج تع م تل ت Ahai, Umu Amr telah berniat, maka iapun pergi Tidaklah ia tinggalkan tetangganya saat bepergian ه م ب ع س ق ت ي ل ع ب تن ك Umu Amr meninggalkan kami dengan segala urusannya Ia pun terhalang dibalik punggung unta تح ص ف تت ف ت م م ي يعب تل ف ت س ف م ت ف Dengan kedua mataku kusaksikan apa yang ia lakukan disore hari, malam hari, hingga ia terbangun di pagi hari Lalu ia selesaikan semua urusan, kemudian pergi dan berlalu م عب يم ع ك ف تل شيعل عن ف ت ع 423 Aduhai Umaimah 424 , setelah engkau penyair puas, curahkan untuknya kenikmatan hidup, ia pun pergi ع ق س ا ع ل ت ت ب ا ت م م Ia membuatku kagum, tak pernah terjatuh kain penutup dari kepalanya 423 Yusuf Khalîf, Dirâsat fi al- Syi’r al-Jâhili, ttp: Maktabah Gharîb, tth, hal. 152 424 Ungkapan ini disampaikan penyair kepada istrinya saat pergi meninggalkannya, setelah mereka puas menikmati kebersamaannya dalam rumah tangga. Maka pada saat istrinya pergi untuk melakukan urusannya, ia tidak sanggup berbuat banyak selain melepaskannya meski dengan perasaan sedih dan menyesal. 145 Saat ia berjalan, tidak juga banyak bertingkah berlenggak-lenggok ق غ ت ل يعب ت ي ت ت ق ي ل ت ل Bangun tidur, tampak ia memberikan minuman ghabûq 425 Untuk tetangganya, meski hanya sekedarnya يب ل نم ج ب لحت ت ح م ل ب يب م Ia selalu turun tangan untuk menyelamatkan rumah dari kenistaan Jika rumah sedang tertimpa musibah ه ت ي ن أ ف ل ك ْل ت ك ت ، م ع Seakan-akan di dunia ini ia memiliki sebuah cerita yang ingin dikisahkannya pada ibunnya, yang jika diceritakan padamu, akan memberi suatu pelajaran ي ح ه ن ي ا يم ت ج ت ع ل ك Umaimah, kebaikannya tidak menjadikan suaminya hina Jika disebutkan padanya sejumlah perempuan, ia selalu memaafkan dan berbesar hati ه يع ق آ م ه ل ي مل يع ل م 426 ت ني Jika ia suami pulang pada buah hatinya Ia kembali dengan bahagia, tidak perlu bertanya-tanya di mana ia istrinya berada ت ك س ت ج تق ف ت ج ن حل نم ن نج ف Lembut, anggun, murah hati, sempurna Jika saja ada seseorang yang diliputi kebaikan, maka ialah orangnya ق ف ح تي ل ك ف ت ء ع تحي ن حي ب Kami pun terlelap, rumah bagai diselimuti di atasnya wewangian yang semerbak di malam hari dan seterusnya ن ي ح ن ب نم ن حي ب ت م يغ ل ح م ، ل Wewangian dari lembah Halyah, yang membuatnya semakin wangi, juga sekitarnya, tanpa henti 425 Ghabûq adalah minuman berupa susu dan sejenisnya yang khusus disajikan pada malam hari menjelang tidur, lawannya adalah shabûh yaitu minuman yang khusus diminum pada pagi hari. 426 ا س -ا س - ي - س, berasal dari ي - س yang ditakhfîf diringankan, artinya bertanya-tanya. 146 Bait-bait syair tersebut menceritakan tentang seorang perempuan berkualitas tinggi yang ada dalam kehidupan penyair. Ia salah satu simbol high quality women yang ada dalam lingkungan kelompok Sha’âlîk. Ada tiga citra ideal yang ingin divisualisasikan oleh penyair melalui syair tersebut, yaitu citra individual, citra marital hubungan suami istri, dan citra sosial. Secara individu, perempuan digambarkan sebagai seorang yang selalu menjaga kehormatannya. Ini ditunjukkan dengan sikapnya yang tidak pernah melepaskan penutup kepalanya pada saat berjalan, juga tidak suka berlenggak-lenggok sehingga dapat memancing syahwat kaum laki-laki. Bila ia berbicara, tidak keluar dari mulutnya kecuali hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain, sebagaimana yang tercermin dalam ucapan penyair, ’Ia membuatku kagum, tak pernah terjatuh kain penutup dari kepalanya. Saat ia berjalan, tidak juga banyak bertingkah berlenggak- lenggok’. Citra perempuan dalam kehidupan rumah tangga paling banyak dilukiskan oleh penyair, hal ini terkait erat dengan faktor psikologis yang dirasakan olehnya sebagai seorang suami. Simbol perempuan yang setia dan pemaaf adalah dua dari sikap mulia lainnya yang dimiliki sang istri. Hal ini dapat dilihat dari sikap Umaimah istri pada saat disebutkan nama-nama perempuan di hadapannya, ia bersedia memaafkan dan berbesar hati, bahkan kemulian yang ia miliki tidak menjadikannya tinggi hati dan menganggap rendah sang suami. Hal ini sebagaimana yang tergambar dalam bait, ‘Umaimah, kebaikannya tidak menjadikan suaminya hina. Jika disebutkan padanya sejumlah perempuan, ia selalu memaafkan dan berbesar hati . Sikap tersebut menunjukkan bahwa betapa seorang perempuan memiliki jiwa yang besar. Sikapnya yang penyayang, ikut merasakan perasaan orang lain, dan peduli, merupakan kehebatan tersendiri bagi seorang perempuan, meskipun bagi kaum feminis sifat-sifat tersebut terkadang dianggap sebagai sikap Victoria 427 yang dapat menyeret perempuan berada di 427 Istilah Victoria diambil oleh para feminis dari tradisi perempuan Inggris, yaitu sebuah tradisi yang dicetuskan oleh Ratu Victoria yang mengharuskan perempuan menjaga kehormatan dan kemurnian mereka, bersikap pasif dan menyerah, rajin mengurus keluarga, atau dengan kata lain hanya mengurus kepentingan domestic semata. Soenarjati Djayanegara, Kritik Sastra Feminis, hal. 5 147 bawah dominasi kaum laki-laki. Namun dalam syair di atas terbukti, bahwa sikap yang ditunjukkan oleh perempuan Sha`âlîk tidak membuatnya menjadi seorang perempuan yang tertindas, namun menjadikannya sebagai wanita yang patut untuk dikagumi oleh laki-laki. Citra lainnya yang tersirat adalah citra istri yang peduli terhadap segala urusan rumah tangga, baik urusan yang bersifat fisik maupun mental. Secara fisik hal ini terlihat dari ungkapan penyair bahwa sebelum istrinya pergi meninggalkan rumah untuk urusan yang tidak dapat ditinggalkan, terlebih dahulu ia menyelesaikan semua urusan rumah tangganya, sedangkan secara mental terlihat dari peranannya dalam menyelesaikan berbagai problematika yang menghampiri keluarganya, di samping itu ia juga selalu menjaga kehormatan keluarga dari berbagai kehinaan. Selain sebagai simbol perempuan, setia, pemaaf dan peduli, ia juga sebagai simbol perempuan yang sangat menyenangkan dan sempurna bagi suami. Hal ini tampak dari ungkapan penyair yang menyebut Umaimah sang istri dengan kata qurrata ‘ain penyedap pandangan mata. Dalam al- Qur’an sendiri terdapat tiga ayat yang menyebutkan kata tersebut yang pada dasarnya bukan dikhususkan bagi perempuan, namun segala hal yang membuat senang s eseorang, baik anak, perhiasan, istri maupun suami, seperti yang biasa dijadikan do’a: نيع ق ي ج نم ل به ب Ya Tuhan kami, anugerahilah kami pasangan dan keturunan yang menyenangkan hati . Selain itu, jika dilihat dari banyaknya jumlah kata kerja fi’il yang menceritakan berbagai aktivitas yang dilakukan perempuan, tampak bahwa ia adalah seorang perempuan pekerja keras, namun tetap mengerti akan kedudukan dan peranannya sebagai seorang istri. 428 Adapun citra sosial ditunjukkan oleh Umaimah melalui kepeduliannya terhadap sahabat dan tetangganya, yang diceritakan oleh penyair dengan cara memberikan tetangganya minuman malam, yang meskipun tidak banyak namun mampu menyenangkan orang lain. Seperti dalam ungkapan penyair, ‘Bangun tidur, tampak ia memberikan minuman ghabûq, untuk tetangganya, meski hanya sekedarnya’. 428 Bandingkan dengan penjelasan Yusuf Khalîf, Dirâsat fi al- Syi’r al-Jâhili, hal. 153 148 Hal lain yang menarik adalah ungkapan tulus seorang suami untuk istrinya adalah ‘Umaimah, kebaikannya tidak menjadikan suaminya hina, Jika disebutkan padanya sejumlah perempuan, ia selalu memaafkan dan berbesar hati. Sebuah pengakuan yang tulus yang diungkapkan oleh seorang suami untuk istrinya. Dari ungkapan tersebut terkesan bahwa perbuatan apapun yang dilakukan oleh istri, bukanlah dengan tujuan untuk membuat suami merasa terhina dan tidak berguna ataupun berusaha untuk menyaingi suami, akan tetapi ia tetap dalam posisinya sebagai seorang istri, meski terkadang ada hal-hal yang membuatnya marah, ia tetap berjiwa besar. Umaimah dalam lingkungan kaum Sha’âlîk adalah simbol perempuan merdeka yang selalu menjaga kehormatannya, simbol perempuan yang bebas menentukan pilihan namun tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai seorang perempuan, baik sebagai individu, istri, maupun sebagai anggota masyarakat, ia juga bebas bepergian ke mana ia suka, namun tanpa melanggar rambu-rambu serta batas-batas kesusilaan. Meski Umaimah hidup pada masa Jahiliyah, namun apa yang dilakukannya menjadi bukti bahwa hakikat dan nilai-nilai perjuangan feminisme yaitu adanya persamaan hak dan kewajiban antara kaum perempuan dan laki-laki telah ada sejak dulu meski tanpa harus dilandasi dengan teori. 429 Dari apa yang diungkapkan penyair di atas tentang citra perempuan ideal, maka secara ideologis, perempuan Jahiliyah tidaklah termasuk dalam kriteria istri tradisional seperti teori Gopher Praire yang menyatakan bahwa istri ideal harus memiliki sifat-sifat tradisional, dengan demikian ia harus mematuhi suaminya, sesuai dengan agama, hukum, dan moralitas, dan hanya suamilah yang memiliki hak memegang kewibawaan. Di samping itu, seorang istri harus bersikap lemah lembut, pasif dan emosional, serta memiliki sifat nurturant. 430 Syair di atas membuktikan 429 lih. Sugihastuti, Wanita di Mata Wanita; Perspektif Sajak-sajak Toeti Heraty, Bandung: Nuansa, 2000, hal. 37 430 Jessie Bernard, The Future of Marriage, New York: tp, 1972, hal. 129, Soenardjati Djayanegara, hal. 120. Gambaran tentang perempuan Sha`âlîk di atas juga menentang teori victoria yang menyatakan bahwa ciri perempuan ideal menurut nilai- nilai Victoria harus mencerminkan ‘the cult of true womwnhood ’ atau pemujaan terhadap kewanitaan sejati. Untuk itu sifat-sifat yang harus dimiliki perempuan ideal menurut aliran ini yaitu kesalehan, kemurnian, sikap menyerah, domestisitas selalu tinggal di rumah. Satu-satunya kegiatan yang boleh dilakukan perempuan hanyalah kegiatan agama, 149 adanya peran yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga, adanya sikap saling menghargai, dan tidak menjadikan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan mutlak. Berdasarkan hasil analisis di atas, ada dua kesimpulan besar tentang kedudukan dan citra perempuan dalam komunitas Sha’âlîk, pertama, perempuan tawanan dalam tradisi dan budaya Sha’âlîk tidak ada bedanya dengan harta rampasan lainnya, yang hanya digunakan lalu dicampakkan bila sudah tidak berguna, tidak ada baginya belas kasihan ataupun suatu penghargaan. Berbeda dengan perempuan tawanan, nasib kaum perempuan di dalam kelompok Sha’âlîk sendiri tampak memiliki jati diri, ia sangat dilindungi dan dihargai, bahkan dapat dijadikan sebagai alasan berperang demi membela kehormatannya. Dalam internal kelompok Sha’âlîk, perempuan memiliki kebebasan dan kemerdekaan untuk melakukan suatu pekerjaan. Bila kita melihat pada latar belakang kelompok Sha’âlîk sebagai kelompok yang terbuang, hal ini dapat dimengerti, tentang mengapa mereka berlaku kejam tehadap perempuan lain yang ada di luar kabilahnya, namun sebaliknya sangat menyanjung perempuan dalam kabilah, hal ini tiada lain sebagai bentuk rasa solidaritas yang tinggi dan ikatan sosial 431 yang kuat di antara sesama anggota kabilah, termasuk bagaimana mereka harus memperlakukan kaum perempuan. Berdasarkan syair-syair di atas, terlihat bahwa perempuan bagi kelompok Sha ’âlîk terkait erat dengan pertige kehormatan dan power kekuatan 432 . Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa cara pandang dan perlakuan kaum Sha’âlîk terhadap perempuan terbagi ke dalam dua bentuk, pertama, terhadap perempuan di luar kabilah lawan, mereka memperlakukan perempuan dengan sangat kejam sesuai dengan kedudukan mereka sebagai tawanan dan harta karena ranah ini termasuk ranah perempuan. William L. O’ Neill, Everyone Was Brave, A History of Feminism in American : Chicago: tp, 1969, hal. 7, Soenardjati Djayanegara, hal. 19 431 Ikatan sosial adalah cerminan dari perasaan memiliki, menyatu, dan loyal, pada diri individu terhadap latar belakang sosial yang membesarkannya. Mengerti Sosiologi, hal. 58 432 Menurut Amin Nurdin dan Ahmad Abrari, Stratifikasi sosial adalah tingkatan kedudukan sosial dalam masyarakat yang ditentukan oleh perbedaan privilegeproperty kekayaan, pertige kehormatan, dan power kekuasaan. Nurdin, Amin, M., MA dan Abrori, Ahmad, M.Si., Mengerti Sosiologi , Jakarta: UIN Press, 2006, cet. 1, hal. 126 150 rampasan perang. Kedua, bagi perempuan dalam kabilah, kaum Sha’âlîk memperlakukan perempuan sebagai sosok yang sangat dilindungi dan dihormati, baik sebagai istri, saudara, ibu, ataupun sebagai sesama komunitas Sha’âlîk. Bila merujuk pada teori-teori sosiologi yang membagi kelompok masyarakat pada primer dan sekunder 433 , maka apa yang dilakukan oleh komunitas Sha`âlîk terhadap perempuan sangatlah dimengerti, sebab menurut teori ini, komunitas Sha`âlîk termasuk dalam kategori primer, yaitu sebuah kelompok kecil yang hubungan antar anggotanya memiliki kedekatan personal dan bersifat langgeng. Keluarga dan teman sebaya adalah dua di antaranya yang termasuk ke dalam kelompok primer. Baik keluarga maupun teman sebaya, keduanya adalah institusi yang menjadi agensi sosialisasi primer yang akan membentuk sikap dan perilaku seseorang, menanamkan identitas sosial, dan menyediakan keamanan dan kenyamanan. Untuk itu, di antara anggotanya selalu mempersepsikan diri sebagai kami atau kita. 434 Berdasarkan hal tersebut, maka tidak salah bila kemudian komunitas Sha`âlîk sebagai sebuah kelompok primer bersikap selalu melindungi dan menghormati kaum perempuannya, sebab di antara ciri-ciri kelompok ini adalah adanya komitmen dan ikatan emosional antar anggotanya tanpa membedakan laki-laki ataupun perempuan. Lamanya tinggal bersama, serta ikatan sosial antara komunitas ini, membentuk perasaan yang kuat, membentuk nilai-nilai dan juga membentuk perilaku, sehingga di dalam kehidupan mereka tumbuh rasa kasih sayang dan berusaha untuk mempertahankan pengalaman mereka selama tinggal bersama. 435 433 Kelompok primer adalah kelompok kecil yang hubungan antar anggotanya memiliki kedekatan personal dan langgeng. Sedangkan kelompok sekunder adalah kelompok yang memiliki hubungan yang kurang akrab di antara sesama anggotanya bila dibandingkan dengan kelompok primer, bersifat temporal, interaksi tatap mukanya kurang, dan lebih terikat karena adanya tanggung jawab yang harus dikerjakan bersama. Nurdin Amin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, Jakarta: UIN Press, 2006, hal. 94 95 434 M. Nurdin Amin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, Jakarta: UIN Press, 2006, hal. 94, dikutip dari Jhon J. Macionis, Society: The Basic, New Jersey: Prentice Hall, 2000, hal. 94 435 M. Nurdin Amin dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, hal. 95 151

D. Citra Perempuan Ghair Sha’âlîk